Eva, Zein, dan Audin berdiri
mengelilingi tempat Lana berbaring, sementara Shin duduk di atas tepi ranjang.
Mereka sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing, melupakan keheningan
panjang yang biasanya sangat mengganggu—apalagi di asrama yang sering berisik.
Di saat Eva, Zein, dan Shin berulang kali membatin kata mengapa, Audin
mempertanyakan kata-kata Demetrin beberapa hari yang lalu.
Orang di dekatnya yang sedang
mengundang kematian datang… apakah itu Lana?
Meskipun seorang pengendali, tubuh
mereka sebenarnya tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Fisik mereka mudah
terluka. Apalagi dari ketinggian seperti itu, Lana jatuh dengan posisi kepala
di bawah. Dia sangat beruntung tidak langsung tewas di tempat. Walaupun melihat
detik-detik saat gadis angin itu jatuh, biarpun sempat, Audin dan Laz tidak
akan bisa berbuat banyak. Tanah yang digerakkan tiba-tiba justru akan melukai
Lana, sedangkan kemampuan logam dari Laz tidak ada gunanya.
Pokoknya, mereka semua tidak ada yang
bisa memperkirakan hal semacam itu terjadi.
Lana kehilangan kekuatannya? Kenapa? Tubuhnya
kaku seperti mayat.
Pintu kamar itu diketuk. Mereka lantas
menoleh ke arah yang sama. Mr. Elios masuk diikuti penghuni lain kecuali Agatha
dan Snare. Zein berani bertaruh kalau gadis galak itu sedang merantai Snare. Vampir
memang gampang gila jika mencium bau darah.
Mr. Elios menghampiri Lana. Pria itu
menaruh kanannya di atas ranjang untuk melihat gadis itu lebih dekat. Ketika dirasanya
selimut yang menutupi tubuh Lana mengganggu, dia menyibaknya sekalian. Shin dan
Eva yang berada di seberang Mr. Elios lantas tertegun melihat iris mata guru
mereka berubah berkilau bagai ametis. Menggunakan mata itu, Mr. Elios
menelusuri seluruh bagian tubuh Lana. Pria itu kemudian mengernyit.
“Apa kalian melihat sesuatu yang aneh
sebelumnya? Misal bayangan mencurigakan yang mengikuti kalian?” tanya Mr.
Elios.
Mereka saling berpandangan dan kompak
menggeleng.
“Apa yang terjadi?” tanya Eva tidak
sabar.
“Kutukan,” celetuk Eero, membuat semua
tatapan menoleh padanya. Menerima pandangan tanya, laki-laki itu menghela napas
panjang. Dia mengeluarkan tongkat dari balik bajunya.
Tongkat itu digerakkan sehingga
ujungnya menggoreskan tulisan berwarna biru keemasan di udara. Eero menuliskan
sebuah simbol. Setelah selesai, dia lantas mendorong simbol itu supaya mendekat
pada Lana. Simbol itu menghilang, digantikan bayangan seperti asap jelaga yang
membuat Zein, Audin, dan Shin menahan napas. Bayangan itu melilit Lana seperti
ular.
“Seperti yang Eero katakan,” ujar Mr.
Elios lalu menggigit bibir. “Kita tidak akan tahu sumbernya selama Lana belum
bangun.”
“Apa yang harus kita lakukan kalau
begitu?” tanya Audin.
Lama Mr. Elios berpikir. Pria itu
mengetuk-ngetuk ujung kakinya, juga menggigiti kuku jempol kanan.
“Apa boleh buat,” putus dia akhirnya.
***
Tiga mangkuk dan lima piring kotor
bertumpuk. Gadis itu dengan tenang menyeruput kuah mie dingin kemudian
memasukkan irisan telur rebus ke mulutnya. Berkali-kali dia mengeluarkan
suara-suara yang lumayan “mengusik” Snare. Apalagi vampir itu duduk di
depannya. Snare hanya memesan stik sapi setengah matang sehingga dia tidak
melewatkan aroma darah. Makanan itupun telah habis sekitar satu setengah jam
yang lalu.
“Hei,” panggil Snare namun tidak
diacuhkan. “Teman kita barusan kecelakaan. Kau tidak khawatir?”
Agatha menyeruput kuah mie lagi. Jeda beberapa
detik, gadis itu hanya menanggapi pendek, “Apa hubungannya makan dengan rasa
khawatir?” Dia lantas melanjutkan makan—kali ini mengunyah potongan pir.
Snare bengong sambil menggerakkan
lidahnya ke dinding mulut.
“Aku hanya bisa bilang napsu makanmu
sedang bagus,” katanya.
“Kau jenius,” balas Agatha sengit.
Vampir itu tersenyum sekilas.
“Kali ini apa lagi?” tanyanya. “Aku
pikir kau adalah orang yang sangat peduli pada teman.”
“Dia bukan temanku.”
“Kau kejam sekali,” komentar Snare
sembari menggeleng. “Kupikir kau telah terbiasa dengan mereka. Masih merasa
mereka akan membicarakan hal yang buruk di belakangmu? Ataukah… kau sengaja
berlaku kasar untuk membuat mereka menjauh?”
Tidak ada respon.
“Biar aku tebak,” kata Snare lagi. “Kau
sengaja menahanku di sini supaya aku tidak mencium bau darah Lana. Wajah
seperti mayat itu membuatku bergairah.”
Splash! Segelas air langsung mengguyur wajah
Snare. Waitress yang kebetulan lewat
langsung menghentikan langkah karena kaget. Bukan hanya dia, beberapa
pengunjung lain kafe itupun terkejut. Saat mereka memperkirakan kalau si
Laki-laki akan marah, Snare dengan ringannya tersenyum manis pada waitress tadi.
“A-apa perlu saya ambilkan handuk?”
“Tidak usah, terimakasih,” balas Snare.
Meskipun sempat ragu, waitress itupun akhirnya pergi setelah
mendapati ekspresi Agatha seperti orang yang sebentar lagi akan mengamuk.
“Kau sentuh dia, akan kubunuh kau!”
ancam gadis itu dengan mata menyipit.
Vampir itu tertawa kencang. Pengunjung lain
berpikir kalau Snare adalah seorang yang masokis.
“Kembali ke topik,” kata Snare. “Apa
yang membuatmu kesal kali ini?”
Agatha meletakkan kembali mangkuknya
setelah meneguk habis kuah di sana. Benda itu telah bersih mengkilap tanpa ada
sisa. Mulut gadis itu mendecap. Pandangannya terarah keluar dinding kaca kafe
tersebut.
“Aku tidak pernah suka bidadari. Mereka
terlalu angkuh ketika dimintai tolong,” ujarnya.
“Tidak semua bidadari seperti itu. Mr.
Elios misalnya.”
“To
be honest, Mr. Elios memang bidadari, tapi kastanya rendah. Bidadari yang
arogan tidak akan mau tinggal di dunia bawah.”
“Lalu apa hubungannya dengan mood-mu yang jelek?”
“Aku pernah melihat kejadian yang sama
persis dengan Lana. Aku juga tahu apa yang akan dilakukan Mr. Elios nantinya.”
***
“Mr. Elios yakin Charlotte tidak akan
diapa-apakan di sana?” tanya Zein ragu. Telunjuknya jadi tempat seekor merpati
putih bertengger.
“Meski menyebalkan, dia pecinta hewan.
Apalagi hewan-hewan cantik,” ujar Mr. Elios.
Zein terdiam beberapa lama,
mempertimbangkan ulang apakah dia akan melakukan apa yang Mr. Elios perintahkan
atau tidak. Namun ini semua demi Lana. Demi Lana, mereka harus minta bantuan
Charlotte. Normalnya, burung tidak akan mampu terbang mencapai bulan, apalagi
kayangan. Karenanya, Eero sudah lebih dulu memantrainya supaya kebal. Sebelum menerbangkannya,
Zein pun mencium kepala merpati itu. Sosoknya melesat cepat membumbung tinggi.
“Kita akan tahu jika dia membaca
pesanku,” gumam Mr. Elios lantas duduk di atas salah satu batu—menunggu.
“Kenapa bukan Mr. Elios saja yang ke
kayangan?” tanya Audin.
Kini, hanya ada tiga orang itu di dekat
telaga di mana bidadari biasa turun ke bumi untuk mandi ketika bulan purnama.
“Urusan di bumi belum selesai,” jawab
pria itu. “Aku hanya akan kembali ke kayangan jika kaisar memerintahkan.”
Audin mengangkat alis tertegun. “Kaisar?
Kayangan punya penguasa?”
“Tentu saja. Seperti presiden di negara
ini.”
“Seperti apa dia?”
“Dia sebenarnya makhluk abadi—tidak
akan mati selain dibunuh atau bunuh diri. Hanya saja tiap seribu tahun,
fisiknya akan terlahir kembali. Begitu berulang-ulang. Di periode ini
sepertinya sosoknya kurang lebih seperti anak berumur tiga belas tahun.”
“Hoo…” Audin mengangguk-angguk. Teringat
sesuatu, gadis itu lalu bertanya lagi, “Apa yang guru ketahui soal bidadari
berdarah campuran?”
Mr. Elios mengerjap. Dia terkejut
karena Audin menanyakan hal yang sebenarnya cukup tabu di kayangan.
“Mereka punya setengah darah kayangan
dan setengah makhluk bumi. Namun dalam kasus tertentu, ada dari mereka yang
sepenuhnya punya darah makhluk bumi, lantas menjual jiwanya dan menjadi
bidadari. Dengan begitu, mereka bisa hidup sampai ribuan tahun dengan
penampilan fisik yang tidak berubah.”
“Apa bedanya dengan vampir?” Kali ini
Zein yang bertanya.
“Bidadari
adalah makhluk yang diberkahi.. sementara vampir adalah monster…”
Mereka bertiga menoleh. Agatha datang
bersama dengan penghuni DM yang lain kecuali Snare, Laz dan Lana.
“Di mana Snare?” tanya Mr. Elios.
“Berburu,” jawab Eva. “Lana akan aman
dengan Laz.”
Mr. Elios mengangguk-angguk. Pandangannya
sempat beradu dengan Shin, namun gadis itu buru-buru memalingkan wajah. Raut wajahnya
masih saja muram. Pria itupun hanya bisa menghela napas panjang. Kalau saja
hanya mereka berdua yang ada di sana…
“Charlotte!!” Zein berseru keras
melihat merpati putihnya kembali.
Semua yang ada di sana sontak mendongak
ke atas.
Burung itu kembali seorang diri. Namun,
tepat ketika Mr. Elios mengira pesannya telah diabaikan, cahaya putih yang amat
silau perlahan turun. Sosoknya bagai bintang yang perlahan turun ke bumi. Semuanya
perlu waktu beberapa saat untuk membiasakan mata mereka dengan cahaya yang
berpendar di sekujur tubuh sosok itu. Mereka melihat sepasang sayap yang
dibentangkan lebar, namun ketika kakinya menyentuh permukaan air telaga, sayap
itu menghilang, digantikan dengan selendang transparan yang penuh dengan serbuk
keperakan.
Dan di sanalah dia, tersenyum samar.
Kulit putih bening yang dimilikinya menunjukkan kalau makhluk itu bukan
manusia. Rambutnya juga berwarna perak, tampak lembut dan jatuh. Rambut itu
berhias beberapa permata yang tidak kalah silaunya.
Kecantikan yang mampu menghipnotis
sekitarnya.
Bidadari itu melihat Mr. Elios dan
diapun melayang mendekat—kurang lebih seperti Lana. Gerak-geriknya anggun, juga
angkuh.
“Katakan padaku…,” katanya dengan nada
yang halus. “Apa yang anak didikmu lakukan?”
“Siapa?” tanya Mr. Elios tidak
mengerti.
Bidadari itu menyentuh wajah Mr. Elios
dengan jari-jari tangannya yang lentik. Dia bahkan mendekatkan mulutnya pada
telinga pria itu.
Tidak ada yang tahu kalau Shin
mengepalkan tangan dan menekan rahangnya kuat melihatnya.
“Mengapa dia berteman dengan iblis...?
Nyawanya pelan-pelan digerogoti…” bisik sang Bidadari. “Apa yang hendak kau
berikan padaku jika untuk menolongmu.. aku harus… menghalangi Bidadari
Kematian?”