Welcome to Disaster Maker Club (15)

Sabtu, 30 Juli 2016



Eva, Zein, dan Audin berdiri mengelilingi tempat Lana berbaring, sementara Shin duduk di atas tepi ranjang. Mereka sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing, melupakan keheningan panjang yang biasanya sangat mengganggu—apalagi di asrama yang sering berisik. Di saat Eva, Zein, dan Shin berulang kali membatin kata mengapa, Audin mempertanyakan kata-kata Demetrin beberapa hari yang lalu.

Orang di dekatnya yang sedang mengundang kematian datang… apakah itu Lana?

Meskipun seorang pengendali, tubuh mereka sebenarnya tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Fisik mereka mudah terluka. Apalagi dari ketinggian seperti itu, Lana jatuh dengan posisi kepala di bawah. Dia sangat beruntung tidak langsung tewas di tempat. Walaupun melihat detik-detik saat gadis angin itu jatuh, biarpun sempat, Audin dan Laz tidak akan bisa berbuat banyak. Tanah yang digerakkan tiba-tiba justru akan melukai Lana, sedangkan kemampuan logam dari Laz tidak ada gunanya.

Pokoknya, mereka semua tidak ada yang bisa memperkirakan hal semacam itu terjadi.

Lana kehilangan kekuatannya? Kenapa? Tubuhnya kaku seperti mayat.

Pintu kamar itu diketuk. Mereka lantas menoleh ke arah yang sama. Mr. Elios masuk diikuti penghuni lain kecuali Agatha dan Snare. Zein berani bertaruh kalau gadis galak itu sedang merantai Snare. Vampir memang gampang gila jika mencium bau darah.

Mr. Elios menghampiri Lana. Pria itu menaruh kanannya di atas ranjang untuk melihat gadis itu lebih dekat. Ketika dirasanya selimut yang menutupi tubuh Lana mengganggu, dia menyibaknya sekalian. Shin dan Eva yang berada di seberang Mr. Elios lantas tertegun melihat iris mata guru mereka berubah berkilau bagai ametis. Menggunakan mata itu, Mr. Elios menelusuri seluruh bagian tubuh Lana. Pria itu kemudian mengernyit.

“Apa kalian melihat sesuatu yang aneh sebelumnya? Misal bayangan mencurigakan yang mengikuti kalian?” tanya Mr. Elios.

Mereka saling berpandangan dan kompak menggeleng.

“Apa yang terjadi?” tanya Eva tidak sabar.

“Kutukan,” celetuk Eero, membuat semua tatapan menoleh padanya. Menerima pandangan tanya, laki-laki itu menghela napas panjang. Dia mengeluarkan tongkat dari balik bajunya.

Tongkat itu digerakkan sehingga ujungnya menggoreskan tulisan berwarna biru keemasan di udara. Eero menuliskan sebuah simbol. Setelah selesai, dia lantas mendorong simbol itu supaya mendekat pada Lana. Simbol itu menghilang, digantikan bayangan seperti asap jelaga yang membuat Zein, Audin, dan Shin menahan napas. Bayangan itu melilit Lana seperti ular.

“Seperti yang Eero katakan,” ujar Mr. Elios lalu menggigit bibir. “Kita tidak akan tahu sumbernya selama Lana belum bangun.”

“Apa yang harus kita lakukan kalau begitu?” tanya Audin.

Lama Mr. Elios berpikir. Pria itu mengetuk-ngetuk ujung kakinya, juga menggigiti kuku jempol kanan.

“Apa boleh buat,” putus dia akhirnya.

***
Tiga mangkuk dan lima piring kotor bertumpuk. Gadis itu dengan tenang menyeruput kuah mie dingin kemudian memasukkan irisan telur rebus ke mulutnya. Berkali-kali dia mengeluarkan suara-suara yang lumayan “mengusik” Snare. Apalagi vampir itu duduk di depannya. Snare hanya memesan stik sapi setengah matang sehingga dia tidak melewatkan aroma darah. Makanan itupun telah habis sekitar satu setengah jam yang lalu.

“Hei,” panggil Snare namun tidak diacuhkan. “Teman kita barusan kecelakaan. Kau tidak khawatir?”

Agatha menyeruput kuah mie lagi. Jeda beberapa detik, gadis itu hanya menanggapi pendek, “Apa hubungannya makan dengan rasa khawatir?” Dia lantas melanjutkan makan—kali ini mengunyah potongan pir.

Snare bengong sambil menggerakkan lidahnya ke dinding mulut.

“Aku hanya bisa bilang napsu makanmu sedang bagus,” katanya.

“Kau jenius,” balas Agatha sengit.

Vampir itu tersenyum sekilas.

“Kali ini apa lagi?” tanyanya. “Aku pikir kau adalah orang yang sangat peduli pada teman.”

“Dia bukan temanku.”

“Kau kejam sekali,” komentar Snare sembari menggeleng. “Kupikir kau telah terbiasa dengan mereka. Masih merasa mereka akan membicarakan hal yang buruk di belakangmu? Ataukah… kau sengaja berlaku kasar untuk membuat mereka menjauh?”

Tidak ada respon.

“Biar aku tebak,” kata Snare lagi. “Kau sengaja menahanku di sini supaya aku tidak mencium bau darah Lana. Wajah seperti mayat itu membuatku bergairah.”

Splash! Segelas air langsung mengguyur wajah Snare. Waitress yang kebetulan lewat langsung menghentikan langkah karena kaget. Bukan hanya dia, beberapa pengunjung lain kafe itupun terkejut. Saat mereka memperkirakan kalau si Laki-laki akan marah, Snare dengan ringannya tersenyum manis pada waitress tadi.

“A-apa perlu saya ambilkan handuk?”

“Tidak usah, terimakasih,” balas Snare.

Meskipun sempat ragu, waitress itupun akhirnya pergi setelah mendapati ekspresi Agatha seperti orang yang sebentar lagi akan mengamuk.

“Kau sentuh dia, akan kubunuh kau!” ancam gadis itu dengan mata menyipit.

Vampir itu tertawa kencang. Pengunjung lain berpikir kalau Snare adalah seorang yang masokis.

“Kembali ke topik,” kata Snare. “Apa yang membuatmu kesal kali ini?”

Agatha meletakkan kembali mangkuknya setelah meneguk habis kuah di sana. Benda itu telah bersih mengkilap tanpa ada sisa. Mulut gadis itu mendecap. Pandangannya terarah keluar dinding kaca kafe tersebut.

“Aku tidak pernah suka bidadari. Mereka terlalu angkuh ketika dimintai tolong,” ujarnya.

“Tidak semua bidadari seperti itu. Mr. Elios misalnya.”

To be honest, Mr. Elios memang bidadari, tapi kastanya rendah. Bidadari yang arogan tidak akan mau tinggal di dunia bawah.”

“Lalu apa hubungannya dengan mood-mu yang jelek?”

“Aku pernah melihat kejadian yang sama persis dengan Lana. Aku juga tahu apa yang akan dilakukan Mr. Elios nantinya.”

***
“Mr. Elios yakin Charlotte tidak akan diapa-apakan di sana?” tanya Zein ragu. Telunjuknya jadi tempat seekor merpati putih bertengger.

“Meski menyebalkan, dia pecinta hewan. Apalagi hewan-hewan cantik,” ujar Mr. Elios.

Zein terdiam beberapa lama, mempertimbangkan ulang apakah dia akan melakukan apa yang Mr. Elios perintahkan atau tidak. Namun ini semua demi Lana. Demi Lana, mereka harus minta bantuan Charlotte. Normalnya, burung tidak akan mampu terbang mencapai bulan, apalagi kayangan. Karenanya, Eero sudah lebih dulu memantrainya supaya kebal. Sebelum menerbangkannya, Zein pun mencium kepala merpati itu. Sosoknya melesat cepat membumbung tinggi.

“Kita akan tahu jika dia membaca pesanku,” gumam Mr. Elios lantas duduk di atas salah satu batu—menunggu.

“Kenapa bukan Mr. Elios saja yang ke kayangan?” tanya Audin.

Kini, hanya ada tiga orang itu di dekat telaga di mana bidadari biasa turun ke bumi untuk mandi ketika bulan purnama.

“Urusan di bumi belum selesai,” jawab pria itu. “Aku hanya akan kembali ke kayangan jika kaisar memerintahkan.”

Audin mengangkat alis tertegun. “Kaisar? Kayangan punya penguasa?”

“Tentu saja. Seperti presiden di negara ini.”

“Seperti apa dia?”

“Dia sebenarnya makhluk abadi—tidak akan mati selain dibunuh atau bunuh diri. Hanya saja tiap seribu tahun, fisiknya akan terlahir kembali. Begitu berulang-ulang. Di periode ini sepertinya sosoknya kurang lebih seperti anak berumur tiga belas tahun.”

“Hoo…” Audin mengangguk-angguk. Teringat sesuatu, gadis itu lalu bertanya lagi, “Apa yang guru ketahui soal bidadari berdarah campuran?”

Mr. Elios mengerjap. Dia terkejut karena Audin menanyakan hal yang sebenarnya cukup tabu di kayangan.

“Mereka punya setengah darah kayangan dan setengah makhluk bumi. Namun dalam kasus tertentu, ada dari mereka yang sepenuhnya punya darah makhluk bumi, lantas menjual jiwanya dan menjadi bidadari. Dengan begitu, mereka bisa hidup sampai ribuan tahun dengan penampilan fisik yang tidak berubah.”

“Apa bedanya dengan vampir?” Kali ini Zein yang bertanya.

Bidadari adalah makhluk yang diberkahi.. sementara vampir adalah monster…

Mereka bertiga menoleh. Agatha datang bersama dengan penghuni DM yang lain kecuali Snare, Laz dan Lana.

“Di mana Snare?” tanya Mr. Elios.

“Berburu,” jawab Eva. “Lana akan aman dengan Laz.”

Mr. Elios mengangguk-angguk. Pandangannya sempat beradu dengan Shin, namun gadis itu buru-buru memalingkan wajah. Raut wajahnya masih saja muram. Pria itupun hanya bisa menghela napas panjang. Kalau saja hanya mereka berdua yang ada di sana…

“Charlotte!!” Zein berseru keras melihat merpati putihnya kembali.

Semua yang ada di sana sontak mendongak ke atas.

Burung itu kembali seorang diri. Namun, tepat ketika Mr. Elios mengira pesannya telah diabaikan, cahaya putih yang amat silau perlahan turun. Sosoknya bagai bintang yang perlahan turun ke bumi. Semuanya perlu waktu beberapa saat untuk membiasakan mata mereka dengan cahaya yang berpendar di sekujur tubuh sosok itu. Mereka melihat sepasang sayap yang dibentangkan lebar, namun ketika kakinya menyentuh permukaan air telaga, sayap itu menghilang, digantikan dengan selendang transparan yang penuh dengan serbuk keperakan.

Dan di sanalah dia, tersenyum samar. Kulit putih bening yang dimilikinya menunjukkan kalau makhluk itu bukan manusia. Rambutnya juga berwarna perak, tampak lembut dan jatuh. Rambut itu berhias beberapa permata yang tidak kalah silaunya.



Kecantikan yang mampu menghipnotis sekitarnya.

Bidadari itu melihat Mr. Elios dan diapun melayang mendekat—kurang lebih seperti Lana. Gerak-geriknya anggun, juga angkuh.

“Katakan padaku…,” katanya dengan nada yang halus. “Apa yang anak didikmu lakukan?”

“Siapa?” tanya Mr. Elios tidak mengerti.

Bidadari itu menyentuh wajah Mr. Elios dengan jari-jari tangannya yang lentik. Dia bahkan mendekatkan mulutnya pada telinga pria itu.

Tidak ada yang tahu kalau Shin mengepalkan tangan dan menekan rahangnya kuat melihatnya.

“Mengapa dia berteman dengan iblis...? Nyawanya pelan-pelan digerogoti…” bisik sang Bidadari. “Apa yang hendak kau berikan padaku jika untuk menolongmu.. aku harus… menghalangi Bidadari Kematian?”

Welcome to Disaster Maker Club (14)

Kamis, 21 Juli 2016



“Dua rasa caramel, satu rasa apel, dan satu lagi rasa stroberi. Semuanya yang large,” pesan Agatha pada wanita paruh baya yang menjaga stan popcorn di taman bermain Liliac. Sementara wanita itu memasukkan popcorn ke dalam masing-masing wadah, Agatha merogoh tas kecilnya untuk menghitung uang.

Zein, Lana, dan Audin sibuk sendiri dengan pamflet Liliac. Mereka berdiskusi permainan apa yang sebaiknya didatangi dulu. Shin sedang duduk melamun di bangku dekat kolam air mancur. Eva tengah tertawa-tawa dengan Eero, sedangkan Laz meski berada di dekat mereka hanya sesekali menanggapi—itupun dengan senyum hambar. Sedangkan Snare… bergeming tidak jauh dari gerobak penjual jus. Mulutnya mengecap tiap kali penjual itu membuat jus buah berwarna merah.

“Sip! Oke kan? Oke ya!” Zein mengacungkan jempol. “Kami mau naik roller coaster dulu! Ada yang mau ikutan?” serunya pada yang lain.

“Aku ikut!” sahut Eva. Melihat Eero diam saja, gadis itu tiba-tiba mengangkat tangannya. Eero kaget. Bahkan sebelum laki-laki itu sempat protes, Zein lebih dulu membeo.

“Eva Eero keren deh! Laz ikutan ya!” kata Zein.

Laz nyengir kuda.

“Yang lain?” sambung Lana bergantian memandang Shin, Agatha dan Snare.

Pass,” jawab Shin dan Agatha bebarengan tanpa sengaja. Keduanya saling berpandangan sekilas.

“Aku mau naik bianglala saja,” kata Agatha. “Yang pesan popcorn tadi siapa? Buruan ambil.”

Zein, Lana, dan Eva langsung menghambur mengambil pesanan mereka.

“Kita kan mau naik roller coaster. Memang bisa bawa ini?” Lana mengangkat alis.

Hening.

Agatha mendesah. Kumpulan bocah idiot, gerutunya dalam hati namun untungnya bisa ditahan supaya tidak kelepasan. Benaknya masih keruh gara-gara ingat dua pengganggu dirinya mengambil alih tubuh mereka selama beberapa hari. Mungkin tidak terhitung ada berapa banyak masalah yang mereka buat. Agatha hanya berharap dua pembuat masalah itu tidak menyebabkan kekacauan juga selain di asrama. Dia tentu tidak rela kerja kerasnya selama ini akan menguap begitu saja.

“Sini aku bawa,” tawarnya disambut senyum sumringah yang lain. Dua kotak popcorn dia bawa di pelukannya sementara dua lainnya dibawa Snare.

“Snare, jangan sampai kau habiskan  popcorn stroberiku mentang-mentang warnanya merah.” Zein memperingatkan sambil matanya menyipit tajam.

Awalnya, Snare mengangkat alisnya lalu pandangannya turun ke bawah memperhatikan sebagian popcorn yang berwarna merah. Selanjutnya dengan masih memasang tampang menyebalkan kali ini, Snare mengambil sekepalan tangan popcorn dan secepat kilat memasukkannya ke dalam mulut.

Zein menjerit. Gadis itu langsung melompat “menghajar” Snare, sementara si Vampir justru mempermainkannya. Mudah saja, karena Zein lebih pendek darinya.

“Pokoknya..,” kata Agatha mengabaikan tingkah keduanya. “Setelah kalian dari roller coaster, kita langsung ke teater.” Dia menoleh pada Shin. “Mau ikut ke bianglala?”

Shin tersenyum tawar.

“Tidak,” tolaknya halus. “Aku mau ke kafe kopi saja. Nanti aku susul.”
***

Makhluk itu hanya memiliki satu mata. Tubuhnya seukuran telur, dengan sepasang kaki unggas dengan kuku yang hitam dan tajam. Dia tampak sangat kecil saat bertengger di satu tempat. Hanya saja ketika hendak pergi, makhluk itu membentangkan sayapnya yang lebar bagai kelelawar. Umumnya, makhluk sejenis itu memiliki sayap dengan panjang mendekati batter bisbol. Hanya saja kali ini sayapnya tumbuh hampir tiga kali panjang normalnya.

Masalah besar kali ini adalah karena Lana tidak tahu.

Bertengger pada kabel listrik di taman Liliac, dia memperhatikan gadis angin itu tampak tertawa riang pada teman-teman yang menyertainya. Senyumnya cerah seperti biasa. Bahkan mungkin lebih cerah dari yang gadis itu berikan padanya.

Mengapa dia bisa tersenyum seperti itu?

Apa yang membuatnya tertawa?

Siapa orang-orang yang sedang bersamanya?

Makhluk itu diam, namun pada matanya muncul garis-garis merah. Pandangannya tetap mengarah pada sosok Lana yang mengantri pada barisan orang-orang yang hendak naik pada kereta yang meluncur cepat. Dia menelengkan tubuhnya, lalu berputar-putar. Saat kakinya tidak lagi berpijak pada kabel, makhluk itu terbang. Sosoknya kemudian menghilang.

***
Sekitar setengah jam mengantri, akhirnya tibalah giliran mereka naik. Lana duduk di sebelah Eero. Di belakang mereka ada Eva dan Zein, sedangkan di belakangnya lagi wajah Laz perlahan membiru di sebelah Audin.

“Kau baik-baik saja?” tanya Audin.

Laz berdehem. Supaya gadis itu tidak melihat wajah tegangnya, dia langsung membuang muka.

“Jangan bilang kalau kau takut?” Audin menebak. Sungguh, dia tidak bermaksud untuk mengejek. Baginya, orang yang berpura-pura berani padahal ketakutan setengah mati sama sekali tidak keren. Bagus jika dia takut namun punya kemampuan untuk meredam rasa takut itu. Tapi jika tidak, bukankah lebih baik menghindar?

Sebelum Audin sempat bertanya lagi, roller coaster itu terlanjur mulai berjalan. Zein dan Eva bahkan mulai menjerit girang.

Tidak butuh waktu lama, roller coaster itu mempercepat lajunya. Setelah melewati terowongan yang gelap, mereka mereka naik mencapai posisi rel yang paling tinggi.

Put your hands up, guys!!!” teriak Zein kencang.

Hell…” Laz menggumam amat pelan—kurang dari sedetik sebelum kendaraan super cepat itu meluncur ke titik paling bawah.

Jeritan penumpangnya nyaring mengalahkan suara gesekan roda dan rel.  Tidak hanya rel yang meluncur dari tempat tinggi ke rendah untuk memacu adrenalin, kepala mereka juga dibuat pusing dengan rel yang melengkung membentuk lingkaran. Ada dua titik rel lingkaran. Titik pertama telah mereka lalui. Selanjutnya di titik kedua, roller coaster itu berhenti mendadak tepat ketika para penumpangnya dalam posisi kepala di bawah.

“Kenapa ini?” Eva mengernyit. “Mesinnya rusak?”

Beberapa dari mereka mulai panik dengan berteriak. Dengan posisi mereka seperti itu, mustahil untuk menyelamatkan diri. Mereka berada cukup jauh di atas tanah. Mungkin tidak masalah kalau mereka langsung mengevakuasi penumpang lain dengan kekuatan yang mereka punya, hanya saja orang-orang itu akan langsung “melihat”. Andai saja Mr. Elios ada di sana, tentu mereka tidak akan khawatir karena bidadari pria itu akan dengan sigap menghapus ingatan yang tidak seharusnya ada.

Sembari Zein dan yang lain mencoba mencari solusi, tubuh Lana kaku. Matanya mengerjap-ngerjap berulang kali. Dia mulai sulit bernapas. Sekujur badannya seolah membatu. Syaraf-syaraf Lana seolah mati. Selain kelopak mata, dia tidak bisa menggerakkan anggota tubuh yang lain.

Seseorang… tolong…

Lana ingin sekali mengucapkan kata itu, namun mulutnya tidak berfungsi.

Samar-samar, gadis itu menyadari sesuatu bergerak-gerak dekat seat belt-nya. Dari suaranya seolah-olah.. seseorang atau sesuatu sedang mencoba membuatnya jatuh dari ketinggian saat ini.

“Teknisnya tahu tidak ya?” gumam Audin mengundang pandangan yang lain supaya tertuju padanya. Eero, Eva, dan Zein menoleh ke belakang sehingga mereka tidak melihatnya.

Baik Audin dan Laz membelalak ngeri saat tubuh Lana yang bagaikan mayat terjatuh ke bawah tanpa gadis itu berusaha terbang seperti yang biasa dirinya lakukan.

“LANAA!!!”

***
Ekspresi Snare mendadak berubah ketika dia dan Agatha tengah menaiki salah satu tempat dalam kincir raksasa.  Vampir itu punya insting dan pendengaran yang tajam. Kepalanya langsung menoleh ke arah sumber suara yang membuatnya punya firasat aneh.

“Ada apa?” tanya Agatha tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponsel.

“Jeritan tadi..” Snare mengernyit. “Dari Audin dan Laz?”

Agatha menatapnya.

“Mereka kan sedang naik roller coaster. Wajar kan kalau mereka menjerit?”

“Bukan jeritan seperti itu,” kata Snare. Laki-laki itu balas menatap Agatha. Perlahan, matanya berubah merah sehingga Agatha tertegun. “Aku juga mencium bau darah segar..”

***
Badan Lana tertelungkup di atas tanah yang penuh rumput gajah mini. Pandangannya buram dan irama napasnya pendek-pendek. Padahal hanya beberapa saat lalu, sekujur tubuhnya mati rasa. Sekarang setelah terjun bebas dan menghantam bumi, indera perasanya kembali berfungsi. Rasa sakitnya timbul perlahan, namun amat menyiksanya.

Sekalipun tidak pernah Lana membayangkan pengendali udara sepertinya akan terjatuh seperti tadi.

Samar-samar telinganya menangkap teriakan teman-temannya yang lain. Lana tidak sanggup membalasnya. Ketika kegelapan mulai menguasai benak gadis itu, sang Makhluk kecil menghampirinya. Sayapnya bahkan membentang lebar untuk membantu Lana terlelap.

Sebelum kesadarannya berangsur menghilang, Lana mengenali sosok itu. Makhluk kecil yang menurutnya manis dan sepatutnya disayangi.

“Pril…,” bisik Lana pelan. Detik selanjutnya, kelopak mata gadis itu menutup setelah darah segar membasahi bagian pelipis.