Aqua's Angel

Kamis, 26 Mei 2016



“Di mana dia? Cari sampai ketemu!”

“Coba cari di taman! Siapa tahu dia kembali mengganggu Claire!”

“Gara-gara anak nakal itu, Nyonya pasti akan marah lagi!

“Cepat temukan sebelum guru keempat hari ini datang!”

Tubuhnya yang kecil memberinya keuntungan. Anak itu duduk memeluk kedua kakinya sendiri di balik semak. Kakinya tidak bersepatu. Benda itu cukup mempersulitnya ketika kabur tadi, jadi dia memutuskan untuk melemparnya begitu saja entah ke mana.

Wanita itu jelas akan memarahi anak itu nanti. Wanita yang dia panggil dengan sebutan ibu.

Saat menyadari sekelilingnya perlahan tenang, dia mengintip lagi dari sela-sela semak, memastikan supaya tidak ada dayang yang tersisa di dekatnya untuk memburu gadis kecil itu lagi. Memantapkan hati, akhirnya dia berlari lagi masuk ke dalam hutan. Orang-orang sering bercerita mengenai betapa menakutkannya hutan hujan di belakang kastilnya. Hutan itu gelap saat seseorang makin masuk ke dalam. Kabarnya ada monster yang jadi penghuni di sana.

Dirinya tidak takut pada hutan yang menyeramkan, tidak juga pada monster yang sering orang-orang ceritakan. Dia lebih takut berada selamanya dalam kastil, berada di kungkungan di mana dia harus menuruti ekspektasi berlebihan sekitarnya. Anak itu yakin akan ada banyak hal indah yang menunggunya di luar sana. Dia hanya harus keluar. Hanya itu satu-satunya cara untuk tidak lagi mendengar makian, ceramahan, serta gerutuan orang-orang di belakangnya selama ini.

Lama-lama tubuh kecil itu kelelahan. Langkah kakinya berhenti setelah hampir tersandung akar besar yang mencuat dari tanah.

Dia duduk lalu membawa bungkusan kecil yang dia bawa. Isinya beberapa potong roti yang dia curi dari dapur. Mereka tidak akan tahu ada sebagian makanan yang hilang karena bahan-bahan di sana selalu berlimpah. Anak itupun memakannya sebagian.

Ketika energinya telah cukup terkumpul, dia melanjutkan kembali jalannya tanpa takut sekelilingnya bertambah gelap. Telinganya hanya menangkap suara-suara gemerisik daun dan bunyi langkah kakinya sendiri. Sudut matanya menangkap titik-titik cahaya yang bergerak-gerak. Penasaran, anak itu pun mengikuti nalurinya.

Pada akhirnya telaga itu terlihat. Airnya jernih dan berkilau serupa permukaan berlian. Saking tajubnya, mulut anak itu terus-terusan menganga dengan mata yang berbinar-binar. Tepat saat itulah, ketika menoleh, dia melihatnya.

Seorang laki-laki duduk dan tertidur di atas dahan pohon yang besar. Kulitnya sepucat dan sehalus porselen. Bulu matanya lentik dan panjang, memperindah wajahnya ketika tidur seperti ini. Bibirnya merah dan ranum. Sementara itu, rambut hitam legamnya menjuntai sampai ke tanah.

Dia mungkin bukan manusia, pikir si Gadis kecil. Dengan kecantikan seperti itu, dia akan mendapatkan dunia.
 
Sebelum gadis kecil itu sempat berlari, ah tidak, bahkan sebelum dia sanggup bernapas secara benar, sepasang mata itu terbuka. Dia pun melihatnya.

Vampir induk yang bermata semerah darah.


Welcome to Disaster Maker Club (10)

Selasa, 24 Mei 2016



Bunyi berisik datang dari belakang asrama, tepatnya di dekat kebun bunga Shin dan kandang milik Zein. Untunglah bunyi berisik itu tidak akan sampai ke dalam asrama sehingga Laz tidak perlu khawatir apa yang dia lakukan akan mengganggu teman-temannya yang lain. Laki-laki itu sedang mengasah sebilah belati. Logam yang membentuk belati itu bersih mengkilap, hanya saja pegangannya sedikit kotor. Laz mengangkat belati itu ke udara, mengarahkan cahaya bulan supaya menyinarinya. Lagi-lagi dia tersenyum mendapati ukiran di sana.

“Apa yang kau lakukan?”

“HUAA!!!” Laz memekik kaget. Sesosok tubuh mendadak berkelebat tepat di depannya sampai-sampai cahaya bulan terhalang.

Di situlah Snare; bergelantungan dengan posisi kepala di bawah. Kedua kakinya menahan tubuhnya supaya tidak jatuh. Rambut keemasan yang dia miliki mencolok sekali, memantulkan sinar bulan.

Snare tersenyum.

“Kau tahu, aku penasaran mengenai apa yang selalu mereka katakan tentangmu,” katanya. “Misterius? Poker face? Ekspresimu terlihat jelas sekarang.”

“Jadi kau belajar meniru Eero?” gumam Laz setelah berusaha mati-matian melenyapkan warna merah padam di wajahnya.

“Supaya kau tahu saja. Aku tidak berniat mengagetkanmu. Aku enggan turun makanya muncul di depanmu seperti ini.”

Laz terduduk dan diam. Dia kembali mengusap-usap belatinya. Memastikan benda itu sudah sepenuhnya bersih, Laz lalu memasukkannya ke dalam sarung kulit yang dibuat khusus.

“Mereka tidak saling bicara,” ujar Laz tanpa melihat Snare.

Snare tahu apa yang laki-laki itu maksud namun tidak langsung berkomentar.

“Bahkan Shin yang biasa jadi penengah pun diam.”

Snare tersenyum. Vampir itu akhirnya turun dari dahan pohon. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Langkahnya menghampiri Laz lalu duduk persis di sebelahnya sambil menopang dagu.

“Shin diam karena tidak akan ada gunanya meski dia melakukan berbagai cara. Ini bukan pertama kalinya kau bertemu dengan si Pencipta masalah itu kan? Waktu itupun Shin memilih membiarkannya saja meski Agatha membakar habis pohon persik yang sudah susah payah dia rawat,” papar Snare. “Mr. Elios pun takkan melakukan apa pun.”

What a troublesome princess..,” gumam Laz memandang bangunan asrama di depan mereka. “Dia akan menghancurkan apa pun di sekelilingnya.”

***
Agatha selesai menaiki anak tangga ketika tanpa diduga dia berpapasan dengan Zein. Mata mereka bertemu dan langkah keduanya terhenti. Kelopak mata Zein berkedut seperti sedang mencoba mengatakan sesuatu, biar begitu tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Pandangan Agatha tidaklah ramah. Keinginan Zein terlalu muluk apabila dia berharap Agatha menyapanya, biarpun ketus seperti biasa, misalnya mengingatkan gadis itu untuk makan malam.

Agatha bergerak maju, berniat mengabaikan Zein. Tapi sebelum gadis itu melewatinya, Zein akhirnya bersuara.

“Kejadian kemarin…”

Langkah Agatha berhenti.

“Tolong jangan lakukan itu lagi.”

Zein mengepalkan tangannya erat-erat. Gigi atasnya menekan bibir bawah kuat-kuat seperti sedang berusaha menahan emosi yang bergolak dalam hati. Matanya bahkan sedikit memerah, dan jelas dia mati-matian menghindari pandangan Agatha yang menganggapnya hama.

“Kenapa?” tanya Agatha membuat Zein tertegun. “Apa mereka ada bedanya dengan fish and chips yang kumakan hari ini?”

Sedetik, Zein merasa ada jarum yang sengaja diselipkan di rongga dadanya. Tidak tahan lagi, kali ini gadis itu menatap Agatha lurus-lurus tanpa lagi menyembunyikan amarah. Perlahan bayangan serigala hitam muncul di samping Zein.

“Kau mengancamku?” Dahi Agatha berkerut tak suka.

Saat mendadak serigala hitam itu hendak menyerangnya, bongkahan es yang panjang dan panjang tiba-tiba muncul dari belakang Zein. Zein refleks menoleh saat tongkat es itu mengarah cepat untuk mengenai wajahnya. Bersamaan ketika Zein lengah, serigala hitam tadi lenyap. Tongkat es menghantam Zein hingga gadis itu terpental dan langsung membentur dinding.

Bunyi keras yang terdengar langsung menarik perhatian dua orang yang juga ada di lantai dua.

“Zein? Zein!” Lana yang terkejut langsung menghampiri Zein yang meringis kesakitan. Pandangannya langsung mengarah pada Agatha yang masih bergeming pada tempatnya. “Kau lagi?”

Eva hadir tidak lama kemudian, mendapati genangan air di lantai sekeliling mereka yang berasal dari es yang meleleh.

“Hei.” Eva bicara pada Agatha. “Bukankah dilarang memakai kekuatan sebagai senjata pada teman sendiri?”

“Teman?” balas Agatha tersenyum samar. “You will see other’s true colors when you are no longer beneficial to their life.”

Eva hendak mendebat gadis itu, namun Agatha tidak memberinya kesempatan dengan berbalik pergi. Tiga langkah dia bergerak, tiba-tiba saja jendela yang berada di ujung lorong terbuka. Angin yang masuk sangat kencang hingga mereka harus menjadikan tangan sebagai tameng. Agatha terbelalak saat melihat Snare muncul tepat di tengah-tengah lubang jendela. Matanya berkilat merah.

Berdecap, Agatha berbalik. Sontak dia berlari. Eva dan Lana pun tercengang melihat gadis itu mencoba kabur.

Snare tidak membiarkannya. Dengan kekuatan yang dia punya, hawa di sekeliling mereka memaksa Agatha supaya terseret mundur ke arah Snare berada. Mencoba melepaskan diri, sisa-sisa air yang menggenang di lantai, digunakan Agatha untuk menyerang Snare. Air itu membentu serpihan-serpihan tajam dan langsung mengarah pada Snare. Beberapa bahkan melukai vampir itu di bagian wajah dan bahu.

Snare tidak peduli pada perlawanan Agatha. Mata merahnya tetap menyorot tanpa memberi tanda-tanda akan berhenti meski Eva, Lana dan Zein mulai merasakan pernapasan mereka terganggu.

“Aku tidak akan membiarkan kau memakai tubuh itu lebih lama lagi,” kata Snare lalu menambah kekuatan hawa penariknya.

Agatha memekik. Kakinya tidak lagi kuat menahan tubuhnya sendiri. Dia pun terlempar keluar jendela di mana Snare menunggunya. Tarikan itu berhasil, namun Snare tidak menduga kalau gadis itu menyimpan segenggam air di tangannya. Mereka bertubrukan. Bola air itu berubah menjadi pisau dan menikam bahu Snare. Mereka langsung terjun ke bawah dari lantai dua.

***
Shin berlari menyusuri trotoar meski udara di luar sangat dingin dan lembab. Napas yang keluar dari hidung dan mulutnya bahkan menciptakan uap. Dia berlari lima belas menit lamanya sebelum akhirnya sampai di depan pintu sebuah rumah mungil yang dikelilingi pagar tanaman yang penuh kerlap-kerlip cahaya. Cahaya-cahaya itu tidak bisa dilihat manusia biasa.

Berjongkok sebentar untuk menstabilkan napasnya, Shin lalu memencet bel pintu berulang-ulang. Biarpun berlalu dua detik tidak ada jawaban, Shin langsung memencet bel lagi dengan menggebu-gebu. Bunyi berisik itu langsung membawa Elios ke lantai bawah untuk melihat siapa yang datang.

“Shin?” Laki-laki itu mengerutkan kening begitu mengenali orang yang meneror rumahnya malam-malam begini.

“Guru, tolong! Zein terbentur dan memar, Agatha dan Snare jatuh dari lantai dua, Agatha menusuk bahu Snare!”

***
“Aduduh… aduh!” Zein meringis kesakitan saat Lana mengusapkan kain yang basah dengan air dingin di pelipis dan bahunya.

Tidak jauh dari mereka, Eero berulang kali mengganti perban Snare karena darah yang merembes tidak juga kunjung berhenti. Semua penghuni DM kecuali Shin berkumpul di ruang tengah begitu mendengar keributan yang semestinya tidak terjadi. Mereka juga beberapa kali melirik pada Agatha yang berbaring tidak sadar di atas sofa, sementara Snare menjadikan kedua pahanya sebagai bantalan gadis itu.

“Ini bukan salahnya,” kata Zein kemudian, membuat semua perhatian beralih pada gadis itu. “Akulah yang sudah membuatnya marah hingga jadi seperti ini. Agatha cuma membela diri saat aku.. tanpa sadar akan menyerangnya.”

“Aku akan melakukan hal yang sama jika menjadi kau,” balas Eva yang sejak tadi merasa terganggu. “Baru kali ini aku kenal orang yang menjengkelkan seperti dia.”

Lana, Laz, dan Eero mendadak memandang Eva bermakna memojokkan. Eva pun berdehem.

“Oke, aku pun menjengkelkan. Kadang,” akunya. Tiga orang tadi langsung mengangguk-angguk setuju. “Hanya saja tidak menjengkelkan seperti dia.”

“Tidak. Ini memang salahku,” kata Zein lagi. Sebelum yang lain memrotesnya kembali, Zein buru-buru memperjelas semuanya. “Aku tahu tidak ada gunanya meladeni Atha, apalagi dia seperti itu..”

Hening. Semua yang ada di sana, kecuali tiga orang yang punya label sebagai anak baru jelas tidak puas dengan teka-teki di sekeliling mereka.

“Ada yang merasa keberatan memberi penjelasan soal ini pada kami yang murid pindahan?” tanya Audin yang beberapa hari ini lebih senang membisu. “Awalnya, aku memang agak terganggu dengan sikap Agatha yang keras. Tapi, aku tidak berpikir dia akan melakukan sampai sejauh ini.”

Mereka, kecuali Lana dan Eva saling berpandangan.

“Rasa bersalah.”

Kata-kata yang berasal dari seseorang yang baru datang langsung mengalihkan perhatian mereka. Mr. Elios hadir, bersama dengan Shin yang mengikutinya dari belakang,

“Dia tidak memilikinya,” kata Mr. Elios lagi lalu mendekat dan melihat Agatha dari dekat. “Dia bisa jadi sangat jahat sewaktu-waktu. Tapi bukan itu saja masalahnya. Dia bahkan bisa berbalik melukai diri. Seperti kali ini—menjadikan orang yang mulanya teman, menjadi musuh yang bisa menyerangnya kapan saja.”

Zein menunduk.

“Aku pikir kamu tidak melupakannya, Zein.”

“Maafkan saya..,” ucap Zein menyesal.

“Memang tidak bijak membiarkan dia seenaknya. Tapi sangat terlarang memancing emosinya lebih jauh,” kata Mr. Elios lalu menghela napas panjang. Laki-laki itu berjongkok sekilas untuk mengusap wajah Agatha yang sedikit kotor akibat terjatuh tadi.

“Ini semacam personality disorder atau apa?” celetuk Eva.

Mr. Elios tersenyum.

“Kau cerdas,” pujinya. Lana dan Audin tertegun. Mr. Elios lalu beralih memandang Snare. “Apa yang kau coba lakukan tadi?”

“Memberinya pelajaran,” jawab Snare pendek.

Shin tersenyum masam. Snare yang biasanya menurut pada Agatha pun bahkan sampai berani memakai kekerasan pada gadis itu.

“Kejadian kali ini, jangan sampai terulang lagi,” pesan Mr. Elios. “Kalian harus akur satu sama lain. Kalian harus paham kalau kalian bukan remaja biasa. Pertengkaran kecil saja akan ada beberapa yang jadi korban. Asrama ini khusus diciptakan untuk mewujudkan harmoni itu.”

Atmosfer mereka hening dan kaku.

“Kalian akan berangkat sekolah seperti biasa besok. Masalah kali ini, tidak boleh dibawa ke sekolah, apalagi sampai terdengar guru yang lain. Mengerti?”

“Ya, guru,” sahut yang lain pelan namun kompak.

Ketika Mr. Elios berbalik hendak pergi diikuti Shin, pertanyaan Eva menghentikan langkahnya.

“Jadi ada berapa?”

Mr. Elios dan Shin bersamaan menoleh.

Mereka ada berapa?” Eva memperjelas tanyanya.

Shin menggantikan Mr. Elios untuk menjawab pertanyaan itu; hanya dengan satu kata. “Tiga.”

***
Tubuh itu sebenarnya sudah terbangun beberapa saat yang lalu. Dia memahami kekakuan di sekelilingnya sekarang dan tidak berniat membuka mata supaya terhindar dari tatapan aneh orang-orang di dekatnya kini.

“Kalian akan berangkat sekolah seperti biasa besok. Masalah kali ini, tidak boleh dibawa ke sekolah, apalagi sampai terdengar guru yang lain. Mengerti?”

Dia bisa mendengar dengan jelas suara guru pria yang amat dikenalnya. Suara yang indah. Wajah tampan itu akan sulit terlupakan.

“Jadi ada berapa?”

Pertanyaan itu keluar dari seorang gadis yang suaranya terdengar asing.

Mereka ada berapa?” Gadis itu mengulang lagi pertanyaannya sekaligus memperjelas maksudnya.

Bukan Mr. Elios yang kemudian menjawab pertanyaan itu, melainkan seorang gadis yang dia kenal selalu diselimuti aroma harum bunga.

“Tiga.”

Dan satu jawaban itu, membuat si Gadis air menyeringai dalam hati.

***
“Kau tidak perlu mengantarku. Udaranya sangat membekukan di luar,” kata Mr. Elios setelah Shin menutup pintu ketika mereka ada di luar.

“Saya temani sampai di ujung jalan,” balas Shin pura-pura tidak mendengar.

Sesaat, suasana berubah canggung ketika mereka berjalan bersisian. Mr. Elios tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Shin kemudian tersenyum masam.

“Maafkan, saya lengah,” ucap Shin. “Guru sudah minta saya supaya mengawasinya..”

Mr. Elios diam. Ketika dilihatnya pipi Shin merona karena kedinginan, pria itu mendadak meraih tangannya dan memasukkannya ke saku jaket.

“Gu-guru..” Shin kaget dan gugup.

“Sudah kubilang udaranya dingin,” kata Mr. Elios datar. “Dan juga.. aku lega kau tidak terluka.”


Welcome to Disaster Maker Club (9)

Jumat, 13 Mei 2016



Shin duduk gelisah di kursi anyaman dalam kamar Eero. Pandangannya tidak lepas dari laki-laki itu. Dia meninggalkan kristal perpindahan yang tergeletak tidak berguna di lantai dan beralih memutar-mutar tombol salah satu radio miliknya. Shin menyilangkan tangan, tidak habis pikir bagaimana anak dari keluarga penyihir yang kaku dan kuno seperti Eero punya inisiatif brilian membuat sambungan telepati via radio. Padahal dia dan Lana bisa saja berkomunikasi lewat ponsel.

Saat ini Shin hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Eero yang duduk lesehan menyamping sehingga Shin bisa melihat sebagian wajahnya. Ekspresi Eero tampak sangat serius sejak dimulainya penyelamatan mereka malam itu, namun mendadak air mukanya berubah bingung.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Shin.

Eero menoleh.

“Apa Mr. Elios pernah memberitahumu apa pun tentang Eva?” tanyanya.

Shin menggeleng. “Kenapa dia?”

“Kita beruntung dia dimasukkan ke misi kali ini,” jawab Eero kemudian beralih kembali pada radionya. “Api yang dia punya bisa menghabisi siapa pun. Termasuk iblis yang mendatangkan masalah kita kali ini. Hanya saja.. selain Eva, mereka semua harus keluar dari sarang itu sekarang kalau tidak ingin tubuh mereka jadi abu.”

***

Di tengah-tengah asap yang mengepul setelah api memusnahkan hampir sebagian besar rambut di sana, Eva melangkah tenang dan tersenyum. Sekali dia menyentuh rambut yang berserakan, saat itu juga api merembet menghanguskan sarang. Yang lain tahu tindakannya berbahaya, namun tidak bisa menghentikan Eva karena sekarang mereka tidak punya pilihan selain mengandalkan kekuatannya. Manusia biasa macam dua anak yang diculik tidak akan bertahan dalam asap yang terlalu tebal. Wajah Audin dan yang lain bahkan penuh dengan bedak jelaga. Audin dan Zein kompak menutupi wajah dua anak yang diculik itu menggunakan serbet basah.

“Eva, berhenti. Ini sudah cukup,” kata Laz melihat begitu banyaknya rambut yang menjadi abu.

“Belum.” Eva menoleh dan tersenyum.

Laz tertegun melihat kobaran api lewat manik matanya. Gadis itu tampak sangat bersemangat tanpa peduli keadaan di sekitarnya.

“Misi kita adalah penyelamatan. Sebaiknya kita langsung pergi setelah menemukan mereka,” kata Laz lagi mengingatkan.

“Dan membiarkan iblis sialan itu tidak mendapatkan apa-apa? Bagaimana kalau dia menculik anak lagi nantinya? Lebih baik langsung kubunuh saja dia,” balas Eva.

“Tidak kalau kami masih ada di sini.” Kali ini Audin bicara lalu terbatuk-batuk. “Kita semua akan mati kalau api yang kamu buat tidak juga padam. Apimu juga menutup jalan masuk!”

“Tidak akan seru kalau aku memadamkannya begitu saja,” tanggap Eva tanpa rasa bersalah. “Aku tetap akan menunggu iblis itu keluar. Berhenti mengoceh padaku. Cari saja jalan keluar lain sendiri.”

Gadis api itu langsung beranjak pergi membiarkan api yang berkobar di sekelilingnya.

“Eva keras kepala…,” gumam Zein yang mulai batuk-batuk hebat.

“Mana Agatha? Harusnya dia bisa menghentikannya,” kata Audin. Mendadak gadis itu teringat sesuatu kemudian berseru. “Kristal perpindahan! Siapa yang bawa kristalnya?!”

Cahaya biru berkilauan muncul menyelimuti tubuh Agatha yang membawa kristal. Tubuhnya perlahan memudar, mulai dari ujung kaki dan bergerak ke atas. Matanya dan Audin bertemu.

“Jangan bilang kalau…” Laz menggumam tidak percaya.

“Oh, maaf,” kata Agatha dengan polosnya. “Aku pikir kalian punya masing-masing satu.”

Zein dan Audin bengong. Kalaupun mereka berlari sekuat tenaga ke Agatha sekarang, tidak akan sempat. Agatha akan berpindah hanya dalam hitungan detik tanpa membawa serta yang lain. Tingkahnya sekarang, tidak jauh berbeda dengan Eva.

“Jangan lihat aku seperti itu,” kata Agatha lagi dengan ekspresi menyebalkan. “Salahkan Eero. Kita ada banyak. Kenapa membuatnya cuma satu?”

Dan dia menghilang.

***
Ketika sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah tirai, Audin mengerang sebentar sebelum akhirnya membuka mata. Begitu sadar, dia mendapati langit-langit yang biasa dia lihat di DM. Gadis itu lalu menegakkan punggung dan melihat Zein tidur tertelungkup di pahanya. Audin menoleh dan melihat Laz dan Eero tertidur di atas tikar, sementara para gadis tidur di sofa. Tidak jauh dari mereka, Lana pun masih tidur di atas kursi goyang. Badannya tertekuk menjadi mirip bola.

Alis Audin terangkat menyadari wajah mereka semua kotor kecuali Lana dan Eero.

Ah, tentu saja. Siapa yang mau repot-repot membersihkan wajah mereka? Masih untung saat api berkobar dalam sarang siluman semalam, Mr. Elios berusaha menyelamatkan mereka dibantu Eero dan Shin. Sepertinya dalam keadaan tidak sadar juga, mereka dibawa kembali ke asrama lalu ditaruh sembarangan di ruang tengah seperti ini.

Omong-omong di mana Agatha dan Eva? Dua orang itu juga jadi sumber masalah baru mereka semalam.

Zein mengerang.

“Duh, punggungku…,” keluhnya lalu bangun. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya masih bau asap. “Oh, Audin.. pagi.”

“Pagi,” balas Audin.

Sama dengan Audin tadi, Zein pun memandang sekitar dan dia tidak terkejut.

“Aku mau mandi.” Audin beranjak pergi. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan Zein. Dalam hati dia berniat akan mengomeli Eva dan Agatha nanti.

***
Sarapan pagi ini hening. Shin hanya memasak seadanya seperti telur mata sapi, sosis, roti panggang dan susu hangat, sementara untuk Zein, dia hanya mencampurkan selada, tomat dan zaitun. Eva, Agatha dan Snare telah bergabung. Khusus untuk Eva dan Agatha, mereka memasang tampang tanpa rasa bersalah.

“Bagaimana Gael dan temannya semalam?” tanya Audin mencairkan suasana tanpa menghilangkan tatapan tajamnya pada Eva dan Agatha.

“Mereka sudah kembali ke rumah masing-masing. Mr. Elios juga sudah menghilangkan ingatan keduanya,” jawab Shin.

“Kalian tidak ingin berkata sesuatu?” Kali ini melemparkan pertanyaan pada Agatha dan Eva.

“Iblis itu kabur sebelum aku sempat menghabisinya,” balas Eva lalu memasukkan sepotong sosis ke mulut.

Audin membalasnya sembari tersenyum sinis tidak habis pikir. Dia lalu beralih pada Agatha.

“Kau—.. apa kau tahu apa yang kau lakukan semalam?”

Mendadak Zein memegang pergelangan tangan Audin. Saat mereka berdua saling bersitatap, Zein memberi isyarat supaya Audin diam. Audin yang masih tidak paham, tidak menggubris saran itu.

Agatha selesai menenggak habis segelas susu, barulah dia meladeni pandangan menuntut dari Audin.

Annoying,” katanya kemudian membuat mata Audin melebar. Gadis itu menoleh pada Zein. “Siapa si Cebol ini? Wajahnya membuatku ingin muntah saja.”

“Ap—..!”

Sekali lagi, Zein menahan Audin supaya tidak meledak. Sebenarnya bukan cuma Audin yang kaget. Eva dan Lana pun demikian. Lainnya berwajah keruh.

“Dan juga Shin.” Agatha kembali berceletuk seenaknya. “Kau bisa pindahkan vas bunga air di kamarku. Airnya menjijikkan. Aku tidak tahu kenapa orang-orang suka teratai. Bukannya mereka sering tumbuh di selokan?”

“Hei.” Lana angkat bicara. Alisnya bertaut pertanda tidak senang. “Aku tidak tahu apa masalahmu, bisa jaga sedikit kata-katamu? Yang tadi itu keterlaluan.”

“Anak baru semuanya sama ya? Musti diingatkan berulang kali bagaimana cara menjilat yang benar.” Agatha meraih gelas air milik Eva di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menyiramkan air itu ke wajah Lana. Semuanya sontak terpaku.

“Dia benar-benar…” Audin nyaris melakukan hal yang sama pada Agatha namun Zein juga dengan cepat menahannya. Shin pun bahkan tidak tahu harus berbuat apa.

Snare bangkit berdiri melemparkan serbetnya ke atas piring. Dia menghampiri Agatha untuk menarik gadis itu untuk pergi, tapi Agatha menyentaknya.

“Aku memang sudah mau pergi,” hardik Agatha tidak membiarkan Snare menarik lengannya. Sebelum berlalu, Agatha menoleh lagi ke arah Audin. “Sekarang aku tahu kenapa dia ada di sini. Untuk membantu Shin jadi tukang kebun rupanya.”

Seperginya Agatha dan Snare, atmosfer ruang makan menjadi sedikit lega. Hanya saja mereka tidak bisa menghilangkan kekesalan meski bukan target racauan Agatha kali ini. Shin dan Zein buru-buru mengeringkan rambut dan wajah Lana yang basah. Di tengah kebingungan Audin yang gagal paham mengartikan tingkah Agatha, Eva mendadak tertawa.

“Dia menyebalkan sekali,” katanya. “Benar-benar menyebalkan.”

***
Shin memandangi kumpulan bunga dalam keranjang di latar sebuah toko bunga. Meski tidak lagi berakar karena telah dipotong, Shin bisa membuatnya menunda layu. Gadis itu biasa melakukannya sepulang sekolah. Hanya saja kali ini dia melakukannya untuk mengusir penat. Keadaan dalam asrama membuatnya pusing. Bahkan Zein sama sekali tidak membantu. Audin dan Lana yang sedang kesal juga tidak bisa diandalkan.

“Shin?”

Gadis itu menelengkan kepala ke arah sumber suara yang memanggilnya. Dia tersenyum melihat pria tampan itu. Beberapa saat kemudian mereka berjalan beriringan sambil mengobrol.

“Begitu ya…,” ujar Mr. Elios setelah mendengar cerita Shin.

“Kata Zein, Laz tidak sengaja menghantamnya. Well.. dia menyesal sekali sampai minta maaf padaku, Lana, dan Audin.”

Mr. Elios menoleh, mendapati Shin menunduk murung. Tangannya kemudian terangkat menyentuh ujung kepala Shin lalu mendekatkannya ke dada. Tak ayal, wajah Shin memerah karena terkejut. Meski begitu dia tidak berniat melepaskan diri.

“Bersabarlah sebentar lagi. Tapi jangan coba membentur kepalanya hanya supaya dia kembali seperti semula,” kata Mr. Elios.

Shin tersenyum geli.

Untunglah hari ini sekolah libur sehingga Shin tidak mengenakan baju seragam. Tidak ada yang tahu kalau mereka adalah guru dan murid.

“Oh ya, ini soal Gael,” kata Mr. Elios kemudian begitu mengingat sesuatu. “Eva harus meminta maaf padanya. Hanya itu hukuman yang bisa kupikirkan saat ini.”

***
Zein pergi ke kamar mandi dan membiarkan pintu kamarnya terbuka ketika Agatha kembali ke asrama. Agatha melewati kamar Zein, dan dari sudut matanya, dia bisa melihat akuarium bola berisi dua ikan mas di atas meja belajar Zein. Agatha bergeming memperhatikan sepasang ikan itu. Ketika kemudian salah satu ikan bergerak cepat hingga membuat kotoran di dasar akuarium beterbangan di air, kening Agatha berkerut.

Sedetik kemudian akuarium itu pecah dan melemparkan dua ikan tadi ke lantai bersama dengan pecahan kaca akuarium yang tajam.