15 Juni 2016: Getir

Rabu, 15 Juni 2016

Aku ingin melupakan tawa. Sebentar saja.
Biar kemarahan, kebencian, iri, dan dendam menguasaiku.
...
Sebentar saja.
Tanpa kehangatan. Tanpa penopang.
...
Biar tanganku terkepal erat,
Gigi-gigiku menekan kuat,
Mataku melihat semuanya tanpa sekat.
...
Tunggu saja.
Sejauh mana kau akan memandangku enggan?

Welcome to Disaster Maker Club (13)

Senin, 13 Juni 2016



Shin sengaja bolos. Sebenarnya bukan keinginannya, hanya saja pikirannya terasa sangat berat dan penat. Zein dan Lana sempat beberapa kali mengetuk pintu kamarnya namun tidak digubris. Khas Zein yang selalu bersemangat, gadis itu mengira Shin masih tidur lantas sengaja menggedor-gedor pintu kamar itu lebih keras. Tidak hanya sampai di situ, dia pun berteriak layaknya tarzan. Shin kesal. Akhirnya dia mengirim chat ke ponsel Lana, memberitahu mereka kalau dirinya sedang tidak enak badan. Dua orang itupun kemudian berangkat ke sekolah bersama yang lain tanpa Shin.

Saat hari beranjak siang, Shin yang merasa haus kemudian keluar dari kamar. Dia lega melihat asrama sepi. Tentunya hanya ada dia sendiri dalam tempat itu, jadi yang lain tidak perlu melihat bagaimana kacaunya dia: rambut porak poranda, kantung mata yang besar dan gelap, juga hidung yang memerah dan tersumbat di dalam. Shin bahkan heran dia tidak menjerit sewaktu melihat wajahnya sendiri melalui cermin kamar mandi.

Gadis itu membuka lemari es dan mengambil sebotol minuman dingin. Sedetik kemudian, matanya terarah pada mangkuk yang tertutup rapat menggunakan selembar plastik bening.

Bakso? Shin mengerutkan kening melihat makanan kesukaannya dalam keadaan dingin. Dalam hati dia bertanya-tanya milik siapa semangkuk bakso itu. Tidak mungkin Zein—tentu saja. Bakso dalam kuah yang mengental itu akan jadi lezat jika dihangatkan sebentar. Kalau dipikir-pikir, Shin belum makan sejak semalam. Gadis itu melupakan rasa laparnya berkat kegalauan karena tidak bertemu Mr. Elios.

Shin akhirnya tergoda mengambil mangkuk itu. Saat menariknya keluar dari lemari es, gadis itu menyadari ada secarik kertas yang tertempel di bawah mangkuk. Shin tertegun seketika membaca deretan tulisan di sana.


Aku tahu suasana hatimu buruk karena aku. Maaf. Tapi aku tidak menyesalinya.
Berjaga-jaga kalau kau lapar, aku membuatnya sendiri. Anggap saja Agatha yang membuatnya, bukan aku. Biar bagaimana pun, dia akan melakukan hal yang sama melihat kau yang sedang sedih.

Love, Agana


Kekesalan Shin bangkit lagi. Kasar, gadis itu meletakkan mangkuk yang ada di tangannya ke atas meja. Gigi atasnya menggigit bibir.

Luar biasa. Hanya dua hari gadis itu mampu mengubah Shin yang penyabar menjadi begitu emosional. Berbeda dengan Agatha yang sentimental—yang mana membuat orang lain menjauh darinya—pribadi lain yang dihadapi Shin kali ini benar-benar penjilat juga bermuka dua. Dia mudah disukai karena pembawaan tenang, suka menolong, dan dewasa—Shin akui karakter seperti inilah yang mati-matian dia lakukan sejauh ini supaya Mr. Elios menyukainya. Tapi saat dia muncul, imej yang Shin bangunpun hancur.

Sekarang Shin juga dalam posisi gadis yang jahat dan kasar di mata Mr. Elios. Ini sangat menguntungkan bagi Agana—Shin selalu mengumpat dalam hati saat teringat nama ini—yang mana terlihat sangat jelas juga menyukai Mr. Elios. Alasan lainnya mengapa Shin sangat was-was dengan keberadaan Agana, adalah karena gadis itu tahu kotak pandora yang disembunyikan Shin rapat-rapat. Tidak ada yang tahu isi kotak pandora itu kecuali mereka berdua.

Shin berniat meninggalkan bakso dingin tadi begitu saja ke atas meja, juga berdoa semoga saja makanan itu cepat-cepat membusuk. Namun sialnya saat baru satu langkah kakinya bergerak pergi, perutnya berbunyi.

Rasa lapar tidak berhasil mengalahkan gengsinya. Shin pun kemudian berlalu dan mengunci diri lagi di kamar.

***
“Shin belakangan aneh sekali. Dia jadi pendiam,” ujar Lana saat tujuh penghuni DM yang tumben sekali pulang bersama, menyusuri jalan kembali ke asrama.

“Ada hubungannya saat Shin namp… hmph!!”

Zein tiba-tiba memukul wajah Eero tepat di mulut alih-alih membungkamnya. Eero meronta, tapi Zein yang sigap langsung mengunci tubuhnya dengan gerakan gulat. Tanpa suara, Zein pun berulang-ulang membisikkan kata “diam” pada laki-laki yang dicapnya tidak peka itu.

“Shin kenapa?” tanya Lana penasaran.

“Shin cuma sedih gara-gara les pianonya tidak begitu bagus,” jawab Zein lalu tertawa. Selain dia, Eero dan Mr. Elios, tidak ada yang tahu insiden Shin menampar Agatha sewaktu di belakang gedung sekolah.

“Dia ikut les piano baru-baru ini kan? Kenapa dia ngotot sekali?” sambung Eva sambil mengunyah permen karet.

Setelah yakin Eero akan diam lewat ancaman melalui hujaman tatapan tajam, Zein akhirnya melepas laki-laki itu. Mereka saling melempar pandangan dengan kesal.

“Aku justru lebih penasaran kenapa kalian berdua menghilang bersamaan kemarin,” celetuk Eero bergantian menatap Eva dan Laz.

“Oh ya! Aku baru ingat! Kalian kenapa bolos kemarin?” tanya Lana curiga.

Kali ini gantian Laz yang melemparkan pandangan penuh ancaman pada Eva supaya tidak bercerita. Gadis berambut merah itu tengah meniup permen karetnya membentuk balon seukuran bola tenis. Alisnya terangkat. Saat bola itu pecah, Eva menyilangkan tangan ke belakang kepala lalu menjawab pertanyaan Lana sekenanya.

“Aku menyeret Laz ke game center. Dia macam cowok era sembilan puluhan. It can’t be helped…”

Zein dan Lana saling berpandangan tidak mengerti, sementara Laz menggerutu dalam hati.

Apa hubungannya gaya kuno dan game center?! Batin Laz membentak namun tidak terlampiaskan.

“Omong-omong.. Agatha juga bolos kan? Iblis gila macam dia juga suka bolos ya?” tebak Eva seenaknya.

“Atha hampir tidak pernah bolos. Biar bagaimana pun dia anggota OSIS yang disiplin. Jangan panggil dia iblis gila! Memang salah satunya jahat sekali. Tapi aslinya dia baik,” papar Zein. Saat teringat ikan mas peliharannya hampir mati, gadis itu bergidik.

“Bicaranya juga kasar sekali. Aku sangat ingin menyiramnya dengan seember air,” gerutu Lana yang masih dendam.

Audin diam mendengarkan. Gadis itu sempat melirik pada Snare yang berjalan di sebelahnya. Snare tampak enggan menyimak, dan lebih memilih memandang jalan. Ekspresinya terlihat bosan. Kalau saja Audin tidak melihat apa yang terjadi semalam, mungkin dia tidak akan jadi segugup ini.

“Audin? Kau dengar?” Lana mendadak membuyarkan lamunannya.

“Eh, apa?” Audin balik bertanya dengan kikuk.

“Sandwich kemarin lusa! Kau percaya dia yang membuatnya?” tanya Lana.

“Memang dia yang membuatnya! Itu Atha! Aku lihat sendiri!” Zein membela. “Mungkin dia malu karena berubah jadi Atha jahat karena diberitahu… eerr.. entahlah. Jadi dia lebih suka diam-diam.”

“Jadi dulu devil sekarang angel begitu? Drama sekali,” cibir Eva.

Zein, Lana, dan Eva mendebat lagi.

Audin hanya meringis melihat mereka. Namun sesaat kemudian, perasaan aneh menjalar di tubuhnya. Langkahnya terhenti sehingga gadis itu mulai menjauh dari kelompok enam orang yang lain. Ada segelintir firasat yang membuat Audin mengerutkan kening. Gadis itu menghadap ke belakang, namun tidak melihat ada hal yang mencurigakan. Ragu, Audin berjongkok. Telapak tangan kanannya menyentuh tanah. Nihil. Dia tidak menemukan ada hal yang salah.

“Kita butuh rekreasi!” seru Zein tiba-tiba. Seruan itu menyentakkan Audin dari pikiran keruhnya.

Audin lantas buru-buru berlari menyusul yang lain.

“Kita ke taman bermain saja! How? Aku mau naik roller coaster!” sambung Lana.

Deal!!” seru mereka bersamaan kecuali Snare.
***
Kepalanya terasa berat. Berapa kalipun dia mengubah posisi tidurnya tetap tidak bisa menjadikan pening di kepalanya sirna. Gadis itu akhirnya membuka mata dan mendapati dirinya tengah berada di kamar.

Aneh, pikirnya. Dia merasa seolah telah menjalani tidur panjang. Lagipula perasaan asing apa yang menyelimuti benaknya perlahan? Ada sekelumit rasa bersalah, kekesalan dan juga.. was-was. Ketika akhirnya dia bisa menjalankan fungsi otaknya dengan baik, ingatan yang pertama kali muncul adalah saat Laz berubah menjadi bola baja kemudian menghantamnya.

Agatha berdecap sambil bersumpah kalau dia akan menghajar Laz setelah ini.

Gadis itu bergerak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, dia membeku. Matanya melebar mendapati lantai kamarnya penuh dengan kristal es seukuran kelereng. Mulutnya menganga. Kepalanya lalu beralih menghadap pintu kamar. Pintu itu tidak lagi sendirian. Benda itu ditemani korden penuh renda berwarna biru susu.

Sedetik kemudian Agatha menjerit sejadi-jadinya.
***
Sesampainya di asrama, Zein dan Lana langsung naik ke lantai atas untuk mendatangi Shin. Audin, Eva, Laz, dan Eero ke dapur untuk makan atau minum, sedangkan Snare ke ruang tengah dan langsung menyalakan televisi. Eva menemukan semangkuk bakso yang ditinggalkan Shin dan dia tanpa ragu memakannya.

Shin tidak lagi membiarkan penampilannya kacau balau. Dia sudah mandi sejam yang lalu, kemudian memakai pakaian yang telah disetrika. Tidak lupa, dia juga memakai sedikit bedak krim supaya terlihat agak pucat—sebagai bukti kalau dirinya memang sedang tidak enak badan.

“Shin! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?” tanya Zein begitu masuk ke kamar Shin yang mana pintunya tidak terkunci.

“Lumayan,” jawab Shin sembari tersenyum.

“Kau lihat Atha? Kalian kompak tak masuk sekolah hari ini,” kata Zein polos.

Shin terdiam. Tanpa Zein dan Lana tahu, matanya sempat berubah sinis namun hanya dalam hitungan detik, setelah itu dia tersenyum manis.

“Oh ya? Kenapa dia?”

“Mana kutahu? Biarkan saja,” sungut Lana.

Laz mengambil kendi bening dari lemari es lalu menuangkan isinya ke gelas. Tepat saat dia mulai menenggak air itulah, suara jeritan membahana terdengar. Saking kerasnya, Laz yang terkaget langsung menyemburkan air di mulutnya. Dia bahkan tersandung kakinya sendiri kemudian kepalanya membentur kulkas. Eero tertawa terbahak-bahak melihat Laz. Audin dan Eva melongo. Snare mematung. Sementara Shin, Lana, dan Zein refleks menutup telinga.

Who’s that?” tanya Eva berbisik.

Sementara penghuni di lantai bawah saling berpandangan dengan bingung, Shin, Lana dan Zein lantas berlari ke asal suara.

“Ada apa?! Kenapa?! Buka pintunya!” seru Zein menggedor-gedor pintu kamar Agatha.

Suara jeritan tadi tidak hanya berlangsung sekali. Mereka bahkan juga mendengar bunyi benda-benda jatuh, juga bunyi benturan, dilanjutkan dengan suara mengaduh.

“Kau sedang menghancurkan kamarmu sendiri?!” tanya Lana heran.

Shin yang masih tenggelam dalam gengsi hanya berdehem. Selanjutnya dia melihat penghuni DM lainnya mendatangi mereka. Snare berdiri paling belakang. Mulutnya terkunci rapat.

Zein terus-terusan memaksa membuka pintu kamar tersebut tapi sia-sia karena terkunci dari dalam. Saat Eero dan Laz sepakat untuk mendobrak, pintu itu justru terbuka. Mereka pun melongok ke dalam dan sontak terperanjat melihat sosok sadako keluar dari ruangan itu sambil merangkak. Eva bahkan menjerit.

“A-Atha?” panggil Zein ragu. Dia menjulurkan tangan untuk membantu Agatha berdiri. Agatha menyahut uluran tangan itu.

Penampilannya berantakan. Bahkan lebih parah dari Shin tadi pagi. Zein melongo.

“Panggil namaku dengan benar…,” katanya dalam nada yang sedikit bergetar.

Dia habis lihat hantu? Audin mengernyit.

Saat Agatha berdiri, dia menarik kerah Zein.

“Beritahu aku…,” gumamnya pelan dengan tatapan mengerikan. “Siapa yang ada di kamarku sementara aku tidak ada? Si Kasar itu atau… si Jalang?”

“Ha?” Eero berceletuk heran.

“Kau ingat?” tanya Audin hati-hati.

“LANTAI KAMARKU PENUH SAMPAH SAMPAI AKU TERPELESET DI KAMARKU SENDIRI! BARANG-BARANGKU PENUH RENDA!! CELENGANKU BERKURANG SETENGAH!!! HARI INI ADA RAPAT MINGGUAN DAN AKU BARU BANGUN!!!”

Untunglah beberapa menit setelahnya, atmosfer asrama berhasil ditenangkan.

***
Akhirnya setelah dibujuk dan minum segelas penuh air sampai tandas, Agatha bisa sedikit tenang. Dia bahkan duduk terbalik di sofa, berharap semua darahnya akan mengalir ke otak.

Shin secara sukarela menceritakan semua yang terjadi sementara Agatha “tidak ada”. Semakin lama dia bercerita, semakin banyak urat di wajah Agatha yang seolah hendak mencuat keluar. Kemudian saat cerita itu selesai, Agatha membenarkan posisi duduknya lalu berdehem. Yang lain bisa melihat bagaimana salah tingkahnya dia karena terus-terusan menghindari pandangan lawan bicaranya.

“Shin,” ucap Agatha setelah menjambak rambutnya sendiri. “Kau baik-baik saja?”

Otomatis, tatapan mereka langsung beralih pada Shin bernada tanya.

Shin tersenyum—senyuman paksaan lebih tepatnya.

You do know me so well,” balasnya dengan gigi yang menekan rapat.

Agatha memberengut. Shin tidak baik-baik saja. Agana pasti membuatnya kesal setengah mati.

“Dan untuk kalian semua.. aku…” Agatha menggigit bibir. “Aku minta maaf.”

Hening. Situasi canggung berlangsung cukup lama. Agatha bisa melihat tatapan-tatapan mereka menyimpan makna yang membuat batinnya mencelos. Gadis itu menunduk malu. Namun beberapa saat kemudian, dia teringat sesuatu.

“Snare,” panggilnya.

Mata si Vampir melebar ketika menoleh. Melihat tatapan tajam Agatha, laki-laki itu memasang kuda-kuda untuk lari.

“Berapa liter darahku yang kau minum? Sialan kau…” Agatha menggerutu. Dia lagi-lagi menggigit bibir.

Snare mengira Agatha akan melemparkan sesuatu padanya—entah itu sepatu, gelas, atau vas bunga. Nyatanya sambil berwajah keruh, dia berucap, “Terimakasih.”

 

Welcome to Disaster Maker Club (12)

Jumat, 10 Juni 2016



Di tengah taman kota, tepat di bawah menara jam Shin menunggu. Meski batinnya diselimuti ketidakpastian, hatinya mendebat meyakini kalau laki-laki itu pasti akan datang. Namun, perasaannya yang berkoar mengenai keyakinan itu perlahan mulai goyah. Orang yang menunggu akan mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi Shin justru berdiri diam dan menunduk. Gadis itu cemas menanti orang yang tidak kunjung datang, di sisi lain dia ketakutan.

Ketika langit di atasnya mulai gelap berkat awan abu-abu, Shin tetap tidak beranjak. Pun sampai akhirnya tetes-tetes air hujan turun, gadis itu mematung.

Shin melihat kembali pada jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan hampir satu jam berlalu sejak dia menghampiri menara jam sore ini.

Mr. Elios tidak akan pernah terlambat. Mr. Elios hanya akan datang lebih awal, atau tidak memenuhi janjinya. Kali ini yang terjadi adalah kemungkinan kedua.

Shin terduduk. Tidak peduli tirai hujan semakin tebal membuat sekujur tubuhnya basah kuyup, gadis itu menangis tanpa suara.

***
“Dia sedang di dalam kamar. Teman-teman tidak melihatnya keluar sedari tadi,” ujar seorang gadis yang sedang membawa payung sambil menempelkan ponsel ke telinga kirinya. “Tidak apa-apa. Guru tidak usah cemas.”

Rambut hitam gadis itu meliuk diterpa angin. Langkahnya terhenti sehabis melewati sebuah pohon rindang tidak jauh dari menara jam taman. Kepalanya meneleng ke samping, menemukan sosok orang yang dia cari. Dia—Shin terlihat meringkuk membenamkan wajahnya sementara ponsel hijaunya terendam genangan air.

“Tadi saya memberitahunya kalau guru tidak akan datang karena ada urusan, tapi hanya di depan pintu karena Shin tidak mau membukanya. Mungkin dia kecewa. Tapi saya yakin dia baik-baik saja.”

Bohong. Agatha tidak pernah melakukannya. Itulah sebabnya Shin ada di sana sekarang, dan gadis itu menangis.

Diam beberapa detik, Agatha berkata lagi pada orang yang tengah tersambung dengannya di telepon.

“Boleh saya bertanya?”

Mr. Elios yang sedang berada di ruang kerjanya membalas, “Ya?”

“Mengapa bukan guru sendiri yang memberi tahu Shin?”

Terdengar suara helaan napas panjang dari Mr. Elios.

“Dia sendiri yang tidak mau mengangkat panggilanku,” jawabnya. “Benar dugaanku.. dia pasti kecewa aku memarahinya kemarin. Apalagi menyuruhnya kembali ke asrama saat itu juga.”

Agatha diam. Gadis itu menambahkan lagi alasan mengapa Shin bersikap dingin dalam hati, hal yang tidak akan pernah Mr. Elios tahu.

“Di saat seperti ini… aku hanya bisa bersyukur dia tidak sendirian,” ujar Mr. Elios penuh arti. “Dia selalu bersikap dewasa dan kuat, padahal akan lebih baik kalau dia jadi dirinya sendiri.”

“Kita mengharapkan hal yang sama,” balas Agatha sembali tersenyum. Dia mendengar Mr. Elios tertawa kecil sekilas. “Kalau itu saya.. kalau saja bukan Shin, tapi saya…”

Di seberang sana, Mr. Elios tertegun.

“Tidak peduli sesakit apa yang saya dapat.. Saya tidak akan pernah balas menyakiti guru.. Tidak akan pernah.”

***
Bunyi bulir air menetes membangunkan Laz. Sekujur badannya kaku dan juga panas. Begitu kesadarannya kembali, semua inderanya mulai mampu mengenali kondisi di sekitarnya. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit berwarna jingga yang penuh dengan ukiran bermotif tidak beraturan. Tempat itu bukan kamarnya.

Terperanjat, Laz menegakkan punggung. Was-was, pandangannya mengedar ke sekeliling. Dia berada di ruang tertutup di mana tidak ada orang selain dirinya di sana. Laz mengerutkan kening, berusaha mengingat alasan mengapa dia ada di tempat itu. Benaknya memutar kembali ingatan saat dia berada di kamarnya sendiri. Laz tersiksa dengan suara-suara yang hanya mampu dia dengar. Saking tersiksanya, tubuhnya otomatis bereaksi sebagai pertahanan diri. Namun justru karena itulah, rasa sakit yang dia alami makin menjadi-jadi.

Come with me..”

Laz teringat dengan suara lain yang terkesan menyingkirkan suara-suara yang mengganggunya. Bisikan yang samar. Laz kurang bisa mengenali orang itu karena seingatnya, pandangannya sedang buram. Tapi yang jelas, iris mata orang itu berwarna merah menyala.

Snare?

Agatha pernah bilang pada Laz kalau iris mata Snare akan berubah merah ketika mendapatkan mangsa. Karenanya gadis itu menekankan padanya kalau Laz harus menjauh saat itu terjadi.

Apa Snare yang membawanya ke sana?

Laz beranjak dari ranjangnya lantas dia berjalan menghampiri cermin di ruangan itu. Dia memeriksa beberapa bagian tubuhnya yang bisa dia lihat, memastikan ada dan tidaknya bekas gigitan. Nihil. Tidak ada tanda-tanda Snare “menyentuhnya”.

“Apa yang dia lakukan di sini?”

Telinga Laz menangkap tuturan bernada sengit dari seorang gadis. Dia mencari-cari asal suara itu kemudian melihat dua orang gadis di halaman melalui jendela kamar. Dua orang gadis itu sepertinya sedang kompak bergunjing mengenai seseorang yang tengah berdiri membelakangi mereka dekat kolam ikan.

“Aku pikir dia diusir lalu dimasukkan ke asrama untuk aneh seperti dia.”

“Mungkin dia mengemis supaya dibolehkan tinggal di sini lagi.”

“Dasar monster penjilat.”

Dahi Laz mengernyit. Meskipun bukan dia yang jadi sasaran gunjingan itu, telinganya panas hanya dengan mendengarnya saja.

Saat dua gadis itu pergi, pandangan Laz beralih pada seseorang yang berdiri dekat kolam. Angin berhembus menerpa rambut merahnya. Gadis itu perlahan bergerak menghadap ke samping hingga Laz bisa mengenali wajahnya.

Eva.

Diakah orang yang membawa Laz ke tempat ini? Sekarang setelah dipikir-pikir, tubuh Laz terasa lebih ringan, dan benaknya menjadi lebih segar dibandingkan kemarin. Apa mungkin Eva sengaja membawa Laz pergi untuk membantunya? Kenapa?

Eva terlihat menghela napas panjang sambil tangannya menyilang. Ketika tidak sengaja wajahnya mendongak ke atas, pandangannya dan Laz bertemu. Gadis itu tersenyum lalu melambai. Dia lantas berlari masuk ke dalam bangunan. Beberapa saat kemudian, Eva bergabung bersama Laz di ruangan yang sama.

“Lumayan,” kata gadis kelebihan energi itu sambil memperhatikan Laz dari ujung kepala sampai kaki. “Sudah kuduga kalau Pipin pasti akan cocok dengan hal semacam ini.”

“Siapa Pipin?” tanya Laz.

“Asisten tabib paling hebat di sini,” jawab Eva. Dia melirik pada cawan lilin di atas meja. Sedetik kemudian, api kecil muncul di ujungnya. “Daripada menyangkut urusan obat-obatan herbal, dia justru lebih cocok disebut paranormal.”

Laz mengalihkan pandangannya ketika Eva menyebutkan kata paranormal. Laki-laki itu berpura-pura meraba lengan dan tubuh depannya, meski dia tidak menyangkal kalau penasaran dengan luka-luka akibat logam tajam yang mencuat dari dalam dirinya.

“Waktu aku tanya pada Pipin apa penyebabnya, dia bilang kalau aku hanya bisa tahu darimu,” ujar Eva. Melihat Laz bungkam, gadis itupun menghela napas panjang. “Tenang saja, aku tidak begitu penasaran. Terserah kau mau memberi tahu atau tidak.”

“Kenapa kau membantuku?” tanya Laz akhirnya. Saat itulah mereka bersitatap lagi.

Eva tertawa. Satu kakinya terangkat, lalu memijak di atas ranjang. Kedua tangannya bertumpuk di atas lutut untuk menopang dagu. Sepasang matanya berubah merah terang dari awalnya yang cokelat.

“Entahlah,” gumamnya tersenyum. “Untuk membayar hutang karena telah menolongmu, tidakkah kita seharusnya jadi kawan?”

***
Saat semua penghuni asrama tertidur, Audin masih menyibukkan diri dengan sebuah buku usang di meja belajarnya. Audin telah sampai pada setengah isi buku tersebut. Matanya menyusuri deret demi deret tulisan tangan seseorang di sana. Huruf di sana bukanlah alphabet yang biasa dia temukan di sini, melainkan karakter-karakter kuno yang jarang ditemukan—bahkan di tempat tinggalnya.

Mulut Audin bergerak, membisikkan kata demi kata yang mampu dia mengerti. Hanya saja ketika jari telunjuknya hendak membalik halaman selanjutnya, mendadak sehelai kertas buku yang dia pegang itu langsung terbakar. Audin terkejut. Matanya melebar dan dia sontak mundur. Mendadak kabut kehitaman muncul di sampingnya. Kabut itu terus bergerak bagai asap yang mengandung jelaga membentuk sosok seseorang.

“Seperti biasa.. kau mengesalkan sekali…,” kata sosok bayangan yang tersenyum tidak jauh dari Audin. “Kau pikir sebodoh apa aku sampai melonggarkan barang milikku sendiri dari pencuri?”

Audin menatapnya tajam sekaligus was-was.

“Kenapa hanya satu halaman kau memberinya mantera?” tanyanya.

“Aku hanya membiarkanmu sedikit bersenang-senang,” balas sang Bidadari kematian. “Bukankah sangat menggairahkan kalau orang yang sedang penasaran berusaha menemukan sesuatu… misalnya.. menemukan alat untuk melenyapkan seseorang?”

Audin diam. Kedua rahangnya menekan kuat, menekan kebencian yang menjadi penopangnya.

“Anggap saja tadi itu sebagai sebuah pertolongan..,” kata Demetrin. “Akan sangat menyedihkan melihatmu putus asa dengan begitu mudahnya.”

“Enyahlah!” hardik Audin tidak tahan berlama-lama melihat bayangan Demetrin dalam kamarnya.

“Untuk salam perpisahan kali ini, biarkan aku memberimu satu peringatan penting.” Demetrin tersenyum kala kabut yang membentuk bayangannya perlahan mulai sirna. “Salah satu penghuni asrama ini sedang mengundang kematian datang…”

Tawa Demetrin menggema. Setelah sosoknya menghilang, Audin langsung terduduk lemas. Benaknya mulai kalut. Apakah gara-gara dirinya, seseorang dalam asrama ini jadi sasaran Demetrin? Kalau iya, dia tidak boleh tinggal diam. Sudah cukup orang-orang di sekelilingnya terluka akibat kecerobohannya. Terlebih karena Demetrin.

Audin pusing. Dia melirik lagi buku usang yang tadi dia baca. Api yang tadi membakar salah satu halamannya tidak sampai membakar seluruh isi buku itu. Sekarang buku itu tergeletak di lantai dengan aroma hangus di sekelilingnya.

Pencuri katanya? Audin benci mengakuinya, namun Demetrin benar. Dia telah mencuri buku harian Demetrin yang gadis itu tinggalkan saat berkhianat dulu.

Menggigit bibir, Audin keluar dari kamarnya. Dia menuruni tangga dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Gadis itu sempat melamun saat melangkah. Saat itulah, tepat ketika sampai di ambang pintu yang terbuka menuju dapur, Audin membeku di tempat. Dia tidak bisa memercayai apa yang matanya lihat sekarang.

***
Kotak obat diletakkan menggantung di dapur, jadi Snare harus ke sana jika ingin mengganti pembalut luka di bahunya. Supaya tidak dilihat yang lain, dia memilih melakukannya larut malam, ketika yang lain terlelap. Saat Snare sedang membalut bahunya, Agatha datang tanpa Snare duga. Mereka bersitatap cukup lama seperti sedang berusaha mengenali satu sama lain. Beberapa saat kemudian, Snare menyadari kalau gadis di depannya bukan orang yang sama dengan gadis yang selalu memakinya.

“Berikan padaku.” Agatha mengulurkan tangannya meminta gulungan pembalut yang ada di tangan Snare.

Snare diam. Meski begitu dia memberikan gulungan pembalut itu pada Agatha.

Snare duduk di atas meja dapur tanpa mengenakan pakaian atas. Ketika laki-laki itu membuka balutan lukanya yang lama, Agatha bisa melihat luka tusukan dekat tulang selangka Snare. Berada di depan tubuh laki-laki itu, Agatha lalu mulai membalut bahu Snare.

“Bukan luka biasa ya.. Biasanya luka apa pun di wajahmu akan langsung sembuh seketika. Lain kasusnya kalau yang melukaimu menciptakan senjata yang tidak kau duga,” ujar Agatha.

Snare memejamkan mata. Tangan kirinya lalu terangkat menyentuh tangan Agatha.

“Ini..” Snare menggumam pelan. “Tangan yang sama dengan yang menikamku.”

“Aku?” Pandangan Agatha menyorot kosong. “Dia yang kau ikuti ke mana-mana?”

“Dia menyiram air ke wajah Lana saat sarapan, juga hampir melukai Zein.”

“Gadis kasar itu..,” gumam Agatha mengerti. “Pantas mereka kelihatan sangat membenciku. Tapi kau langsung mengenaliku. Aku terkesan.”

Snare tersenyum.

“Jangan salah paham,” katanya. “Sama seperti dia, kau juga palsu. Jadi jangan pernah berpikir mereka akan menerimamu semudah itu.”

Agatha tertawa kecil. Dia telah selesai membalut bahu Snare lalu mengembalikan gulungan pembalut tadi ke kotak obat. Snare masih diam di tempat sambil mengusap bahunya. Mendadak Agatha mendekat lagi pada vampir itu. Kali ini sangat dekat hingga Snare bisa mendengar hembusan napasnya.

“Aku suka bagaimana kau selalu mengekornya, bagaimana kau selalu mengawasinya saat dia bukanlah dia. Tapi tetap saja… kami adalah dia. Dan kau tidak punya pilihan selain terantai pada kami,” bisik Agatha dekat telinga Snare.

Gadis itu memeluknya—mendekatkan lehernya yang terbuka pada wajah Snare. Perlahan, mata Snare pun mulai berubah merah menyala. Snare mulai bergerak mengikuti nalurinya. Dia balas memeluk. Bibirnya mengecup, lalu akhirnya taringnya menancap di leher Agatha.

Saat ada sebagian darah yang tidak terhisap oleh Snare mengalir, Agatha melihat Audin yang baru saja datang terkejut. Pandangan mereka bertemu tanpa diketahui Snare yang menghadap arah berlawanan dengan Agatha. Supaya Audin diam, Agatha langsung mengunci bibirnya sendiri dengan telunjuk sebagai isyarat.

Audin tertegun. Gugup, gadis itu langsung berbalik dan pergi.

Agatha tersenyum samar. Pelan, dia berbisik, “Sepertinya.. aku takkan ada di sini lagi besok..”