Minimarket
sedang lengang. Hanya ada aku dan empat orang lainnya yang berjaga. Aku duduk
di belakang meja kasir menyalin daftar barang-barang yang baru diantar,
sementara yang lain membersihkan atau menata kaleng-kaleng makanan di rak. Bosan
dengan keheningan, aku memutar lagu dan suaranya langsung tersambung pada speaker. Kawanku yang awalnya menggerutu
mengeluhkan pegal di punggung saat mengelap dinding kacapun menoleh, lalu
tersenyum sekilas. Aku membalasnya dengan jempol terangkat.
Ketika
menelengkan kepala ke samping, aku tertegun melihat seorang gadis berjalan
pelan sekali dengan matanya menyorot kosong lurus ke depan. Saat berada tepat
di dekat pintu masuk, dia tampak menghela napas panjang kemudian menunduk
sebentar. Sedikit silau dengan lampu-lampu yang ada di dalam minimarket, dia
memicingkan matanya. Aku bisa menebak dia sedang mendebat sendiri dalam hati
sebelum akhirnya masuk.
“Selamat
datang,” ucap Anjar ramah—temanku yang tadi mengelap dinding kaca.
Gadis
itu tidak menggubris. Langkah kakinya terarah ke lemari pendingin untuk
mengambil salah satu minuman ringan. Tanpa berminat mencari barang lain yang
mungkin dia butuhkan, gadis itu langsung saja berjalan menghampiriku—tepatnya ke
kasir. Dia menaruh botol minumannya begitu saja lalu merogoh tas lengan
mengambil dompet.
“Tujuh
ribu,” kataku sambil memasukkan botol itu ke plastik.
Lagi-lagi
gadis itu tidak mempedulikan orang yang bicara padanya. Dia hanya melirik pada
layar monitor kasir, menghitung uang di dompetnya lalu memberikannya padaku. Uang
pas.
“Terimakasih.”
Aku mengucapkannya dengan mengangguk sekali. Pandangan kami sempat bertemu dan
dia tersenyum. Senyum yang hanya sekilas saja, tapi sukses membuatku kikuk.
***
Seminggu
kemudian—boleh dibilang aku telah nyaris lupa dengan gadis yang pernah datang
ke minimarket tempat aku bekerja—ketika sekali lagi aku melihatnya, ingatan itu
langsung kembali. Dia memakai jaket biru muda kebesaran tapi terlihat nyaman. Kepalanya
tertutup tudung jaket itu. Rambutnya yang panjang kecoklatan terurai di depan
badan. Tanpa basi-basi dia langsung ke lemari pendingin mengambil sebotol
yogurt lalu berlari kecil ke meja kasir.
“Mau
tambah yang lain?” tanyaku menawarkan.
Sepasang
matanya yang bulat melebar menatapku. Aku bisa melihat tanda tanya di sana. Dia
bingung. Keningku berkerut. Saat kuulangi pertanyaanku, dia memperhatikan
seksama sebelum akhirnya menggeleng dan tersenyum. Sama dengan waktu
sebelumnya, aku menyebutkan nominal yang harus dia bayar tapi dia melirik pada
monitor, melihat harga yogurt yang dia ambil. Dia menghitung uangnya kemudian
memberikannya padaku lalu pergi tanpa meminta nota.
***
Keesokan
harinya, gadis itu datang lagi. Tapi kali ini tidak sendiri. Dia memang sedang
tidak bersama siapa pun, hanya seekor kucing Persia gemuk yang berdiam manis
dalam gendongannya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihat
sosoknya dari samping. Rambutnya sedikit bergelombang dan gaya poninya baru:
rata menutupi dahi. Dia mengambil keranjang belanja kemudia memutari rak
mengambil sekotak susu bayi, beberapa minuman, dan roti.
“Terusin
nyatet woi, ngelamun aja,” tegur Anjar iseng. Melihatku tersentak, dia mengikik
geli. Aku mendelik kesal padanya tapi menurut. Dia mendekatiku. “Cakep ya dia?”
godanya.
“Apaan
sih,” tanggapku acuh tak acuh.
Anjar
terkekeh. Melihat gadis tadi menghampiri kami dengan keranjang belanjaannya,
dia berdehem lalu pergi sambil bersiul. Aku menggeleng.
“Mau
tambah yang lain?” tawarku sambil men-scan
barcode barang yang dia ambil. Aku
memandangnya. Mata kami bertemu dan aku pun tertegun mendapati dia menatapku
lurus-lurus. Alhasil jantungku memompa tak karuan.
Dia
menggeleng. Saat aku menyebutkan harga keseluruhan barangnya, dia melirik lagi
pada layar komputer lalu menyodorkan uang. Aku mengambil uang itu lalu
memberikan semua belanjaannya yang telah kumasukkan dalam plastik ukuran
sedang. Dia berbalik pergi dengan dua tangan yang sibuk. Satu tangan
menggendong kucing, dan yang satunya lagi menenteng belanjaan.
Andai
aku bisa membantunya. Tapi lirikan jahil dari Anjar dan yang lain membuatku terpaksa
mengurungkan niat.
Menggeleng
pura-pura kesal, aku memasukkan uang gadis tadi ke dalam laci. Dan tiba-tiba
aku merasa seperti orang paling tolol sedunia. Aku dan gadis itu melupakan uang
kembaliannya!
Semoga
belum terlalu jauh, batinku.
Melesat
cepat keluar minimarket diiringi pandangan melongo karyawan yang lain, aku tak
peduli. Aku mengedarkan pandanganku dengan cepat untuk menemukan sosok gadis
itu. Dan dapat! Tanpa pikir panjang aku pun berlari.
“Mbak!”
seruku memanggil.
Gadis
itu tidak menoleh.
Aku
mengulangi panggilanku, namun tidak ada tanda-tanda kalau dia mendengar. Terpaksa
kutingkatkan kecepatan lari. Cukup dekat di belakangnya, aku menepuk bahu gadis
itu. Dia tersentak dan refleks menoleh. Raut wajahnya terkejut melihatku
membungkuk memegangi lutut dengan napas terengah-engah.
“Mbak,
ini… kembaliannya…,” kataku terputus-putus menyodorkan uang kembalian tadi.
Alis
gadis itu terangkat. Raut wajahnya bingung. Dia mengambil uang itu dan melihat
nota yang sudah dicetak. Dia tersenyum. Ketika gadis itu menyodorkan plastik
belanjaannya, giliran aku yang bingung. Ganti aku yang memegangi plastik
belanjaannya. Dengan tetap menggendong kucing, dia mengambil sebuah notes kecil dari tasnya dan sebuah
pulpen. Aku menunggu dan sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia
lakukan. Selesai menulis, dia memperlihatkan tulisannya padaku.
Trims :) kamu baik
banget
Aku
memandangnya, dan dia tersenyum lebar.
“Sama-sama,”
balasku dengan senyuman yang dia
tularkan. “Jangan bosan datang lagi.” Aku menambahkan—setengah bergurau.
Dia
menulis lagi lalu menunjukkannya padaku.
Tentu :) Btw, namaku
Sheila
“Aku
Liam.”
Dia—Sheila
membalas.
I
saw you enjoy your work.. I’ll see you tomorrow.
Kami
berpandangan sejenak lalu tertawa kecil. Dia memasukkan notes-nya ke dalam tas dan mengambil kembali plastik belanjaannya
dari tanganku. Sheila membalikkan badannya kemudian beranjak pergi. Aku tetap
pada posisiku, melihatnya akan menghilang ketika hendak berbelok. Namun sebelumnya
dia menoleh lagi ke belakang, tersenyum penuh padaku dan melambai.