A Cup of Warm Tea with Caramel

Sabtu, 05 Agustus 2017



Kelam. Sebagian besar keadaan yang kami lihat sewaktu bernaung langit terbuka, adalah rona abu-abu. Aku dan beberapa pria bersetelan hitam menunggu di dasar tangga. Hanya ada dua belas anak tangga pada gedung berdinding bata putih tersebut. Tidak banyak. Landai, namun menyusahkan bagi si Kaki besar.

Pandanganku menyapu sekitar, memperhatikan semua gerak yang bisa kutangkap dan kuartikan pada detik yang sama. Ketika derit pintu terdengar, kami menoleh ke arah yang sama.

Seorang gadis yang kali ini mengenakan coat bulu putih yang tebal dan topi trilby keluar dengan binar mata yang kosong. Aku terbiasa melihat sorot serupa mayat itu. Vrtnica mungkin melihat semuanya, akan tetapi menetap pada kebisuan dan tidak melakukan apa-apa.

Pelan, dia menuruni satu demi satu anak tangga. Kepalanya menunduk, setidaknya sedikit membantuku mengartikan suasana hatinya kini. Dia tidak terlalu senang. Hari ini akan menjadi hari yang sama dengan yang telah terlewat: tertutup kelabu.

Salah satu guard membukakan pintu mobil untuknya. Aku kemudian masuk melalui sisi yang lain. Tepat saat mobil melaju, titik-titik air seketika memburamkan kaca. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu jika Vrtnica tetap berusaha memandang keluar. Tangan pucatnya terangkat. Dia lalu menuliskan sesuatu pada kaca jendela yang berembun.

Kurang beberapa menit sebelum kami tiba di tempat tujuan, dia memerintahkan supir untuk berhenti. Aku melirik mereka yang tengah berpandangan bingung sekilas. Sesuai perintahnya, mobil berhenti. Gadis itu turun di tengah hujan gerimis. Dia mulai melangkah pergi. Tanpa dia berkata apa-apa, aku memberi isyarat pada yang lain untuk tetap di tempat sementara aku sendiri yang akan mengikutinya.

Dia hampir tidak pernah berucap di saat seperti ini. Begitu juga denganku. Sikapnya amat berbeda semenjak dua belas tahun yang lalu, sewaktu aku masih bisa melihat segala macam ekspresi pada wajahnya yang pucat. Vrtnica pernah memarahiku, mengomel, menangis. Namun kini semuanya menguar tidak tersisa.

Dia berhenti melangkah. Napasnya tersengal.

Aku menoleh ke arah lain. Menunggu. Hanya itu yang aku bisa. Aku hanya akan ikut campur apabila dia memberikan perintah.

простуда… (Dingin),” ucapnya samar.

Aku mendongak ke langit, membenarkan ucapannya meski dalam kebisuan.

Suara bentakan dari kejauhan menarik perhatiannya. Kami memicingkan mata, mendapati seseorang berada di tengah-tengah jembatan kanal. Tangannya terangkat berulang kali lalu menghujam sesuatu di bawahnya. Bahkan dari jarak beberapa kilometer, bunyi membalun terdengar jelas.

Makian kasar keluar dari mulutnya. Tidak puas memukul, dia juga lantas menendang tiga kali. Terakhir kali, pria yang sepertinya tengah mabuk itu meludah. Aku melihat Vrtnica sedikit berjengit saat si Pria mengangkat sesuatu lalu melemparkannya begitu saja ke tengah kanal.

Sesuatu yang baru saja dibuang tersebut menggeliat. Tubuhnya kecil dan gemetaran hebat. Air yang mengalir di kanal membasuh lukanya. Semburat kemerahan timbul seiring dengan gerak arus. Terseok, hewan kecil tidak berdaya itupun mencari-cari tempat yang tidak tergenang air. Pilihannya jatuh ke sebuah kemasan makanan kosong yang tersangkut di tengah-tengah sampah ranting pohon.

Lama Vrtnica memandanginya dari atas tempat kami berada kini. Kalau saja tidak mengingat pada apa yang akan kami lakukan sebentar lagi, aku mungkin akan membiarkannya saja. Melewatkannya sama dengan memberikan masalah baru bagi gadis itu.

“Sudah waktunya.” Aku memberitahu.

Vrtnica diam. Aku yakin dia bisa mendengar karena setelahnya, pundak gadis itu bergerak samar—menghela. Boots-nya menyeret mundur, lalu berbalik. Kedua matanya terpejam. Kami pergi tepat ketika hujan deras kembali mengguyur.

***
Kasak-kusuk menyambut kami setibanya di ball. Satu-satunya guard perempuan yang ikut melepaskan coat putih Vrtnica. Rok terusan yang dia kenakan seperti gaun balet yang mengembang dan hanya sampai sebatas lutut. Bagian bahunya terbuka, menjadi tumpuan dua utas tali rok sebagai penyambung. Aku pun mengikutinya saat melangkah tanpa sungkan membelah kerumunan tamu.

Tema pesta malam ini ditentukan black and white, namun sebagian besar setelan orang-orang di sana didominasi warna hitam. Vrtnica pun sama. Gemerincing terdengar mengiringi langkahnya, berasal dari lonceng kecil dari sarung tangannya yang tersemat pita. Saat akhirnya seorang pria menolak memberi jalan untuknya, saat itulah Vrtnica berhenti melangkah.

Greeting, Miss,” sapa Dulvro. Pria bercambang putih itu tengah membawa segelas champagne dan cerutu. Bibirnya mengukir senyum aneh menatap Vrtnica. “Di mana Ernest?”

Vrtnica tidak langsung menjawab. Meski aku berada tidak jauh di belakangnya, aku tahu apa yang sedang gadis itu lakukan. Pupil matanya akan menggelap, menembus apa pun yang tengah ditampakkan Dulvro. Tentu saja pria itu mengetahui Vrtnica, tapi aku ragu dia bisa mengenali gadis itu lebih jauh pada pertemuan yang bisa dipastikan singkat ini.

Happy birthday, Dulvro,” ucap Vrtnica yang langsung dibalas dengan gelak tawa pria di hadapan kami.

“Kau tahu ini bukan pesta untuk merayakan ulang tahunku,” kata Dulvro. “Aku terlalu tua untuk ini. Sepertinya Ernest juga sengaja mengirimkanmu ke sini untuk mengancamku.”

Gadis itu diam. Dulvro sedikit berjongkok di depannya untuk memandangnya wajahnya seksama. Detik yang sama, aku bersiap menempelkan tangan di puncak celana—terdapat pisau perak yang kubawa ke mana pun aku pergi. Dulvro masih tersenyum. Sikap yang ditunjukkannya seperti seseorang yang tengah menggoda anak-anak.

Meski Vrtnica masih remaja, dia tentu tahu apa akibatnya apabila mengganggu gadis itu.

“Kau sama sekali tidak mirip dengan ayahmu,” ujar Dulvro lantas menarik diri. “Tapi tingkah kurang ajar kalian sama saja.”

Vrtnica masih tidak menyahut.

“Nikmatilah pestanya. Khusus untukmu, aku juga menyiapkan soda,” ejek Dulvro. “Hati-hatilah waktu keluar, Nak.”

Pria itu berbalik sambil mengisap cerutunya. Vrtnica juga berbalik. Pandangannya lalu mengedar ke sekeliling di mana para undangan menggunakan waktunya mengobrol ditemani champagne atau wine. Aku melakukan hal yang sama. Dalam waktu singkat, aku melihat beberapa “anjing” bayaran Dulvro di antara tamu.

He want to kill me..,” gumam Vrtnica pelan. “-Kalau beruntung.. aku tak akan pergi dari sini tanpa terluka.”

Dia menatapku beberapa detik.

Seharusnya Lava ikut serta kali ini, tapi Vrtnica merasa tidak perlu memberitahunya. Ernest mengantarnya untuk ke sekian kali ke mulut harimau.

Vrtnica tidak menunda waktu lagi. Langkahnya cepat keluar dari kerumunan. Aku dan para guard yang jika ditotal berjumlah tujuh orang menyertainya, tanpa lupa mengawasi sekitar. Kami tertegun mendapati mobil yang seharusnya menunggu kami di luar justru lenyap.

Moncong senapan!

Beruntung aku melihatnya dari tengah-tengah balkon samping dan segera menyentak tubuh Vrtnica mundur. Pelurunya melubangi aspal.

Bertindak cepat, para guard berpencar tanpa diperintah. Letusan pistol mereka otomatis mengundang keributan orang-orang di dalam hall. Dulvro rupanya mengerahkan lebih banyak orang untuk mengepung kami. Aku menggigit bibir ketika melihat salah satu guard kami tertembak.

Aku meraih pinggang Vrtnica, menenggelamkan tubuh kurusnya dalam pelukanku sementara kami berusaha mencari cara untuk kabur.

Sialnya aku makin terpojok. Sulit menumbangkan mereka dari jarak jauh. Aku tidak pernah suka membawa pistol, jadi kelebihanku hanyalah menyerang dari jarak dekat. Terdesak, kami mundur semakin jauh di balik dinding semak taman. Mataku memicing mendapati bawah kami yang penuh dengan puncak pepohonan belukar—karena kediaman Dulvro di atas bukit, dan terdapat jurang di belakangnya.

Kami tidak punya pilihan lain.

Aku memandang Vrtnica sekilas. Dia tidak terlihat takut, sebaliknya, sorotnya mencari-cari keraguanku.

Kami melompat begitu terdengar derap langkah orang-orang Dulvro berupaya mencari kami.

***
Aku lupa persisnya bagaimana kami berhasil mendarat. Beberapa kali tubuhku menghantam dahan-dahan pohon yang kokoh, duri, dan batu—karena tanah miring. Kami berguling, dengan Vrtnica masih dalam dekapanku. Kuku-kuku tangannya mencengkeram pundakku sementara matanya terpejam. Kalau pun dia terluka, yang terpenting lukanya tidak seberapa.

“Ferox.” Dia memanggilku. Aku mengerang. Lengan kananku terasa sangat sakit saat digerakkan. “Ferox,” ulangnya sembari menyentuh pipiku.

“Setidaknya kita berhasil kabur,” ujarku tanpa menampakkan emosi berarti.

“Kau membawa ponselmu?”

“Di saku sebelah kanan.”

Vrnica lantas merogohnya, namun gadis itu juga seolah memelukku. Salah satu sisi wajahnya menempel pada dadaku. Dia lalu menggunakan ponsel itu untuk menghubungi orang-orang kami. Tinggal menunggu mereka datang demi mendapati Vrtnica berhasil lolos meski tampilannya kacau balau sekarang.

“Aku tidak yakin bisa menemukan jalan terdekat,” gumam gadis itu.

“Kalaupun ada, mereka akan menunggumu di sana dan membunuhmu,” kataku agak gusar.

Vrnica mendongak lalu melihat sekitar. Hendak berdiri, mendadak gadis itu meringis dan sontak menumpu tangannya di lututku. Aku mengernyit. Tanpa persetujuannya, aku melepaskan sepatu gadis itu, mendapati bengkak kemerahan di pergelangan.

“Ini akan butuh beberapa hari.”

Aku membiarkannya duduk tidak jauh dari tempatku bersandar sembari memijat-mijat lengan. Entah harus berapa lama kami harus menunggu sampai pertolongan datang.

“Kau terluka?” Vrtnica bertanya. Kepalanya miring memandangku.

“Tidak.”

Tahu-tahu gadis itu mendekatkan tubuhnya padaku lantas menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku pun mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang tengah dia lakukan. Tapi pada kenyataannya, gadis itu terlelap sambil memelukku. Suara samar napasnya teratur.

***
Dua jam kami menunggu dan kedinginan di tengah hutan. Lava menghampiri kami, terlihat mengernyit tidak suka mendapati Vrtnica tidur bersandar pada dadaku. Dia lalu mengambil gadis itu dariku, menggendongnya dalam pelukannya.

Dan ketika pagi hari menjelang di tempat tinggal kami, Vrtnica menghilang.

Para maid, penghuni lain, bahkan semua orang dalam manor house diliputi kepanikan. Berulang kali Lava bahkan bersliweran tidak jauh dariku sembari memaki. Sempat dia bertanya di mana kemungkinan gadis itu berada, tapi aku tetap mengatupkan bibir rapat. Dia marah karenanya.

Bertahun-tahun Vrtnica menyita hampir semua pikiran dan waktuku. Jadi mana mungkin aku tidak menerka keberadaannya saat ini?

Sepintas, ingatan kemarin lewat dalam benakku.

Apakah…

Aku lantas beranjak pergi tanpa sepengetahuan Lava. Mobilku dengan cepat melaju menuju kanal—tempat kami melihat anak anjing yang disiksa dengan brutal lalu dilempar dari ketinggian beberapa meter. Aku menghentikan mobil di pinggiran. Alisku berjengit.

Aku menemukannya.

Vrtnica berjongkok, menghadap si Anak anjing yang masih ada di sana. Mungkin dia tidak menyadari air merembes dari roknya yang menyentuh dasar kanal. Tangannya hendak menyentuh anjing itu, tapi justru mendapat gigitan. Lama, Vrtnica mengusap-usap atas kepalanya, berusaha menenangkannya. Saat akhirnya anak anjing itu tenang, Vrtnica kemudian mengangkat tubuh kecilnya dalam pelukannya.

Tidak sengaja, pandangan kami bertemu.

Aku bergeming sementara gadis itu menaiki tangga kanal menghampiriku. Langkahnya pincang, sesuai dugaanku.

Anak anjing tekel. Kaki belakang kanannya buntung. Lukanya masih lumayan segar. Tubuhnya masih gemetaran hebat, meski pelukan Vrtnica memberinya kehangatan.

“Caramel..,” ucap Vrtnica padaku. “He will play with Clarky..”

Aku diam, tidak berkomentar.

I will save him.. so then someone can save me..