A Tea Cup Try to be Restored

Jumat, 03 Maret 2017


Fellon menatap wajah pucat itu terlelap di atas ranjang. Satu tangannya berada di bawah selimut, sementara tangan yang lain terhubung dengan selang infus. Sejak gadis itu meneguk teh dengan sari nanas, sudah lima jam waktu yang terlewat. Untunglah pertolongan yang dia terima tidak terlambat. Fellon bahkan masih ingat jelas bagaimana panik dan marahnya dia ketika di rumah tadi.

Kamar rawat gadis itu amat privat dan dikhususkan. Ruangannya sama sekali tidak terlihat seperti bagian dalam rumah sakit. Fellon juga tahu kalau ada tiga dokter sekaligus yang akan selalu memantau perkembangan tubuh sang Manekin. Mereka akan bergantian datang ke sana untuk mengecek. Wajah masing-masing terpasang tanpa ekspresi, seperti mengatakan pada tiap orang: tidak ada seorang pun yang terbaring dalam kamar itu, kalaupun ada, mereka bersikap seolah tidak mengenalnya. Persisnya, mereka dilatih untuk berpura-pura tidak tahu apa pun.

Hal yang makin membuat Fellon muak adalah karena mereka juga menghindari kontak mata, meskipun laki-laki itu jelas-jelas ada di sana: berdiri frustasi dengan tangan menyilang.

Terakhir kali, seorang suster masuk ke sana dan menaruh sebuah vas besar dengan tiga puluh kuntum mawar hijau ke atas meja.

Ponsel Fellon berbunyi, pertanda panggilan masuk. Laki-laki itu bergerak menjauh dari ranjang Ratimeria dan menghampiri jendela. Saat memandang keluar, dia menempelkan ponsel itu ke telinga kiri.

“Ya?” Fellon menanggapi si Penelepon. Alisnya bertaut ketika mendengar. “That is a problem..,” gumamnya sambil menekan ujung kuku ibu jari ke telunjuk. “Apa aku harus turun tangan sendiri untuk membereskan masalah yang kalian perbuat? Jangan ganggu aku sekarang. Oh, jangan lupa ajak Clarky jalan-jalan.”

Fellon menekan tombol pemutus panggilan. Tubuhnya berbalik, kembali ke kursi tempat duduknya yang menghadap ke tempat tidur. Raut Fellon tampak keruh dan gerak mata serta bibirnya sangat tidak tenang. Memutuskan, laki-laki itu kemudian beranjak pergi.

Saat itulah, mata Ratimeria membuka—menerawang kosong ke langit-langit.

***
Fellon kembali kurang lebih satu jam kemudian. Laki-laki itu mampir ke kantin rumah sakit membeli minuman ringan, baru setelahnya pergi menuju kamar Ratimeria.

Apa gadis itu sudah bangun atau masih tertidur? Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi karena kondisinya sudah stabil. Fellon bertekad akan menghujaninya dengan berbagai macam pertanyaan apabila dia telah membuka matanya.

Namun Fellon langsung mematung di ambang pintu tatkala mendapati kamar itu kosong.

Di mana dia?

Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Fellon. Sontak dia pun berlari menyusuri lorong yang sepi. Hanya ada beberapa perawat yang terlihat. Mereka pun menatap bingung pada laki-laki itu.

Sir, tidak boleh berlari di dalam rumah sakit!” seru salah seorang perawat menegur.

Fellon tidak mempedulikannya. Dia terus berlari sampai keringatnya bercucuran keluar. Saat ini dirinya tengah berada di lantai tiga. Memangnya apa yang diharapkannya dengan berlari-lari tanpa tujuan yang jelas. Gadis itu bisa berada di mana saja. Dia bahkan mungkin telah pergi jauh tanpa mengatakan apa-apa pada Fellon.

Terengah-engah, laki-laki itu mendesah kesal. Dia lantas melihat keluar, melalui dinding kaca dekatnya sekarang. Raut wajahnya berubah begitu menyadari ada sesosok gadis yang tengah berdiri mematung di tengah-tengah taman. Fellon pun berdecap kemudian melanjutkan lagi berlari.

Fellon berhenti tepat di belakang gadis itu sambil membungkuk memegangi lutut—mencoba mengatur napas.

“Apa yang kau lakukan?”

Ratimeria tidak menjawab. Gadis itu masih tetap bergeming. Saat Fellon beralih ke sisinya, Ratimeria sedang mendongak. Fellon mengernyit lantas mengikuti arah pandangannya. Di depan mereka ada sebuah pohon. Mata Fellon sedikit menyipit ketika akhirnya menemukan sarang burung di sana. Seekor burung berdiam dengan kepala yang menjulur keluar melalui lubang sarang.

Masih mencoba mengatur napas karena jantungnya terus memompa dua kali lebih cepat, Fellon lalu duduk di bangku panjang tidak jauh dari sana.

“Kau baik-baik saja?” tanya Fellon agak dongkol. Baru beberapa menit yang lalu dia kebingungan mencari Ratimeria, dan ternyata gadis itu berdiam di taman hanya untuk melihat sarang burung?

Gadis itu benar-benar tidak bergerak. Barulah setelah sang Burung terbang meninggalkan sarang itu, Ratimeria tersentak kecewa. Fellon pun mengernyit melihatnya seperti itu.

“Ayo kembali ke kamar,” kata Fellon lagi. “Kau berkeliaran dengan masih memakai baju pasien. Bisa-bisa petugas keamanan akan curiga kalau kau mau kabur.”

Kali ini Ratimeria menoleh. Beberapa detik, dia menatap Fellon lurus seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Apa?” tanya Fellon yang mengerutkan kening curiga.

“Temani aku jalan-jalan..”

***
Fellon tidak akan pernah terbiasa meladeni gadis remaja satu itu. Terkadang dia seperti anak-anak yang menyukai hal-hal sederhana. Terkadang juga dia akan bersikap bijak seolah tahu segalanya. Dan sesekali—meski jarang, gadis itu akan bertindak menggunakan pengaruh dan kepunyaannya supaya orang lain akan bertekuk lutut biarpun harus mematahkan kaki orang itu.

Kali ini mungkin suasana hatinya sedang baik. Dia mengganti piyamanya dengan rok terusan berwarna biru lembut, bertali pita di bagian dada dan ujung lengan bajunya. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di kawasan pertokoan klasik pada sudut kota. Sebenarnya tempat itu akan lebih menarik untuk didatangi pada malam hari. Namun sepertinya gadis enggan menunggu.

Dia melangkah sambil mengawasi sekeliling sementara Fellon mengikuti di belakang. Fellon benci mengakuinya kalau saat ini tekadnya menanyai gadis itu tentang kejadian kemarin telah luruh. Kalau dipikir-pikir, Ratimeria memang punya berbagai cara untuk melampiaskan suasana hatinya—selain menampakkan pada ekspresi wajah, tentu saja. Gadis itu nyaris tidak memiliki emosi berarti.

Fellon tidak menyadari dirinya tengah melamun. Tahu-tahu saat kembali memandang ke depan, sosok Ratimeria menghilang.

Shit!” Laki-laki itu mengumpat. Dia langsung celingukan ke sana kemari guna menemukannya. Lagi-lagi Ratimeria membuat Fellon seperti pesuruh tidak berguna.

Apa dia sedang main petak umpet?!

Kebingungan dan kesal, Fellon tetap mencari-cari Ratimeria. Ada satu hal yang benar-benar dia pahami baik selama kurang lebih empat tahun ini mengenai sosok manekin itu: dia gampang sekali hilang! Pernah beberapa kali, semua guard gadis itu mengerahkan semua orang demi menemukannya. Seisi rumah kediamannya diliputi kepanikan dan ketakutan—apalagi jika sampai sang Tuan tahu kalau Ratimeria hilang.

Pada akhirnya, gadis itu memang bisa ditemukan. Dan tiap Fellon mengomelinya, Ratimeria hanya akan bilang kalau dirinya tersesat. Segampang itu.

Fellon sampai setengah mati menahan diri untuk tidak mengunyah-ngunyah kepalan tangannya yang mengerat begitu melihat Ratimeria tengah memperhatikan etalase toko es krim.

“Bisakah kau tidak membuatku jantungan seperti tadi?!” bentak Fellon yang mengundang tatapan Ratimeria. “Bagaimana kalau ada pria hidung belang membawamu?”

Mengerjap, Ratimeria tidak menanggapi. Dia menoleh lagi pada gundukan es krim berbagai warna dan rasa dalam etalase kaca.

“Belikan aku,” kata Ratimeria pelan.

“Beli saja sendiri!” balas Fellon sengit.

“Aku tidak bawa uang..”

Menyerah, meski jengkel, laki-laki itu lantas menarik Ratimeria masuk ke dalam toko. Dia menggiring gadis itu ke meja kasir untuk memesan.

What do you want?” tanya Fellon lalu mengeluarkan dompet.

Ratimeria menunjuk es krim berwarna merah yang wadahnya bertuliskan cherry.

One cherry, please.” Fellon berkata pada penjualnya.

Saat es krim ceri dalam contong waffle renyah diberikan, Fellon langsung membayar. Dia lalu menyodorkannya pada Ratimeria, namun gadis itu bergeming—tetap memandangi es krim lain dalam etalase.

“Yang tiramisu,” kata gadis itu.

Fellon tidak punya pilihan selain memesankan lagi—mungkin Ratimeria ingin berbagi dengannya. Namun pikiran itu buyar saat Ratimeria meminta dua es krim lagi: rasa blueberry dan mangga. Jadilah kali itu kedua tangan Fellon memegang tiga contong es krim, sementara gadis itu hanya membawa satu. Pada akhirnya dia bilang kalau Fellon terlalu cepat memesan, padahal dia hanya ingin makan es krim mangga.