Cewek
itu pulang dalam keadaan penuh keringat. Dia sebenarnya masih memakai dogi yang
lengkap, tapi berkat jaket hitamnya yang besar, celana putih yang dia pakai
tampak biasa saja. Tidak banyak barang yang dia bawa. Hanya satu tas kecil,
berbentuk seperti dompet untuk uang receh. Di dalamnya cuma ada sebuah botol
minuman yang telah tandas, juga sehelai handuk.
Ketika
keluar dari gedung olahraga tempat dia biasa latihan, cewek itu sempat
terbengong mendapati suasana yang telah gelap. Dia lupa waktu. Benaknya sedikit
penat akhir-akhir ini hingga dia terlalu asyik melampiaskan apa yang dia
rasakan pada lawan mainnya, ditambah satu samsak tinju. Tapi, segelintir
hatinya masih belum membaik. Dia tidak melihat orang yang harusnya ada di sana:
cowok sialan itu.
Sesampainya
di kamar kosnya setelah pindah dekat pusat kota untuk lanjut kuliah, dia
melihat adiknya sedang menatap layar laptop—menonton film misteri sambil
mengupas apel.
“Kak
Yos, tumben lama banget olahraganya,” sambut Adam yang langsung menoleh ke
belakang ketika pintu kamar mereka dibuka.
“Jangan
tanya,” balas Yosi setengah menggumam—lebih tepat dikatakan menggerutu. “Krannya
hidup kan?”
“Mm.
Tapi kecil. Tenang aja, embernya udah kuisi.”
Yosi
menguap.
“Thank you,” ucap cewek itu lalu
melemparkan tasnya sembarangan dan langsung mengunci diri ke dalam kamar mandi.
Setelah
selesai membersihkan diri, tidak peduli rambutnya yang pendek sebahu dan
bergelombang masih basah, Yosi merebahkan badannya ke atas tempat tidur lalu
seperti meringkuk memeluk bantalnya.
Apa… Suara-suara dalam hatinya
berbisik mengucapkan kata tanya yang mengusiknya. Apa yang dia lakukan?
Pelukan
Yosi mengerat. Gadis itu lalu memutuskan memejamkan matanya rapat-rapat sembari
membatin. Dia harus mengenyahkan semua pikiran-pikiran yang mengganggu itu.
Lagipula tidak ada alasan baginya untuk terganggu. Sama sekali tidak ada. Sosok
cowok itu tetap sama seperti dulu. Dia tidak berubah. Semoga seperti itu.
***
“Apa
ini?” Yosi sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya ketika Rosy—teman yang
dikenalnya sejak pertama kali masuk kuliah—memberikannya secarik kertas yang
dilipat semacam surat undangan.
“Iuran
untuk bazar,” jawab Rosy sambil nyengir.
Pertama
kali melihat Rosy, jujur, Yosi mengira kalau dia anak salah satu dosen di kampusnya
melihat tubuhnya begitu kurus dan mungil. Dia suka sekali mengenakan kemeja
berwarna lembut yang berenda, lalu rambutnya yang bergelombang seperti Yosi
diikat di belakang kepala. Berkat penampilannya itu, pertama kali melihat dia,
orang lain akan berpikir kalau dia anak SMP—meski Yosi mengingat Adam tidak
seimut itu sewaktu SMP dulu. Teman-teman mereka yang lainpun sering berceletuk
mereka kakak beradik karena akhiran nama mereka yang sama ketika diucapkan.
“Iuran
aja musti pake surat,” gumam Yosi sambil membuka lipatan surat itu.
“Yah..
buat ngehindarin gerutuan yang lain soal dana ini. Aku mau masukin kamu ke yang
jaga stan. Gimana? Tenang aja. Giliran kok.”
“Asal
nggak tabrakan sama latihan karate gue. Oh, dan Voli. Tenis juga.”
Rosy
berdecap dan geleng-geleng.
“Kegiatanmu
makin banyak aja,” komentarnya. “Kalau kamu segitunya suka olahraga, kenapa
dulu nggak ngambil jurusan olahraga?”
Yosi
tersenyum sekilas. Pertanyaan itu sering dia dapat dari teman-temannya SMA
dulu. Mereka terkejut karena Yosi ternyata mengambil jurusan bisnis, bukannya
olahraga atau lebih cocok ke akademi kepolisian. Sebab berkat beberapa kejadian
yang dia alami tiga tahun yang lalu, membuat gadis itu suka sekali menghajar
orang-orang jahat yang kerjanya menindas yang lemah. Alih-alih mendapat
penghargaan, Yosi lebih sering mendapat teguran. Namun banyak orang-orang yang
dia tolong selalu mengingatnya ke mana pun gadis itu pergi.
“Listen, Sis.” Dia berkata. “Kuliah nggak
ada gunanya kalau lo nggak bisa ngehasilin uang banyak nantinya. Gue nggak mau
tabungan orangtua gue habis sebelum Adam jadi sarjana nanti. Lo sendiri tahu
gue kerja sambilan buat bayar kuliah.”
“Ah…”
Rosy mengangguk-angguk mengerti. “Apa kabarnya si Adam?”
Gadis itu
rupanya lupa agenda selanjutnya untuk pergi rapat. Binar matanya bertambah kala
mengingat wajah Adam sewaktu Yosi memperkenalkannya dulu pada Rosy. Cowok itu
masih SMA, tapi badannya lumayan jangkung seperti kakaknya. Wajahnya juga
selalu enak dilihat karena dia ramah dan baik sekali.
“Biasa
aja,” jawab Yosi sekenanya.
“Heh…
masa’ kakaknya nggak tau adiknya punya gebetan atau nggak?”
“Gue
kakaknya, bukan pacarnya. Gue bakal dengerin kalau dia cerita, bukannya maksa
dia cerita.”
Mendengarnya,
seperti biasa Rosy mencibir gantinya menggerutu. Gadis itu menopang dagu dan
menggumam pelan.
“Andai
nanti aku punya pacar kayak Adam…”
Yosi
mematung sekilas. Raut wajahnya sedikit berubah tanpa Rosy sadari. Mengulum bibir,
gadis itupun bersikap seolah tidak mendengar apa-apa.
***
Hujan
deras mendadak mengguyur tepat ketika Yosi akan keluar kampus. Air yang tumpah
benar-benar tidak main-main. Ada di bawah langit terbuka satu detik saja, orang
pasti akan basah kuyup sampai ke pakaian dalam juga. Karenanya mahasiswa lain
terpaksa berdiam di dalam kampus biarpun mereka duduk di lantai.
Yosi
melihat ke arah jam tangannya. Padahal setengah jam lagi waktunya dia mulai
kerja sambilan. Gadis itu lalu memutuskan untuk ikut duduk di lantai,
bersebelahan dengan seorang cowok yang sedang sibuk mengetikkan sesuatu di
laptop. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas dan membuka line. Ada beberapa chat masuk di sana, namun pandangan Yosi
terpaku pada salah satu chat yang
sepi kurang lebih seminggu ini.
Rian
alias cowok sialan yang membuatnya tidak tenang akhir-akhir ini.
Cowok
itu memang tidak melakukan hal yang salah. Dia juga tidak lagi sengaja
mengerjai Yosi seperti yang biasa dia lakukan—karena Yosi pikir itu hobinya. Sudah
seminggu Rian tidak mengontaknya. Cowok itupun tidak lagi terlihat di gedung
olahraga tempat mereka biasa berlatih. Tapi sebenarnya meskipun Yosi tidak mau
akui, ada hal selain itu yang membuat benaknya makin runyam.
“Lo tau nggak kalau Rian mungkin punya
pacar?”
Deni
tiba-tiba mengangkat topik mengejutkan itu ketika dia dan Yosi saling sapa via
facebook tiga hari yang lalu. Yosi membalasnya dengan enggan, menjawab kalau
dia tidak tahu—ironi padahal mereka sering latihan bersama. Deni lalu bercerita
soal temannya yang berada satu fakultas dengan Rian. Katanya, Rian sering
terlihat bersama seorang cewek yang kurang lebih populer di sana. Mereka juga kadang
datang ke kampus bebarengan karena cewek itu membonceng Rian.
Memangnya kenapa? Batin Yosi
sebal. Dia kesal bukan berarti dia memiliki perasaan istimewa ke cowok sialan
itu. Lebih kepada tingkah Rian yang seperti berlaku layaknya ada perang dingin
antara mereka berdua. Ini bukan apa-apa—Yosi meyakinkan diri. Gadis itu
bersumpah akan membuat tubuh Rian terbanting keras nantinya apabila mereka
berlatih bersama nanti.
***
Yosi
sampai di kafe es krim tempatnya bekerja sambilan, lewat lima menit dari jam
yang ditentukan kapan dia mulai bekerja. Untung saja manajer merangkap kasir di
sana maklum karena di luar barusan hujan deras. Lagipula kafe itu sedang sepi. Siapa
pula yang mau makan es krim saat udara dingin?
Tidak
ada pelanggan yang datang, Yosi lalu mengambil senampan peralatan makan es krim
kemudian mengelapnya satu per satu sementara rekan kerjanya yang lain mengelap
dinding kaca dan meja. Saat itulah, lonceng di pintu masuk kafe berbunyi kala
seseorang masuk.
“Selamat
datang!” sambut Yosi, bersamaan dengan waitress
yang lain. Namun ketika melihat wajahnya, ekspresi Yosi berubah terkejut. Dia
pun mematung dekat etalase es krim.
Tamu yang
datang ketika di luar masih gerimis itu adalah seorang gadis yang memakai dress loli selutut berwarna merah muda
emas. Rambutnya panjang kecoklatan serta sedikit bergelombang. Nada make up-nya manis sekali. Dengan wajah
yang cantik itu, dia tersenyum pada Yosi.
“Minta
satu banana split ditambah almond ya,” pesan gadis itu tanpa
melihat ke arah daftar menu yang dipajang.
Gadis
itu menunduk memperhatikan wadah-wadah es krim dalam etalase, tidak menyadari
ekspresi tertegun yang ditampakkan Yosi.
Tiga
tahun terlewat, namun Yosi tidak akan pernah lupa wajah orang-orang itu. Orang
yang menabraknya hingga motornya hancur, orang yang pernah mengacungkan ujung
tongkat kendo padanya, juga orang yang selalu tampak bersahabat pada Yosi dan
tidak pernah main-main menganggapnya teman.
Menyadari
pelayan kafe di hadapannya tidak juga bergerak, gadis tamu itu mengangkat
kepalanya, mengerjap pada Yosi. Melihat air muka Yosi masih sama dengan tadi,
gadis itu lalu tersenyum seolah mampu membaca pikirannya.
“Kita…”
Gadis itu berkata. “Pernah bertemu sebelum ini kan?”