Bukan
berarti aku tidak mempedulikannya, aku hanya tidak terlalu memikirkan.
Memangnya
siapa yang tidak pernah berpikir tentang kematian? Ada apa di sana? Kalau
ditanya, mereka akan memberimu dua pilihan: surga atau neraka. Seperti apa
surga? Tempatnya di atas langit, tempat di mana para bidadari tinggal. Tidak ada
kekhawatiran, semua beban terlepas, jiwamu akan tenang di sana, dan keinginan baik
penghuninya akan terwujud. Sedangkan neraka merupakan tempat yang bernilai
sebaliknya. Derita penghuni-penghuni di sana tidak akan ada habisnya.
Apa
aku percaya, tanyamu? Tentu. Tapi dengan caraku sendiri.
Aku
yakin Tuhan adalah guru yang terbaik. Dia yang sepenuhnya kupercayai di saat
aku justru tidak percaya diri sendiri. Aku pun percaya jika diibaratkan seorang
guru manusia, Dia tidak sebatas membuat lembar demi lembar ketentuan, yang
barangsiapa patuh akan diizinkan duduk di pangkuanNya serta diberikan dongeng
pengantar tidur, sedang yang melanggarnya akan dikunci sendirian di dalam ruang
sempit yang pengap dan kotor.
Mengapa
Dia memberikan manusia akal budi untuk berpikir yang seringkali membuat mereka
keluar dari zona aman, di saat kebaikan menurut orang-orang saat ini adalah
seumpama boneka yang manis dan patuh—tidak berbuat jahat juga tidak ingin ikut
campur dalam masalah seperti apa pun? Bukankah akan lebih mudah menciptakan
anjing dan kucing yang penurut untuk menjaga kebaikan semacam itu?
Ya,
hidup ini singkat—mungkin hanya berlaku bagi mereka yang menikmatinya. Dan untuk
apa napas kehidupan itu? Untuk selalu mengingatkanmu akan kematian kemudian
mengekangmu supaya mengenyahkan begitu saja kesempatan-kesempatan yang hanya
datang saat kau hidup?
Aku
salah satu orang yang percaya kalau semua manusia di dunia ini membawa kebaikan
dalam diri masing-masing. Aku tidak peduli beberapa dari mereka mengatakan
baik-jahat seseorang tergantung dari lingkungan pergaulan masing-masing. Toh
kupikir, semua itu kembali pada sifat individu masing-masing. Terserah dia mau
menjadi pribadi seperti apa.
Mengapa
aku tidak terlalu memikirkan surga atau neraka? Kau bilang aku hanya orang yang
tidak religius. Memang. Namun ada sisi di mana aku masih memegang kuat
keyakinanku.
Seperti
apa aku memperlakukan orang lain, adalah apa yang kuharapkan orang lain itu
lakukan padaku. Meski yang kuterima seringkali sebaliknya J Tapi aku tidak pernah menyalahkan siapa pun. Sesuatu
yang salah selalu berasal dari diriku sendiri. Aku selalu bertanya-tanya
mengapa mudah sekali mengharapkan hal yang “lebih” dari orang lain. I gave them my love, and then they gave me
bland greeting…
Apakah
jahat menginginkan seseorang punya keyakinan bahwa “aku hidup untukmu”?
Sebegitu mudah jugakan mengelompokkan seseorang untuk memasukkan mereka ke
dalam surga atau neraka? Manakah yang lebih berkesan: seseorang yang punya
pribadi baik, memperlakukan orang lain dengan baik juga, atau seseorang yang
berbuat baik namun tidak tahu kalau yang diperbuatnya adalah kebaikan? Aku pilih
yang kedua…….
Hidupku
tidak akan kuhabiskan hanya untuk mengharapkan upah. Mengapa kau berbuat baik? Supaya
masuk surga? Mungkin, tapi bukan itu alasan utamanya. Kenapa berbuat baik? Karena
itu sifat alamiah kita yang membedakan kita dari makhluk lain. Sebab aku adalah
kau, dan kau adalah aku. Aku menyayangimu seperti menyayangi diri sendiri.
So why don’t you take off the bridle and held my hand to
see the world?