Aroma
teh tawar menguar begitu dituang dari teh ke sebuah cangkir porselen putih yang
memantulkan sinar matahari pagi. Menatap wajahnya pada permukaan teh sejenak,
dia lalu mengambil honey dipper yang
juga berada di meja yang sama, mencelupkannya ke wadah kecil berisi madu
kental, lalu meneteskan cairan itu ke dalam teh. Tidak lupa untuk sentuhan
terakhir, dia memberikan sedikit perasan lemon dari salah satu potongan
kecilnya.
Tepat
saat gadis itu meminum tehnya, seseorang terlempar dari jendela di lantai dua
dan terjun langsung ke halaman taman. Punggungnya menghantam dinding pagar dan
dia sempat terguling dua kali sebelum akhirnya menyenggol pot amarilis hingga
jatuh dan pecah berkeping-keping.
Gadis
itu tidak terkejut. Dia meletakkan kembali cangkir tehnya ke atas meja kemudian
memandang tenang laki-laki yang berada tidak jauh darinya.
Orang
itu susah payah berdiri. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Baik wajah dan
tangannya yang terlihat penuh guratan memerah—namun tidak ada darah. Dia
menyeka bagian pelipisnya lalu balik memandang gadis tadi. Napasnya
terengah-engah namun rupanya dia masih terkesan tenang—hanya saja dengan sorot
mata kesal.
“Hei,
bocah!!” seru seseorang dari lantai dua. Pemilik suara itu adalah seorang pria
berbadan kekar serta berkepala gundul, tapi dengan janggut yang panjang.
“Ringnya di sini! Belum-belum mau mandi?”
Sontak
beberapa orang yang juga ada di lantai dua tertawa terbahak-bahak. Si Gadis
tersenyum samar. Laki-laki itupun sama tapi bernada mencibir. Persis di
sebelahnya waktu jatuh tadi ada sebuah kolam yang lumayan lebar—penuh dengan
ikan koi.
“Carilah
minum, bocah! Kita bisa mulai lagi nanti!” kata pria tadi lalu kembali tertawa.
Setelah
pria itu pergi, laki-laki tadi berjalan mendekat pada gadis manekin yang sedang
duduk di kursi putih, menghadap meja kecil yang tinggi berukiran mawar. Sinar
matahari tidak terlalu terik namun dia berada di bawah naungan payung yang
besar. Seperti biasa dia memakai gaun putih selutut berenda. Rona kulit
pucatnya selalu memberi kesan gadis itu selalu kurang sehat.
“Itu
lucu?” Laki-laki itu menggumam sebal lalu mengambil duduk persis di depan si
Gadis.
“Setidaknya
ada kemajuan kan?” Ratimeria—si Gadis manekin itu menanggapi.
“Kemajuan
dari mananya?”
“Jimmy
bilang kemarin pagi kau dilemparnya keluar tiga kali. Sekarang ketika aku di
sini, dia hanya bisa melemparmu satu kali sampai latihanmu pagi ini berakhir.”
“Jadi
kau akan memujiku sekarang?” Fellon—laki-laki jangkung dengan rupa mempesona
itu menyilangkan tangan.
“Sejenis
itu,” jawab Ratimeria.
Fellon
tertawa. “Biasanya kau cuma memberikan kritik pedas.”
“Aku
mungkin kasar, tapi aku tak pernah berbohong,” ujar gadis itu lalu menyesap
kembali tehnya.
Beberapa
saat mereka saling diam dengan pikirannya masing-masing. Fellon mengambil
handuk yang tersampir di sandaran kursi tempatnya duduk lalu menyeka keringat
di lehernya.
“So why are you here?” Dia bertanya.
“Beberapa waktu yang lalu kudengar kau menabrak seorang gadis sampai koma.”
Gadis
itu diam. Sejenak Fellon sempat bertanya-tanya apakah ucapannya tadi
menyinggung Ratimeria. Tapi biarpun penasaran Fellon takkan pernah bisa
mengetahuinya kecuali gadis itu menjelaskan secara langsung apa yang ada dalam
pikirannya. Ratimeria bagaikan seseorang yang berada di balik cermin. Ketika
orang lain berupaya menebak apa yang dirasakan gadis itu, dia justru larut
dalam pantulan pertanyaannya sendiri.
“Dia
masih hidup. Jangan khawatir,” kata Ratimeria akhirnya. “Aku hanya sedang
menikmati liburanku.”
“Bukannya
kau selalu berlibur?”
“Tepatnya
aku terbang ke mana-mana.” Ia mengkoreksi.
Fellon
mengangguk-angguk menurut. Dia tahu tidak ada gunanya mendebat gadis itu.
Lagipula siapa yang paham pada pola pikir seorang gadis remaja milyarder tujuh
belas tahun yang penuh dengan hal-hal yang amat sedikit orang lain ketahui?
Bahkan sejauh tiga tahun Fellon mengenalnya, segala tentang gadis itu masih
nampak terselimuti kabut abu-abu. Dan satu hal: pola pikirnya sama sekali tidak
cocok untuk remaja seumurannya, demi Tuhan!
“Aku
mau mandi dulu,” kata Fellon lalu bangkit berdiri.
Ratimeria
mengangguk. “Bersiaplah.”
“Hah?”
“Temani
aku jalan-jalan.”
***
Anjing
bulldog berbadan besar—tingginya kira-kira selutut Fellon yang jangkung tampak
senang sekali membuat penuntunnya melangkah miring ke kanan dan ke kiri
bergantian meskipun jalan yang mereka
telusuri lurus dan rata tanpa hambatan. Fellon berulang kali mendecap karena
seharusnya hari itu dia ada janji dengan gadis blasteran Jerman yang amat
cantik dengan mata hijaunya, namun Ratimeria dengan satu kata saja membuatnya
tidak bisa membantah. Lagipula tadinya dia berpikir kalau makna jalan-jalan
yang gadis itu katakan adalah dengan berbelanja seperti yang biasa mereka
lakukan, namun ternyata dia sungguh-sungguh ingin jalan-jalan. Sejauh ini
mereka terus berjalan sampai di atas jembatan lalu Ratimeria berhenti sejenak
untuk membeli es krim pisang—itupun Fellon yang membelikannya tanpa melepaskan
tali leher Clarky—nama anjing bulldog itu.
Sekarang
setelah hampir satu setengah jam berjalan tanpa henti, barulah gadis itu
memutuskan duduk di bangku panjang pinggir jalan dan melepaskan sandal kayunya.
“Jadi
apa yang biasanya kau lakukan di tempat lain tiap harinya,” tanya Fellon
asal-asalan karena Ratimeria lebih banyak diam.
“Meracik
teh dan mengawasi ‘anak asuh’ku.”
Felon
tersenyum sekilas. Gadis itu menyebutnya dengan ringan seolah itu hal yang
wajar: mengulurkan tangan kanannya pada siapa pun yang dia sukai dan memberikan
apa pun yang orang itu butuhkan walaupun ujung-ujungnya dia memasangkan rantai
yang akan berlaku selamanya—persis seperti perlakuan mereka sekarang pada
Clarky. Kasarnya, Fellon menyadari kalau dirinya adalah salah satu dari “anak
asuh” itu.
Fellon
tahu hal itu terdengar buruk. Namun sejauh dia mengenalnya, Ratimeria bukan
ular yang melilit diam-diam. Hubungan mereka lebih condong dalam lingkup
paternalisme. Masing-masing menjaga satu sama lain meski seringkali gadis itu
hanya memanfaatkan mereka.
“Kau
yakin sedang berlibur di sini?”
“Apa
yang membuatmu berpikir aku tidak sedang berlibur?”
“Karena
orang yang sedang berlibur tidak akan duduk seharian menatap ke satu arah
seperti yang sedang kau lakukan.”
Gadis
itu tersenyum tipis.
Fellon
mengerutkan kening. Sepertinya dugaannya benar.
“Akan
kutunjukkan sesuatu yang menarik,” kata Ratimeria kemudian sembari menatap
Fellon. “Karena hari ini telah kukabulkan permintaan seseorang..”
***
Mereka
mendatangi sebuah rumah dengan tembok batu-bata merah yang dihimpit oleh dua
gedung yang menjulang tinggi di sisi kanan dan kiri. Fellon bertanya-tanya apa
yang hendak dilakukan gadis itu di sana ketika tidak lama setelah Ratimeria
mengetuk pintunya, seorang wanita bertubuh kurus serta berambut merah panjang
menyambut mereka ramah. Senyumnya berseri-seri namun Fellon merasakan ada yang
aneh dengan senyum wanita itu.
“Kau
datang di saat yang tepat,” kata wanita itu sambil merapikan anak-anak
rambutnya ke belakang telinga. Fellon sempat bersalaman dengannya dan wanita
itu menyebutkan namanya: Helena.
“Kau
baik-baik saja?” tanya Ratimeria meskipun dia tidak benar-benar berniat
bertanya. Fellon yakin, Ratimeria bisa mengartikan semua hal yang tergambar di
wajah Helena.
Wanita
itu tersenyum berbinar meskipun keadaan yang sebenarnya berbanding terbalik.
“Tadi
malam…” Helena berkata. “Akhirnya dia mengancam akan membunuhku.”
Sontak
Fellon terbelalak. Dia memperhatikan Ratimeria dan Helena bergantian namun
mereka nampak tenang seolah kalimat tadi bukan perkara besar.
“Aku
harap dia datang secepatnya… karena aku tidak sabar lagi menunggu,” tambah
Helena yang kembali tersenyum.
Ratimeria
diam membisu. Gadis itupun membiarkan Helena berbicara hal-hal yang sama sekali
tidak Fellon mengerti. Wanita itu bilang kalau dia akan dibunuh, namun raut
wajahnya begitu bahagia seolah-olah kematian adalah satu-satunya pilihan
terbaiknya kini.
Wanita
itu gila.
“Aku
sudah menyiapkan semuanya.” Helena mengambil sekeping CD yang dia taruh dekat televisi
di sana. “Anakku.. pasti akan sangat gembira.” Perlahan dia menyerahkan wadah
kepingan CD itu pada Ratimeria. “Kurasa kita tidak akan bertemu lagi.. tapi
ketahuilah, aku benar-benar sangat berterimakasih padamu…”
Lalu
setitik air matanya menetes.
Sampai
Fellon mengantar Ratimeria pulang ke manor
house tempatnya tinggal, sedikitpun Fellon tidak melupakan ekspresi penuh
arti yang Helena pancarkan pada mereka. Ingatan itu masih melekat kuat hingga
Fellon mendengar berita kalau wanita itu tewas tertembak tepat di bagian
jantungnya.
***
Bell
pintu utama manor house bernuansa
cokelat gelap dipencet berkali-kali oleh tamu tak diundang yang tergesa-gesa
datang. Seorang maid membukakan pintu
untuknya dan terkejut mendapati Fellon langsung melontarkan pertanyaan tepat
sebelum sang Maid mengucapkan salam.
“Di
mana dia?”
“Ah…
Nona? Beliau pergi sekitar satu jam yang lalu..”
“Ke
mana?”
“Saya
tidak tahu. Tapi tadi Nona berpesan supaya Tuan menunggunya di halaman
samping.”
“Apa?”
Fellon mengernyit. Gadis itu sudah menduga kalau dia akan mendatanginya?
“Nona
akan segera pulang. Silakan tunggu. Teh putihnya akan siap sebentar lagi.”
***
Fellon
mengetuk-ngetukkan ujung jarinya berulang kali ke meja kayu karena tidak sabar
menunggu Ratimeria muncul. Untunglah dia hanya perlu menunggu selama delapan
menit sampai akhirnya gadis itu menghampirinya—lengkap dengan topi rajut putih
dan sarung tangan transparan yang belum sempat dia lepaskan.
Ratimeria
duduk lalu menyesap teh putihnya sebentar sebelum membalas tatapan Fellon yang
tidak sabar.
“Apa
yang terjadi? Kenapa Helena—…”
“Ah.”
Ratimeria memotong. “Mengapa terkejut? Bukankah kemarin dia sudah memberitahu
tentang apa yang terjadi hari ini?”
“Hentikan
berbelit-belitnya! Bicaralah dengan sesuatu yang bisa aku mengerti! Kegilaan
macam apa ini?!”
Ratimeria
diam. Cangkir yang ada di tangannya dia letakkan kembali ke alas asalnya.
Tenang, gadis itu menatap Fellon. Tatapan yang sama dengan yang dia berikan
tiga tahun silam ketika Fellon dipungutnya dari gedung yang dipenuhi jeruji besi
meskipun laki-laki itu tidak bersalah dengan tuduhan-tuduhan yang diarahkan
padanya.
Umurnya
masih empat belas tahun kala itu. Dia datang menyambut bebasnya Fellon
didampingi seorang pria yang menggenggam tangannya.
“Helena
pernah menjadi pengajar pribadiku,” papar Ratimeria beberapa saat kemudian.
Matanya menerawang. “Dia wanita yang tegar. Tapi tidak setelah putranya
terbunuh hanya gara-gara peluru salah sasaran.”
Fellon
tertegun—masih belum mengerti.
“Ketika
berumur dua puluh tahun, dia diserang seorang pria. Tidak hanya barang-barang
berharga dirinya dirampas, Helena juga diperkosa. Dia pun depresi berat dan
menghabiskan beberapa waktu yang dia punya di rumah sakit jiwa. Tapi tidak lama
kemudian, dia mengetahui kalau dalam rahimnya terdapat janin. Meskipun ingat
kejadian yang telah dia alami, dia tidak bisa membunuh anak itu. Dunianya
berubah setelah dia memiliki seorang putra. Dia menamainya Rachie.
“Suatu
hari… Helena mengajak Rachie berbelanja. Helena naik sepeda, sementara Rachie
membonceng di belakangnya. Mereka menyusuri jalan ketika tiba-tiba terdengar
suara letusan yang amat dekat. Helena menghentikan laju sepedanya tepat setelah
tubuh Rachie terjatuh ke belakang. Leher Rachie tertembak dan dia tidak
selamat.”
“Penembak
itu…” Fellon tanpa sadar menyambung.
“Seorang
polisi yang sedang mengejar buronan,” jawab Ratimeria pendek. “Meninggalnya
Rachie seperti itu.. menumbuhkan dendam dalam hati Helena. Dia mengatakan
padaku, apa pun resikonya akan dia terima supaya dendamnya terbalas. Sebab
bunga mana yang akan hidup apabila tak ada matahari?” Ratimeria tersenyum
tipis. “Kemudian.. aku memutuskan untuk membantunya.”
“Tunggu
sebentar!” sela Fellon. “Kau bilang Helena dendam pada polisi itu. Tapi kenapa
Helena yang terbunuh?”
Ratimeria
tertawa kecil sebelum menjawab, “Some
people come in your life as blessings, others come in your life as lessons..
Namun Helena tidak memilih salah satunya. Dia mengambil keduanya…”
Fellon
mengernyit bingung. Terlalu banyak teka-teki.
“Dia
bukan polisi yang handal,” kata Ratimeria memberitahu. “Meski begitu dia sangat
mencintai istri dan putra mereka satu-satunya.”
“Helena
membunuh putranya?” tebak Fellon.
Kali
ini Ratimeria tertawa keras namun singkat.
“Anak
itu punya tumor di kepalanya.” Dia berkata. “Helena mendekati istri polisi itu
lalu meyakinkannya kalau dia ingin menolong anak itu. Jadilah, Helena mengatur
supaya mereka pergi tanpa memberitahu sang Polisi, karena itulah syarat yang
Helena ajukan, dengan alasan kalau dia ingin memberikan kejutan istimewa pada polisi
itu: Yang mana ketika mereka kembali nanti, anak itu telah sembuh total.”
Mendadak
sekujur tubuh Fellon mendingin. Ratimeria diam menatapnya penuh arti karena
tahu Fellon perlahan-lahan mengetahui seperti apa lanjutan ceritanya.
“Helena
berbohong…,” gumam Fellon. “Polisi itu mengira istri dan anaknya diculik.. dia
kemudian mengancam Helena.. dan membunuhnya..”
“Tidak
lama setelah membunuh Helena karena kalap, dia langsung ditangkap.” Ratimeria
menopang dagu. “Aku mengabulkan permintaan Helena kemarin.. aku perlihatkan isi
video itu padanya.”
“Kalian
bersekongkol,” simpul Fellon yang mulai terpancing emosi.
“Akulah
yang membiayai semua pengobatan anak itu.” Ratimeria mengangguk.
“Memangnya
kau siapa? Iblis bersayap malaikat?” sindir Fellon sinis. Laki-laki itu bahkan
mulai merasakan kepalanya berdenyut.
Ratimeria
terdiam. Dia memperhatikan seksama ekspresi Fellon yang kemungkinan jengah
mendengar perbuatannya kali ini. Ratimeria selalu tahu apa yang orang-orang
pikirkan tentangnya entah di saat mereka mengenalnya atau tidak sama sekali.
Hanya saja berulang kali batinnya tidak pernah berhenti membatin pertanyaan
mengapa.
Segala
hal yang dia lakukan tidak luput dari konsekuensi yang harus dia terima. Dia
terbiasa mendapatkan upah yang pahit, bahkan paling buruk sekalipun. Tidak ada
orang yang ingin memanen buah yang telah busuk—dia tahu. Tapi entah kenapa
setiap dia menabur benih serta berharap hasil yang terbaik, tidak semua orang
mengerti maksud dia sesungguhnya. Fellon pun bagian dari mereka.
Apakah
yang dia harapkan terlalu tinggi? Ratimeria bertanya-tanya.
Sesaat,
angin berhembus menerpa mereka dan tak sengaja topi Ratimeria melayang lalu
terjatuh ke atas tanaman mawar yang berduri banyak. Gadis itu pun menatap
kosong ke depan seolah rohnya mengambang entah di mana.
Karena
Fellon tidak lagi mengucapkan apa pun, Ratimeria perlahan-lahan berdiri dan
mendekatinya dalam hening. Tahu-tahu ketika Fellon berhasil menarik
kesadarannya kembali dari jalinan pemikirannya yang runyam, dia melihat gadis
itu duduk di atas meja menghadapnya dan menangkupkan kedua tangannya yang masih
terbungkus kain renda putih ke wajah Fellon. Mata laki-laki itu melebar karena
terkejut. Dia ingin menyentakkan Ratimeria karena wajah mereka berdua begitu
dekat hingga nyaris tidak ada jarak, namun mulutnya seperti tersumbat sesuatu.
Mata
mereka saling beradu. Saking dekatnya, Fellon juga merasakan aroma mawar yang
samar dari setiap hembusan napas Ratimeria. Irisnya cokelat gelap yang teduh
juga gelap. Fellon takkan tahu seberapa jauh kedalaman batin yang tersembunyi
di dalamnya.
“Don’t judge my choices without understanding
my reasons…” Dia berbisik. Kelopak matanya berkedut memperlihatkan semburat
kesedihan. “Is it hurt you, after heard
one of my stories? Then never forget what it taught you… It’s not crimes
committed by evil people who makes the best revenge, but crimes committed by a
good person in a good way…” Ratimeria membisikkan sesuatu lagi namun dalam
nada yang lebih pelan sampai-sampai Fellon butuh waktu lebih untuk mencernanya.
Dan
setelah mengatakannya, gadis itu menarik diri membiarkan Fellon membatu pada
tempatnya. Sementara teh putih yang terhidang telah menjadi dingin, dia
menyadari Ratimeria sengaja meninggalkan sekeping wadah CD Helena di sana.
***
Awal
ketika video itu diputar, muncul wajah seorang wanita berona pucat namun tetap
tersenyum cerah malu-malu saat menghidupkan camrecorder
untuk merekam dirinya sendiri dan seorang anak laki-laki di sampingnya yang
terus mengerjap polos. Beberapa detik wanita itu mencoba merapikan rambut
ikalnya baru kemudian mulai bicara.
“Hai, Sayang… Maaf, aku baru menghubungimu
sekarang… Helena melarangku menghubungimu karena takut aku akan merusak kejutan
yang sedang aku dan Rick persiapkan.. Tapi karena sekarang keadaan Rick sudah
membaik jadi, kami pikir ini saat yang tepat.”
Wanita
itu tersenyum lebar menyembunyikan tangis yang pelan-pelan menyeruak.
“Putra kita sembuh sayang,” katanya
dengan begitu bahagia. “Helena
benar-benar penolong untuk keluarga kita.. dia tahu dokter terbaik untuk Rick
dan bersedia membantu membiayai pengobatannya.. Rick sembuh, Sayang.”
Gemetaran,
Fellon membekap mulutnya sendiri.
“Papa,” kali ini anak itu
yang berkata. “Maukah mengajakku ke taman
bermain saat aku pulang? Ajak juga Mrs. Helena. Dia baik sekali selalu
membawakan mainan selama aku di sini.”
“Intinya.. maaf telah membuatmu cemas,” tambah
ibu Rick yang sekarang tampak menangis—tangisan membendung kebahagiannya. “Rencananya kami akan pulang minggu depan..
tunggulah kami. Kami sangat mencintaimu..”
Beberapa
detik mereka diam dan saling tersenyum. Kemudian tidak lama, video itu
berhenti.
Fellon
terpaku. Perasaannya membuncah, tapi dia larut dalam kesunyian panjang
memikirkan keluarga yang masih utuh itu.
Kebahagiaan dengan dasar luka.
Samar-samar,
Fellon berhasil mencerna kata-kata terakhir Ratimeria yang diberikannya hari
ini.
“Don’t hate or love too much… because that
‘too much’ can hurt you so much…”
Senyum
miris tersungging di wajah Fellon.
Benar-benar…,
pikirnya. Mungkin hal seperti inilah yang membuatnya sampai jatuh hati pada
sang Gadis Manekin.
7 komentar:
polisinya ditangkap, anaknya sembuh, tapi Helena mati, gitu? :v
Gini-gini loh... duh...
Coba kamu posisikan diri sebagai polisinya deh.
Suatu hari kamu nggak sengaja nembak seekor kucing yang lagi jalan2 sama majikannya, trus si kucing mati. karena sang majikan tidak mengambil tindakan apa2, kamupun lupa.
Beberapa waktu kemudian ayahmu sakit keras. kamu dan ibumu sedih gara2 itu. tanpa sepengetahuan kamu, seseorang nawarin bantuan ke ibumu untuk membiayai pengobatan ayah kamu. syaratnya kira2 sama dengan yang diajuin Helena. Kamu yang nggak tahu apa2 lalu panik karena ibu dan ayahmu menghilang tanpa ada kabar. Lalu datanglah orang tadi--yang sebenarnya udah nolongin ayahmu dengan membawanya keluar negeri untuk berobat--bilang kalau dia telah menculik ayah dan ibu kamu (alasannya karena ia masih dendam karena kamu dulu telah bunuh kucing kesayangannya). Kamu marah nggak sih? Apalagi, kamu khawatir dengan keselamatan ayah ibumu sendiri. Karena merasa terus2an ditekan, kamu bisa aja kalap, dan ujung2nya malah membunuh orang tadi.
You know, Dear... orang tadi tidak membalas dendam dengan cara nyawa dibalas nyawa... sekali lagi posisikan dirimu sebagai sang Polisi. Bagaimana kira2 perasaannya setelah dia tahu kalau dia telah membunuh penolong keluarganya? Ini serangan psikis yang jauh lebih kejam dari pembunuhan.
hmm... aku nggak ngerti sih perasaan kayak gitu, makanya agak bingung..
nangkep sih sebenernya, cuma ragu aja.. apa bener kalo tau udah ngebunuh penolong keluarga sendiri itu sakitnya lebih hebat apa gimana
tapi seriously walaupun agak nggak ngerti, you're best as always
luka psikisnya ada dua: karena dia telah nggak sengaja bunuh putra Helena, dan yang kedua dia telah membunuh Helena sendiri yang sudah nyelamatin putranya :3
Thanks for the compliment #blushing
tapi nggak diceritain kalo polisinya tau bahwa pelurunya salah sasaran :v
karena sudut pandang ceritaku bukan dari polisinya :v Tokoh utamanya si Fellon kan cuma pengamat
Posting Komentar