Bunyi
berisik datang dari belakang asrama, tepatnya di dekat kebun bunga Shin dan
kandang milik Zein. Untunglah bunyi berisik itu tidak akan sampai ke dalam
asrama sehingga Laz tidak perlu khawatir apa yang dia lakukan akan mengganggu
teman-temannya yang lain. Laki-laki itu sedang mengasah sebilah belati. Logam
yang membentuk belati itu bersih mengkilap, hanya saja pegangannya sedikit
kotor. Laz mengangkat belati itu ke udara, mengarahkan cahaya bulan supaya
menyinarinya. Lagi-lagi dia tersenyum mendapati ukiran di sana.
“Apa
yang kau lakukan?”
“HUAA!!!”
Laz memekik kaget. Sesosok tubuh mendadak berkelebat tepat di depannya
sampai-sampai cahaya bulan terhalang.
Di
situlah Snare; bergelantungan dengan posisi kepala di bawah. Kedua kakinya
menahan tubuhnya supaya tidak jatuh. Rambut keemasan yang dia miliki mencolok
sekali, memantulkan sinar bulan.
Snare
tersenyum.
“Kau
tahu, aku penasaran mengenai apa yang selalu mereka katakan tentangmu,”
katanya. “Misterius? Poker face? Ekspresimu
terlihat jelas sekarang.”
“Jadi
kau belajar meniru Eero?” gumam Laz setelah berusaha mati-matian melenyapkan
warna merah padam di wajahnya.
“Supaya
kau tahu saja. Aku tidak berniat mengagetkanmu. Aku enggan turun makanya muncul
di depanmu seperti ini.”
Laz
terduduk dan diam. Dia kembali mengusap-usap belatinya. Memastikan benda itu
sudah sepenuhnya bersih, Laz lalu memasukkannya ke dalam sarung kulit yang
dibuat khusus.
“Mereka
tidak saling bicara,” ujar Laz tanpa melihat Snare.
Snare
tahu apa yang laki-laki itu maksud namun tidak langsung berkomentar.
“Bahkan
Shin yang biasa jadi penengah pun diam.”
Snare
tersenyum. Vampir itu akhirnya turun dari dahan pohon. Kedua tangannya
dimasukkan ke saku celana. Langkahnya menghampiri Laz lalu duduk persis di
sebelahnya sambil menopang dagu.
“Shin
diam karena tidak akan ada gunanya meski dia melakukan berbagai cara. Ini bukan
pertama kalinya kau bertemu dengan si Pencipta masalah itu kan? Waktu itupun
Shin memilih membiarkannya saja meski Agatha membakar habis pohon persik yang
sudah susah payah dia rawat,” papar Snare. “Mr. Elios pun takkan melakukan apa
pun.”
“What a troublesome princess..,” gumam
Laz memandang bangunan asrama di depan mereka. “Dia akan menghancurkan apa pun
di sekelilingnya.”
***
Agatha
selesai menaiki anak tangga ketika tanpa diduga dia berpapasan dengan Zein. Mata
mereka bertemu dan langkah keduanya terhenti. Kelopak mata Zein berkedut
seperti sedang mencoba mengatakan sesuatu, biar begitu tidak ada suara yang
keluar dari mulutnya. Pandangan Agatha tidaklah ramah. Keinginan Zein terlalu
muluk apabila dia berharap Agatha menyapanya, biarpun ketus seperti biasa,
misalnya mengingatkan gadis itu untuk makan malam.
Agatha
bergerak maju, berniat mengabaikan Zein. Tapi sebelum gadis itu melewatinya,
Zein akhirnya bersuara.
“Kejadian
kemarin…”
Langkah
Agatha berhenti.
“Tolong
jangan lakukan itu lagi.”
Zein
mengepalkan tangannya erat-erat. Gigi atasnya menekan bibir bawah kuat-kuat
seperti sedang berusaha menahan emosi yang bergolak dalam hati. Matanya bahkan
sedikit memerah, dan jelas dia mati-matian menghindari pandangan Agatha yang
menganggapnya hama.
“Kenapa?”
tanya Agatha membuat Zein tertegun. “Apa mereka ada bedanya dengan fish and chips yang kumakan hari ini?”
Sedetik,
Zein merasa ada jarum yang sengaja diselipkan di rongga dadanya. Tidak tahan
lagi, kali ini gadis itu menatap Agatha lurus-lurus tanpa lagi menyembunyikan
amarah. Perlahan bayangan serigala hitam muncul di samping Zein.
“Kau
mengancamku?” Dahi Agatha berkerut tak suka.
Saat
mendadak serigala hitam itu hendak menyerangnya, bongkahan es yang panjang dan
panjang tiba-tiba muncul dari belakang Zein. Zein refleks menoleh saat tongkat es
itu mengarah cepat untuk mengenai wajahnya. Bersamaan ketika Zein lengah, serigala
hitam tadi lenyap. Tongkat es menghantam Zein hingga gadis itu terpental dan
langsung membentur dinding.
Bunyi
keras yang terdengar langsung menarik perhatian dua orang yang juga ada di
lantai dua.
“Zein?
Zein!” Lana yang terkejut langsung menghampiri Zein yang meringis kesakitan. Pandangannya
langsung mengarah pada Agatha yang masih bergeming pada tempatnya. “Kau lagi?”
Eva
hadir tidak lama kemudian, mendapati genangan air di lantai sekeliling mereka
yang berasal dari es yang meleleh.
“Hei.”
Eva bicara pada Agatha. “Bukankah dilarang memakai kekuatan sebagai senjata
pada teman sendiri?”
“Teman?”
balas Agatha tersenyum samar. “You will
see other’s true colors when you are no longer beneficial to their life.”
Eva
hendak mendebat gadis itu, namun Agatha tidak memberinya kesempatan dengan
berbalik pergi. Tiga langkah dia bergerak, tiba-tiba saja jendela yang berada
di ujung lorong terbuka. Angin yang masuk sangat kencang hingga mereka harus
menjadikan tangan sebagai tameng. Agatha terbelalak saat melihat Snare muncul
tepat di tengah-tengah lubang jendela. Matanya berkilat merah.
Berdecap,
Agatha berbalik. Sontak dia berlari. Eva dan Lana pun tercengang melihat gadis
itu mencoba kabur.
Snare
tidak membiarkannya. Dengan kekuatan yang dia punya, hawa di sekeliling mereka
memaksa Agatha supaya terseret mundur ke arah Snare berada. Mencoba melepaskan
diri, sisa-sisa air yang menggenang di lantai, digunakan Agatha untuk menyerang
Snare. Air itu membentu serpihan-serpihan tajam dan langsung mengarah pada
Snare. Beberapa bahkan melukai vampir itu di bagian wajah dan bahu.
Snare
tidak peduli pada perlawanan Agatha. Mata merahnya tetap menyorot tanpa memberi
tanda-tanda akan berhenti meski Eva, Lana dan Zein mulai merasakan pernapasan
mereka terganggu.
“Aku
tidak akan membiarkan kau memakai tubuh itu lebih lama lagi,” kata Snare lalu
menambah kekuatan hawa penariknya.
Agatha
memekik. Kakinya tidak lagi kuat menahan tubuhnya sendiri. Dia pun terlempar
keluar jendela di mana Snare menunggunya. Tarikan itu berhasil, namun Snare
tidak menduga kalau gadis itu menyimpan segenggam air di tangannya. Mereka bertubrukan.
Bola air itu berubah menjadi pisau dan menikam bahu Snare. Mereka langsung
terjun ke bawah dari lantai dua.
***
Shin
berlari menyusuri trotoar meski udara di luar sangat dingin dan lembab. Napas yang
keluar dari hidung dan mulutnya bahkan menciptakan uap. Dia berlari lima belas
menit lamanya sebelum akhirnya sampai di depan pintu sebuah rumah mungil yang
dikelilingi pagar tanaman yang penuh kerlap-kerlip cahaya. Cahaya-cahaya itu
tidak bisa dilihat manusia biasa.
Berjongkok
sebentar untuk menstabilkan napasnya, Shin lalu memencet bel pintu
berulang-ulang. Biarpun berlalu dua detik tidak ada jawaban, Shin langsung
memencet bel lagi dengan menggebu-gebu. Bunyi berisik itu langsung membawa
Elios ke lantai bawah untuk melihat siapa yang datang.
“Shin?”
Laki-laki itu mengerutkan kening begitu mengenali orang yang meneror rumahnya
malam-malam begini.
“Guru,
tolong! Zein terbentur dan memar, Agatha dan Snare jatuh dari lantai dua,
Agatha menusuk bahu Snare!”
***
“Aduduh…
aduh!” Zein meringis kesakitan saat Lana mengusapkan kain yang basah dengan air
dingin di pelipis dan bahunya.
Tidak
jauh dari mereka, Eero berulang kali mengganti perban Snare karena darah yang
merembes tidak juga kunjung berhenti. Semua penghuni DM kecuali Shin berkumpul
di ruang tengah begitu mendengar keributan yang semestinya tidak terjadi. Mereka
juga beberapa kali melirik pada Agatha yang berbaring tidak sadar di atas sofa,
sementara Snare menjadikan kedua pahanya sebagai bantalan gadis itu.
“Ini
bukan salahnya,” kata Zein kemudian, membuat semua perhatian beralih pada gadis
itu. “Akulah yang sudah membuatnya marah hingga jadi seperti ini. Agatha cuma
membela diri saat aku.. tanpa sadar akan menyerangnya.”
“Aku
akan melakukan hal yang sama jika menjadi kau,” balas Eva yang sejak tadi
merasa terganggu. “Baru kali ini aku kenal orang yang menjengkelkan seperti
dia.”
Lana,
Laz, dan Eero mendadak memandang Eva bermakna memojokkan. Eva pun berdehem.
“Oke,
aku pun menjengkelkan. Kadang,” akunya. Tiga orang tadi langsung
mengangguk-angguk setuju. “Hanya saja tidak menjengkelkan seperti dia.”
“Tidak.
Ini memang salahku,” kata Zein lagi. Sebelum yang lain memrotesnya kembali,
Zein buru-buru memperjelas semuanya. “Aku tahu tidak ada gunanya meladeni Atha,
apalagi dia seperti itu..”
Hening.
Semua yang ada di sana, kecuali tiga orang yang punya label sebagai anak baru
jelas tidak puas dengan teka-teki di sekeliling mereka.
“Ada
yang merasa keberatan memberi penjelasan soal ini pada kami yang murid
pindahan?” tanya Audin yang beberapa hari ini lebih senang membisu. “Awalnya,
aku memang agak terganggu dengan sikap Agatha yang keras. Tapi, aku tidak
berpikir dia akan melakukan sampai sejauh ini.”
Mereka,
kecuali Lana dan Eva saling berpandangan.
“Rasa
bersalah.”
Kata-kata
yang berasal dari seseorang yang baru datang langsung mengalihkan perhatian
mereka. Mr. Elios hadir, bersama dengan Shin yang mengikutinya dari belakang,
“Dia
tidak memilikinya,” kata Mr. Elios lagi lalu mendekat dan melihat Agatha dari
dekat. “Dia bisa jadi sangat jahat sewaktu-waktu. Tapi bukan itu saja masalahnya.
Dia bahkan bisa berbalik melukai diri. Seperti kali ini—menjadikan orang yang
mulanya teman, menjadi musuh yang bisa menyerangnya kapan saja.”
Zein
menunduk.
“Aku
pikir kamu tidak melupakannya, Zein.”
“Maafkan
saya..,” ucap Zein menyesal.
“Memang
tidak bijak membiarkan dia seenaknya. Tapi sangat terlarang memancing emosinya
lebih jauh,” kata Mr. Elios lalu menghela napas panjang. Laki-laki itu
berjongkok sekilas untuk mengusap wajah Agatha yang sedikit kotor akibat
terjatuh tadi.
“Ini
semacam personality disorder atau
apa?” celetuk Eva.
Mr.
Elios tersenyum.
“Kau
cerdas,” pujinya. Lana dan Audin tertegun. Mr. Elios lalu beralih memandang
Snare. “Apa yang kau coba lakukan tadi?”
“Memberinya
pelajaran,” jawab Snare pendek.
Shin
tersenyum masam. Snare yang biasanya menurut pada Agatha pun bahkan sampai
berani memakai kekerasan pada gadis itu.
“Kejadian
kali ini, jangan sampai terulang lagi,” pesan Mr. Elios. “Kalian harus akur
satu sama lain. Kalian harus paham kalau kalian bukan remaja biasa. Pertengkaran
kecil saja akan ada beberapa yang jadi korban. Asrama ini khusus diciptakan
untuk mewujudkan harmoni itu.”
Atmosfer
mereka hening dan kaku.
“Kalian
akan berangkat sekolah seperti biasa besok. Masalah kali ini, tidak boleh
dibawa ke sekolah, apalagi sampai terdengar guru yang lain. Mengerti?”
“Ya,
guru,” sahut yang lain pelan namun kompak.
Ketika
Mr. Elios berbalik hendak pergi diikuti Shin, pertanyaan Eva menghentikan
langkahnya.
“Jadi
ada berapa?”
Mr.
Elios dan Shin bersamaan menoleh.
“Mereka ada berapa?” Eva memperjelas
tanyanya.
Shin
menggantikan Mr. Elios untuk menjawab pertanyaan itu; hanya dengan satu kata. “Tiga.”
***
Tubuh
itu sebenarnya sudah terbangun beberapa saat yang lalu. Dia memahami kekakuan
di sekelilingnya sekarang dan tidak berniat membuka mata supaya terhindar dari
tatapan aneh orang-orang di dekatnya kini.
“Kalian
akan berangkat sekolah seperti biasa besok. Masalah kali ini, tidak boleh
dibawa ke sekolah, apalagi sampai terdengar guru yang lain. Mengerti?”
Dia
bisa mendengar dengan jelas suara guru pria yang amat dikenalnya. Suara yang
indah. Wajah tampan itu akan sulit terlupakan.
“Jadi
ada berapa?”
Pertanyaan
itu keluar dari seorang gadis yang suaranya terdengar asing.
“Mereka ada berapa?” Gadis itu mengulang
lagi pertanyaannya sekaligus memperjelas maksudnya.
Bukan
Mr. Elios yang kemudian menjawab pertanyaan itu, melainkan seorang gadis yang
dia kenal selalu diselimuti aroma harum bunga.
“Tiga.”
Dan
satu jawaban itu, membuat si Gadis air menyeringai dalam hati.
***
“Kau
tidak perlu mengantarku. Udaranya sangat membekukan di luar,” kata Mr. Elios
setelah Shin menutup pintu ketika mereka ada di luar.
“Saya
temani sampai di ujung jalan,” balas Shin pura-pura tidak mendengar.
Sesaat,
suasana berubah canggung ketika mereka berjalan bersisian. Mr. Elios tampak
sibuk dengan pikirannya sendiri. Shin kemudian tersenyum masam.
“Maafkan,
saya lengah,” ucap Shin. “Guru sudah minta saya supaya mengawasinya..”
Mr.
Elios diam. Ketika dilihatnya pipi Shin merona karena kedinginan, pria itu
mendadak meraih tangannya dan memasukkannya ke saku jaket.
“Gu-guru..”
Shin kaget dan gugup.
“Sudah
kubilang udaranya dingin,” kata Mr. Elios datar. “Dan juga.. aku lega kau tidak
terluka.”