A Cup of Warm Tea with Caramel

Sabtu, 05 Agustus 2017



Kelam. Sebagian besar keadaan yang kami lihat sewaktu bernaung langit terbuka, adalah rona abu-abu. Aku dan beberapa pria bersetelan hitam menunggu di dasar tangga. Hanya ada dua belas anak tangga pada gedung berdinding bata putih tersebut. Tidak banyak. Landai, namun menyusahkan bagi si Kaki besar.

Pandanganku menyapu sekitar, memperhatikan semua gerak yang bisa kutangkap dan kuartikan pada detik yang sama. Ketika derit pintu terdengar, kami menoleh ke arah yang sama.

Seorang gadis yang kali ini mengenakan coat bulu putih yang tebal dan topi trilby keluar dengan binar mata yang kosong. Aku terbiasa melihat sorot serupa mayat itu. Vrtnica mungkin melihat semuanya, akan tetapi menetap pada kebisuan dan tidak melakukan apa-apa.

Pelan, dia menuruni satu demi satu anak tangga. Kepalanya menunduk, setidaknya sedikit membantuku mengartikan suasana hatinya kini. Dia tidak terlalu senang. Hari ini akan menjadi hari yang sama dengan yang telah terlewat: tertutup kelabu.

Salah satu guard membukakan pintu mobil untuknya. Aku kemudian masuk melalui sisi yang lain. Tepat saat mobil melaju, titik-titik air seketika memburamkan kaca. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu jika Vrtnica tetap berusaha memandang keluar. Tangan pucatnya terangkat. Dia lalu menuliskan sesuatu pada kaca jendela yang berembun.

Kurang beberapa menit sebelum kami tiba di tempat tujuan, dia memerintahkan supir untuk berhenti. Aku melirik mereka yang tengah berpandangan bingung sekilas. Sesuai perintahnya, mobil berhenti. Gadis itu turun di tengah hujan gerimis. Dia mulai melangkah pergi. Tanpa dia berkata apa-apa, aku memberi isyarat pada yang lain untuk tetap di tempat sementara aku sendiri yang akan mengikutinya.

Dia hampir tidak pernah berucap di saat seperti ini. Begitu juga denganku. Sikapnya amat berbeda semenjak dua belas tahun yang lalu, sewaktu aku masih bisa melihat segala macam ekspresi pada wajahnya yang pucat. Vrtnica pernah memarahiku, mengomel, menangis. Namun kini semuanya menguar tidak tersisa.

Dia berhenti melangkah. Napasnya tersengal.

Aku menoleh ke arah lain. Menunggu. Hanya itu yang aku bisa. Aku hanya akan ikut campur apabila dia memberikan perintah.

простуда… (Dingin),” ucapnya samar.

Aku mendongak ke langit, membenarkan ucapannya meski dalam kebisuan.

Suara bentakan dari kejauhan menarik perhatiannya. Kami memicingkan mata, mendapati seseorang berada di tengah-tengah jembatan kanal. Tangannya terangkat berulang kali lalu menghujam sesuatu di bawahnya. Bahkan dari jarak beberapa kilometer, bunyi membalun terdengar jelas.

Makian kasar keluar dari mulutnya. Tidak puas memukul, dia juga lantas menendang tiga kali. Terakhir kali, pria yang sepertinya tengah mabuk itu meludah. Aku melihat Vrtnica sedikit berjengit saat si Pria mengangkat sesuatu lalu melemparkannya begitu saja ke tengah kanal.

Sesuatu yang baru saja dibuang tersebut menggeliat. Tubuhnya kecil dan gemetaran hebat. Air yang mengalir di kanal membasuh lukanya. Semburat kemerahan timbul seiring dengan gerak arus. Terseok, hewan kecil tidak berdaya itupun mencari-cari tempat yang tidak tergenang air. Pilihannya jatuh ke sebuah kemasan makanan kosong yang tersangkut di tengah-tengah sampah ranting pohon.

Lama Vrtnica memandanginya dari atas tempat kami berada kini. Kalau saja tidak mengingat pada apa yang akan kami lakukan sebentar lagi, aku mungkin akan membiarkannya saja. Melewatkannya sama dengan memberikan masalah baru bagi gadis itu.

“Sudah waktunya.” Aku memberitahu.

Vrtnica diam. Aku yakin dia bisa mendengar karena setelahnya, pundak gadis itu bergerak samar—menghela. Boots-nya menyeret mundur, lalu berbalik. Kedua matanya terpejam. Kami pergi tepat ketika hujan deras kembali mengguyur.

***
Kasak-kusuk menyambut kami setibanya di ball. Satu-satunya guard perempuan yang ikut melepaskan coat putih Vrtnica. Rok terusan yang dia kenakan seperti gaun balet yang mengembang dan hanya sampai sebatas lutut. Bagian bahunya terbuka, menjadi tumpuan dua utas tali rok sebagai penyambung. Aku pun mengikutinya saat melangkah tanpa sungkan membelah kerumunan tamu.

Tema pesta malam ini ditentukan black and white, namun sebagian besar setelan orang-orang di sana didominasi warna hitam. Vrtnica pun sama. Gemerincing terdengar mengiringi langkahnya, berasal dari lonceng kecil dari sarung tangannya yang tersemat pita. Saat akhirnya seorang pria menolak memberi jalan untuknya, saat itulah Vrtnica berhenti melangkah.

Greeting, Miss,” sapa Dulvro. Pria bercambang putih itu tengah membawa segelas champagne dan cerutu. Bibirnya mengukir senyum aneh menatap Vrtnica. “Di mana Ernest?”

Vrtnica tidak langsung menjawab. Meski aku berada tidak jauh di belakangnya, aku tahu apa yang sedang gadis itu lakukan. Pupil matanya akan menggelap, menembus apa pun yang tengah ditampakkan Dulvro. Tentu saja pria itu mengetahui Vrtnica, tapi aku ragu dia bisa mengenali gadis itu lebih jauh pada pertemuan yang bisa dipastikan singkat ini.

Happy birthday, Dulvro,” ucap Vrtnica yang langsung dibalas dengan gelak tawa pria di hadapan kami.

“Kau tahu ini bukan pesta untuk merayakan ulang tahunku,” kata Dulvro. “Aku terlalu tua untuk ini. Sepertinya Ernest juga sengaja mengirimkanmu ke sini untuk mengancamku.”

Gadis itu diam. Dulvro sedikit berjongkok di depannya untuk memandangnya wajahnya seksama. Detik yang sama, aku bersiap menempelkan tangan di puncak celana—terdapat pisau perak yang kubawa ke mana pun aku pergi. Dulvro masih tersenyum. Sikap yang ditunjukkannya seperti seseorang yang tengah menggoda anak-anak.

Meski Vrtnica masih remaja, dia tentu tahu apa akibatnya apabila mengganggu gadis itu.

“Kau sama sekali tidak mirip dengan ayahmu,” ujar Dulvro lantas menarik diri. “Tapi tingkah kurang ajar kalian sama saja.”

Vrtnica masih tidak menyahut.

“Nikmatilah pestanya. Khusus untukmu, aku juga menyiapkan soda,” ejek Dulvro. “Hati-hatilah waktu keluar, Nak.”

Pria itu berbalik sambil mengisap cerutunya. Vrtnica juga berbalik. Pandangannya lalu mengedar ke sekeliling di mana para undangan menggunakan waktunya mengobrol ditemani champagne atau wine. Aku melakukan hal yang sama. Dalam waktu singkat, aku melihat beberapa “anjing” bayaran Dulvro di antara tamu.

He want to kill me..,” gumam Vrtnica pelan. “-Kalau beruntung.. aku tak akan pergi dari sini tanpa terluka.”

Dia menatapku beberapa detik.

Seharusnya Lava ikut serta kali ini, tapi Vrtnica merasa tidak perlu memberitahunya. Ernest mengantarnya untuk ke sekian kali ke mulut harimau.

Vrtnica tidak menunda waktu lagi. Langkahnya cepat keluar dari kerumunan. Aku dan para guard yang jika ditotal berjumlah tujuh orang menyertainya, tanpa lupa mengawasi sekitar. Kami tertegun mendapati mobil yang seharusnya menunggu kami di luar justru lenyap.

Moncong senapan!

Beruntung aku melihatnya dari tengah-tengah balkon samping dan segera menyentak tubuh Vrtnica mundur. Pelurunya melubangi aspal.

Bertindak cepat, para guard berpencar tanpa diperintah. Letusan pistol mereka otomatis mengundang keributan orang-orang di dalam hall. Dulvro rupanya mengerahkan lebih banyak orang untuk mengepung kami. Aku menggigit bibir ketika melihat salah satu guard kami tertembak.

Aku meraih pinggang Vrtnica, menenggelamkan tubuh kurusnya dalam pelukanku sementara kami berusaha mencari cara untuk kabur.

Sialnya aku makin terpojok. Sulit menumbangkan mereka dari jarak jauh. Aku tidak pernah suka membawa pistol, jadi kelebihanku hanyalah menyerang dari jarak dekat. Terdesak, kami mundur semakin jauh di balik dinding semak taman. Mataku memicing mendapati bawah kami yang penuh dengan puncak pepohonan belukar—karena kediaman Dulvro di atas bukit, dan terdapat jurang di belakangnya.

Kami tidak punya pilihan lain.

Aku memandang Vrtnica sekilas. Dia tidak terlihat takut, sebaliknya, sorotnya mencari-cari keraguanku.

Kami melompat begitu terdengar derap langkah orang-orang Dulvro berupaya mencari kami.

***
Aku lupa persisnya bagaimana kami berhasil mendarat. Beberapa kali tubuhku menghantam dahan-dahan pohon yang kokoh, duri, dan batu—karena tanah miring. Kami berguling, dengan Vrtnica masih dalam dekapanku. Kuku-kuku tangannya mencengkeram pundakku sementara matanya terpejam. Kalau pun dia terluka, yang terpenting lukanya tidak seberapa.

“Ferox.” Dia memanggilku. Aku mengerang. Lengan kananku terasa sangat sakit saat digerakkan. “Ferox,” ulangnya sembari menyentuh pipiku.

“Setidaknya kita berhasil kabur,” ujarku tanpa menampakkan emosi berarti.

“Kau membawa ponselmu?”

“Di saku sebelah kanan.”

Vrnica lantas merogohnya, namun gadis itu juga seolah memelukku. Salah satu sisi wajahnya menempel pada dadaku. Dia lalu menggunakan ponsel itu untuk menghubungi orang-orang kami. Tinggal menunggu mereka datang demi mendapati Vrtnica berhasil lolos meski tampilannya kacau balau sekarang.

“Aku tidak yakin bisa menemukan jalan terdekat,” gumam gadis itu.

“Kalaupun ada, mereka akan menunggumu di sana dan membunuhmu,” kataku agak gusar.

Vrnica mendongak lalu melihat sekitar. Hendak berdiri, mendadak gadis itu meringis dan sontak menumpu tangannya di lututku. Aku mengernyit. Tanpa persetujuannya, aku melepaskan sepatu gadis itu, mendapati bengkak kemerahan di pergelangan.

“Ini akan butuh beberapa hari.”

Aku membiarkannya duduk tidak jauh dari tempatku bersandar sembari memijat-mijat lengan. Entah harus berapa lama kami harus menunggu sampai pertolongan datang.

“Kau terluka?” Vrtnica bertanya. Kepalanya miring memandangku.

“Tidak.”

Tahu-tahu gadis itu mendekatkan tubuhnya padaku lantas menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku pun mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang tengah dia lakukan. Tapi pada kenyataannya, gadis itu terlelap sambil memelukku. Suara samar napasnya teratur.

***
Dua jam kami menunggu dan kedinginan di tengah hutan. Lava menghampiri kami, terlihat mengernyit tidak suka mendapati Vrtnica tidur bersandar pada dadaku. Dia lalu mengambil gadis itu dariku, menggendongnya dalam pelukannya.

Dan ketika pagi hari menjelang di tempat tinggal kami, Vrtnica menghilang.

Para maid, penghuni lain, bahkan semua orang dalam manor house diliputi kepanikan. Berulang kali Lava bahkan bersliweran tidak jauh dariku sembari memaki. Sempat dia bertanya di mana kemungkinan gadis itu berada, tapi aku tetap mengatupkan bibir rapat. Dia marah karenanya.

Bertahun-tahun Vrtnica menyita hampir semua pikiran dan waktuku. Jadi mana mungkin aku tidak menerka keberadaannya saat ini?

Sepintas, ingatan kemarin lewat dalam benakku.

Apakah…

Aku lantas beranjak pergi tanpa sepengetahuan Lava. Mobilku dengan cepat melaju menuju kanal—tempat kami melihat anak anjing yang disiksa dengan brutal lalu dilempar dari ketinggian beberapa meter. Aku menghentikan mobil di pinggiran. Alisku berjengit.

Aku menemukannya.

Vrtnica berjongkok, menghadap si Anak anjing yang masih ada di sana. Mungkin dia tidak menyadari air merembes dari roknya yang menyentuh dasar kanal. Tangannya hendak menyentuh anjing itu, tapi justru mendapat gigitan. Lama, Vrtnica mengusap-usap atas kepalanya, berusaha menenangkannya. Saat akhirnya anak anjing itu tenang, Vrtnica kemudian mengangkat tubuh kecilnya dalam pelukannya.

Tidak sengaja, pandangan kami bertemu.

Aku bergeming sementara gadis itu menaiki tangga kanal menghampiriku. Langkahnya pincang, sesuai dugaanku.

Anak anjing tekel. Kaki belakang kanannya buntung. Lukanya masih lumayan segar. Tubuhnya masih gemetaran hebat, meski pelukan Vrtnica memberinya kehangatan.

“Caramel..,” ucap Vrtnica padaku. “He will play with Clarky..”

Aku diam, tidak berkomentar.

I will save him.. so then someone can save me..


You and The Twin: Meet Them

Sabtu, 17 Juni 2017

Kau memberengut sepanjang hari setelah kena omel bos. Menurutmu bukan apa-apa menumpahkan sisa air yang sedikit di perkakas makan setelah dicuci, di lantai dapur. Toh nanti juga akan kering sendiri kan? Kau juga tidak terima dimarahi gara-gara membawa gelas dengan memeganginya seperti meraup bibir gelas tersebut. Itu cara termudah dan hemat waktu!

Akhirnya karena kesal, kau membangkang pada bosmu. Jika bukan karena berhutang pada Sam setelah tidak sengaja merubuhkan motor gadis itu, kau tidak akan pernah bekerja--sebulan penuh--di sana. Kau hanya tidak punya ongkos perbaikan yang diminta Sam, maka dari itu dia menyuruhmu bekerja di tempat om-om kenalannya.

Belum seminggu, tapi kau sudah memecahkan tiga gelas, dua piring, dan dua alas cangkir. Belum lagi ada satu pelanggan yang terpeleset karena kau tidak memeras pel sebelum mengusapkannya ke lantai.

Sam pun tergelak mendengar bosmu memberi julukan "musibah" padamu.

"Sebenarnya aku tak peduli kau membuat bulldog-ku lecet," kata Sam sambil menopang dagu dan menyunggingkan cengiran menjengkelkan khas dirinya. Dia menamakan motor tuanya bulldog karena suara raungannya.  "Galliano memang membutuhkan pegawai tambahan, makanya aku merekomendasikanmu. Tapi kau mengacau." Gadis itu lagi-lagi terbahak.

Kau makin membenamkan kepala ke meja, tidak peduli lap kotor mengenai pipimu. Kau memang bukan tipe anak manja yang berbuat seenaknya, tapi menjadi waiter di Gritti yang hampir selalu ramai? It too much...

Belum lagi tugas kuliahmu yang mengantri untuk diselesaikan. Kau merasa lebih baik menjadi samsak bagi Sam seharian lalu sebagai gantinya, dia menganggap hutangmu lunas. Sudah lama kau tertular virus berandal macam Sam, tapi untungnya kau tidak kehilangan harga dirimu dengan kabur seperti pengecut.

Sekitar seminggu yang lalu kau bergabung bersama gerombolan komplotan geng Sam. Kalian bermain skateboard. Dan sialnya papan luncurmu menghantam motor Sam sampai-sampai jatuh terguling ke area proyek yang penuh reruntuhan.

Bunuh saja aku, batinmu saat itu melihat Sam menyeringai. Well, dia memang tidak sembarangan menghajar orang, tapi apa yang dia lakukan kemudian akan sukar ditebak. Kau pernah mendengar rumor kalau terakhir kali Sam pernah meminta kroninya menggantung bocah laki-laki secara terbalik lalu membenamkan kepalanya ke air.

"Ada hal lain yang bisa kau lakukan selain jadi pegawai Galliano. Aku baru memikirkannya kemarin," ujar Sam. Senyumnya aneh. Bulu kudukmu berdiri mendapati aura ganjil di sana.

Tapi pada akhirnya kau memilih opsi kedua yang diajukan gadis itu--hanya karena untuk melakukannya, kau cuma butuh waktu seminggu saja.

***
Sam memberimu alamat yang dikirimkannya melalui line. Motormu pada akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang hitam yang menjulang tinggi. Gerbang itu langsung mengingatkanmu pada Mordor--dan sang Mata yang menunggumu di baliknya.

Menelan ludah, kau lantas memencet bel. Seorang pria langsung membuka lubang seukuran wajah pada salah satu persegi bagian gerbang tersebut.

"Cari siapa?" tanyanya.

"Ah ya, anu..." Ucapanmu tergagap. "Saya teman Samsin. Diminta ke sini buat... Ah, anu.. Ketemu..." Tunggu sebentar. Siapa nama orang yang disebut Sam tadi? "Vino? Viyo?"

Pria itu mengernyit sambil memperhatikan wajahmu seksama. Dia tampak menimbang sebentar sebelum akhirnya mempersilakanmu masuk. Tak lupa dia juga memintamu memasukkan motormu ke pekarangan.

Beberapa saat berjalan mengitari taman yang penuh bunga, seorang wanita paruh baya menyambutmu ramah. Setelah berbasa-basi menanyakan minuman apa yang kau mau di siang hari bolong begini, dia pun meninggalkanmu sendirian di ruang tamu.

Sembari menunggu, kau dijalari bayangan-bayangan aneh. Sejauh kau bisa ingat, teman-teman Sam tidak ada yang normal--minimal seperti dirimu. Kebanyakan dari mereka preman, gotik, terobsesi pada hal-hal yang tidak wajar. Misal kemarin saat kau mengira gadis di sebelahmu sedang mengeratkan syal di leher, tapi ternyata benda itu bukan syal, melainkan ular. Detik itu juga kau menjerit sejadi-jadinya.

Untungnya kau tidak menunggu lama. Seorang gadis berlari masuk. Pakaian yang melekat di tubuhnya berlumur tanah basah. Dia hanya mengenakan kaus oblong dan celana safari yang bisa melorot kapan pun. Melihat ada orang asing di sana, dia menatapmu lama.

"Hai!" sapanya. Tapi saat kau akan membalas, dia sudah telanjur pergi.

Apa dia Vio? Kau bertanya-tanya menebak sosok berambut cepak barusan. Mungkin dia buru-buru mandi setelah melihatmu.

Tidak lama berselang, kau mendengar suara dua orang yang ribut. Seseorang berambut legam panjang keluar sambil menalikan pita kuning di ujung kerah.

"Berhenti di situ!!" Kau juga mendengar gadis selainnya berseru nyaring. Mendadak saja dia melompat ke arah gadis tadi dan menjambak rambutnya. Kontan dia menjerit.

"Lepas! Lepas sekarang!!"

"Sebentar saja! Pulihkan blogku! Aku menghabiskan waktu semalaman merancangnya! Gladys akan mengamuk kalau lihat kantung hitam ini," kata si Gadis berambut cokelat ikal menunjuk matanya.

"That is your problem!" balas satunya juga dengan berteriak. Dia hendak kabur tapi kakinya langsung direngkuh erat.

Kau mulai meragukan kemampuan matamu menyadari wajah keduanya mirip. Oh bukan. Wajah ketiganya mirip. Mengingat temponya, kau tidak yakin kalau salah satu dari sepasang gadis itu dan anak yang datang berlumur lumpur adalah orang yang sama.

"Hei, Chrysantee, semurmu sudah mendidih! Apa kau mau meledakkan dapur?!" Satu orang lagi datang dengan berkacak pinggang. Dia lalu menoleh pada si Rambut hitam yang mengumpat tanpa suara. "Tendang saja kepalanya."

Gadis yang dipanggil Chrysantee itupun berdecap dan langsung lari ke dalam. Reaksinya terlalu drama untuk kembali pada semur.

Kau makin tercengang meralat perhitunganmu barusan. Mereka bukan hanya bertiga tapi berempat. Apa manusia kloningan sedang tren saat ini?

"Jangan lupa mampir ke artisan dan ambil biolaku," pesan gadis yang terakhir muncul pada gadis di depannya.

Si Rambut hitam sungguh tidak ramah. Pandangannya mendelik sebelum akhirnya pergi. Kau melihatnya berusaha merapikan rambutnya yang seperti habis diterpa badai.

"Wah, ada tamu," kata gadis yang tersisa bersamamu. Dia lalu melangkah mendatangimu. "Nama?"

Kau menyebut namamu, tidak lupa menyebut nama Sam.

"Apa kau psikopat?"

Kau lantas kebingungan, namun gadis itu tertawa.

"Tidak ada orang yang mau rumahnya dimasuki psikopat kan?" Dia berujar mengusap dagu. Tetap menatapmu, gadis itu menggigit bibir bersama pancaran mata yang agak... bergairah? "Di mana Sam?"

"Aku nggak tahu," jawabmu ditambah gelengan. "Sebelumnya maaf, kamu..."

"Aku," potong gadis itu sembari memilin rambut. "Vio."

Kau mengangguk-angguk, agak lega karena akhirnya bertemu orang yang Sam maksud. Tapi kelegaanmu tidak berlangsung lama saat Chrysantee kembali dan memasang wajah memberengut.

"Semurnya. Asin," gerutu gadis itu. Dengan wajah yang sama, tatapannya berganti padamu. "Siapa?"

Senyum Vio merekah lagi. Sekujur tubuhmu meremang karena dia meneliti seluruh tampilanmu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Makin tidak beres ketika dia berucap sesuatu yang tidak bisa kau pahami.

"Наша новая игрушка*."

*Our new toy

A Tea Cup Try to be Restored

Jumat, 03 Maret 2017


Fellon menatap wajah pucat itu terlelap di atas ranjang. Satu tangannya berada di bawah selimut, sementara tangan yang lain terhubung dengan selang infus. Sejak gadis itu meneguk teh dengan sari nanas, sudah lima jam waktu yang terlewat. Untunglah pertolongan yang dia terima tidak terlambat. Fellon bahkan masih ingat jelas bagaimana panik dan marahnya dia ketika di rumah tadi.

Kamar rawat gadis itu amat privat dan dikhususkan. Ruangannya sama sekali tidak terlihat seperti bagian dalam rumah sakit. Fellon juga tahu kalau ada tiga dokter sekaligus yang akan selalu memantau perkembangan tubuh sang Manekin. Mereka akan bergantian datang ke sana untuk mengecek. Wajah masing-masing terpasang tanpa ekspresi, seperti mengatakan pada tiap orang: tidak ada seorang pun yang terbaring dalam kamar itu, kalaupun ada, mereka bersikap seolah tidak mengenalnya. Persisnya, mereka dilatih untuk berpura-pura tidak tahu apa pun.

Hal yang makin membuat Fellon muak adalah karena mereka juga menghindari kontak mata, meskipun laki-laki itu jelas-jelas ada di sana: berdiri frustasi dengan tangan menyilang.

Terakhir kali, seorang suster masuk ke sana dan menaruh sebuah vas besar dengan tiga puluh kuntum mawar hijau ke atas meja.

Ponsel Fellon berbunyi, pertanda panggilan masuk. Laki-laki itu bergerak menjauh dari ranjang Ratimeria dan menghampiri jendela. Saat memandang keluar, dia menempelkan ponsel itu ke telinga kiri.

“Ya?” Fellon menanggapi si Penelepon. Alisnya bertaut ketika mendengar. “That is a problem..,” gumamnya sambil menekan ujung kuku ibu jari ke telunjuk. “Apa aku harus turun tangan sendiri untuk membereskan masalah yang kalian perbuat? Jangan ganggu aku sekarang. Oh, jangan lupa ajak Clarky jalan-jalan.”

Fellon menekan tombol pemutus panggilan. Tubuhnya berbalik, kembali ke kursi tempat duduknya yang menghadap ke tempat tidur. Raut Fellon tampak keruh dan gerak mata serta bibirnya sangat tidak tenang. Memutuskan, laki-laki itu kemudian beranjak pergi.

Saat itulah, mata Ratimeria membuka—menerawang kosong ke langit-langit.

***
Fellon kembali kurang lebih satu jam kemudian. Laki-laki itu mampir ke kantin rumah sakit membeli minuman ringan, baru setelahnya pergi menuju kamar Ratimeria.

Apa gadis itu sudah bangun atau masih tertidur? Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena kondisinya sudah stabil. Fellon bertekad akan menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan apabila dia telah membuka matanya.

Namun Fellon langsung mematung di ambang pintu tatkala mendapati kamar itu kosong.

Di mana dia?

Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Fellon. Sontak dia pun berlari menyusuri lorong yang sepi. Hanya ada beberapa perawat yang terlihat. Mereka pun menatap bingung pada laki-laki itu.

Sir, tidak boleh berlari di dalam rumah sakit!” seru salah seorang perawat menegur.

Fellon tidak mempedulikannya. Dia terus berlari sampai keringatnya bercucuran keluar. Saat ini dirinya tengah berada di lantai tiga. Memangnya apa yang diharapkannya dengan berlari-lari tanpa tujuan yang jelas. Gadis itu bisa berada di mana saja. Dia bahkan mungkin telah pergi jauh tanpa mengatakan apa-apa pada Fellon.

Terengah-engah, laki-laki itu mendesah kesal. Dia lantas melihat keluar, melalui dinding kaca dekatnya sekarang. Raut wajahnya berubah begitu menyadari ada sesosok gadis yang tengah berdiri mematung di tengah-tengah taman. Fellon pun berdecap kemudian melanjutkan lagi berlari.

Fellon berhenti tepat di belakang gadis itu sambil membungkuk memegangi lutut—mencoba mengatur napas.

“Apa yang kau lakukan?”

Ratimeria tidak menjawab. Gadis itu masih tetap bergeming. Saat Fellon beralih ke sisinya, Ratimeria sedang mendongak. Fellon mengernyit lantas mengikuti arah pandangannya. Di depan mereka ada sebuah pohon. Mata Fellon sedikit menyipit ketika akhirnya menemukan sarang burung di sana. Seekor burung berdiam dengan kepala yang menjulur keluar melalui lubang sarang.

Masih mencoba mengatur napas karena jantungnya terus memompa dua kali lebih cepat, Fellon lalu duduk di bangku panjang tidak jauh dari sana.

“Kau baik-baik saja?” tanya Fellon agak dongkol. Baru beberapa menit yang lalu dia kebingungan mencari Ratimeria, dan ternyata gadis itu berdiam di taman hanya untuk melihat sarang burung?

Gadis itu benar-benar tidak bergerak. Barulah setelah sang Burung terbang meninggalkan sarang itu, Ratimeria tersentak kecewa. Fellon pun mengernyit melihatnya seperti itu.

“Ayo kembali ke kamar,” kata Fellon lagi. “Kau berkeliaran dengan masih memakai baju pasien. Bisa-bisa petugas keamanan akan curiga kalau kau mau kabur.”

Kali ini Ratimeria menoleh. Beberapa detik, dia menatap Fellon lurus seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Apa?” tanya Fellon yang mengerutkan kening curiga.

“Temani aku jalan-jalan..”

***
Fellon tidak akan pernah terbiasa meladeni gadis remaja satu itu. Terkadang dia seperti anak-anak yang menyukai hal-hal sederhana. Terkadang juga dia akan bersikap bijak seolah tahu segalanya. Dan sesekali—meski jarang, gadis itu akan bertindak menggunakan pengaruh dan kepunyaannya supaya orang lain akan bertekuk lutut biarpun harus mematahkan kaki orang itu.

Kali ini mungkin suasana hatinya sedang baik. Dia mengganti piyamanya dengan rok terusan berwarna biru lembut, bertali pita di bagian dada dan ujung lengan bajunya. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di kawasan pertokoan klasik pada sudut kota. Sebenarnya tempat itu akan lebih menarik untuk didatangi pada malam hari. Namun sepertinya gadis enggan menunggu.

Dia melangkah sambil mengawasi sekeliling sementara Fellon mengikuti di belakang. Fellon benci mengakuinya kalau saat ini tekadnya menanyai gadis itu tentang kejadian kemarin telah luruh. Kalau dipikir-pikir, Ratimeria memang punya berbagai cara untuk melampiaskan suasana hatinya—selain menampakkan pada ekspresi wajah, tentu saja. Gadis itu nyaris tidak memiliki emosi berarti.

Fellon tidak menyadari dirinya tengah melamun. Tahu-tahu saat kembali memandang ke depan, sosok Ratimeria menghilang.

Shit!” Laki-laki itu mengumpat. Dia langsung celingukan ke sana kemari guna menemukannya. Lagi-lagi Ratimeria membuat Fellon seperti pesuruh tidak berguna.

Apa dia sedang main petak umpet?!

Kebingungan dan kesal, Fellon tetap mencari-cari Ratimeria. Ada satu hal yang benar-benar dia pahami baik selama kurang lebih empat tahun ini mengenai sosok manekin itu: dia gampang sekali hilang! Pernah beberapa kali, semua guard gadis itu mengerahkan semua orang demi menemukannya. Seisi rumah kediamannya diliputi kepanikan dan ketakutan—apalagi jika sampai sang Tuan tahu kalau Ratimeria hilang.

Pada akhirnya, gadis itu memang bisa ditemukan. Dan tiap Fellon mengomelinya, Ratimeria hanya akan bilang kalau dirinya tersesat. Segampang itu.

Fellon sampai setengah mati menahan diri untuk tidak mengunyah-ngunyah kepalan tangannya yang mengerat begitu melihat Ratimeria tengah memperhatikan etalase toko es krim.

“Bisakah kau tidak membuatku jantungan seperti tadi?!” bentak Fellon yang mengundang tatapan Ratimeria. “Bagaimana kalau ada pria hidung belang membawamu?”

Mengerjap, Ratimeria tidak menanggapi. Dia menoleh lagi pada gundukan es krim berbagai warna dan rasa dalam etalase kaca.

“Belikan aku,” kata Ratimeria pelan.

“Beli saja sendiri!” balas Fellon sengit.

“Aku tidak bawa uang..”

Menyerah, meski jengkel, laki-laki itu lantas menarik Ratimeria masuk ke dalam toko. Dia menggiring gadis itu ke meja kasir untuk memesan.

What do you want?” tanya Fellon lalu mengeluarkan dompet.

Ratimeria menunjuk es krim berwarna merah yang wadahnya bertuliskan cherry.

One cherry, please.” Fellon berkata pada penjualnya.

Saat es krim ceri dalam contong waffle renyah diberikan, Fellon langsung membayar. Dia lalu menyodorkannya pada Ratimeria, namun gadis itu bergeming—tetap memandangi es krim lain dalam etalase.

“Yang tiramisu,” kata gadis itu.

Fellon tidak punya pilihan selain memesankan lagi—mungkin Ratimeria ingin berbagi dengannya. Namun pikiran itu buyar saat Ratimeria meminta dua es krim lagi: rasa blueberry dan mangga. Jadilah kali itu kedua tangan Fellon memegang tiga contong es krim, sementara gadis itu hanya membawa satu. Pada akhirnya dia bilang kalau Fellon terlalu cepat memesan, padahal dia hanya ingin makan es krim mangga.

Lesson (3): Games Before Lunch

Jumat, 17 Februari 2017

Jejak telapak kaki mereka membekas di permukaan pasir putih. Ada yang melesat bagai orang kesetanan namun meraih posisi pertama, ada yang berlari dengan muka membiru tetapi masuk ke posisi kedua, sepasang yang menyingkir beberapa saat karena salah satunya muntah lalu yang lain menemani, juga satu lagi yang berlari santai karena sejak awal tidak peduli. Gargaric Len menyeringai saat melihat kelimanya melalui teropong di menara mercusuar.

Tiara dan Melisma menyelesaikan tahap awal. Viola, Amarta dan Ratimeria gagal. Alasannya karena Violalah yang muntah, Amarta menemaninya, sedangkan Ratimeria sama sekali tidak punya niat berlomba. Mereka berlima kemudian terduduk lemas di teras rumah kayu—kelelahan. Viola bahkan seperti tubuh kehilangan rohnya, sementara Amarta dengan sabar mengipasi.

“Lama tidak bertemu dan dia tambah kejam..,” gerutu Melisma sebelum menandaskan sebotol air. “Apa dia sedang bosan? Apa karena itu dia sengaja membuat repot?”

“Aku lapar,” kata Tiara polos. “Kita makan apa nanti? Amarta mau masak?”

Amarta menggeleng.

“Kata kakek, akan ada yang membawakan makan,” balasnya memberitahu.

Bunyi singkat berasal dari sesuatu yang dilempar hingga melesat membuat salah satu dari mereka menoleh. Saking singkatnya, empat yang lain tidak menyadarinya. Ratimeria beranjak berdiri lalu melangkah sedikit memutari rumah kayu. Tepatnya di dinding samping, gadis itu menemukan sebatang panah dengan secarik kertas yang terlipat dan diikat di sana.

Aku menunggu kalian di tengah pulau. GL

Dasar orang tua, batin Ratimeria dalam hati. Dia lalu kembali ke tempat semula dan melemparkan begitu saja secarik kertas kusut itu ke tengah-tengah yang lain. Sementara mereka mengernyit mengartikan maksud gadis itu, Ratimeria beranjak pergi tanpa mengatakan apa-apa. Tiaralah yang lebih dulu mengambil kertas itu dan membaca tulisan di sana.

Shit,” umpat Tiara yang langsung berlari menyusul Ratimeria.

“Apa itu?” tanya Amarta saat ganti Melisma yang membaca.

This games isn’t finished yet for today,” gumam si Pualam.

***
Persis di tengah-tengah pulau yang dimaksud kakek mereka, terdapat sebuah lapangan persegi panjang yang pada pinggiran bergaris putih sementara bagian rumpang lapangan itu bercat hijau. Sampai di sana, aroma minyak cat masih tercium. Melisma berjongkok sebentar demi menyentuh lapangan yang mereka pijak. Bekas cat itu masih sangat bersih.

Viola memandang sekitar—terutama dinding kawat yang menutup area lapangan. Tangannya juga memeriksa kawat yang digunakan. Informasi yang dia peroleh kurang lebih sama dengan yang didapatkan Melisma: semua hal di arena tennis pulau itu, semuanya baru saja dibangun.

“Kenapa tidak ada orang di sini?” gumam Amarta mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Hanya beberapa saat kemudian, datang tiga orang laki-laki berwajah asing masuk ke arena. Kaus yang mereka kenakan seragam: berwarna hitam dengan dua garis merah di dada. Dua di antaranya berkulit putih memerah setelah sempat terpapar sinar matahari. Iris mata mereka berwarna abu-abu terang. Satu berambut pirang, sedangkan yang lain berwarna cokelat gelap mengilap. Sementara satu orang lain lagi berkulit hitam, dengan rambut yang hitam keriting.

“Hari cerah sekali di sini!” Speaker yang dipasang di salah satu tiang mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Mereka semuapun refleks menutup telinga. Membenarkan volume speaker tadi, Gargaric tertawa saat meminta maaf. “Bukankah sangat menyenangkan terbebas sementara dari hari-hari jenuh yang biasa kalian jalani?” kata pria tua itu lagi.

Rahang Melisma menekan kuat, berkata dalam hati pada dirinya sendiri kalau tidak ada gunanya mengumpat pada speaker. Ekspresi kesal yang dia tampakkan juga tidak jauh berbeda dari Viola dan Tiara.

“Perkenalkan tiga tamu kalian untuk hari ini: Mawa, Lotad, dan Hebron,” kata Gargaric memperkenalkan. Mawa merupakan laki-laki yang berkulit putih dengan rambut pirang, Lotad yang berambut cokelat gelap, sedangkan Hebron yang berkulit hitam. “Masih ada sekitar satu jam sebelum makan siang, jadi kita akan bermain sebentar.”

Bermain? Tiara menyeringai menahan gemas. Mengingat kakek mereka yang dulu seorang olahragawan, mustahil tiga orang itu hanya pemain biasa. Dan kenapa juga mereka harus laki-laki? Apa kepala si Kakek sempat terbentur baru-baru ini hingga lupa semua cucunya berjenis kelamin perempuan?

Jangan salah sangka, batin Melisma yang rupanya punya pikiran sama dengan Tiara. Mereka berdua merasa tidak masalah bermain dengan siapa pun selama masih dalam kondisi prima. Hanya saja…

Melisma menoleh ke belakang, memandang satu per satu kembarannya yang lain. Viola masih lesu, Amarta balas menatap polos ke arahnya, sedangkan Ratimeria diam seperti patung.

Mereka sama sekali tidak bisa diharapkan..

Apalagi jika mereka sampai kalah, Gargaric mungkin akan menambah jumlah hari mereka terkurung di pulau tidak berpenghuni itu.

“Nah, anak-anak manis, silakan gambreng. Dua pemenang yang akan bermain lebih dulu melawan Mawa dan Hebron,” instruksi Gargaric. “Oh ya, dan.. kalian akan terima akibatnya kalau berlaku curang.”

Tiara lagi-lagi menyeringai. Amarta berseru dengan semangat menarik semuanya untuk mulai gambreng. Pertama, Viola langsung keluar dan gadis itu menghela napas lega. Ratimeria keluar kedua. Saat yang masih gambreng tersisa tiga orang, baik Tiara dan Melisma saling menatap tegang. Bisa gawat kalau Amarta sampai maju.

Dalam tenis, pemainnya akan sangat membutuhkan kemampuan refleks dan lari yang cepat. Amarta tidak akan bisa memenuhi keduanya. Gadis itu buruk sekali dalam kegiatan yang melibatkan gerak fisik.

Mereka kompak bersamaan mengangkat tangan kanan ke udara lalu menghempaskannya berbarengan ke bawah.

“Gambreng!!”

Tiara dan Melisma seketika membeku.

***
Mawa adalah satu dari sebelas pemain didikan Gargaric. Mereka belum mencapai tahapan pemain pro. Mungkin sekitar seperempat dari keselurahan kriteria yang harus dipenuhi sebelum bermain di laga. Meski begitu, Mawa yakin kemampuan dirinya, dan sepuluh orang yang lain juga tidak bisa dianggap remeh. Gargaric sendiri adalah pelatih yang punya kompetensi penuh—meski Mawa dan yang lain sepakat menyebutnya iblis. Tapi berkat itulah, mereka jauh berkembang hanya dalam jangka waktu setahun ini.

Sebelum datang ke pulau itu, Gargaric mengundang mereka secara pribadi dengan alasan liburan karena merasa latihan yang mereka lakukan cukup menguras tenaga. Hebron bahkan muntah terkadang akibat latihan mereka yang sesekali terlampau berat. Saat hampir sampai di lapangan tenis, Mawa mengira ajakan untuk berlibur hanya akal-akalan Gargaric. Lotad juga mengira mereka akan latih tanding dengan pemain pro.

Ketiganya sama-sama terkejut melihat lima orang gadis yang ada di sana. Ditambah lagi, wajah mereka sama persis—hanya saja dengan tipe rambut yang berbeda.

Gargaric memerintahkan mereka untuk gambreng demi memutuskan siapa di antara mereka yang akan bermain duluan. Beberapa saat kemudian, dua gadis pun tersisa. Satu gadis berambut pendek yang tersenyum lebar antusias, sedangkan satu lagi gadis berambut hitam legam—mengikatnya di belakang kepala yang sejenak berwajah keruh. Sepertinya dia tidak terima dengan hasil gambreng tadi.

Untuk lawan mereka, Mawa memutuskan berpasangan dengan Hebron.

Siapa mereka? Dan kenapa Gargaric meminta Mawa dan yang lain untuk melawan mereka? Sepertinya kelima gadis itu masih remaja.

Mereka akan menemukan jawabannya nanti. Pokoknya, tidak peduli siapa pun mereka, baik Mawa dan Hebron tidak akan mengalah. Mereka bertiga akan bermain dengan segenap kemampuan yang mereka punya.

***
Seumur hidupnya hingga saat ini, Melisma tidak pernah membayangkan kalau dia akan menjadi partner tenis si Bungsu. Bisa jadi kali ini adalah arena permainan yang paling menyebalkan yang pernah Melisma lakukan.

Tiara mengambil dua raket yang telah disiapkan tidak jauh dari sana lalu melemparkannya masing-masing satu pada Melisma dan Amarta.

Seakan tidak peduli dengan apa yang Melisma pikirkan—atau mungkin sungguh-sungguh tidak tahu, senyum Amarta tidak sekalipun pudar. Dia pun mengangguk menurut perintah si Pualam yang menyuruhnya berdiri di sisi depan, sementara Melisma sendiri berniat akan meng-cover wilayah belakang.

Melisma bahkan tidak yakin Amarta akan sanggup melakukan serve ringan.

Melisma memulai pertandingan dengan melambungkan bola tinggi-tinggi ke udara. Bola itu langsung melesat di wilayah Mawa dan Hebron. Hebron berlari menyongsong bola, lalu mengembalikannya dengan pukulan forehand. Pukulan yang cepat, kuat dan tegas. Melisma langsung berlari mengembalikannya.

Dan tiba ketika bola itu dipukul ke empat kalinya, Melisma melompat tinggi—seketika melakukan smash. Bola seketika menghantam rumpang di wilayah Mawa dan Hebron—tanpa keduanya bisa mengejar, menimbulkan bunyi yang membuat Lotad bersiul terkesima.

One-zero!” seru Tiara yang duduk di kursi wasit lantas membuat Hebron berdecap.

“Apa dia pro?” tanya Hebron pelan pada Mawa.

Melisma mengernyit. Aksen Inggris-Amerika, pikirnya mengenali bahasa yang dua laki-laki itu ucapkan.

We’ll know,” balas Mawa pendek.

Namun tetap saja, sehebat apa pun pualam, jika pasangan bermainnya tidak bisa mengimbangi. Hanya kekalahan yang menunggu di depan mata.

A Broken Cup of Tea

Minggu, 12 Februari 2017

Bangunan perpustakaan menyerupai sepotong kue dengan setengah lebih dindingnya terbuat dari kaca. Rak-rak tinggi diletakkan di tengah-tengah ruangan, sementara rak-rak setinggi seorang anak berusia sepuluh tahun berdempet pada tembok. Terdapat banyak meja dan kursi baca yang bisa digunakan pemustaka di dalamnya—di antaranya, meja dan kursi kayu yang masih berbentuk layaknya wujudnya yang masih berakar dalam tanah.

Laki-laki itu duduk di sana, menumpuk kaki dan bersandar. Di tangannya terbuka sebuah buku yang hanya selebar telapak tangan, bersampul hitam, dengan isi mencapai delapan ratus halaman.

Biasanya dia selalu senang tiap kali beberapa gadis bersliweran, mencuri pandang ke arahnya, lalu berbisik satu sama lain: berkata bahwa ada pemandangan indah dekat mereka. Kalau sudah begitu, jika mood laki-laki itu sedang baik, dia akan dengan senang hati pura-pura menoleh tanpa sengaja lalu melemparkan senyum sapaan. Kemudian, para gadis itu minimal akan kehilangan kesadarannya selama beberapa detik.

Fellon tidak bisa melakukannya kali ini. Dia sedang sibuk membaca. Ya, kali ini sungguhan. Fellon sungguh-sungguh sedang membaca. Tentu saja laki-laki itu membaca bukan karena ingin. Terlihat jelas dari muka bosan yang dia perlihatkan kini. Dia kedapatan berulang kali menguap, mengucek mata, juga membenarkan posisi duduk yang dirasanya tidak nyaman. Meski begitu, sebuah pencapaian yang bagus ketika disadarinya kalau seharian ini dia telah membaca dua puluh lima halaman buku itu.

Dia menghela napas dalam-dalam lalu menutup buku—tidak lupa memasang pembatas lebih dulu.

Apa yang dia lakukan tadi? Fellon bertanya-tanya sarkas. Teman-temannya pasti akan langsung mengatai dia sedang kerasukan jin kutu buku kalau melihat.

Buku yang dibaca Fellon bukanlah mengenai tema yang berat. Buku itu berisi dongeng. Persisnya, dongeng klasik yang sepertinya memiliki berjuta-juta makna tersembunyi yang dicurahkan penulis asli yang sudah meninggal. Felon terkadang mengernyit saat membaca sebaris kalimat yang membingungkan. Dia akan membacanya ulang supaya paham.

Nyatanya bacaan tersebut kali ini tidak sepenuhnya membosankan. Mungkin Fellon tahan membaca berjam-jam berkat deskripsi dunia fantasi yang indah—dunia yang amat cantik, penuh kebahagiaan sekaligus kesedihan.

Fellon menopang dagu saat melihat pemandangan di luar. Langit abu-abu muram, pertanda hari mulai beranjak sore.

Apa yang sedang dia lakukan? Batin Fellon bertanya. Kabarnya gadis itu akan kembali besok lusa. Sudah lima minggu sejak terakhir kali Fellon memandang sosoknya yang serupa bisque doll itu saat tengah menyeduh teh herbal sewaktu sinar matahari pagi menyeruak ke dalam rumah kaca.

Sang Mawar yang bagaikan manekin tak bernyawa.

***

Entah kenapa hujan disertai petir menggelegar seolah menjadi pengiring bagi gadis yang pulang kembali ke tempat dia beristirahat. Mobil hitam besar itu masuk ke halaman, lalu berhenti depan pintu utama. Si Supir keluar duluan dan bergegas menghampiri pintu belakang yang terbuka otomatis. Pria yang juga tidak menampakkan ekspresi itupun melebarkan payung supaya si Penumpang tidak kebasahan.

Dan di sanalah Fellon akhirnya melihat gadis itu—dengan rona pucat dibingkai rambut hitam kelamnya yang berhias pita putih. Gaun terusan yang dia kenakan tidak memberikan efek lekuk tubuh, serta hanya sepanjang bagian atas lutut.

Fellon mengernyit. Di saat hawa dingin membekukan seperti ini, dia memakai gaun tanpa lengan?

Laki-laki itu lalu menghampiri si Gadis, berniat meminjamkan jaket padanya. Namun uluran tangan itu ditepis pelan.

“Kau pakai saja..” Dia berkata pelan tanpa menatap Fellon.

Si Gadis manekin kemudian masuk ke dalam, diikuti dua orang yang juga pekerja rumah itu.

Apa ada masalah? Fellon bertanya dalam hati. Gadis itu selalu menampakkan ekspresi yang hampir sama setiap kali kesempatan. Namun agaknya hari ini berbeda. Atmosfer yang dia ciptakan sedikit aneh. Apa mungkin dia lelah? Apa yang dia lakukan selama Fellon tidak mengawasinya?

Menghela napas, Fellon berpikir kalau dia harus menahan rasa penasarannya dulu saat ini. Setidaknya besok dia akan bisa bertanya.. ketika gadis itu menyeduh teh paginya di rumah kaca.

***

Ukuran teko putih itu mungkin hanya sekepalan tangan Fellon. Gadis itu meletakkannya di atas tabung yang dimasukkan lebih dulu dengan sebuah lilin yang menyala. Memakai cara itulah, air di dalam teko akan terus hangat.

Fellon datang beberapa saat kemudian setelah setengah berlari. Laki-laki itu bangun kesiangan. Buku dongeng sialan kemarin membuat tidurnya nyenyak—terlampau nyenyak malah. Memakai baju seadanya, dia pun terburu-buru pergi ke pekarangan samping, di mana rumah kaca berisi bermacam-macam bunga didirikan. Sudut mata Fellon pun mendapati gadis itu tengah duduk sendirian menghadap meja.

Terengah-engah, Fellon mendekat. Tangan kanannya membawa buku dongeng kemarin lalu sedikit melemparkannya ke meja, menimbulkan bunyi mengetuk yang lantas membuka mata sang Gadis yang tadinya terpejam.

“Setengah lebih sedikit,” kata Fellon sembari mengatur napasnya lagi. Dia mengambil satu lagi kursi kayu tidak jauh dari sana dan mengambil duduk tepat di hadapan si Gadis.

“Kau menikmatinya?” tanya Ratimeria pelan.

“Hanya Tuhan yang tahu demi apa kau menyuruhku membaca itu,” balas Fellon sengit lalu menyilangkan tangan. “Tak bisakah kau menyuruh aku pekerjaan lain? Merobohkan rumah itu misalnya.”

Ratimeria tidak menanggapi. Gadis itu mengangkat cangkirnya kemudian menyesap sedikit teh yang masih mengeluarkan uap. Ketika ditaruhnya lagi cangkir teh itu ke tempatnya, sepasang mata Ratimeria menyorot kosong tidak ke mana pun—seakan-akan dia lupa begitu saja kalau dirinya tidak tengah sendiri.

“Apa kau punya masalah?” tanya Fellon yang lagi-lagi terganggu dengan suasana muram yang Ratimeria ciptakan.

Kelopak mata gadis itu berkedip pelan. Beberapa saat, dia tetap diam sampai akhirnya menelengkan kepala untuk menatap Fellon.

“Deskripsikan aku..,” katanya.

“Hah?”

“You heard me..” Ratimeria menuangkan lagi teh ke cangkirnya. “Apa pun.. Aku akan mendengarnya baik-baik..”

Fellon menggigiti bibir bawah sementara dahi laki-laki itu terlipat. Apa yang sedang gadis aneh itu pikirkan? Apakah suasana hatinya sedang bagus, atau justru sebaliknya? Fellon tidak akan pernah mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan itu, jadi memang satu-satunya pilihan adalah supaya dia menurut.

“Kau seperti lintah,” kata-kata itu langsung meluber keluar dari mulut Fellon yang amat jujur.

“Kenapa?” tanya Ratimeria.

“Mm…” Fellon mengerucutkan bibir. “Ini tidak seperti kau suka menghisap darah dari korbanmu. Kau lebih sering hanya menempel. Ah, tidak. Lebih dari itu, kau suka merantai orang.”

“Apa itu perbuatan jahat?” Gadis itu bertanya lagi—kali ini dengan pandangan yang mengambang.

“Tentu saja!” balas Fellon tanpa ragu. “Remaja harusnya bertingkah dan bermain seperti yang seharusnya. Bukan sibuk mencampuri urusan orang lain.”

“Lalu.. kenapa kau masih mau tinggal bersama dengan seorang penjahat?”

Fellon tertegun mendengar pertanyaan terakhir. Dia mengernyit ke arah Ratimeria, namun gadis itu masih memalingkan wajahnya ke arah lain.

Apa Fellon telah salah berucap? Mungkinkah suasana gadis itu sedang buruk? Tetap saja. Ratimeria tahu benar bagaimana watak Fellon. Bagaimana mungkin dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti tadi?

“Apa ada sesuatu terjadi?” tanya Fellon setelah air mukanya berubah serius. Gadis rapuh itu… Dia membatin. Apa yang lagi-lagi dia perbuat?

“Aku..,” ucap Ratimeria pelan—mulanya menggantung. “Seharusnya sudah mati tujuh tahun yang lalu..”

Fellon mengerutkan kening. Gadis itu sedang mengigau? Lagi?

“Aku juga.. seharusnya mengikuti mama.. empat tahun yang lalu..”

Tunggu sebentar, batin Fellon yang mendadak gelisah. Kenapa nada suara Ratimeria seperti orang yang tercekat? Kenapa dia terbata-bata mengucapkan kalimatnya?

Sebelum Fellon menerka lebih jauh, tubuh gadis itu mendadak gemetaran syok. Badannya oleng ke samping—nyaris jatuh kalau saja Fellon tidak sigap menahan lengannya. Suara napasnya mulai tidak beraturan, seperti tersumbat sesuatu. Sekali melihat, Fellon pun tahu apabila Ratimeria sudah mulai kehilangan kesadaran meski sepasang matanya masih terbuka.

Racun?

Fellon langsung mengecek cangkir dan teko di atas meja menggunakan tangan kanannya, sementara tangan yang lain mendekap tubuh Ratimeria. Fellon juga membuka tutup botol kecil yang tadinya dia kira gula cair. Laki-laki itu menghirupnya seketika dan seketika, matanya berkilat marah.

Sari nanas.

“Apa yang kau lakukan?” gumam Fellon murka. “APA YANG AKAN KAU LAKUKAN KALAU AKU TIDAK KE SINI?! KAU—GADIS BRENGSEK!!”

Teriakan Fellon langsung mengundang perhatian orang lain yang juga ada dekat rumah itu. Mereka pun melihat bagaimana Fellon menggendong tubuh Ratimeria masuk ke dalam kediaman tersebut. Ketika disadarinya tidak ada napas keluar dari hidung gadis itu, Fellon meletakkannya pelan ke lantai sementara para maid dan penjaga berkerumun panik.

“PANGGIL DOKTER! CEPAT!!”

Fellon sedikit meninggikan dagu Ratimeria dan detik selanjutnya bibir mereka berdua bertemu.


Aku takkan memaafkanmu jika kau pergi meninggalkanku! Matipun kau tak boleh pergi dari sisiku! Kalau kau ingin mati, aku sendiri yang akan membunuhmu. Tapi tidak kali ini.
Tidak ketika aku membutuhkanmu di sisiku.

Welcome to Disaster Maker Club Sidestory: Calathea Zebrina

Sabtu, 06 Agustus 2016



Calathea zebrina.

Shin tidak pernah bosan memandangi permukaan daunnya yang indah, apalagi setelah telaten mengelapnya setiap sore. Hanya ada satu jenis calathea di kebunnya yang berukuran kecil dan ditanam dalam sebuah pot tanah liat. Belum lama menjadi salah satu koleksinya, Shin rupanya tidak sabar melihat tanaman itu berbunga. Sayangnya, beberapa kali dicoba pun, kekuatannya tidak berhasil membuat calathea berbunga. Keruh, gadis itu menyadari kalau berhasil tidaknya kemampuan yang dia gunakan bergantung pada suasana hatinya sendiri.

Bunga yang cantik tidak akan sudi mekar untuk seseorang yang berpikiran suram seperti Shin saat ini.

Gadis itu mendesah, lantas beranjak meninggalkan kebunnya. Dia melepaskan sarung tangan yang melekat menggunakan gigi. Ketika kemudian Shin mulai membuka ikatan celemeknya, mata gadis itu melebar melihat seseorang yang tidak dia duga.

“Aku tidak melihat siapa pun di dalam. Kupikir aku akan menemukanmu di taman belakang,” kata Mr. Elios.

Shin tidak membiarkan pandangannya terpaku lama pada iris mata biru laut yang laki-laki itu miliki. Kecanggungan dan enggan lagi-lagi menguasainya. Shin pikir ini bukan saat yang tepat untuk bicara pada Mr. Elios, meskipun hatinya mengatakan sebaliknya. Dia tidak mungkin mengusir gurunya dari asrama. Karenanya walau tidak bisa bersikap hangat seperti biasa, Shin merasa bisa berpura-pura jadi seorang murid yang santun.

“Saya akan buatkan teh,” kata Shin akhirnya setelah melepaskan celemek.

“Tidak.” Mr. Elios menolak. “Kau akan menemaniku dalam kebunmu.”

Bahkan sebelum Shin sempat memprotes, Mr. Elios lebih dulu menyingkir dari pandangannya, melangkah menghampiri kebun. Shin mengerjap. Gadis itu membalikkan badan memandang sosok belakang gurunya yang berbalut coat biru gelap dengan kerah yang sampai menutup dagunya. Saat laki-laki itu melewati Shin, aroma sitrus tercium. Bukan dari parfum, melainkan dari sampo. Shin menyadari kalau rambut laki-laki itu masih setengah basah. Mungkin itu sebabnya Mr. Elios terlihat agak kedinginan.

Sempat ragu, Shin akhirnya menyusul laki-laki itu ke kebun kaca miliknya. Sebelum masuk, mata Shin tidak bisa lepas dari sosoknya yang duduk di atas kursi kayu yang biasa gadis itu duduki. Perlahan-lahan Shin mendekat. Mr. Elios bergeming. Di wajahnya yang putih merona itu, sepasang kelopak matanya menutup.

“Guru baik-baik saja?” tanya Shin namun Mr. Elios tidak membalas. “Tawaran saya untuk membuatkan teh hangat tadi masih berlaku.”

Bidadari itu perlahan membuka matanya.

“Kita harus bicara,” katanya.

“Saya belum merasa perlu.”

Gawat, Shin membatin. Sejak kapan dia jadi gugup begini? Air menggenang di pelupuk matanya. Kalau dia tidak cepat-cepat pergi…

Shin hampir saja berlari. Namun mendadak saja tubuhnya mematung. Sesuatu seolah menahannya untuk tidak pergi. Posisinya saat ini tengah membelakangi Mr. Elios dan Shin tidak bisa melihat apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Kemudian pelan-pelan sehelai kain sutra biru melilit pinggangnya. Shin kaget. Sebelum dia berusaha melepaskan diri, salah satu atribut pakaian bidadari yang menyimpan kekuatan sihir itu telah lebih dulu membuat tubuhnya melayang kembali ke tempat Mr. Elios berada.

Kaki Shin berpijak di atas tanah, dan saat itulah orang itu memeluknya dari belakang.

Hangat..

Shin tidak bisa lagi mencegahnya. Setitik air matanya jatuh membasahi pipi. Dia langsung luluh berada dalam pelukan laki-laki itu, menyentuh tangan yang melingkar di pundaknya, serta merasakan napasnya.

“Aku masih tidak menemukan alasan sebenarnya kenapa kau menjauhiku,” kata Mr. Elios pelan. “Aku sudah cukup mengenalmu sehingga aku yakin ini tidak ada hubungannya dengan pembelaanku untuk Agana saat itu.”

Gadis itu tertegun. Ketika pelukan Mr. Elios longgar, gadis itu berbalik menatapnya.

“Guru tahu?”

“Agatha tidak akan pernah tersenyum lembut seperti itu,” ujar Mr. Elios sembari menyisir anak-anak rambut di telinga Shin menggunakan tangannya. Alisnya agak berkerut tatkala melihat melihat gadis itu kembali berwajah keruh. “Kau tidak pernah bercerita tentang sebab kau tidak menyukai Agana.”

“Lepaskan aku.” Shin menuntut. Dia membuang muka begitu mengingat kembali hal yang membuatnya kesal.

Nyatanya bidadari laki-laki itu tidak berniat melepaskannya. Lengannya bahkan lebih erat memeluk sehingga Shin nyaris tidak bisa bergerak.

When you trust someone and get to know them, you eventually learn about their wounds too…,” bisik Mr. Elios. Dia menenggelamkan wajahnya dalam helaian rambut hitam legam Shin. “Aku tidak mengatakan ini sebagai gurumu. Aku mengatakannya sebagai orang yang peduli padamu.”

Air mata Shin mengalir lagi. Dia pun balas memelus Mr. Elios.

“Aku takut kau meninggalkanku..,” gumamnya. “Kau tidak tahu apa yang telah kulakukan supaya tidak ditinggalkan.”

“Aku takkan meninggalkanmu selama kau tidak melepaskan tanganku.”

Dekapan mereka mengerat. Di saat Shin terlalu sibuk membenamkan wajah yang merona dan basah akibat air mata, bunga-bunga dalam kebunnya bermekaran. Mr. Elios mengangkat wajahnya saat dia masih memeluk Shin. Pandangannya mengedar ke sekeliling dan dia tersenyum.

Satu-satunya tanaman di atas meja—calathea zebrine, memunculkan bunga ungu.