A Cup of White Tea in the Morning: It was not smile, she said, it was tears

Senin, 01 Juni 2015



Aroma teh tawar menguar begitu dituang dari teh ke sebuah cangkir porselen putih yang memantulkan sinar matahari pagi. Menatap wajahnya pada permukaan teh sejenak, dia lalu mengambil honey dipper yang juga berada di meja yang sama, mencelupkannya ke wadah kecil berisi madu kental, lalu meneteskan cairan itu ke dalam teh. Tidak lupa untuk sentuhan terakhir, dia memberikan sedikit perasan lemon dari salah satu potongan kecilnya.

Tepat saat gadis itu meminum tehnya, seseorang terlempar dari jendela di lantai dua dan terjun langsung ke halaman taman. Punggungnya menghantam dinding pagar dan dia sempat terguling dua kali sebelum akhirnya menyenggol pot amarilis hingga jatuh dan pecah berkeping-keping.

Gadis itu tidak terkejut. Dia meletakkan kembali cangkir tehnya ke atas meja kemudian memandang tenang laki-laki yang berada tidak jauh darinya.

Orang itu susah payah berdiri. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Baik wajah dan tangannya yang terlihat penuh guratan memerah—namun tidak ada darah. Dia menyeka bagian pelipisnya lalu balik memandang gadis tadi. Napasnya terengah-engah namun rupanya dia masih terkesan tenang—hanya saja dengan sorot mata kesal.

“Hei, bocah!!” seru seseorang dari lantai dua. Pemilik suara itu adalah seorang pria berbadan kekar serta berkepala gundul, tapi dengan janggut yang panjang. “Ringnya di sini! Belum-belum mau mandi?”

Sontak beberapa orang yang juga ada di lantai dua tertawa terbahak-bahak. Si Gadis tersenyum samar. Laki-laki itupun sama tapi bernada mencibir. Persis di sebelahnya waktu jatuh tadi ada sebuah kolam yang lumayan lebar—penuh dengan ikan koi.

“Carilah minum, bocah! Kita bisa mulai lagi nanti!” kata pria tadi lalu kembali tertawa.

Setelah pria itu pergi, laki-laki tadi berjalan mendekat pada gadis manekin yang sedang duduk di kursi putih, menghadap meja kecil yang tinggi berukiran mawar. Sinar matahari tidak terlalu terik namun dia berada di bawah naungan payung yang besar. Seperti biasa dia memakai gaun putih selutut berenda. Rona kulit pucatnya selalu memberi kesan gadis itu selalu kurang sehat.

“Itu lucu?” Laki-laki itu menggumam sebal lalu mengambil duduk persis di depan si Gadis.

“Setidaknya ada kemajuan kan?” Ratimeria—si Gadis manekin itu menanggapi.

“Kemajuan dari mananya?”

“Jimmy bilang kemarin pagi kau dilemparnya keluar tiga kali. Sekarang ketika aku di sini, dia hanya bisa melemparmu satu kali sampai latihanmu pagi ini berakhir.”

“Jadi kau akan memujiku sekarang?” Fellon—laki-laki jangkung dengan rupa mempesona itu menyilangkan tangan.

“Sejenis itu,” jawab Ratimeria.

Fellon tertawa. “Biasanya kau cuma memberikan kritik pedas.”

“Aku mungkin kasar, tapi aku tak pernah berbohong,” ujar gadis itu lalu menyesap kembali tehnya.

Beberapa saat mereka saling diam dengan pikirannya masing-masing. Fellon mengambil handuk yang tersampir di sandaran kursi tempatnya duduk lalu menyeka keringat di lehernya.
 
So why are you here?” Dia bertanya. “Beberapa waktu yang lalu kudengar kau menabrak seorang gadis sampai koma.”

Gadis itu diam. Sejenak Fellon sempat bertanya-tanya apakah ucapannya tadi menyinggung Ratimeria. Tapi biarpun penasaran Fellon takkan pernah bisa mengetahuinya kecuali gadis itu menjelaskan secara langsung apa yang ada dalam pikirannya. Ratimeria bagaikan seseorang yang berada di balik cermin. Ketika orang lain berupaya menebak apa yang dirasakan gadis itu, dia justru larut dalam pantulan pertanyaannya sendiri.

“Dia masih hidup. Jangan khawatir,” kata Ratimeria akhirnya. “Aku hanya sedang menikmati liburanku.”

“Bukannya kau selalu berlibur?”

“Tepatnya aku terbang ke mana-mana.” Ia mengkoreksi.

Fellon mengangguk-angguk menurut. Dia tahu tidak ada gunanya mendebat gadis itu. Lagipula siapa yang paham pada pola pikir seorang gadis remaja milyarder tujuh belas tahun yang penuh dengan hal-hal yang amat sedikit orang lain ketahui? Bahkan sejauh tiga tahun Fellon mengenalnya, segala tentang gadis itu masih nampak terselimuti kabut abu-abu. Dan satu hal: pola pikirnya sama sekali tidak cocok untuk remaja seumurannya, demi Tuhan!

“Aku mau mandi dulu,” kata Fellon lalu bangkit berdiri.

Ratimeria mengangguk. “Bersiaplah.”

“Hah?”

“Temani aku jalan-jalan.”

***

Anjing bulldog berbadan besar—tingginya kira-kira selutut Fellon yang jangkung tampak senang sekali membuat penuntunnya melangkah miring ke kanan dan ke kiri bergantian meskipun  jalan yang mereka telusuri lurus dan rata tanpa hambatan. Fellon berulang kali mendecap karena seharusnya hari itu dia ada janji dengan gadis blasteran Jerman yang amat cantik dengan mata hijaunya, namun Ratimeria dengan satu kata saja membuatnya tidak bisa membantah. Lagipula tadinya dia berpikir kalau makna jalan-jalan yang gadis itu katakan adalah dengan berbelanja seperti yang biasa mereka lakukan, namun ternyata dia sungguh-sungguh ingin jalan-jalan. Sejauh ini mereka terus berjalan sampai di atas jembatan lalu Ratimeria berhenti sejenak untuk membeli es krim pisang—itupun Fellon yang membelikannya tanpa melepaskan tali leher Clarky—nama anjing bulldog itu.

Sekarang setelah hampir satu setengah jam berjalan tanpa henti, barulah gadis itu memutuskan duduk di bangku panjang pinggir jalan dan melepaskan sandal kayunya.

“Jadi apa yang biasanya kau lakukan di tempat lain tiap harinya,” tanya Fellon asal-asalan karena Ratimeria lebih banyak diam.

“Meracik teh dan mengawasi ‘anak asuh’ku.”

Felon tersenyum sekilas. Gadis itu menyebutnya dengan ringan seolah itu hal yang wajar: mengulurkan tangan kanannya pada siapa pun yang dia sukai dan memberikan apa pun yang orang itu butuhkan walaupun ujung-ujungnya dia memasangkan rantai yang akan berlaku selamanya—persis seperti perlakuan mereka sekarang pada Clarky. Kasarnya, Fellon menyadari kalau dirinya adalah salah satu dari “anak asuh” itu.

Fellon tahu hal itu terdengar buruk. Namun sejauh dia mengenalnya, Ratimeria bukan ular yang melilit diam-diam. Hubungan mereka lebih condong dalam lingkup paternalisme. Masing-masing menjaga satu sama lain meski seringkali gadis itu hanya memanfaatkan mereka.

“Kau yakin sedang berlibur di sini?”

“Apa yang membuatmu berpikir aku tidak sedang berlibur?”

“Karena orang yang sedang berlibur tidak akan duduk seharian menatap ke satu arah seperti yang sedang kau lakukan.”

Gadis itu tersenyum tipis.

Fellon mengerutkan kening. Sepertinya dugaannya benar.

“Akan kutunjukkan sesuatu yang menarik,” kata Ratimeria kemudian sembari menatap Fellon. “Karena hari ini telah kukabulkan permintaan seseorang..”

***

Mereka mendatangi sebuah rumah dengan tembok batu-bata merah yang dihimpit oleh dua gedung yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri. Fellon bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan gadis itu di sana ketika tidak lama setelah Ratimeria mengetuk pintunya, seorang wanita bertubuh kurus serta berambut merah panjang menyambut mereka ramah. Senyumnya berseri-seri namun Fellon merasakan ada yang aneh dengan senyum wanita itu.

“Kau datang di saat yang tepat,” kata wanita itu sambil merapikan anak-anak rambutnya ke belakang telinga. Fellon sempat bersalaman dengannya dan wanita itu menyebutkan namanya: Helena.

“Kau baik-baik saja?” tanya Ratimeria meskipun dia tidak benar-benar berniat bertanya. Fellon yakin, Ratimeria bisa mengartikan semua hal yang tergambar di wajah Helena.

Wanita itu tersenyum berbinar meskipun keadaan yang sebenarnya berbanding terbalik.

“Tadi malam…” Helena berkata. “Akhirnya dia mengancam akan membunuhku.”

Sontak Fellon terbelalak. Dia memperhatikan Ratimeria dan Helena bergantian namun mereka nampak tenang seolah kalimat tadi bukan perkara besar.

“Aku harap dia datang secepatnya… karena aku tidak sabar lagi menunggu,” tambah Helena yang kembali tersenyum.

Ratimeria diam membisu. Gadis itupun membiarkan Helena berbicara hal-hal yang sama sekali tidak Fellon mengerti. Wanita itu bilang kalau dia akan dibunuh, namun raut wajahnya begitu bahagia seolah-olah kematian adalah satu-satunya pilihan terbaiknya kini.

Wanita itu gila.

“Aku sudah menyiapkan semuanya.” Helena mengambil sekeping CD yang dia taruh dekat televisi di sana. “Anakku.. pasti akan sangat gembira.” Perlahan dia menyerahkan wadah kepingan CD itu pada Ratimeria. “Kurasa kita tidak akan bertemu lagi.. tapi ketahuilah, aku benar-benar sangat berterimakasih padamu…”

Lalu setitik air matanya menetes.

Sampai Fellon mengantar Ratimeria pulang ke manor house tempatnya tinggal, sedikitpun Fellon tidak melupakan ekspresi penuh arti yang Helena pancarkan pada mereka. Ingatan itu masih melekat kuat hingga Fellon mendengar berita kalau wanita itu tewas tertembak tepat di bagian jantungnya.

***

Bell pintu utama manor house bernuansa cokelat gelap dipencet berkali-kali oleh tamu tak diundang yang tergesa-gesa datang. Seorang maid membukakan pintu untuknya dan terkejut mendapati Fellon langsung melontarkan pertanyaan tepat sebelum sang Maid mengucapkan salam.

“Di mana dia?”

“Ah… Nona? Beliau pergi sekitar satu jam yang lalu..”

“Ke mana?”

“Saya tidak tahu. Tapi tadi Nona berpesan supaya Tuan menunggunya di halaman samping.”

“Apa?” Fellon mengernyit. Gadis itu sudah menduga kalau dia akan mendatanginya?

“Nona akan segera pulang. Silakan tunggu. Teh putihnya akan siap sebentar lagi.”

***

Fellon mengetuk-ngetukkan ujung jarinya berulang kali ke meja kayu karena tidak sabar menunggu Ratimeria muncul. Untunglah dia hanya perlu menunggu selama delapan menit sampai akhirnya gadis itu menghampirinya—lengkap dengan topi rajut putih dan sarung tangan transparan yang belum sempat dia lepaskan.

Ratimeria duduk lalu menyesap teh putihnya sebentar sebelum membalas tatapan Fellon yang tidak sabar.

“Apa yang terjadi? Kenapa Helena—…”

“Ah.” Ratimeria memotong. “Mengapa terkejut? Bukankah kemarin dia sudah memberitahu tentang apa yang terjadi hari ini?”

“Hentikan berbelit-belitnya! Bicaralah dengan sesuatu yang bisa aku mengerti! Kegilaan macam apa ini?!”

Ratimeria diam. Cangkir yang ada di tangannya dia letakkan kembali ke alas asalnya. Tenang, gadis itu menatap Fellon. Tatapan yang sama dengan yang dia berikan tiga tahun silam ketika Fellon dipungutnya dari gedung yang dipenuhi jeruji besi meskipun laki-laki itu tidak bersalah dengan tuduhan-tuduhan yang diarahkan padanya.

Umurnya masih empat belas tahun kala itu. Dia datang menyambut bebasnya Fellon didampingi seorang pria yang menggenggam tangannya.

“Helena pernah menjadi pengajar pribadiku,” papar Ratimeria beberapa saat kemudian. Matanya menerawang. “Dia wanita yang tegar. Tapi tidak setelah putranya terbunuh hanya gara-gara peluru salah sasaran.”

Fellon tertegun—masih belum mengerti.

“Ketika berumur dua puluh tahun, dia diserang seorang pria. Tidak hanya barang-barang berharga dirinya dirampas, Helena juga diperkosa. Dia pun depresi berat dan menghabiskan beberapa waktu yang dia punya di rumah sakit jiwa. Tapi tidak lama kemudian, dia mengetahui kalau dalam rahimnya terdapat janin. Meskipun ingat kejadian yang telah dia alami, dia tidak bisa membunuh anak itu. Dunianya berubah setelah dia memiliki seorang putra. Dia menamainya Rachie.

“Suatu hari… Helena mengajak Rachie berbelanja. Helena naik sepeda, sementara Rachie membonceng di belakangnya. Mereka menyusuri jalan ketika tiba-tiba terdengar suara letusan yang amat dekat. Helena menghentikan laju sepedanya tepat setelah tubuh Rachie terjatuh ke belakang. Leher Rachie tertembak dan dia tidak selamat.”

“Penembak itu…” Fellon tanpa sadar menyambung.

“Seorang polisi yang sedang mengejar buronan,” jawab Ratimeria pendek. “Meninggalnya Rachie seperti itu.. menumbuhkan dendam dalam hati Helena. Dia mengatakan padaku, apa pun resikonya akan dia terima supaya dendamnya terbalas. Sebab bunga mana yang akan hidup apabila tak ada matahari?” Ratimeria tersenyum tipis. “Kemudian.. aku memutuskan untuk membantunya.”

“Tunggu sebentar!” sela Fellon. “Kau bilang Helena dendam pada polisi itu. Tapi kenapa Helena yang terbunuh?”

Ratimeria tertawa kecil sebelum menjawab, “Some people come in your life as blessings, others come in your life as lessons.. Namun Helena tidak memilih salah satunya. Dia mengambil keduanya…”

Fellon mengernyit bingung. Terlalu banyak teka-teki.

“Dia bukan polisi yang handal,” kata Ratimeria memberitahu. “Meski begitu dia sangat mencintai istri dan putra mereka satu-satunya.”

“Helena membunuh putranya?” tebak Fellon.

Kali ini Ratimeria tertawa keras namun singkat.

“Anak itu punya tumor di kepalanya.” Dia berkata. “Helena mendekati istri polisi itu lalu meyakinkannya kalau dia ingin menolong anak itu. Jadilah, Helena mengatur supaya mereka pergi tanpa memberitahu sang Polisi, karena itulah syarat yang Helena ajukan, dengan alasan kalau dia ingin memberikan kejutan istimewa pada polisi itu: Yang mana ketika mereka kembali nanti, anak itu telah sembuh total.”

Mendadak sekujur tubuh Fellon mendingin. Ratimeria diam menatapnya penuh arti karena tahu Fellon perlahan-lahan mengetahui seperti apa lanjutan ceritanya.

“Helena berbohong…,” gumam Fellon. “Polisi itu mengira istri dan anaknya diculik.. dia kemudian mengancam Helena.. dan membunuhnya..”

“Tidak lama setelah membunuh Helena karena kalap, dia langsung ditangkap.” Ratimeria menopang dagu. “Aku mengabulkan permintaan Helena kemarin.. aku perlihatkan isi video itu padanya.”

“Kalian bersekongkol,” simpul Fellon yang mulai terpancing emosi.

“Akulah yang membiayai semua pengobatan anak itu.” Ratimeria mengangguk.

“Memangnya kau siapa? Iblis bersayap malaikat?” sindir Fellon sinis. Laki-laki itu bahkan mulai merasakan kepalanya berdenyut.

Ratimeria terdiam. Dia memperhatikan seksama ekspresi Fellon yang kemungkinan jengah mendengar perbuatannya kali ini. Ratimeria selalu tahu apa yang orang-orang pikirkan tentangnya entah di saat mereka mengenalnya atau tidak sama sekali. Hanya saja berulang kali batinnya tidak pernah berhenti membatin pertanyaan mengapa.

Segala hal yang dia lakukan tidak luput dari konsekuensi yang harus dia terima. Dia terbiasa mendapatkan upah yang pahit, bahkan paling buruk sekalipun. Tidak ada orang yang ingin memanen buah yang telah busuk—dia tahu. Tapi entah kenapa setiap dia menabur benih serta berharap hasil yang terbaik, tidak semua orang mengerti maksud dia sesungguhnya. Fellon pun bagian dari mereka.

Apakah yang dia harapkan terlalu tinggi? Ratimeria bertanya-tanya.

Sesaat, angin berhembus menerpa mereka dan tak sengaja topi Ratimeria melayang lalu terjatuh ke atas tanaman mawar yang berduri banyak. Gadis itu pun menatap kosong ke depan seolah rohnya mengambang entah di mana.

Karena Fellon tidak lagi mengucapkan apa pun, Ratimeria perlahan-lahan berdiri dan mendekatinya dalam hening. Tahu-tahu ketika Fellon berhasil menarik kesadarannya kembali dari jalinan pemikirannya yang runyam, dia melihat gadis itu duduk di atas meja menghadapnya dan menangkupkan kedua tangannya yang masih terbungkus kain renda putih ke wajah Fellon. Mata laki-laki itu melebar karena terkejut. Dia ingin menyentakkan Ratimeria karena wajah mereka berdua begitu dekat hingga nyaris tidak ada jarak, namun mulutnya seperti tersumbat sesuatu.

Mata mereka saling beradu. Saking dekatnya, Fellon juga merasakan aroma mawar yang samar dari setiap hembusan napas Ratimeria. Irisnya cokelat gelap yang teduh juga gelap. Fellon takkan tahu seberapa jauh kedalaman batin yang tersembunyi di dalamnya.

Don’t judge my choices without understanding my reasons…” Dia berbisik. Kelopak matanya berkedut memperlihatkan semburat kesedihan. “Is it hurt you, after heard one of my stories? Then never forget what it taught you… It’s not crimes committed by evil people who makes the best revenge, but crimes committed by a good person in a good way…” Ratimeria membisikkan sesuatu lagi namun dalam nada yang lebih pelan sampai-sampai Fellon butuh waktu lebih untuk mencernanya.

Dan setelah mengatakannya, gadis itu menarik diri membiarkan Fellon membatu pada tempatnya. Sementara teh putih yang terhidang telah menjadi dingin, dia menyadari Ratimeria sengaja meninggalkan sekeping wadah CD Helena di sana.

***

Awal ketika video itu diputar, muncul wajah seorang wanita berona pucat namun tetap tersenyum cerah malu-malu saat menghidupkan camrecorder untuk merekam dirinya sendiri dan seorang anak laki-laki di sampingnya yang terus mengerjap polos. Beberapa detik wanita itu mencoba merapikan rambut ikalnya baru kemudian mulai bicara.

“Hai, Sayang… Maaf, aku baru menghubungimu sekarang… Helena melarangku menghubungimu karena takut aku akan merusak kejutan yang sedang aku dan Rick persiapkan.. Tapi karena sekarang keadaan Rick sudah membaik jadi, kami pikir ini saat yang tepat.”

Wanita itu tersenyum lebar menyembunyikan tangis yang pelan-pelan menyeruak.

“Putra kita sembuh sayang,” katanya dengan begitu bahagia. “Helena benar-benar penolong untuk keluarga kita.. dia tahu dokter terbaik untuk Rick dan bersedia membantu membiayai pengobatannya.. Rick sembuh, Sayang.”

Gemetaran, Fellon membekap mulutnya sendiri.

“Papa,” kali ini anak itu yang berkata. “Maukah mengajakku ke taman bermain saat aku pulang? Ajak juga Mrs. Helena. Dia baik sekali selalu membawakan mainan selama aku di sini.”

“Intinya.. maaf telah membuatmu cemas,” tambah ibu Rick yang sekarang tampak menangis—tangisan membendung kebahagiannya. “Rencananya kami akan pulang minggu depan.. tunggulah kami. Kami sangat mencintaimu..”

Beberapa detik mereka diam dan saling tersenyum. Kemudian tidak lama, video itu berhenti.

Fellon terpaku. Perasaannya membuncah, tapi dia larut dalam kesunyian panjang memikirkan keluarga yang masih utuh itu.

Kebahagiaan dengan dasar luka.

Samar-samar, Fellon berhasil mencerna kata-kata terakhir Ratimeria yang diberikannya hari ini.


“Don’t hate or love too much… because that ‘too much’ can hurt you so much…”


Senyum miris tersungging di wajah Fellon.

Benar-benar…, pikirnya. Mungkin hal seperti inilah yang membuatnya sampai jatuh hati pada sang Gadis Manekin.

7 komentar:

i'm alone mengatakan...

polisinya ditangkap, anaknya sembuh, tapi Helena mati, gitu? :v

Unknown mengatakan...

Gini-gini loh... duh...
Coba kamu posisikan diri sebagai polisinya deh.
Suatu hari kamu nggak sengaja nembak seekor kucing yang lagi jalan2 sama majikannya, trus si kucing mati. karena sang majikan tidak mengambil tindakan apa2, kamupun lupa.
Beberapa waktu kemudian ayahmu sakit keras. kamu dan ibumu sedih gara2 itu. tanpa sepengetahuan kamu, seseorang nawarin bantuan ke ibumu untuk membiayai pengobatan ayah kamu. syaratnya kira2 sama dengan yang diajuin Helena. Kamu yang nggak tahu apa2 lalu panik karena ibu dan ayahmu menghilang tanpa ada kabar. Lalu datanglah orang tadi--yang sebenarnya udah nolongin ayahmu dengan membawanya keluar negeri untuk berobat--bilang kalau dia telah menculik ayah dan ibu kamu (alasannya karena ia masih dendam karena kamu dulu telah bunuh kucing kesayangannya). Kamu marah nggak sih? Apalagi, kamu khawatir dengan keselamatan ayah ibumu sendiri. Karena merasa terus2an ditekan, kamu bisa aja kalap, dan ujung2nya malah membunuh orang tadi.

You know, Dear... orang tadi tidak membalas dendam dengan cara nyawa dibalas nyawa... sekali lagi posisikan dirimu sebagai sang Polisi. Bagaimana kira2 perasaannya setelah dia tahu kalau dia telah membunuh penolong keluarganya? Ini serangan psikis yang jauh lebih kejam dari pembunuhan.

i'm alone mengatakan...

hmm... aku nggak ngerti sih perasaan kayak gitu, makanya agak bingung..
nangkep sih sebenernya, cuma ragu aja.. apa bener kalo tau udah ngebunuh penolong keluarga sendiri itu sakitnya lebih hebat apa gimana

i'm alone mengatakan...

tapi seriously walaupun agak nggak ngerti, you're best as always

Unknown mengatakan...

luka psikisnya ada dua: karena dia telah nggak sengaja bunuh putra Helena, dan yang kedua dia telah membunuh Helena sendiri yang sudah nyelamatin putranya :3

Thanks for the compliment #blushing

i'm alone mengatakan...

tapi nggak diceritain kalo polisinya tau bahwa pelurunya salah sasaran :v

Unknown mengatakan...

karena sudut pandang ceritaku bukan dari polisinya :v Tokoh utamanya si Fellon kan cuma pengamat