Wounds Heal, Scar Left

Sabtu, 29 Agustus 2015



Alkisah seribu tahun yang lalu, terdapat sebuah negeri yang dipimpin seorang Raja yang sangat ambisius dan kejam. Dia dididik begitu keras oleh raja terdahulu sehingga hatinya beku bagai bongkah es abadi. Setiap hari yang dia lakukan adalah menciptakan strategi-strategi yang cerdik supaya prajuritnya dapat menyerang negeri-negeri tetangga lalu pulang membawa kemenangan.

Layaknya seorang penguasa yang ambisius, sang Raja kemudian menikahi seorang Putri dari negeri lain untuk dijadikan permaisuri meskipun tidak ada cinta. Namun karena terlalu tertekan, Permaisuri pun akhirnya meninggal karena terlalu sering sakit-sakitan. Tidak peduli dengan kematian istrinya, Raja seringkali bergonta-ganti wanita. Satu malam, untuk satu orang gadis. Dan suatu ketika adalah seorang gadis biasa yang dijual kepadanya. Dia gadis yang amat cantik, tapi tentunya tidak semudah itu untuk mengambil hati Raja.

Si Gadis rupanya punya harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin menjadi perempuan satu malam yang kemudian melahirkan bayi tanpa identitas. Gadis-gadis seperti itu tidak lebih dari sepatu tua yang tidak berharga, tidak punya pilihan selain dibuang atau dimusnahkan sekalian. Karenanya setiap dibawa ke kamar Raja, si Gadis selalu mengancam akan bunuh diri apabila Raja sampai menyentuhnya. Kekuatan dalam tubuh lemahnya membuat sang Raja terkesan. Raja lalu bertanya apa yang diinginkan gadis itu untuk bisa menerimanya. Satu permintaan gadis itu pun dikabulkan.

Hari berikutnya, si Gadis diberikan kedudukan yang layak bahkan diangkat menjadi selir Raja. Namun, bukannya diberikan kebahagiaan, pasangan itu pun melewati hari-hari mereka dengan begitu banyak pertengkaran oleh sebab sang Raja yang amat kejam, juga sang Selir yang keras kepala. Meski begitu, Raja tidak bisa begitu saja membuang Selir—karena sekarang dia telah menjadi istri sahnya, yang mana hal ini telah diperhitungkan sebelumnya oleh si Gadis yang mengajukan permintaan pada Raja.

Beberapa waktu kemudian, Selir tidak sadar kalau dirinya mengandung. Dia sibuk berkuda ke sana kemari hingga akhirnya keguguran, dan akibatnya Raja murka. Raja bahkan memerintahkan semua dayang Selirnya dihukum mati dengan cara dipenggal. Rupanya kejadian itu tidak cukup terjadi sekali, Selir beberapa kali hamil, namun sayangnya selalu berakhir dengan keguguran. Selalu dirundung kesedihan, Selir pun tidak bisa berbuat apa-apa mengetahui kebiasaan buruk Raja kembali, yaitu sering berganti-ganti perempuan tiap malam.

Ketika usia Selir telah menginjak awal tiga puluhan—yang mana pada zaman tersebut seorang wanita dianggap telah berumur dan tidak berharga lagi apabila belum menikah, dia mengandung lagi untuk yang ke lima kalinya. Sang Selir yang tidak ingin keguguran, menjaga baik-baik janin dalam rahimnya. Selangkah pun dia tidak ingin keluar dari kamarnya untuk menjaga si Bayi. Memang, janin itu tetap aman hingga perutnya membesar hingga masuk ke kehamilan tua. Namun akibatnya, tubuh Selir lemah karena dia jarang bergerak.

Raja yang tahu Selir sedang mengandung, seringkali datang berkunjung. Meskipun sifat yang ditampakkannya tetap dingin, dia sebenarnya peduli pada kesehatan Selir. Raja bahkan merindukan pertengkaran-pertengkaran mereka dulu, karena Selir yang lemah, nyaris tidak punya tenaga untuk berdebat. Sebagai gantinya, Selir lebih banyak tersenyum—senyuman kebahagiaan, karena sebentar lagi dia bisa melihat wajah anak yang dikandungnya. Hangatnya senyuman itu lalu meluluhkan sifat dingin dan kejam yang ada pada Raja. Perlahan-lahan Raja pun menyadari dia begitu mencintai sang Selir.

Waktu kelahiran pun tiba. Selir melahirkan bayi yang dikandungnya dengan susah payah. Tabib memberitahu Raja kalau baik Selir dan bayi mereka dalam situasi yang amat berbahaya. Jika pilihan jatuh pada keselamatan Selir, maka bayi itu akan gugur. Sebaliknya, jika sang Bayi yang dipilih, maka nyawa Selir akan jadi taruhannya. Raja yang tidak ingin Selir yang dicintainya meninggal, lebih memilih bayi itu tiada. Namun Selir dalam kesakitannya, menentang. Dia merasa lebih baik mati daripada keguguran lagi. Raja pun menyadari jika saat itulah, untuk terakhir kalinya dia bisa berdebat dengan istrinya.

Tangisan bayi akhirnya terdengar di seluruh penjuru istana. Sayangnya, napas kehidupan yang diterima sang Bayi harus ditukar dengan kematian ibunya.

***

Roma, 30 April 2015.

Salah satu ruang panggung dalam gedung pertunjukkan klasik yang kosong, seseorang duduk di deretan kursi paling belakang, diam mendengarkan dentingan piano. Gymnopedie dilagukan tenang oleh seorang gadis yang menguncir tinggi rambut cokelatnya di belakang kepala dan berhias pita putih. Dia memainkannya tanpa tahu ada orang selain dia dalam ruangan teater malam itu.

Seorang yang jadi pendengar tadi kemudian menyelinap keluar diam-diam sewaktu lagu kedua hendak dimainkan. Bukan orang itu tidak ingin mendengarnya, dia hanya telah selesai memastikan gadis pianis tadi baik-baik saja. Kebetulan saja dia berada di sana dan meyakinkan diri untuk menyempatkan sedikit waktunya untuk melihat gadis itu. Ini bukan waktu yang baik untuk bertemu. Belum.

Sesampainya di luar gedung, dia disambut beberapa orang pria yang berbalut jas hitam yang mengitari dua mobil. Salah satunya membukakan pintu lalu orang tadi masuk ke dalamnya. Tidak menunggu lagi, mereka pun beranjak secepatnya ke bandara karena pesawat yang hendak orang itu tumpangi akan berangkat sebentar lagi.

Wajah pucat gadis itu memandang keluar melalui kaca jendela mobil. Lampu-lampu jalan dan pertokoan selalu menyilaukan matanya pada malam hari, terlebih di kota-kota besar. Pemandangan yang umum, tapi gadis itu tidak pernah terbiasa. Dia masih begitu muda, namun hidupnya begitu membosankan meski setiap hari bertemu dengan macam-macam orang dengan latar belakang dan sifat yang berbeda. Satu haripun berlalu begitu lambat kali ini.

***
“Selamat datang,” sambut seorang florist saat lonceng yang berada di samping pintu kayu tokonya berbunyi nyaring.

Masuk seorang gadis memakai dress abu-abu selutut membawa tas tangan serat. Mata gadis itu mengedar memperhatikan puluhan jenis bunga yang terhampar di depannya.

“Anda datang pagi sekali,” komentar sang Florist ramah. Wanita paruh baya yang begitu ceria itu sedang menyemprotkan air ke beberapa bunga yang masih tinggal dama pot-pot kecil. “Silakan dipilih dulu.”

“Tolong bungkuskan mawar..,” kata gadis itu.

“Tentu. Mau yang warna apa?”

“Merah.. Saya mau semua yang ada di keranjang itu..” Dia menunjuk pada sekeranjang penuh mawar merah di pinggir ruangan toko, tapi dengan posisi yang lebih tinggi satu tingkat dari bunga-bunga lain di atas lantai.

Florist tadi meletakkan botol penyemprotnya lalu berjalan mengambil keranjang bunga yang gadis itu maksudkan. Hati-hati, dia mengeluarkan semua mawar itu dari keranjang. Detik berikutnya badannya berbalik menghadap si Pelanggan.

“Mau ditata sekalian dalam buket?” tanyanya.

“Bungkus kertas saja.”

Mawar-mawar tadi kemudian ditata rapi dalam balutan kertas putih dan cokelat. Supaya rekat, sang Florist menambahkan juga seuntai pita yang kemudian ditalikan. Dia pun memberikannya pada gadis tadi setelah dibayar menggunakan beberapa lembar uang merah. Senyum sang Florist makin mengembang ketika gadis itu menolak kembalian uangnya, dua kali dia mengucapkan kata terimakasih.

Sekeluarnya dari toko bunga, gadis itu melangkah menyusuri jalan kecil tempatnya berada kini. Sepatu kayunya mengetuk-ngetuk aspal. Hari masih pagi dan belum banyak orang-orang yang memulai aktivitas sehingga bunyi sandalnya menggema. Kakinya belum juga berhenti melangkah sampai akhirnya matahari bersinar terik. Debu dan asap kendaraan mulai bertebaran di mana-mana. Gadis itu mulai merasakan pusing, wajah dan tubuhnya pun timbul titik-titik keringat. Matanya beralih lagi ke kantong kertas mawar yang dia bawa. Tentu saja, bunga itu mulai layu.

Paru-parunya menghela dalam-dalam. Berada di negara tropis memang sedikit melelahkan. Tubuhnya terlalu sering diterpa dingin hingga untuk beberapa waktu lamanya, dia tertegun dengan hawa panas yang menjalar. Sekarang barulah dia benar-benar mengerti kenapa orang-orang sangat menyukai teh yang dimasukkan beberapa balok kecil es batu.

Hidungnya samar-samar menghirup aroma daging yang dimasak di atas bara api. Gadis itu berhenti melangkah dan agaknya mulai kebingungan pada benaknya yang mendebat. Orang yang melihatnya akan menyangka gadis itu sedang melamun. Kesempatan itu dimanfaatkan baik-baik oleh seorang laki-laki yang sedang memperhatikannya dari jauh.

Mengambil arah yang berlawanan dari si Gadis, laki-laki itu tiba-tiba berlari berbalik arah. Tas yang disampirkan di siku langsung direbut paksa. Mata gadis itu pun membelalak terkejut. Badannya bahkan tertarik ke depan hingga lututnya menghujam aspal. Seorang wanita paruh baya melihat kejadian itu dan langsung berteriak keras.

“COPET!!!” Dia menunjuk ke arah laki-laki tadi berlari.

Teriakan itu tentu saja mengundang perhatian orang-orang di sana. Beberapa pria bahkan langsung berlari mengejar. Wanita yang berteriak itu lalu beralih menghampiri si Gadis yang tampak mematung—dia mengerjap beberapa kali mendapati mawar merah yang dibelinya tumpah dan berserakan kotor bersamanya di atas aspal.

“Kau tak apa-apa, Nak?” tanya wanita tadi. Dia lalu membantu gadis itu berdiri.

Si Gadis hanya mengangguk sekali—tampak tidak sedikit pun tidak cemas pada tasnya yang dicuri. Kalau soal uang dan kartu-kartu di dalam dompet, dia tidak peduli. Hanya saja ada sebuah bros berlian berbentuk mawar yang amat berharga di dalam sana.

“Ada apa? Kenapa di luar berisik sekali?” Suara seseorang bertanya terdengar tidak jauh dari posisi gadis itu sekarang.

“Sepertinya nona ini kecopetan,” jawab suara dari orang lain lagi.

Gadis itu menoleh ke samping, menyadari kalau dia berdiri tepat di depan sebuah rumah makan bernuansa merah beludru. Dua orang laki-laki yang sepertinya pegawai di rumah makan tersebut menempelkan tubuh mereka ke kaca jendela. Pandangan mereka terarah ke kerumunan yang ramai.

Saat itulah sepasang mata si Gadis terpaku dan badannya membeku. Bahkan sebelum hatinya bertanya-tanya apakah sosok di depannya nyata atau tidak, sebulir air matanya lebih dulu jatuh. Lagu lama yang tersimpan terlalu lama akhirnya dibuka kembali.

Dan apabila aku bermimpi… jangan biarkan aku terbangun.. selamanya..

In the Land of Flower (Epilog)

Rabu, 19 Agustus 2015



Seorang anak mengangkat tangannya tinggi-tinggi diikuti pandangan teman-teman seusianya. Mereka makhluk kecil menggemaskan yang memakai seragam biru-putih. Melisma menoleh pada anak yang punya satu pertanyaan begitu dongeng diakhiri dengan kalimat “Selama-lamanya”.

“Bagaimana soal kakek nenek yang baik hati? Niko juga punya kakek nenek,” kata anak itu.

Melisma tersenyum. Sungguh, sejak awal dia jatuh cinta pada anak yang tampak paling antusias mendengarkan dongengnya itu. Badannya memang paling kecil di antara teman-temannya yang lain, namun sepasang matanyalah yang paling berbinar.

“Ah, kakek dan nenek yang menolong Forsythia?” tanggap Melisma menepuk tangan sekali. “Aku hampir saja lupa! Kapan terakhir kali aku menyebut mereka?”

“Di kebun bunga!!” seru beberapa anak sekaligus.

Melisma mengangguk-angguk membenarkan, bersikap kalau jawaban mereka sangat membantunya.

“Kalau begitu, mari kita tambahkan sedikit momen soal mereka.”

***

Pasangan petani miskin menjalani hari-hari mereka seperti sebelumnya, hanya saja mereka lebih sering tampak murung. Sudah seminggu terlewat sejak Forsythia meninggalkan gubuk itu untuk pergi ke istana setelah turun dari bukit membawa bunga liar yang dia petik. Mereka tahu Brisera bersukacita karena Pangeran yang rakyat cintai telah menikah, meski begitu si Kakek dan nenek tidak terlalu bersemangat mendengarnya. Mereka hanya tahu sang Pangeran menikah dengan putri kerajaan tetangga—Castamore. Itu berarti, Forsythia yang sejauh ini mereka sayangi seperti anak sendiri tidak bisa memenangkan hati Pangeran. Mereka tambah bersedih karena seiring dengan hari-hari yang berlalu, Forsythia tidak kunjung kembali.

Kalian mungkin bertanya-tanya apakah mungkin setelah menjadi Permaisuri Pangeran sekaligus calon Ratu di negerinya, gadis yang amat cantik itu telah lupa dengan sang Penolong? Oh, tidak. Sungguh tidak.

Forsythia disibukkan dengan berbagai perayaan—baik di Brisera maupun Castamore. Sebagian pesta wajib dia datangi untuk memperlihatkan tanggung jawabnya dalam acara formal, meski tentu saja Forsythia enggan menghadiri pesta seperti itu. Dia tidak melupakan kakek dan nenek penolongnya sedikitpun, bahkan bertanya-tanya terus dalam hati, kapan dirinya akan menyempatkan berkunjung ke gubuk di tengah-tengah kebun bunga yang indah itu.

Sang Pangeran—Orion menyadari perubahan ekspresi Permaisurinya yang berulang-ulang mendesah lesu. Lembut, dia kemudian berkata pada Forsythia, “Semua hadiah yang kuberikan tampaknya belum juga menghadiahkan senyum pada Ratuku.”

Forsythia lalu membalas, “Kalau begitu saya boleh meminta satu lagi hadiah kecil?”

Sang Pangeran mengabulkannya—sebuah permohonan yang amat sederhana.

Keesokan harinya, saat pasangan petani yang dirindukan Forsythia sedang menyiangi tanaman bunga mereka, segerombolan orang datang, berbaris memanjang di jalan setapak yang sempit. Gerombolan itu mengelilingi sebuah kereta kuda yang megah.

Terpaku dengan kereta kuda itu, mereka justru didatangi oleh seorang laki-laki yang menaiki kuda yang tampak paling gagah dibanding kuda-kuda yang lain. Si Kakek dan Nenek lalu menoleh padanya, bingung mengenali sosok rupawan itu. Salah satu pengawal menyerukan sebutan “Pangeran” ketika laki-laki tersebut turun dari kudanya. Pasangan petani terkejut bukan lain lalu bersujud memberi hormat.

“Bunga-bunga yang kalian rawat memang jauh lebih indah dari bunga-bunga lain,” kata Orion. “Berdirilah. Angkat wajah kalian.”

Si Kakek dan nenek menurut. Mereka melihat wajah Pangeran menghadap mereka dan tersenyum ramah.

“Apa yang membawa tuanku kemari? Apakah… tuanku ingin meminta bunga di kebun kami?” tanya si Kakek mengingat Pangeran negerinya baru saja menikah. Mungkin saja laki-laki itu ingin memberikan bunga untuk permaisurinya.

“Tentu aku ingin,” jawab Orion. “Tapi Permaisuriku melarangku mengambil bunga dari kebun kalian. Dia juga lebih suka pergi ke atas bukit, memandang hamparan bunga liar.”
Pasangan petani itupun saling berpandangan bingung.

Forsythia masih ada dalam kereta kudanya. Matanya berkaca-kaca dan tangannya meremas-remas gaun. Menenangkan diri, sang Putripun keluar dari keretanya, dibantu oleh salah seorang pengawal. Sekeluarnya dia dari sana, pasangan petani tadipun menoleh dan mereka tercengang mendapati Forsythia berdiri tidak jauh dari mereka. Dia memakai gaun mengembang sutra yang indah dan sebuah tiara sederhana di rambut yang ditata bergelung. Forsythia perlahan-lahan mendekat pada mereka dengan air mata yang nyaris jatuh.

“Kakek.. nenek…,” panggilnya sedikit bergetar.

“Astaga… oh, astaga…” Pasangan petani itupun langsung menyongsongkan ke dalam pelukan.

Orion memperhatikan mereka lalu menyunggingkan senyum, begitupun dengan para dayang serta pengawal yang mengantar mereka.

Beberapa saat kemudian, ketika akhirnya pelukan ketiga orang itu terlepas, Forsythia melepaskan kalungnya yang berbandul hiasan berbentuk forsythia. Dia kemudian memasangkan kalung itu pada sang Nenek yang bingung. Si Kakek menyipitkan mata lalu mengenali bandul kalung itu sebagai hiasan rambut milik mendiang putrinya.

“Sudah waktunya saya mengembalikannya,” kata Forsythia. “Tanpa putri kakek dan nenek.. mungkin saya tidak akan seperti ini.”

Sang Putri dan Pangeran lalu meminta pasangan petani tersebut untuk tinggal bersama di istana, tapi baik kakek dan nenek itu menolak. Mereka minta supaya tidak dipisahkan dari bunga-bunga yang telah mereka rawat bertahun-tahun semenjak putri mereka tiada. Forsythia lalu dengan berat hati mengurungkan niatnya untuk membawa mereka ke istana. Sebagai gantinya, meski kemudian dirinya menjadi seorang ibu bagi negeri, Forsythia selalu menyempatkan diri mengunjungi pasangan petani itu.

Lambat laun setelahnya, bunga-bunga forsythiapun mekar mengelilingi tempat tinggal pasangan petani.

Kisah ini pun menjadi legenda yang indah saat semua orang menceritakan sebuah negeri bunga.. jauh di masa lalu.

***

“Di mana kamu dapat kisah Forsythia itu?” tanya Alan yang melangkah sambil menggenggam tangan Melisma.

“Aku sebenarnya akan bercerita Cinderella. Tapi itu terlalu mainstream, bahkan untuk anak-anak. Aku yakin ada satu anak yang mendengar kisahnya ratusan kali—dongeng sebelum mereka tidur,” jawab Melisma. “Lalu aku mengubah namanya menjadi Forsythia. Karena banyak hal dalam kisah Cinderella yang konyol, aku pun mengubah banyak hal, lalu menambahkan sepasang orang tua yang baik hati di sana.”

Karena aku tidak merasa pernah memilikinya, batin Melisma.

“Kau harus sering-sering ber-story telling seperti tadi supaya tidak dicap galak,” gurau Alan. “Jujur, aku seperti melihat guruku sendiri sewaktu SD, saat melihatmu bercerita.”

“Aku pun merasa kau sama menggemaskannya dengan anak-anak itu.”

Mereka sama-sama tertawa kecil. Tidak berapa lama keduanya meninggalkan gedung Sekolah Dasar. Melisma melihat semak-semak forsythia menghias di sisi pinggir. Sekarang setelah mengisahkan negeri bunga tadi, untuk sekian kalinya, dia merasa bersyukur dengan nama Forsythia—bunga yang bercahaya seperti kunang-kunang.

In The Land of Flower (3/3)

Minggu, 16 Agustus 2015



Setelah yakin sosok Orion tidak lagi mengejarnya, barulah Forsythia keluar dari persembunyian. Gadis itu lalu melangkah keluar dari taman samping istana menuju halaman depan. Tamu pesta yang ada di luar bukan hanya dia seorang. Karenanya dia hanya perlu bersikap wajar, dengan kata lain berpura-pura kalau tidak sedang kabur.

Forsythia baru saja akan melewati dinding istana dalam ketika tiba-tiba sudut matanya menangkap bayangan seseorang yang amat dia kenal. Langkah gadis itu mengerem mendadak lalu melangkah mundur untuk kembali bersembunyi. Diam-diam dia mengintip dua orang di sana, yang mana salah satunya adalah sepupu Forsythia, Pangeran Castamore yang berumur lima tahun lebih tua darinya—Delard.

“Jadi dia masih hidup atau sudah mati?” tanya Delard sambil menggerak-gerakkan gelas pialanya yang berisi anggur pekat. Suaranya meski tenang tapi sangat dingin dan penuh tekanan pada lawan bicaranya.

“Kami sudah menemukan kereta yang jatuh,” jawab pria di sebelah Delard. “Ada bercak-bercak darah yang bisa dipastikan milik Putri. Hanya saja kami belum bisa menemukan keberadaannya.”

“Kau sudah memeriksa kastil miliknya di sini?”

“Putri tidak pernah menginjakkan kaki di sana.”

“Bagaimana dengan akses kembali ke Castamore?”

“Orang-orang kami yakin Putri tidak pernah melewatinya. Kalaupun iya, mereka akan langsung membunuhnya.”

Sekujur tubuh Forsythia langsung membeku. Jelas sudah semuanya sekarang penyebab kesialannya begitu sampai di Brisera. Gadis itu tahu Delard memang licik. Namun dia tidak menyangka laki-laki itu akan begitu jauh bertindak. Dia benar-benar dibutakan oleh gemerlap tahta sehingga menganggap remeh nyawa orang lain. Forsythia harus memberinya pelajaran. Kedudukan sebagai penguasa tidak boleh sampai jatuh ke tangan iblis seperti dia.

“Anak itu tidak boleh sampai kembali ke Castamore,” ujar Delard sembari tersenyum. “Setelah kembali dari sini, aku hanya perlu membawa kabar dukacita.. bendera setengah tiang akan didirikan di Castamore, kemudian setelahnya Raja pun harus mengadakan penobatan Putra Mahkota.”

Menggigit bibir, Forsythia lalu enyah dari sana. Dia tidak memiliki apa pun untuk memberikan perlawanan sekarang. Lalu apa yang bisa dia lakukan?

***

Keesokan paginya, Raja, Permaisuri dan Pangeran sarapan bersama di tengah-tengah labirin utama istana. Banyak makanan lezat yang terhidang di atas meja makan namun tidak ada satupun yang bisa membuat napsu makan Orion muncul. Laki-laki itu hanya mengambil satu potongan paling kecil daging panggang lalu mengirisnya, padahal dia tidak berencana memasukkan makanan itu ke dalam mulut.

“Menteri Sumber Daya Castamore berbicara banyak hal semalam,” kata Raja membuka topik. “Aku juga bertemu dengan Pangeran Delard. Dia datang ke sini memenuhi perintah Raja Castamore untuk menghadiri pesta.” Pandangannya lalu beralih pada Permaisuri. “Apa rencana perjodohanmu berhasil?”

“Lihatlah wajah murung Pangeran, Yang Mulia,” balas Permaisuri sambil mengerling pada putranya.

“Ya Tuhan.” Raja memasang ekspresi terkejut. “Kau jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Lady Irene, lalu suasana hatimu memburuk karena dia tidak lagi ada di sini?”

“Ayahanda.” Orion menanggapinya tidak habis pikir. “Tolonglah. Umurku sudah tidak belasan tahun lagi hingga bisa diartikan sesederhana itu.”

Raja tertawa sedangkan Permaisuri tersenyum penuh arti.

“Jadi perjodohan berhasil? Lady Irene memang istimewa. Kalaupun dia tidak jadi denganmu, Pangeran, mungkin saja dia bisa jadi permaisuri Pangeran Delard.”

“Kenapa tidak?” sambung Orion enggan. Dia sempat bertemu dengan Pangeran Delard. Gerak-geriknya halus dengan wajah yang seolah tanpa dosa. Namun entah mengapa Orion tidak menyukainya. Orion bahkan memiliki firasat aneh kalau sewaktu-waktu Pangeran itu akan berubah menjadi serigala yang menerkamnya.

“Yang Mulia, perjodohan semalam gagal,” kata Permaisuri. “Pangeran mengajak seorang gadis berdansa semalam. Dia bukan Lady Irene. Sayangnya Pangeran lupa menanyakan namanya.”

“Oh ya? Ah… mungkin saat itu aku sedang berbincang dengan Menteri di ruangan lain. Siapa dia? Apa dia putri bangsawan di sini?”

“Saya tidak tahu. Saya tidak pernah melihat dia sebelumnya di pesta-pesta yang pernah diadakan. Mungkin pangeran lebih tahu.”

Gerak tangan Orion yang masih mengiris dagingpun terhenti. Laki-laki itu terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pertanyaan tidak langsung dari orang tuanya.
“Dia gadis biasa,” kata Orion terus terang. “Aku pernah menemukannya terluka di sungai dekat hutan sewaktu berburu.”
“Kau tidak mencari tahu latar belakang keluarganya?” tanya Raja.
Orion menggeleng.
Permaisuri tersenyum lalu berkata lembut, “Dia bangsawan atau bukan, kami akan tetap menghargai keputusanmu. Meski begitu kau harus tetap memperkenalkannya pada kami. Bagaimana kalau kau undang dia untuk makan malam di istana lusa?”
Orion menghela napas panjang. “Akan kuusahakan.”

***

Nenek petani mengajak Forsythia untuk pergi ke pasar, menjual apel dan stroberi yang telah mereka panen. Sang Nenek membawa keranjang apel di atas kepala, sedangkan Forsythia membawa dua keranjang stroberi di tangan kanan dan kiri. Selama mereka berjalan menuju kios tempat si Nenek biasa berjualan, pemuda-pemuda yang bersliweran atau mereka lewati, pandangannya tertuju pada Forsythia.

Dijadikan tontonan seperti itu, tentu saja Forsythia risih. Biasanya saat dia ke pasar sewaktu di Castamore, maid-nya selalu meminta gadis itu memakai mantel bertudung supaya orang-orang tidak bisa melihat wajahnya. Forsythia merutuki diri sendiri karena melupakan hal penting semacam itu. Dia tidak menyangka sosoknya yang berpenampilan sederhana mampu menarik perhatian banyak orang.

Sesampainya di kios, si Nenek dan Forsythia pun menaruh dagangan mereka. Belum-belum beberapa orang sekaligus menghampiri, tapi bukan untuk membeli.

“Apa dia anakmu, Nek? Atau cucumu?” tanya salah seorang dari mereka.

“Cantik sekali. Kenapa baru kali ini kau membawanya ke sini?”

“Berapa umurnya?”

Tiba-tiba muncul ide cemerlang—atau boleh dikatakan licik—di otak Forsythia yang cerdas. Dia tersenyum namun sinis.

“Belilah apel dan stroberi yang baru dipanen nenek. Nanti pertanyaan kalian akan kujawab,” kata gadis itu.

Pemuda-pemuda tadi langsung heboh dan berebutan membeli apel dan stroberi. Forsythia dan si Nenek pun tidak perlu menunggu lama sampai dagangan mereka habis. Pertanyaan yang diajukan begitu standar karena hampir seluruhnya adalah pemuda-pemuda yang bekerja di pasar. Tentu saja pria bangsawan tidak akan berlaku menyebalkan seperti itu. Mereka bertanya nama, umur, di mana Forsythia tinggal, dan lain-lain yang tentunya tidak gadis itu jawab dengan terus terang. Lagipula siapa yang akan tahu kalau dirinya berbohong?

Sebuah kereta kuda bersimbol kerajaan tiba-tiba datang ke sana, membawa seorang pria yang tampaknya seorang pengawal. Orang itu berdiri di podium—yang mana sering dipakai oleh pejabat kerajaan untuk mengumumkan kebijakan atau kabar yang penting. Dia mengeluarkan sebuah gulungan kertas yang sebelumnya diapit di lengan lalu membuka dan membacanya keras-keras.

“Terhitung mulai hari ini sampai dengan besok siang, semua gadis di seluruh penjuru negeri diminta untuk datang ke istana dengan membawa satu jenis bunga yang paling indah di dunia ini. Gadis yang terpilih akan diundang menghadiri jamuan makan malam di istana, bersama dengan keluarga kerajaan. Serta apabila berkenan, gadis tersebutlah yang kemudian akan menjadi Permaisuri Pangeran Brisera. Tertanda: Jagaraga Orion Alanza, Putra Mahkota Brisera.”

Seruan antusias langsung memenuhi pasar, terutama berasal dari gadis-gadis di sana. Forsythia bisa mendengar kebingungan mereka akan membawa bunga apa ke istana. Nenek yang berada di sebelahnya pun bereaksi sama.

Keduanya lalu bergegas pulang ke gubuk. Di sana mereka mendapati sang Kakek sedang berbicara dengan sekumpulan gadis.

“Bukankah kau menjual buah kebunmu di pasar? Kenapa tidak sekalian saja kau jual bungamu pada kami?” tanya seorang gadis bersikeras.

“Berapa kali harus kukatakan?” Sang Kakek menanggapi sabar. “Bunga-bungaku tidak untuk dijual. Istriku akan sangat sedih kalau bunga-bunga kami dipetik.”

“Kau sendiri tahu pada akhirnya bunga mana pun akan layu tidak peduli seindah apa pun dia! Kami akan memberimu uang! Kenapa kau masih saja keras kepala?!”

“Ada begitu banyak penjual bunga di pasar, kenapa kalian tidak pergi ke sana saja?”

“Sudah kuberi tahu tadi! Tidak ada bunga lain yang tumbuh sebaik bunga yang kau tanam!”

Sang Kakek menggeleng—tetap teguh dengan pendiriannya. “Aku tetap tidak akan menjual bungaku.”

Kesal, gadis-gadis itu tiba-tiba hendak merusak tanaman-tanaman bunga di sana. Sontak baik pasangan petani tua itu dan Forsythia terkejut. Tapi sebelum mereka sempat melakukannya, Forsythia menjambak salah satu dari mereka hingga gadis kasar itu menjerit kesakitan. Teman-teman gadis itu pun terkejut di tempat karena Forsythia menatap mereka satu per satu dengan tajam.

“Aku akan berhitung hanya sampai tiga. Kalau dalam tiga hitungan kalian belum enyah dari sini, aku bersumpah akan mengambil cangkul lalu menghujamnya ke wajah kalian.”

Merinding, gadis-gadis itu kemudian lari tunggang langgang meninggalkan pekarangan gubuk pasangan petani tua.

“Nak, kau mengerikan sekali,” komentar si Kakek lalu terkekeh.

Forsythia tersenyum.

“Aku heran sekali kenapa tiba-tiba mereka berkeras ingin membeli bungaku…”

“Tadi ada pengumuman di pasar,” kata si Nenek memberitahu suaminya. Dia lalu menceritakan panjang lebar kehebohan sewaktu di pasar tadi sementara mereka tidak menyadari Forsythia sibuk dengan pikirannya sendiri.

Mengapa Pangeran membuat perintah semacam itu? Bunga terindah apa yang dia maksudkan? Dia tidak mungkin lupa saat-saat mereka berdua sewaktu di pesta istana yang diselenggarakan untuk umum. Forsythia yakin Pangeran jatuh cinta padanya, begitupun sebaliknya. Sejauh ini Forsythia merasa yakin sang Pangeran tidak sedikit pun mengetahui apa pun mengenai dirinya. Apa mungkin karena itulah, Pangeran membuat perintah seperti tadi? Apakah itu isyarat bagi Forsythia supaya bisa bertemu dengan dirinya?

Lebih dari itu Forsythia masih pusing memikirkan tindakan apa yang akan dia lakukan untuk memojokkan Pangeran Delard, karena orang itu jelas-jelas ingin supaya dirinya lenyap. Mungkinkah semuanya akan lebih mudah kalau dia meminta bantuan pada Pangeran Brisera? Pemikiran itu mendadak terlintas.

“Oh, begitu rupanya!” kata si Kakek saat selesai mendengar cerita istrinya. Pandangannya lalu beralih pada Forsythia. “Nak, kau harus pergi ke sana juga.”

“Tapi… saya tidak tahu bunga terindah apa yang dimaksud Pangeran…,” ucap Forsythia.

“Bawalah salah satu dari bunga-bunga kami, Nak,” suruh si Nenek. “Bunga mana pun sama saja. Semua orang akan setuju kalau bunga yang kami tanam jauh lebih indah dari bunga-bunga lain.”

Forsythia terdiam. Benaknya belum berhenti berpikir. Bunga apa yang terindah? Bunga apa yang harus dia bawa ke istana? Gadis itu mengerjap tatkala ingat akan sesuatu.

“Pilihlah salah satu bunga di sini, Nak. Biar kupetikkan untukmu,” saran si Kakek.

“Terimakasih, Kakek.. Nenek… Tapi tidak. Saya tidak akan memetik bunga kalian,” tolak Forsythia harus. “Saya akan mencari bunga yang tumbuh liar di atas bukit.”

Pasangan petani itupun terkejut mendengar keputusan Forsythia.

“Bunga apa yang kau cari?” tanya si Kakek. “Apakah bunga itu tidak kami punya? Kau akan butuh waktu lama untuk naik ke atas bukit lalu turun lagi ke sini.”

Forsythia tersenyum lalu menjawab, “Namaku Forsythia. Mendiang ibuku pasti berpikir itu nama terindah yang bisa dia berikan untukku.”

***

Gadis-gadis seluruh penjuru negeri berdatangan mulai dari gadis bangsawan sampai gadis yang berasal dari rakyat jelata. Mereka datang dengan membawa setangkai bunga di tangan. Bermacam-macam jenis bunga itupun diperlihatkan pada pengawal istana yang lalu meneriakkan nama bunga itu supaya Orion mendengarnya—karena dia hanya melihat bunga-bunga itu dari balkon istana yang tinggi. Lama-lama laki-laki itu pun merasa lelah karena tidak ada dari mereka yang membawa bunga yang Orion maksud—tepatnya, karena Forsythia tidak kunjung datang.

Acara itu dihentikan saat malam tiba lalu dimulai kembali esok paginya dengan gadis-gadis yang datang—meski mereka membawa bunga yang jenisnya sama dengan yang kemarin mereka bawa, hanya saja mereka menggantinya dengan bunga yang lebih segar dan indah.

Siang mulai datang dan Orion pun mulai bosan. Laki-laki itu mulai pesimis apakah dia bisa membawa Forsythia menemui orang tuanya besok malam. Tambahan: tidak ada jaminan juga gadis itu akan membawa bunga forsythia seperti yang Orion maksudkan. Alasan mengapa Orion memilih forsythia adalah karena hiasan rambut yang gadis itu tidak sengaja tinggalkan, menggambarkan forsythia. Secara tidak langsung, Orion juga ingin sekali mengembalikan hiasan rambut itu pada pemiliknya.

Saat itulah seorang gadis yang berpakaian lusuh dan agak kotor, mendatangi gerbang istana dengan kaki telanjang. Kedua tangannya memegangi wadah limbah yang dia temukan di bukit. Wadah itu juga merangkap sebagai vas untuk ranting forsythia yang dia tata membentuk bundar. Rongga dada Forsythia pun kembang kempis karena telah begitu jauh berjalan dari bukit menuju istana.

Kala dia datang, sebagian gadis-gadis di sana berbisik satu sama lain.

“Apa yang dia bawa? Forsythia?”

“Mana mungkin forsythia bisa menggerakkan hati Pangeran?”

“Dia gila.”

“Sepertinya begitu. Lihat saja penampilannya yang kotor.”

“Biarpun miskin, harusnya dia berusaha tampil cantik.”

Forsythia berulang kali membatin pada diri sendiri untuk sabar mendengar celotehan tidak berguna gadis-gadis itu. Dia sekarang berdiri di tengah-tengah kerumunan, menyisakan banyak bagian rumpang di halaman tengah karena gadis-gadis itu enggan mendekatinya. Tapi hal itu ternyata justru memancing perhatian dari pengawal yang berada tidak jauh dari Orion.

“Tuanku, lihatlah. Ada seseorang yang dibiarkan berdiri di tengah-tengah,” kata pengawal itu.

Orion mengernyit. Detik selanjutnya dia merebut teropong yang dipakai pengawalnya. Mata laki-laki itu kemudian terbelalak. Tiba-tiba saja dia membalikkan badan, berlari ke dalam istana untuk menuruni tangga. Para pengawal yang kebingungan langsung mengekor di belakangnya. Sesampainya Orion di halaman depan istana, gadis-gadis di sana langsung histeris. Meski begitu mereka menahan diri untuk tidak bersikap lancang dengan memberi sang Pangeran jalan.

Orion terus melangkah hingga dia menemukan sosok Forsythia yang bergeming di tengah-tengah kerumunan. Para gadis yang mulanya mengejek tadi langsung diam membisu menyadari pandangan sang Pangeran mengarah tepat padanya.

Perlahan-lahan Orion berjalan mendekati gadis itu. Dia melihat vas yang Forsythia bawa lalu senyumnya mengembang. Sang Pangeran lalu mengeluarkan sebuah hiasan rambut dari saku bajunya lalu menyodorkannya pada Forsythia. Itu adalah hiasan rambut yang tidak sengaja Forsythia jatuhkan sewaktu dia melarikan diri dari istana, juga hiasan rambut yang berharga milik putri pasangan petani penolongnya.


“Kau meninggalkan hiasan rambut yang amat cantik,” kata Orion.

Forsythia tersenyum. Dia mengambil hiasan rambut itu dengan tangannya yang agak kotor terkena tanah sewaktu berada di bukit untuk mengambil satu ranting forsythia.

“Aku selalu lupa bertanya saat bertemu denganmu,” ujar Orion kemudian. “Boleh aku bertanya siapa namamu?”

Alih-alih menjawab, Forsythia lalu menyodorkan pada Orion, vas yang dia bawa.

“Nama bunga ini.. adalah namaku.”

Orion tertegun tapi akhirnya tersenyum menatap Forsythia. Mendadak Pangeran mengangkat tubuh sang Putri lalu menciumnya di depan semua gadis yang hadir—termasuk Irene yang berdiri kaku di antara kerumunan.

***

“Tuanku, Nona sudah siap,” kata seorang pengawal mengumumkan kehadiran Forsythia di ruangan di mana Orion menunggunya.

Tirai yang memisahkan pandangan mereka kemudian dibuka lalu muncullah gadis itu dalam balutan gaun sutra yang mengembang berwarna kuning yang lembut. Rambut hitam legam Forsythia dijalin bertumpuk di belakang kepala kemudian ditaruhlah tiara yang cantik di atasnya.

Laki-laki di sana selain Orion tidak bisa menyembunyikan pandangan yang terpaku ke satu arah. Lucunya, fokus mereka buyar seketika saat tidak sengaja Orion menjatuhkan buku tebal yang tadinya sempat dia baca. Sang Pangeran kemudian bangkit berdiri lalu mendekat pada Forsythia.

“Kau begitu luar biasa,” gumam Orion. “Yang Mulia pasti akan gembira sekali melihatmu.”

“Pangeran.. sebenarnya…”

“Tuanku, Yang Mulia Raja, Permaisuri, Pangeran Delard, Menteri Castamore juga putrinya telah hadir. Tuanku diminta hadir secepatnya,” kata salah seorang pengawal memotong kalimat Forsythia.

Orion mengerutkan kening sementara Forsythia menjadi tegang. Meski begitu mereka membatin pertanyaan yang sama; mengapa Pangeran Delard dan Menteri Castamore hadir di jamuan keluarga kerajaan?

Menghela napas, Orion lalu memutuskan untuk mengikuti saja acara yang diadakan ayah dan ibunya dengan catatan mereka akan memperlakukan Forsythia dengan baik. Laki-laki itupun kembali mengernyit ketika menyadari tangan Forsythia begitu dingin dan meremas tangan Orion erat-erat.

***

Di ruang jamuan, Menteri Sumber Daya Castamore—Redyan mulai menyinggung gadis yang dibawa Pangeran Orion di hadapan Raja dan Permaisuri. Niatnya tidak lain adalah supaya Raja dan Permaisuri menentang keputusan Pangeran Orion, karena gadis yang rumornya adalah rakyat jelata dan miskin itu tidak sebanding dengan putrinya, Irene. Pria tua yang sebenernya punya tabiat buruk itupun mulai membicarakan topik yang aneh seperti nilai kehormatan keluarga Raja akan terganggu di hadapan rakyat khususnya bangsawan, dan sebagainya.

Kata-kata lancang Menteri Redyan pun sempat didengar oleh Orion dan Forsythia yang melangkah masuk ke dalam ruang jamuan. Orion berjalan dengan tubuh dan kepala yang tegap seperti biasa menjaga wibawanya. Tapi di belakang sang Pangeran, si Gadis yang seharusnya jadi tokoh utama justru menyembunyikan sosoknya di balik punggung pasangannya. Semua yang hadir pada jamuan tersebut pun kebingungan, tidak terkecuali Orion.

“Ada apa? Kenapa?” bisik Orion tanpa membalik tubuhnya supaya Forsythia tidak menanggung malu karena ketahuan jelas bersembunyi—meskipun nyatanya baik Raja dan Permaisuri tahu gadis itu sengaja bersembunyi.

“Sa-saya… saya…” Forsythia terbata-bata. Pertama, gadis itu memang gugup berhadapan dengan orang tua Orion yang juga adalah Raja dan Permaisuri Brisera. Kedua, gadis itu ketakutan karena dalang percobaan pembunuhan yang diarahkan padanya juga ada di sana. Bahkan dari sudut matanya saja Forsythia bisa melihat sepasang mata sepupunya yang jahat menyipit.

Menghela napas, Orion lalu mengeratkan genggaman tangannya pada Forsythia, mencoba menenangkan gadis itu. Dia lalu berkata dengan halus, “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan karena aku ada di sisimu. Bahkan jika mereka menghujammu dengan keburukan mereka, aku akan selalu melindungimu.”

Forsythia diam. Kalimat Orion memberinya kekuatan. Meski tetap disertai ragu, gadis itu kemudian memberanikan diri untuk memperlihatkan wajahnya. Sontak Pangeran Delard dan Irene membelalakkan mata, bahkan Irene sendiri terkesiap keras. Menteri Redyan bingung melihat tingkah putrinya karena selama ini tidak pernah mengingat bagaimana wajah salah satu dari dua keponakan Raja negeri asalnya. Pangeran Delard mendadak bangkit berdiri dari kursi, begitupun Irene. Bedanya, putri Menteri Redyan itupun langsung berjalan cepat ke hadapan Forsythia kemudian membungkuk rendah-rendah memberikan salam.

“Lama tidak bertemu, My Lady,” ucap Forsythia pada Irene. Mereka berteman dan Irene sempat menjadi salah satu “dayang” Forsythia. Irene tidak mungkin melupakan wajah Forsythia yang amat cantik, namun selalu enggan memperlihatkan sosoknya pada kalangan luas.

“Kalian saling mengenal?” tanya Orion heran.

Menteri Redyan yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi langsung menghardik putrinya untuk buru-buru menegakkan tubuhnya. “Irene! Berdiri! Bagaimana mungkin kau memberi salam seperti itu pada seorang gadis rendahan?!”

Orion dan Forsythia langsung menatap tajam pada Menteri Redyan, membuat orang tua itu bungkam seketika. Pandangan Forsythia lalu beralih pada sepupunya, Pangeran Delard yang mematung di tempat.

“Lama tidak berjumpa, Pangeran,” ucap Forsythia dingin pada laki-laki itu. “Seperti yang kau lihat, aku masih dalam keadaan hidup dan sangat sehat.”

Kedua rahang Pangeran Delard saling menekan kuat. Wajahnya memerah memendam ketegangan dan amarah.

Forsythia kemudian membungkuk sekilas pada Raja dan Permaisuri Brisera yang tidak mengerti situasi sebenarnya di hadapan mereka. Tersenyum, gadis itupun kemudian memperkenalkan diri dengan suara yang tidak lagi bergetar karena Orion masih menggenggam tangannya erat.

“Yang Mulia Raja dan Permaisuri, izinkan saya memperkenalkan diri..,” kata Forsythia. “Nama saya Forsythia Andhergin Varsaille, keponakan Arthur William Varsaille—Raja Castamore. Saya juga…” Pandangan gadis itu lalu beralih pada Pangeran Delard. “Putri Mahkota Castamore.”

“Gadis lancang!” Pangeran Delard tiba-tiba berseru marah. “Putri Mahkota? Apa yang membuatmu begitu yakin kalau akan mewarisi tahta?!”

Baik Orion, Raja dan Permaisuri terpaku di tempat melihat konflik kerajaan tetangga mereka secara langsung. Menteri Redyan bahkan merosot di kursinya karena tidak menyangka gadis yang dia hina tadi adalah keponakan Raja.

“Hanya karena aku terlahir menjadi seorang putri… bukan berarti kau bisa mengabaikan darah keturunan Raja yang ada padaku,” balas Forsythia tenang dan tegas. “Ganjaran karena telah berusaha membunuh keturunan Raja adalah hukuman mati atau berdiam seumur hidup dalam pengasingan.”

Mulut Pangeran Delard menganga, hendak membalas namun suaranya tidak keluar.

“Saya telah mengirim pesan pada Yang Mulia mengenai apa yang telah saya alami di Brisera…,” aku Forsythia. Tersenyum, gadis itu lalu beralih menatap Orion. “Saya menekankan Brisera tidak ikut andil.. hubungan dua negeri akan baik-baik saja.”

Sudut bibir Orion terangkat membalas gadis di sampingnya. Sementara itu Raja dan Permaisuri Brisera pun berseri-seri merespon baik pilihan putra tunggal mereka.

Tidak lama setelahnya, Pangeran Delard diadili di Castamore dan Menteri Redyan diturunkan dari jabatannya.

Orion dan Forsythia melangsungkan pernikahan mereka hingga kedua negeri bersuka cita. Beberapa tahun berselang, Brisera dan Castamore bergabung menjadi satu negeri yang kuat berkat dimahkotainya Raja dan Ratu baru. Mereka pun hidup bahagia selama-lamanya.