Setelah yakin sosok Orion tidak lagi
mengejarnya, barulah Forsythia keluar dari persembunyian. Gadis itu lalu
melangkah keluar dari taman samping istana menuju halaman depan. Tamu pesta
yang ada di luar bukan hanya dia seorang. Karenanya dia hanya perlu bersikap
wajar, dengan kata lain berpura-pura kalau tidak sedang kabur.
Forsythia baru saja akan melewati
dinding istana dalam ketika tiba-tiba sudut matanya menangkap bayangan
seseorang yang amat dia kenal. Langkah gadis itu mengerem mendadak lalu
melangkah mundur untuk kembali bersembunyi. Diam-diam dia mengintip dua orang
di sana, yang mana salah satunya adalah sepupu Forsythia, Pangeran Castamore
yang berumur lima tahun lebih tua darinya—Delard.
“Jadi dia masih hidup atau sudah mati?”
tanya Delard sambil menggerak-gerakkan gelas pialanya yang berisi anggur pekat.
Suaranya meski tenang tapi sangat dingin dan penuh tekanan pada lawan
bicaranya.
“Kami sudah menemukan kereta yang
jatuh,” jawab pria di sebelah Delard. “Ada bercak-bercak darah yang bisa
dipastikan milik Putri. Hanya saja kami belum bisa menemukan keberadaannya.”
“Kau sudah memeriksa kastil miliknya di
sini?”
“Putri tidak pernah menginjakkan kaki
di sana.”
“Bagaimana dengan akses kembali ke
Castamore?”
“Orang-orang kami yakin Putri tidak
pernah melewatinya. Kalaupun iya, mereka akan langsung membunuhnya.”
Sekujur tubuh Forsythia langsung
membeku. Jelas sudah semuanya sekarang penyebab kesialannya begitu sampai di
Brisera. Gadis itu tahu Delard memang licik. Namun dia tidak menyangka
laki-laki itu akan begitu jauh bertindak. Dia benar-benar dibutakan oleh
gemerlap tahta sehingga menganggap remeh nyawa orang lain. Forsythia harus
memberinya pelajaran. Kedudukan sebagai penguasa tidak boleh sampai jatuh ke tangan
iblis seperti dia.
“Anak itu tidak boleh sampai kembali ke
Castamore,” ujar Delard sembari tersenyum. “Setelah kembali dari sini, aku
hanya perlu membawa kabar dukacita.. bendera setengah tiang akan didirikan di
Castamore, kemudian setelahnya Raja pun harus mengadakan penobatan Putra
Mahkota.”
Menggigit bibir, Forsythia lalu enyah
dari sana. Dia tidak memiliki apa pun untuk memberikan perlawanan sekarang.
Lalu apa yang bisa dia lakukan?
***
Keesokan paginya, Raja, Permaisuri dan
Pangeran sarapan bersama di tengah-tengah labirin utama istana. Banyak makanan
lezat yang terhidang di atas meja makan namun tidak ada satupun yang bisa
membuat napsu makan Orion muncul. Laki-laki itu hanya mengambil satu potongan
paling kecil daging panggang lalu mengirisnya, padahal dia tidak berencana
memasukkan makanan itu ke dalam mulut.
“Menteri Sumber Daya Castamore
berbicara banyak hal semalam,” kata Raja membuka topik. “Aku juga bertemu
dengan Pangeran Delard. Dia datang ke sini memenuhi perintah Raja Castamore
untuk menghadiri pesta.” Pandangannya lalu beralih pada Permaisuri. “Apa
rencana perjodohanmu berhasil?”
“Lihatlah wajah murung Pangeran, Yang
Mulia,” balas Permaisuri sambil mengerling pada putranya.
“Ya Tuhan.” Raja memasang ekspresi
terkejut. “Kau jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Lady Irene, lalu suasana hatimu memburuk karena dia tidak lagi ada
di sini?”
“Ayahanda.” Orion menanggapinya tidak
habis pikir. “Tolonglah. Umurku sudah tidak belasan tahun lagi hingga bisa
diartikan sesederhana itu.”
Raja tertawa sedangkan Permaisuri
tersenyum penuh arti.
“Jadi perjodohan berhasil? Lady Irene memang istimewa. Kalaupun dia
tidak jadi denganmu, Pangeran, mungkin saja dia bisa jadi permaisuri Pangeran
Delard.”
“Kenapa tidak?” sambung Orion enggan.
Dia sempat bertemu dengan Pangeran Delard. Gerak-geriknya halus dengan wajah
yang seolah tanpa dosa. Namun entah mengapa Orion tidak menyukainya. Orion
bahkan memiliki firasat aneh kalau sewaktu-waktu Pangeran itu akan berubah
menjadi serigala yang menerkamnya.
“Yang Mulia, perjodohan semalam gagal,”
kata Permaisuri. “Pangeran mengajak seorang gadis berdansa semalam. Dia bukan Lady Irene. Sayangnya Pangeran lupa
menanyakan namanya.”
“Oh ya? Ah… mungkin saat itu aku sedang
berbincang dengan Menteri di ruangan lain. Siapa dia? Apa dia putri bangsawan
di sini?”
“Saya tidak tahu. Saya tidak pernah
melihat dia sebelumnya di pesta-pesta yang pernah diadakan. Mungkin pangeran
lebih tahu.”
Gerak tangan Orion yang masih mengiris
dagingpun terhenti. Laki-laki itu terdiam beberapa detik sebelum akhirnya
menjawab pertanyaan tidak langsung dari orang tuanya.
“Dia gadis biasa,” kata Orion terus
terang. “Aku pernah menemukannya terluka di sungai dekat hutan sewaktu
berburu.”
“Kau tidak mencari tahu latar belakang
keluarganya?” tanya Raja.
Orion menggeleng.
Permaisuri tersenyum lalu berkata
lembut, “Dia bangsawan atau bukan, kami akan tetap menghargai keputusanmu.
Meski begitu kau harus tetap memperkenalkannya pada kami. Bagaimana kalau kau
undang dia untuk makan malam di istana lusa?”
Orion menghela napas panjang. “Akan
kuusahakan.”
***
Nenek petani mengajak Forsythia untuk
pergi ke pasar, menjual apel dan stroberi yang telah mereka panen. Sang Nenek
membawa keranjang apel di atas kepala, sedangkan Forsythia membawa dua
keranjang stroberi di tangan kanan dan kiri. Selama mereka berjalan menuju kios
tempat si Nenek biasa berjualan, pemuda-pemuda yang bersliweran atau mereka
lewati, pandangannya tertuju pada Forsythia.
Dijadikan tontonan seperti itu, tentu
saja Forsythia risih. Biasanya saat dia ke pasar sewaktu di Castamore, maid-nya selalu meminta gadis itu
memakai mantel bertudung supaya orang-orang tidak bisa melihat wajahnya.
Forsythia merutuki diri sendiri karena melupakan hal penting semacam itu. Dia
tidak menyangka sosoknya yang berpenampilan sederhana mampu menarik perhatian
banyak orang.
Sesampainya di kios, si Nenek dan
Forsythia pun menaruh dagangan mereka. Belum-belum beberapa orang sekaligus
menghampiri, tapi bukan untuk membeli.
“Apa dia anakmu, Nek? Atau cucumu?”
tanya salah seorang dari mereka.
“Cantik sekali. Kenapa baru kali ini
kau membawanya ke sini?”
“Berapa umurnya?”
Tiba-tiba muncul ide cemerlang—atau
boleh dikatakan licik—di otak Forsythia yang cerdas. Dia tersenyum namun sinis.
“Belilah apel dan stroberi yang baru
dipanen nenek. Nanti pertanyaan kalian akan kujawab,” kata gadis itu.
Pemuda-pemuda tadi langsung heboh dan
berebutan membeli apel dan stroberi. Forsythia dan si Nenek pun tidak perlu
menunggu lama sampai dagangan mereka habis. Pertanyaan yang diajukan begitu
standar karena hampir seluruhnya adalah pemuda-pemuda yang bekerja di pasar.
Tentu saja pria bangsawan tidak akan berlaku menyebalkan seperti itu. Mereka
bertanya nama, umur, di mana Forsythia tinggal, dan lain-lain yang tentunya
tidak gadis itu jawab dengan terus terang. Lagipula siapa yang akan tahu kalau
dirinya berbohong?
Sebuah kereta kuda bersimbol kerajaan
tiba-tiba datang ke sana, membawa seorang pria yang tampaknya seorang pengawal.
Orang itu berdiri di podium—yang mana sering dipakai oleh pejabat kerajaan
untuk mengumumkan kebijakan atau kabar yang penting. Dia mengeluarkan sebuah
gulungan kertas yang sebelumnya diapit di lengan lalu membuka dan membacanya
keras-keras.
“Terhitung mulai hari ini sampai dengan
besok siang, semua gadis di seluruh penjuru negeri diminta untuk datang ke
istana dengan membawa satu jenis bunga yang paling indah di dunia ini. Gadis
yang terpilih akan diundang menghadiri jamuan makan malam di istana, bersama
dengan keluarga kerajaan. Serta apabila berkenan, gadis tersebutlah yang
kemudian akan menjadi Permaisuri Pangeran Brisera. Tertanda: Jagaraga Orion
Alanza, Putra Mahkota Brisera.”
Seruan antusias langsung memenuhi
pasar, terutama berasal dari gadis-gadis di sana. Forsythia bisa mendengar
kebingungan mereka akan membawa bunga apa ke istana. Nenek yang berada di
sebelahnya pun bereaksi sama.
Keduanya lalu bergegas pulang ke gubuk.
Di sana mereka mendapati sang Kakek sedang berbicara dengan sekumpulan gadis.
“Bukankah kau menjual buah kebunmu di
pasar? Kenapa tidak sekalian saja kau jual bungamu pada kami?” tanya seorang
gadis bersikeras.
“Berapa kali harus kukatakan?” Sang
Kakek menanggapi sabar. “Bunga-bungaku tidak untuk dijual. Istriku akan sangat
sedih kalau bunga-bunga kami dipetik.”
“Kau sendiri tahu pada akhirnya bunga
mana pun akan layu tidak peduli seindah apa pun dia! Kami akan memberimu uang!
Kenapa kau masih saja keras kepala?!”
“Ada begitu banyak penjual bunga di
pasar, kenapa kalian tidak pergi ke sana saja?”
“Sudah kuberi tahu tadi! Tidak ada
bunga lain yang tumbuh sebaik bunga yang kau tanam!”
Sang Kakek menggeleng—tetap teguh
dengan pendiriannya. “Aku tetap tidak akan menjual bungaku.”
Kesal, gadis-gadis itu tiba-tiba hendak
merusak tanaman-tanaman bunga di sana. Sontak baik pasangan petani tua itu dan
Forsythia terkejut. Tapi sebelum mereka sempat melakukannya, Forsythia
menjambak salah satu dari mereka hingga gadis kasar itu menjerit kesakitan.
Teman-teman gadis itu pun terkejut di tempat karena Forsythia menatap mereka
satu per satu dengan tajam.
“Aku akan berhitung hanya sampai tiga.
Kalau dalam tiga hitungan kalian belum enyah dari sini, aku bersumpah akan
mengambil cangkul lalu menghujamnya ke wajah kalian.”
Merinding, gadis-gadis itu kemudian
lari tunggang langgang meninggalkan pekarangan gubuk pasangan petani tua.
“Nak, kau mengerikan sekali,” komentar
si Kakek lalu terkekeh.
Forsythia tersenyum.
“Aku heran sekali kenapa tiba-tiba
mereka berkeras ingin membeli bungaku…”
“Tadi ada pengumuman di pasar,” kata si
Nenek memberitahu suaminya. Dia lalu menceritakan panjang lebar kehebohan
sewaktu di pasar tadi sementara mereka tidak menyadari Forsythia sibuk dengan
pikirannya sendiri.
Mengapa Pangeran membuat perintah
semacam itu? Bunga terindah apa yang dia maksudkan? Dia tidak mungkin lupa
saat-saat mereka berdua sewaktu di pesta istana yang diselenggarakan untuk
umum. Forsythia yakin Pangeran jatuh cinta padanya, begitupun sebaliknya.
Sejauh ini Forsythia merasa yakin sang Pangeran tidak sedikit pun mengetahui
apa pun mengenai dirinya. Apa mungkin karena itulah, Pangeran membuat perintah
seperti tadi? Apakah itu isyarat bagi Forsythia supaya bisa bertemu dengan
dirinya?
Lebih dari itu Forsythia masih pusing
memikirkan tindakan apa yang akan dia lakukan untuk memojokkan Pangeran Delard,
karena orang itu jelas-jelas ingin supaya dirinya lenyap. Mungkinkah semuanya
akan lebih mudah kalau dia meminta bantuan pada Pangeran Brisera? Pemikiran itu
mendadak terlintas.
“Oh, begitu rupanya!” kata si Kakek
saat selesai mendengar cerita istrinya. Pandangannya lalu beralih pada
Forsythia. “Nak, kau harus pergi ke sana juga.”
“Tapi… saya tidak tahu bunga terindah
apa yang dimaksud Pangeran…,” ucap Forsythia.
“Bawalah salah satu dari bunga-bunga
kami, Nak,” suruh si Nenek. “Bunga mana pun sama saja. Semua orang akan setuju
kalau bunga yang kami tanam jauh lebih indah dari bunga-bunga lain.”
Forsythia terdiam. Benaknya belum
berhenti berpikir. Bunga apa yang terindah? Bunga apa yang harus dia bawa ke
istana? Gadis itu mengerjap tatkala ingat akan sesuatu.
“Pilihlah salah satu bunga di sini,
Nak. Biar kupetikkan untukmu,” saran si Kakek.
“Terimakasih, Kakek.. Nenek… Tapi
tidak. Saya tidak akan memetik bunga kalian,” tolak Forsythia harus. “Saya akan
mencari bunga yang tumbuh liar di atas bukit.”
Pasangan petani itupun terkejut
mendengar keputusan Forsythia.
“Bunga apa yang kau cari?” tanya si
Kakek. “Apakah bunga itu tidak kami punya? Kau akan butuh waktu lama untuk naik
ke atas bukit lalu turun lagi ke sini.”
Forsythia tersenyum lalu menjawab,
“Namaku Forsythia. Mendiang ibuku pasti berpikir itu nama terindah yang bisa
dia berikan untukku.”
***
Gadis-gadis seluruh penjuru negeri
berdatangan mulai dari gadis bangsawan sampai gadis yang berasal dari rakyat
jelata. Mereka datang dengan membawa setangkai bunga di tangan. Bermacam-macam
jenis bunga itupun diperlihatkan pada pengawal istana yang lalu meneriakkan
nama bunga itu supaya Orion mendengarnya—karena dia hanya melihat bunga-bunga
itu dari balkon istana yang tinggi. Lama-lama laki-laki itu pun merasa lelah
karena tidak ada dari mereka yang membawa bunga yang Orion maksud—tepatnya,
karena Forsythia tidak kunjung datang.
Acara itu dihentikan saat malam tiba
lalu dimulai kembali esok paginya dengan gadis-gadis yang datang—meski mereka
membawa bunga yang jenisnya sama dengan yang kemarin mereka bawa, hanya saja
mereka menggantinya dengan bunga yang lebih segar dan indah.
Siang mulai datang dan Orion pun mulai
bosan. Laki-laki itu mulai pesimis apakah dia bisa membawa Forsythia menemui
orang tuanya besok malam. Tambahan: tidak ada jaminan juga gadis itu akan
membawa bunga forsythia seperti yang Orion maksudkan. Alasan mengapa Orion
memilih forsythia adalah karena hiasan rambut yang gadis itu tidak sengaja
tinggalkan, menggambarkan forsythia. Secara tidak langsung, Orion juga ingin
sekali mengembalikan hiasan rambut itu pada pemiliknya.
Saat itulah seorang gadis yang
berpakaian lusuh dan agak kotor, mendatangi gerbang istana dengan kaki
telanjang. Kedua tangannya memegangi wadah limbah yang dia temukan di bukit.
Wadah itu juga merangkap sebagai vas untuk ranting forsythia yang dia tata
membentuk bundar. Rongga dada Forsythia pun kembang kempis karena telah begitu
jauh berjalan dari bukit menuju istana.
Kala dia datang, sebagian gadis-gadis
di sana berbisik satu sama lain.
“Apa yang dia bawa? Forsythia?”
“Mana mungkin forsythia bisa
menggerakkan hati Pangeran?”
“Dia gila.”
“Sepertinya begitu. Lihat saja
penampilannya yang kotor.”
“Biarpun miskin, harusnya dia berusaha
tampil cantik.”
Forsythia berulang kali membatin pada
diri sendiri untuk sabar mendengar celotehan tidak berguna gadis-gadis itu. Dia
sekarang berdiri di tengah-tengah kerumunan, menyisakan banyak bagian rumpang
di halaman tengah karena gadis-gadis itu enggan mendekatinya. Tapi hal itu
ternyata justru memancing perhatian dari pengawal yang berada tidak jauh dari
Orion.
“Tuanku, lihatlah. Ada seseorang yang
dibiarkan berdiri di tengah-tengah,” kata pengawal itu.
Orion mengernyit. Detik selanjutnya dia
merebut teropong yang dipakai pengawalnya. Mata laki-laki itu kemudian terbelalak.
Tiba-tiba saja dia membalikkan badan, berlari ke dalam istana untuk menuruni
tangga. Para pengawal yang kebingungan langsung mengekor di belakangnya.
Sesampainya Orion di halaman depan istana, gadis-gadis di sana langsung
histeris. Meski begitu mereka menahan diri untuk tidak bersikap lancang dengan
memberi sang Pangeran jalan.
Orion terus melangkah hingga dia
menemukan sosok Forsythia yang bergeming di tengah-tengah kerumunan. Para gadis
yang mulanya mengejek tadi langsung diam membisu menyadari pandangan sang
Pangeran mengarah tepat padanya.
Perlahan-lahan Orion berjalan mendekati
gadis itu. Dia melihat vas yang Forsythia bawa lalu senyumnya mengembang. Sang
Pangeran lalu mengeluarkan sebuah hiasan rambut dari saku bajunya lalu
menyodorkannya pada Forsythia. Itu adalah hiasan rambut yang tidak sengaja
Forsythia jatuhkan sewaktu dia melarikan diri dari istana, juga hiasan rambut
yang berharga milik putri pasangan petani penolongnya.
“Kau meninggalkan hiasan rambut yang
amat cantik,” kata Orion.
Forsythia tersenyum. Dia mengambil
hiasan rambut itu dengan tangannya yang agak kotor terkena tanah sewaktu berada
di bukit untuk mengambil satu ranting forsythia.
“Aku selalu lupa bertanya saat bertemu
denganmu,” ujar Orion kemudian. “Boleh aku bertanya siapa namamu?”
Alih-alih menjawab, Forsythia lalu
menyodorkan pada Orion, vas yang dia bawa.
“Nama bunga ini.. adalah namaku.”
Orion tertegun tapi akhirnya tersenyum
menatap Forsythia. Mendadak Pangeran mengangkat tubuh sang Putri lalu
menciumnya di depan semua gadis yang hadir—termasuk Irene yang berdiri kaku di
antara kerumunan.
***
“Tuanku, Nona sudah siap,” kata seorang
pengawal mengumumkan kehadiran Forsythia di ruangan di mana Orion menunggunya.
Tirai yang memisahkan pandangan mereka
kemudian dibuka lalu muncullah gadis itu dalam balutan gaun sutra yang
mengembang berwarna kuning yang lembut. Rambut hitam legam Forsythia dijalin
bertumpuk di belakang kepala kemudian ditaruhlah tiara yang cantik di atasnya.
Laki-laki di sana selain Orion tidak
bisa menyembunyikan pandangan yang terpaku ke satu arah. Lucunya, fokus mereka
buyar seketika saat tidak sengaja Orion menjatuhkan buku tebal yang tadinya
sempat dia baca. Sang Pangeran kemudian bangkit berdiri lalu mendekat pada
Forsythia.
“Kau begitu luar biasa,” gumam Orion. “Yang
Mulia pasti akan gembira sekali melihatmu.”
“Pangeran.. sebenarnya…”
“Tuanku, Yang Mulia Raja, Permaisuri, Pangeran
Delard, Menteri Castamore juga putrinya telah hadir. Tuanku diminta hadir
secepatnya,” kata salah seorang pengawal memotong kalimat Forsythia.
Orion mengerutkan kening sementara
Forsythia menjadi tegang. Meski begitu mereka membatin pertanyaan yang sama;
mengapa Pangeran Delard dan Menteri Castamore hadir di jamuan keluarga
kerajaan?
Menghela napas, Orion lalu memutuskan
untuk mengikuti saja acara yang diadakan ayah dan ibunya dengan catatan mereka
akan memperlakukan Forsythia dengan baik. Laki-laki itupun kembali mengernyit
ketika menyadari tangan Forsythia begitu dingin dan meremas tangan Orion
erat-erat.
***
Di ruang jamuan, Menteri Sumber Daya
Castamore—Redyan mulai menyinggung gadis yang dibawa Pangeran Orion di hadapan
Raja dan Permaisuri. Niatnya tidak lain adalah supaya Raja dan Permaisuri
menentang keputusan Pangeran Orion, karena gadis yang rumornya adalah rakyat
jelata dan miskin itu tidak sebanding dengan putrinya, Irene. Pria tua yang
sebenernya punya tabiat buruk itupun mulai membicarakan topik yang aneh seperti
nilai kehormatan keluarga Raja akan terganggu di hadapan rakyat khususnya
bangsawan, dan sebagainya.
Kata-kata lancang Menteri Redyan pun
sempat didengar oleh Orion dan Forsythia yang melangkah masuk ke dalam ruang
jamuan. Orion berjalan dengan tubuh dan kepala yang tegap seperti biasa menjaga
wibawanya. Tapi di belakang sang Pangeran, si Gadis yang seharusnya jadi tokoh
utama justru menyembunyikan sosoknya di balik punggung pasangannya. Semua yang hadir
pada jamuan tersebut pun kebingungan, tidak terkecuali Orion.
“Ada apa? Kenapa?” bisik Orion tanpa
membalik tubuhnya supaya Forsythia tidak menanggung malu karena ketahuan jelas
bersembunyi—meskipun nyatanya baik Raja dan Permaisuri tahu gadis itu sengaja
bersembunyi.
“Sa-saya… saya…” Forsythia
terbata-bata. Pertama, gadis itu memang gugup berhadapan dengan orang tua Orion
yang juga adalah Raja dan Permaisuri Brisera. Kedua, gadis itu ketakutan karena
dalang percobaan pembunuhan yang diarahkan padanya juga ada di sana. Bahkan dari
sudut matanya saja Forsythia bisa melihat sepasang mata sepupunya yang jahat
menyipit.
Menghela napas, Orion lalu mengeratkan
genggaman tangannya pada Forsythia, mencoba menenangkan gadis itu. Dia lalu
berkata dengan halus, “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan karena aku ada di
sisimu. Bahkan jika mereka menghujammu dengan keburukan mereka, aku akan selalu
melindungimu.”
Forsythia diam. Kalimat Orion
memberinya kekuatan. Meski tetap disertai ragu, gadis itu kemudian memberanikan
diri untuk memperlihatkan wajahnya. Sontak Pangeran Delard dan Irene
membelalakkan mata, bahkan Irene sendiri terkesiap keras. Menteri Redyan
bingung melihat tingkah putrinya karena selama ini tidak pernah mengingat
bagaimana wajah salah satu dari dua keponakan Raja negeri asalnya. Pangeran
Delard mendadak bangkit berdiri dari kursi, begitupun Irene. Bedanya, putri
Menteri Redyan itupun langsung berjalan cepat ke hadapan Forsythia kemudian
membungkuk rendah-rendah memberikan salam.
“Lama tidak bertemu, My Lady,” ucap Forsythia pada Irene. Mereka
berteman dan Irene sempat menjadi salah satu “dayang” Forsythia. Irene tidak
mungkin melupakan wajah Forsythia yang amat cantik, namun selalu enggan
memperlihatkan sosoknya pada kalangan luas.
“Kalian saling mengenal?” tanya Orion
heran.
Menteri Redyan yang tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi langsung menghardik putrinya untuk buru-buru menegakkan
tubuhnya. “Irene! Berdiri! Bagaimana mungkin kau memberi salam seperti itu pada
seorang gadis rendahan?!”
Orion dan Forsythia langsung menatap
tajam pada Menteri Redyan, membuat orang tua itu bungkam seketika. Pandangan Forsythia
lalu beralih pada sepupunya, Pangeran Delard yang mematung di tempat.
“Lama tidak berjumpa, Pangeran,” ucap
Forsythia dingin pada laki-laki itu. “Seperti yang kau lihat, aku masih dalam
keadaan hidup dan sangat sehat.”
Kedua rahang Pangeran Delard saling
menekan kuat. Wajahnya memerah memendam ketegangan dan amarah.
Forsythia kemudian membungkuk sekilas
pada Raja dan Permaisuri Brisera yang tidak mengerti situasi sebenarnya di
hadapan mereka. Tersenyum, gadis itupun kemudian memperkenalkan diri dengan
suara yang tidak lagi bergetar karena Orion masih menggenggam tangannya erat.
“Yang Mulia Raja dan Permaisuri,
izinkan saya memperkenalkan diri..,” kata Forsythia. “Nama saya Forsythia
Andhergin Varsaille, keponakan Arthur William Varsaille—Raja Castamore. Saya juga…”
Pandangan gadis itu lalu beralih pada Pangeran Delard. “Putri Mahkota
Castamore.”
“Gadis lancang!” Pangeran Delard
tiba-tiba berseru marah. “Putri Mahkota? Apa yang membuatmu begitu yakin kalau
akan mewarisi tahta?!”
Baik Orion, Raja dan Permaisuri terpaku
di tempat melihat konflik kerajaan tetangga mereka secara langsung. Menteri
Redyan bahkan merosot di kursinya karena tidak menyangka gadis yang dia hina
tadi adalah keponakan Raja.
“Hanya karena aku terlahir menjadi
seorang putri… bukan berarti kau bisa mengabaikan darah keturunan Raja yang ada
padaku,” balas Forsythia tenang dan tegas. “Ganjaran karena telah berusaha
membunuh keturunan Raja adalah hukuman mati atau berdiam seumur hidup dalam
pengasingan.”
Mulut Pangeran Delard menganga, hendak
membalas namun suaranya tidak keluar.
“Saya telah mengirim pesan pada Yang
Mulia mengenai apa yang telah saya alami di Brisera…,” aku Forsythia. Tersenyum,
gadis itu lalu beralih menatap Orion. “Saya menekankan Brisera tidak ikut
andil.. hubungan dua negeri akan baik-baik saja.”
Sudut bibir Orion terangkat membalas
gadis di sampingnya. Sementara itu Raja dan Permaisuri Brisera pun berseri-seri
merespon baik pilihan putra tunggal mereka.
Tidak lama setelahnya, Pangeran Delard
diadili di Castamore dan Menteri Redyan diturunkan dari jabatannya.
Orion dan Forsythia melangsungkan
pernikahan mereka hingga kedua negeri bersuka cita. Beberapa tahun berselang,
Brisera dan Castamore bergabung menjadi satu negeri yang kuat berkat
dimahkotainya Raja dan Ratu baru. Mereka pun hidup bahagia selama-lamanya.