A Cup Of Feeling

Selasa, 21 Oktober 2014



Bukan berarti aku tidak mempedulikannya, aku hanya tidak terlalu memikirkan.
Memangnya siapa yang tidak pernah berpikir tentang kematian? Ada apa di sana? Kalau ditanya, mereka akan memberimu dua pilihan: surga atau neraka. Seperti apa surga? Tempatnya di atas langit, tempat di mana para bidadari tinggal. Tidak ada kekhawatiran, semua beban terlepas, jiwamu akan tenang di sana, dan keinginan baik penghuninya akan terwujud. Sedangkan neraka merupakan tempat yang bernilai sebaliknya. Derita penghuni-penghuni di sana tidak akan ada habisnya.
Apa aku percaya, tanyamu? Tentu. Tapi dengan caraku sendiri.
Aku yakin Tuhan adalah guru yang terbaik. Dia yang sepenuhnya kupercayai di saat aku justru tidak percaya diri sendiri. Aku pun percaya jika diibaratkan seorang guru manusia, Dia tidak sebatas membuat lembar demi lembar ketentuan, yang barangsiapa patuh akan diizinkan duduk di pangkuanNya serta diberikan dongeng pengantar tidur, sedang yang melanggarnya akan dikunci sendirian di dalam ruang sempit yang pengap dan kotor.
Mengapa Dia memberikan manusia akal budi untuk berpikir yang seringkali membuat mereka keluar dari zona aman, di saat kebaikan menurut orang-orang saat ini adalah seumpama boneka yang manis dan patuh—tidak berbuat jahat juga tidak ingin ikut campur dalam masalah seperti apa pun? Bukankah akan lebih mudah menciptakan anjing dan kucing yang penurut untuk menjaga kebaikan semacam itu?
Ya, hidup ini singkat—mungkin hanya berlaku bagi mereka yang menikmatinya. Dan untuk apa napas kehidupan itu? Untuk selalu mengingatkanmu akan kematian kemudian mengekangmu supaya mengenyahkan begitu saja kesempatan-kesempatan yang hanya datang saat kau hidup?
Aku salah satu orang yang percaya kalau semua manusia di dunia ini membawa kebaikan dalam diri masing-masing. Aku tidak peduli beberapa dari mereka mengatakan baik-jahat seseorang tergantung dari lingkungan pergaulan masing-masing. Toh kupikir, semua itu kembali pada sifat individu masing-masing. Terserah dia mau menjadi pribadi seperti apa.
Mengapa aku tidak terlalu memikirkan surga atau neraka? Kau bilang aku hanya orang yang tidak religius. Memang. Namun ada sisi di mana aku masih memegang kuat keyakinanku.
Seperti apa aku memperlakukan orang lain, adalah apa yang kuharapkan orang lain itu lakukan padaku. Meski yang kuterima seringkali sebaliknya J  Tapi aku tidak pernah menyalahkan siapa pun. Sesuatu yang salah selalu berasal dari diriku sendiri. Aku selalu bertanya-tanya mengapa mudah sekali mengharapkan hal yang “lebih” dari orang lain. I gave them my love, and then they gave me bland greeting
Apakah jahat menginginkan seseorang punya keyakinan bahwa “aku hidup untukmu”? Sebegitu mudah jugakan mengelompokkan seseorang untuk memasukkan mereka ke dalam surga atau neraka? Manakah yang lebih berkesan: seseorang yang punya pribadi baik, memperlakukan orang lain dengan baik juga, atau seseorang yang berbuat baik namun tidak tahu kalau yang diperbuatnya adalah kebaikan? Aku pilih yang kedua…….
Hidupku tidak akan kuhabiskan hanya untuk mengharapkan upah. Mengapa kau berbuat baik? Supaya masuk surga? Mungkin, tapi bukan itu alasan utamanya. Kenapa berbuat baik? Karena itu sifat alamiah kita yang membedakan kita dari makhluk lain. Sebab aku adalah kau, dan kau adalah aku. Aku menyayangimu seperti menyayangi diri sendiri.

So why don’t you take off the bridle and held my hand to see the world?

That Day: A Note

Sabtu, 05 April 2014



Minimarket sedang lengang. Hanya ada aku dan empat orang lainnya yang berjaga. Aku duduk di belakang meja kasir menyalin daftar barang-barang yang baru diantar, sementara yang lain membersihkan atau menata kaleng-kaleng makanan di rak. Bosan dengan keheningan, aku memutar lagu dan suaranya langsung tersambung pada speaker. Kawanku yang awalnya menggerutu mengeluhkan pegal di punggung saat mengelap dinding kacapun menoleh, lalu tersenyum sekilas. Aku membalasnya dengan jempol terangkat.
Ketika menelengkan kepala ke samping, aku tertegun melihat seorang gadis berjalan pelan sekali dengan matanya menyorot kosong lurus ke depan. Saat berada tepat di dekat pintu masuk, dia tampak menghela napas panjang kemudian menunduk sebentar. Sedikit silau dengan lampu-lampu yang ada di dalam minimarket, dia memicingkan matanya. Aku bisa menebak dia sedang mendebat sendiri dalam hati sebelum akhirnya masuk.
“Selamat datang,” ucap Anjar ramah—temanku yang tadi mengelap dinding kaca.
Gadis itu tidak menggubris. Langkah kakinya terarah ke lemari pendingin untuk mengambil salah satu minuman ringan. Tanpa berminat mencari barang lain yang mungkin dia butuhkan, gadis itu langsung saja berjalan menghampiriku—tepatnya ke kasir. Dia menaruh botol minumannya begitu saja lalu merogoh tas lengan mengambil dompet.
“Tujuh ribu,” kataku sambil memasukkan botol itu ke plastik.
Lagi-lagi gadis itu tidak mempedulikan orang yang bicara padanya. Dia hanya melirik pada layar monitor kasir, menghitung uang di dompetnya lalu memberikannya padaku. Uang pas.
“Terimakasih.” Aku mengucapkannya dengan mengangguk sekali. Pandangan kami sempat bertemu dan dia tersenyum. Senyum yang hanya sekilas saja, tapi sukses membuatku kikuk.
***
Seminggu kemudian—boleh dibilang aku telah nyaris lupa dengan gadis yang pernah datang ke minimarket tempat aku bekerja—ketika sekali lagi aku melihatnya, ingatan itu langsung kembali. Dia memakai jaket biru muda kebesaran tapi terlihat nyaman. Kepalanya tertutup tudung jaket itu. Rambutnya yang panjang kecoklatan terurai di depan badan. Tanpa basi-basi dia langsung ke lemari pendingin mengambil sebotol yogurt lalu berlari kecil ke meja kasir.
“Mau tambah yang lain?” tanyaku menawarkan.
Sepasang matanya yang bulat melebar menatapku. Aku bisa melihat tanda tanya di sana. Dia bingung. Keningku berkerut. Saat kuulangi pertanyaanku, dia memperhatikan seksama sebelum akhirnya menggeleng dan tersenyum. Sama dengan waktu sebelumnya, aku menyebutkan nominal yang harus dia bayar tapi dia melirik pada monitor, melihat harga yogurt yang dia ambil. Dia menghitung uangnya kemudian memberikannya padaku lalu pergi tanpa meminta nota.
***
Keesokan harinya, gadis itu datang lagi. Tapi kali ini tidak sendiri. Dia memang sedang tidak bersama siapa pun, hanya seekor kucing Persia gemuk yang berdiam manis dalam gendongannya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihat sosoknya dari samping. Rambutnya sedikit bergelombang dan gaya poninya baru: rata menutupi dahi. Dia mengambil keranjang belanja kemudia memutari rak mengambil sekotak susu bayi, beberapa minuman, dan roti.
“Terusin nyatet woi, ngelamun aja,” tegur Anjar iseng. Melihatku tersentak, dia mengikik geli. Aku mendelik kesal padanya tapi menurut. Dia mendekatiku. “Cakep ya dia?” godanya.
“Apaan sih,” tanggapku acuh tak acuh.
Anjar terkekeh. Melihat gadis tadi menghampiri kami dengan keranjang belanjaannya, dia berdehem lalu pergi sambil bersiul. Aku menggeleng.
“Mau tambah yang lain?” tawarku sambil men-scan barcode barang yang dia ambil. Aku memandangnya. Mata kami bertemu dan aku pun tertegun mendapati dia menatapku lurus-lurus. Alhasil jantungku memompa tak karuan.
Dia menggeleng. Saat aku menyebutkan harga keseluruhan barangnya, dia melirik lagi pada layar komputer lalu menyodorkan uang. Aku mengambil uang itu lalu memberikan semua belanjaannya yang telah kumasukkan dalam plastik ukuran sedang. Dia berbalik pergi dengan dua tangan yang sibuk. Satu tangan menggendong kucing, dan yang satunya lagi menenteng belanjaan.
Andai aku bisa membantunya. Tapi lirikan jahil dari Anjar dan yang lain membuatku terpaksa mengurungkan niat.
Menggeleng pura-pura kesal, aku memasukkan uang gadis tadi ke dalam laci. Dan tiba-tiba aku merasa seperti orang paling tolol sedunia. Aku dan gadis itu melupakan uang kembaliannya!
Semoga belum terlalu jauh, batinku.
Melesat cepat keluar minimarket diiringi pandangan melongo karyawan yang lain, aku tak peduli. Aku mengedarkan pandanganku dengan cepat untuk menemukan sosok gadis itu. Dan dapat! Tanpa pikir panjang aku pun berlari.
“Mbak!” seruku memanggil.
Gadis itu tidak menoleh.
Aku mengulangi panggilanku, namun tidak ada tanda-tanda kalau dia mendengar. Terpaksa kutingkatkan kecepatan lari. Cukup dekat di belakangnya, aku menepuk bahu gadis itu. Dia tersentak dan refleks menoleh. Raut wajahnya terkejut melihatku membungkuk memegangi lutut dengan napas terengah-engah.
“Mbak, ini… kembaliannya…,” kataku terputus-putus menyodorkan uang kembalian tadi.
Alis gadis itu terangkat. Raut wajahnya bingung. Dia mengambil uang itu dan melihat nota yang sudah dicetak. Dia tersenyum. Ketika gadis itu menyodorkan plastik belanjaannya, giliran aku yang bingung. Ganti aku yang memegangi plastik belanjaannya. Dengan tetap menggendong kucing, dia mengambil sebuah notes kecil dari tasnya dan sebuah pulpen. Aku menunggu dan sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan. Selesai menulis, dia memperlihatkan tulisannya padaku.

Trims :) kamu baik banget

Aku memandangnya, dan dia tersenyum lebar.
“Sama-sama,” balasku  dengan senyuman yang dia tularkan. “Jangan bosan datang lagi.” Aku menambahkan—setengah bergurau.
Dia menulis lagi lalu menunjukkannya padaku.

Tentu :) Btw, namaku Sheila

“Aku Liam.”
Dia—Sheila membalas.

I saw you enjoy your work.. I’ll see you tomorrow.

Kami berpandangan sejenak lalu tertawa kecil. Dia memasukkan notes-nya ke dalam tas dan mengambil kembali plastik belanjaannya dari tanganku. Sheila membalikkan badannya kemudian beranjak pergi. Aku tetap pada posisiku, melihatnya akan menghilang ketika hendak berbelok. Namun sebelumnya dia menoleh lagi ke belakang, tersenyum penuh padaku dan melambai.

Sweet Birthday




Hujan turun lagi malam itu. Angin badai menerjang Tembalang, membuat pohon mangga di depan kostku meliuk-liuk seakan mau ambruk. Tong sampah yang kulihat sore tadi penuh dengan limbah, kini berguling-guling ke sana kemari setelah membiarkan semua isinya berceceran di pekarangan.

Aku terdiam mendapati semua itu melalui jendela kamarku yang menghadap keluar. Setelah hampir seharian mengikuti mata kuliah yang menumpuk ditambah dengan latihan senam untuk penilaian lusa, aku berharap bisa melewati malam ini dengan Darren. Kami sepakat akan makan malam bersama hari ini. Tapi cuacanya sungguh buruk. Aku tidak yakin Darren akan menerobos badai seperti ini. Cowok itu memang tangguh sebenarnya. Kalau seumpama dia benar-benar datang menemuiku malam itu, aku justru akan memarahinya. Aku terlalu menyayangi cowok itu dan tak mau kalau sampai melihatnya jatuh sakit.

Hanya saja...

Sejenak aku menunduk lalu menyandarkan kepalaku ke dinding. Kuhela napas panjang sehingga harumnya tanah yang basah merasuk sempurna ke paru-paruku. Kecewa. Ini adalah malam yang kutunggu-tunggu. Aku benar-benar menantikannya bahkan sudah semenjak lama. Sekali lagi kutengok kalender Angry Birds di meja kerjaku. Ada lingkaran spidol merah yang tebal pada tanggal dua puluh November.

Besok adalah ulang tahunku yang ke sembilan belas.

Mendengus lagi, aku mendengar pintu kamarku diketuk. Saat kubuka, kudapati Kak Delila membawa tumpukan baju-bajunya. Rambutnya basah akibat kehujanan. Sempat aku bersyukur karena tidak sedang menjemur pakaian hari ini.

“Dek, pintu depan mau aku kunci. Mbak Irma kan lagi pulang kampung, kalau bisa motornya dimasukin ke garasi sekarang aja, mumpung belum penuh,” katanya.

“Iya, Kak. Makasih ya,” ucapku.

Kak Delila tersenyum mengangguk kemudian pergi ke kamarnya. Aku menutup kembali pintuku dengan enggan.

Ketika aku melihat kunci motorku tergeletak di atas meja, tak ada sedikitpun niatku untuk mengambilnya. Aku terlalu malas melakukan apa yang dikatakan Kak Delila tadi. Dia juga bilang akan mengunci pintu di depan dan itu artinya tidak akan ada tamu yang boleh masuk. Begitu juga Darren. Anehnya cowok itu sama sekali tidak mengontakku untuk membatalkan janji yang kami buat.
Well, sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan malam ini selain tidur lebih awal. Aku biarkan saja motorku yang masih terparkir di luar. Tidur dan mengenyahkan semua pikiran yang membuatku kesal itu lebih baik sekarang—walaupun perutku agak sedikit lapar.

***

Beberapa jam lamanya dan rasanya aku telah puas tertidur. Aku masih mendengar suara hujan samar-samar walaupun tidak sederas tadi. Ketika membalik badan ke samping, aku melihat jam weker dekat kipas angin di atas meja. Pukul setengah satu dini hari. Bibirku sedikit menyunggingkan senyum.

Happy birthday, ucapku pada diri sendiri.

Let’s make a wish...

Aku melipat tanganku serta menutup mata. Kubatin semua harapanku pada diri sendiri juga semua orang yang kusayangi di mana pun mereka berada.

Darren.

Tiba-tiba nama cowok itu terlintas di benakku lagi. Oh, buat apa aku memikirkannya? Paling-paling dia sedang menikmati tidurnya mengingat baru pukul berapa sekarang. Miris jika aku mengira dia tidak ingat hari apa ini. Tapi mudah-mudahan tidak begitu.

Kupeluk lagi gulingku untuk meneruskan tidur ketika tak lama kemudian aku mendengar suara aneh, seperti...

“Pst! Pssssstt!!”

Sekali dua kali. Mataku mengerjap karenanya. 

Nggak mungkin...

Badanku langsung melompat ke arah jendela. Kubuka tirai dan apa yang ada di luar sedang memegangi pagar itu otomatis membuat mataku terbelalak dan mulutku menganga. Cepat-cepat aku berlari keluar kamar menuju ke garasi karena pintu utama dikunci, aku keluar lewat sana.

“Darren!” seruku terkejut bukan main.

Cowok yang ada di hadapanku sekarang ini justru tersenyum meringis menanggapi ekspresi wajahku yang bingung. Begitu melihatku tadi, dia segera melepaskan tudung mantel hujannya. Memang dasar otaknya encer juga. Kalau dia sampai datang dengan sekujur tubuh basah kuyup, aku tak akan berpikir dua kali untuk mengomelinya.

“Kamu apa-apaan?! Tahu kan sekarang jam berapa?!” Tanganku bergegas akan membuka pagar yang tingginya tak seberapa itu ketika Darren justru menghentikan geraknya.

“Aku nggak akan masuk. Habis ini aku mau langsung balik kost,” kata Darren yang masih tersenyum penuh arti.

Aku terdiam, hanya karena tak tahu harus berkata apa. Tangannya yang satu lagi disodorkannya padaku. Sebuah kandang kecil dengan beberapa helai kain di dalamnya. Ketika kuperhatikan lagi dengan teliti, ada seekor bayi kucing.

“Ini...”

“Dua hari yang lalu, ada sepasang anak kucing di loteng kostku. Setelah aku tahu, niatnya mau aku biarkan saja, tapi induknya nggak datang-datang juga. Karena kamu suka kucing, maka aku pikir kamu bisa rawat dia, sementara aku yang pelihara kembarannya biar kamu nggak terlalu repot,” jelas Darren.

Ya Tuhan.. senyum orang ini masih saja membuat jantungku berdebar-debar...

“Selamat ulang tahun, Areah,” ucap Darren lagi yang tambah membuat pikiranku melayang ke mana-mana. “Maaf tadi nggak kontak. Hapeku masuk ke kubangan waktu pulang kuliah tadi. Karena hujannya kelewat deras juga, aku nggak bisa langsung temuin kamu.”

“Nggak apa-apa,” kataku cepat. “Makasih.”

Kami sama-sama tersenyum malu satu sama lain.

“Yakin nggak mau masuk?” tanyaku.

Nope, aku pulang aja. Kita bisa ketemu lagi besok. Lanjutin aja tidurnya,” goda Darren.

“Baiklah. Hati-hati...”

Hangat menjalar tubuhku saat Darren meremas tanganku lembut. Tak lama, dia kembali ke motornya lalu berlalu. Beberapa saat lamanya aku masih mematung di situ memeluk kucing plus kandang pemberiannya. Ya, tentu saja aku akan merawatnya. Senang rasanya punya teman kecil baru.

Hujan yang membuat suasana hatiku galau beberapa jam yang lalu, sekarang justru terasa sejuk menyenangkan.

“Met malam,” gumamku. “I love you...”