Feeling for The Angel (Orientation)

Senin, 30 November 2015



Cewek itu pulang dalam keadaan penuh keringat. Dia sebenarnya masih memakai dogi yang lengkap, tapi berkat jaket hitamnya yang besar, celana putih yang dia pakai tampak biasa saja. Tidak banyak barang yang dia bawa. Hanya satu tas kecil, berbentuk seperti dompet untuk uang receh. Di dalamnya cuma ada sebuah botol minuman yang telah tandas, juga sehelai handuk.

Ketika keluar dari gedung olahraga tempat dia biasa latihan, cewek itu sempat terbengong mendapati suasana yang telah gelap. Dia lupa waktu. Benaknya sedikit penat akhir-akhir ini hingga dia terlalu asyik melampiaskan apa yang dia rasakan pada lawan mainnya, ditambah satu samsak tinju. Tapi, segelintir hatinya masih belum membaik. Dia tidak melihat orang yang harusnya ada di sana: cowok sialan itu.

Sesampainya di kamar kosnya setelah pindah dekat pusat kota untuk lanjut kuliah, dia melihat adiknya sedang menatap layar laptop—menonton film misteri sambil mengupas apel.

“Kak Yos, tumben lama banget olahraganya,” sambut Adam yang langsung menoleh ke belakang ketika pintu kamar mereka dibuka.

“Jangan tanya,” balas Yosi setengah menggumam—lebih tepat dikatakan menggerutu. “Krannya hidup kan?”

“Mm. Tapi kecil. Tenang aja, embernya udah kuisi.”

Yosi menguap.

Thank you,” ucap cewek itu lalu melemparkan tasnya sembarangan dan langsung mengunci diri ke dalam kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan diri, tidak peduli rambutnya yang pendek sebahu dan bergelombang masih basah, Yosi merebahkan badannya ke atas tempat tidur lalu seperti meringkuk memeluk bantalnya.

Apa… Suara-suara dalam hatinya berbisik mengucapkan kata tanya yang mengusiknya. Apa yang dia lakukan?

Pelukan Yosi mengerat. Gadis itu lalu memutuskan memejamkan matanya rapat-rapat sembari membatin. Dia harus mengenyahkan semua pikiran-pikiran yang mengganggu itu. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk terganggu. Sama sekali tidak ada. Sosok cowok itu tetap sama seperti dulu. Dia tidak berubah. Semoga seperti itu.

***

“Apa ini?” Yosi sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya ketika Rosy—teman yang dikenalnya sejak pertama kali masuk kuliah—memberikannya secarik kertas yang dilipat semacam surat undangan.

“Iuran untuk bazar,” jawab Rosy sambil nyengir.

Pertama kali melihat Rosy, jujur, Yosi mengira kalau dia anak salah satu dosen di kampusnya melihat tubuhnya begitu kurus dan mungil. Dia suka sekali mengenakan kemeja berwarna lembut yang berenda, lalu rambutnya yang bergelombang seperti Yosi diikat di belakang kepala. Berkat penampilannya itu, pertama kali melihat dia, orang lain akan berpikir kalau dia anak SMP—meski Yosi mengingat Adam tidak seimut itu sewaktu SMP dulu. Teman-teman mereka yang lainpun sering berceletuk mereka kakak beradik karena akhiran nama mereka yang sama ketika diucapkan.

“Iuran aja musti pake surat,” gumam Yosi sambil membuka lipatan surat itu.

“Yah.. buat ngehindarin gerutuan yang lain soal dana ini. Aku mau masukin kamu ke yang jaga stan. Gimana? Tenang aja. Giliran kok.”

“Asal nggak tabrakan sama latihan karate gue. Oh, dan Voli. Tenis juga.”

Rosy berdecap dan geleng-geleng.

“Kegiatanmu makin banyak aja,” komentarnya. “Kalau kamu segitunya suka olahraga, kenapa dulu nggak ngambil jurusan olahraga?”

Yosi tersenyum sekilas. Pertanyaan itu sering dia dapat dari teman-temannya SMA dulu. Mereka terkejut karena Yosi ternyata mengambil jurusan bisnis, bukannya olahraga atau lebih cocok ke akademi kepolisian. Sebab berkat beberapa kejadian yang dia alami tiga tahun yang lalu, membuat gadis itu suka sekali menghajar orang-orang jahat yang kerjanya menindas yang lemah. Alih-alih mendapat penghargaan, Yosi lebih sering mendapat teguran. Namun banyak orang-orang yang dia tolong selalu mengingatnya ke mana pun gadis itu pergi.

Listen, Sis.” Dia berkata. “Kuliah nggak ada gunanya kalau lo nggak bisa ngehasilin uang banyak nantinya. Gue nggak mau tabungan orangtua gue habis sebelum Adam jadi sarjana nanti. Lo sendiri tahu gue kerja sambilan buat bayar kuliah.”

“Ah…” Rosy mengangguk-angguk mengerti. “Apa kabarnya si Adam?”

Gadis itu rupanya lupa agenda selanjutnya untuk pergi rapat. Binar matanya bertambah kala mengingat wajah Adam sewaktu Yosi memperkenalkannya dulu pada Rosy. Cowok itu masih SMA, tapi badannya lumayan jangkung seperti kakaknya. Wajahnya juga selalu enak dilihat karena dia ramah dan baik sekali.

“Biasa aja,” jawab Yosi sekenanya.

“Heh… masa’ kakaknya nggak tau adiknya punya gebetan atau nggak?”

“Gue kakaknya, bukan pacarnya. Gue bakal dengerin kalau dia cerita, bukannya maksa dia cerita.”

Mendengarnya, seperti biasa Rosy mencibir gantinya menggerutu. Gadis itu menopang dagu dan menggumam pelan.

“Andai nanti aku punya pacar kayak Adam…”

Yosi mematung sekilas. Raut wajahnya sedikit berubah tanpa Rosy sadari. Mengulum bibir, gadis itupun bersikap seolah tidak mendengar apa-apa.

***

Hujan deras mendadak mengguyur tepat ketika Yosi akan keluar kampus. Air yang tumpah benar-benar tidak main-main. Ada di bawah langit terbuka satu detik saja, orang pasti akan basah kuyup sampai ke pakaian dalam juga. Karenanya mahasiswa lain terpaksa berdiam di dalam kampus biarpun mereka duduk di lantai.

Yosi melihat ke arah jam tangannya. Padahal setengah jam lagi waktunya dia mulai kerja sambilan. Gadis itu lalu memutuskan untuk ikut duduk di lantai, bersebelahan dengan seorang cowok yang sedang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas dan membuka line. Ada beberapa chat masuk di sana, namun pandangan Yosi terpaku pada salah satu chat yang sepi kurang lebih seminggu ini.

Rian alias cowok sialan yang membuatnya tidak tenang akhir-akhir ini.

Cowok itu memang tidak melakukan hal yang salah. Dia juga tidak lagi sengaja mengerjai Yosi seperti yang biasa dia lakukan—karena Yosi pikir itu hobinya. Sudah seminggu Rian tidak mengontaknya. Cowok itupun tidak lagi terlihat di gedung olahraga tempat mereka biasa berlatih. Tapi sebenarnya meskipun Yosi tidak mau akui, ada hal selain itu yang membuat benaknya makin runyam.

“Lo tau nggak kalau Rian mungkin punya pacar?”

Deni tiba-tiba mengangkat topik mengejutkan itu ketika dia dan Yosi saling sapa via facebook tiga hari yang lalu. Yosi membalasnya dengan enggan, menjawab kalau dia tidak tahu—ironi padahal mereka sering latihan bersama. Deni lalu bercerita soal temannya yang berada satu fakultas dengan Rian. Katanya, Rian sering terlihat bersama seorang cewek yang kurang lebih populer di sana. Mereka juga kadang datang ke kampus bebarengan karena cewek itu membonceng Rian.

Memangnya kenapa? Batin Yosi sebal. Dia kesal bukan berarti dia memiliki perasaan istimewa ke cowok sialan itu. Lebih kepada tingkah Rian yang seperti berlaku layaknya ada perang dingin antara mereka berdua. Ini bukan apa-apa—Yosi meyakinkan diri. Gadis itu bersumpah akan membuat tubuh Rian terbanting keras nantinya apabila mereka berlatih bersama nanti.

***

Yosi sampai di kafe es krim tempatnya bekerja sambilan, lewat lima menit dari jam yang ditentukan kapan dia mulai bekerja. Untung saja manajer merangkap kasir di sana maklum karena di luar barusan hujan deras. Lagipula kafe itu sedang sepi. Siapa pula yang mau makan es krim saat udara dingin?

Tidak ada pelanggan yang datang, Yosi lalu mengambil senampan peralatan makan es krim kemudian mengelapnya satu per satu sementara rekan kerjanya yang lain mengelap dinding kaca dan meja. Saat itulah, lonceng di pintu masuk kafe berbunyi kala seseorang masuk.

“Selamat datang!” sambut Yosi, bersamaan dengan waitress yang lain. Namun ketika melihat wajahnya, ekspresi Yosi berubah terkejut. Dia pun mematung dekat etalase es krim.

Tamu yang datang ketika di luar masih gerimis itu adalah seorang gadis yang memakai dress loli selutut berwarna merah muda emas. Rambutnya panjang kecoklatan serta sedikit bergelombang. Nada make up-nya manis sekali. Dengan wajah yang cantik itu, dia tersenyum pada Yosi.

“Minta satu banana split ditambah almond ya,” pesan gadis itu tanpa melihat ke arah daftar menu yang dipajang.

Gadis itu menunduk memperhatikan wadah-wadah es krim dalam etalase, tidak menyadari ekspresi tertegun yang ditampakkan Yosi.

Tiga tahun terlewat, namun Yosi tidak akan pernah lupa wajah orang-orang itu. Orang yang menabraknya hingga motornya hancur, orang yang pernah mengacungkan ujung tongkat kendo padanya, juga orang yang selalu tampak bersahabat pada Yosi dan tidak pernah main-main menganggapnya teman.

Menyadari pelayan kafe di hadapannya tidak juga bergerak, gadis tamu itu mengangkat kepalanya, mengerjap pada Yosi. Melihat air muka Yosi masih sama dengan tadi, gadis itu lalu tersenyum seolah mampu membaca pikirannya.

“Kita…” Gadis itu berkata. “Pernah bertemu sebelum ini kan?”


Wounds Heal, Scar Left (4)

Minggu, 22 November 2015



Tangannya memegang botol penyemprot, membasahi helai-helai daun mawarnya yang ditanam di pot-pot kecil yang membentuk cabang. Dia berada dekat dengan jendelan di mana sinar matahari pagi masuk tanpa halangan. Matanya silau, namun dia tidak keberatan. Dia hanya harus menundukkan kepala, atau menundukkan matanya saja. Saat terik matahari makin kuat, tubuhnya yang seringkali dingin kali ini berkeringat. Mengerjap pelan, dia pun memandang ke sekeliling, melihat semua mawar-mawarnya yang dirawat baik.

“Aku pikir kau sudah pergi,” kata seorang gadis sebayanya yang membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Wajah mereka mirip. Yang membedakan hanyalah rambutnya yang cokelat dan pendek sebahu.

Gadis itu—Kirana tersenyum samar seperti biasa lalu menaruh botol penyemprot kembali ke rak.

“Ah, kau telanjang kaki lagi…,” komentar gadis yang baru masuk tadi. “Serpihan kayunya memang setiap hari dibersihkan, tapi kau tetap harus memakai alas kaki. Sebentar..” Dia mengambil sepasang sandal kayu dengan hiasan bunga merah muda tidak jauh dari sana. Selanjutnya yang dilakukan gadis itu adalah berjongkok di depan manekin tadi dan menyodorkannya sandal tersebut.

Seperti anak yang baru bisa berjalan, juga yang tidak nyaman memakai alas kaki, ekspresinya tampak enggan memakainya.

“Hari ini libur? Tidak kerja sambilan lagi?” tanya kembarannya.

Kirana duduk di bangku panjang yang menghadap meja yang di atasnya berserakan pot serta tanah.

“Kupikir kau tidak suka aku bekerja sambilan.. Orchidee..,” balasnya pelan.

Gadis yang dipanggilnya Orchidee itu langsung mengambil duduk di seberang Kirana.

“Aku cuma khawatir.” Dia mengangkat bahu. “Kau selalu tampak sakit. Biasanya kau hanya berdiam dalam ruangan. Aku hanya takut kau tiba-tiba pingsan setelah bekerja delapan jam dalam sehari. Fellon yang memberitahu.”

Kirana mengambil segenggam tanah dari sak kertas lalu menaruhnya ke dalam pot baru.

“Tapi setelah beberapa hari ini.. aku menyerah,” kata Orchidee yang kemudian menopang dagu dengan kedua tangan. “Kau kelihatan bahagia.”

Hening sejenak. Kirana menunggu sampai tanah dalam potnya cukup untuk menanam bibit tanaman mawar yang baru. Dia tetap diam sampai akhirnya kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seulas senyum.

“Sangat.. bahagia..”

***

Chan sedang ada di rumahnya. Dia tinggal bersama dengan adik perempuannya yang baru duduk di bangku SMP. Karena hari ini bukan jatah dia bekerja, laki-laki itu berencana di rumah saja untuk membereskan pekerjaan rumah. Dia biasa melakukannya ketika hari libur. Saat menggeledah ransel, Chan mengerutkan kening mendapati celana jeans-nya menjelma menjadi celana yang dalam kondisi yang bagus, bahkan seperti kembali baru. Jahitan-jahitan yang menghiasi celana jeans-nya dulu telah lenyap.

Itu bukan miliknya, batin Chan bingung. Apa mungkin milik temannya tidak sengaja masuk ke sana?

Chan menggeledah ranselnya lagi, sampai-sampai isi ransel itu dia tumpahkan semua ke lantai. Kerut di dahinya bertambah karena dia tidak menemukan jeans lusuhnya. Laki-laki itu pun tertegun sembari menatap aneh ke jeans baru tadi. Tangannya lalu meremas-remas celana itu, dan mendadak dia menemukan secarik kertas yang terselip di sakunya.

Milikmu.

Satu kata yang tertulis di sana langsung membuat alis Chan bertaut lagi. Siapa? Dia membatin. Apa maksudnya mengganti jeans lusuh Chan dengan celana sejenis yang baru?

***

Laki-laki itu melangkah menyusuri jalan lengang ketika langit masih agak gelap. Pukul empat pagi. Tubuhnya lalu berhenti tepat di depan pintu rumah makan tempatnya bekerja kurang lebih enam bulan ini. Benaknya melamun. Dia memutar kunci dalam keadaan setengah sadar. Setelah pintu itu dibuka, dia masuk lalu menutupnya. Mendadak dia terkesiap keras melihat sesosok perempuan berambut hitam dan berbaju putih menempati meja di sudut ruangan. Saat menyipitkan mata, memperhatikan gadis itu baik-baik, barulah Cakra bisa menarik napas lega.

“Waktu aku masuk tadi, pintunya masih terkunci,” katanya dengan nada memprotes sambil menunjuk ke arah pintu.

Kirana yang saat itu tengah mengelap satu per satu piring, balas memandangnya tanpa ekspresi.

“Aku punya kunci cadangan..,” tanggap gadis itu pelan.

Cakra yang sebenarnya kesal lalu mengangguk-angguk sembari menenangkan jantungnya yang sempat memompa dua kali lebih cepat. Melihat tidak ada orang selain mereka di sana, laki-laki itu menghampiri Kirana lalu duduk di depannya setelah menyampirkan tas selempangnya ke pinggiran sandaran kursi.

“Kau selalu berangkat sepagi ini?” tanya Cakra.

Pandangan Kirana beringsut ke bawah, mengamati piring yang sedang dia lap. Tanpa menatap Cakra, dia menjawab.

“Aku terbiasa bangun pagi..”

“Tetap saja,” ujar Cakra tidak habis pikir. “Ini baru jam empat lewat sedikit. Memangnya kau bangun jam berapa? Tidak seperti penampilanmu, sepertinya kau tipe pekerja keras ya? Apa kau tidak merasa sayang bekerja di sini, bukannya pergi ke sekolah?”

“Aku tidak pernah sekolah..”

Cakra mengerjap.

“Apa?” Dia terkejut. “Nggak mungkin. Orangtuamu tidak pernah mendaftarkanmu ke sekolah? Atau… keluargamu tidak bisa membiayai makanya kau bekerja?”

Kirana diam. Dia memandang pantulan wajahnya sendiri di permukaan piring yang mengkilap.

“Maaf,” ucap Cakra. “Nggak seharusnya aku mengomentari seperti tadi.”

Keduanya lalu saling diam, sama-sama berselimut kekakuan. Tanpa Cakra sadari, Kirana mengamati wajah laki-laki itu lagi. Pandangan itu menelisik tiap perubahan pada air muka Cakra.

“Kenapa gelisah..?” tanya Kirana kemudian, matanya turun lagi pada piring yang dia lap.

“Hah?”

“Kau sedang gelisah.. ada yang membuatmu khawatir..”

Cakra mengerutkan kening. Sesaat kemudian dia tersenyum getir.

“Apa sejelas itu dari wajahku?” Dia bertanya. “Yah… sayang sekali aku tidak bisa memberitahumu. Tapi terimakasih sudah memperhatikanku. Aku harus siap-siap di dapur.”

Cakra beranjak berdiri. Kirana melihat sosok belakangnya setelah dia menyampirkan kembali tas selempangnya di bahu. Sebelum Cakra masuk ke dapur, dering ponsel langsung mengalihkan perhatiannya. Laki-laki itu mematung di tempat ketika menatap layar benda kecil itu. Kirana mendengar dia berdecap lalu terang-terangan mendengus keras. Dia bahkan melayangkan pukulan pelan ke dinding.

Laki-laki itu punya masalah—siapa pun tahu. Kirana tidak melihat apa pun yang bisa menjadi alasan dia untuk membantunya, jadi… lebih baik kalau gadis itu tidak bertanya lebih jauh lagi dengan meneruskan pertanyaan tadi.

Tapi siapa yang sangka, Cakra kemudian berbalik menghampiri Kirana lagi. Dia menelan ludah dulu sebelum mengatakannya secara jelas, dibumbui sedikit rasa putus asa.

“Temani aku.. ke pesta. Aku akan membayarmu.”


Welcome to Disaster Maker Club (7): The Nerd Boy is Falling in Love

Selasa, 17 November 2015



Kertas-kertas warna berserakan memenuhi meja di sisi paling ujung. Di baliknya, gadis itu sabar menggunting satu per satu kertas yang belum dipotong, sesuai pola yang tergambar di sana. Matanya menerawang seperti sedang melamun. Gadis itu tadinya sempat menggerutu kalau dia akan mati kebosanan dengan hanya menggunting saja hiasan untuk majalah dinding sekolah, meski begitu dia tidak menolak. Dia membisu ketika membawa kardus berisi kertas-kertas itu ke ruang OSIS yang selalu sepi.

“Kau sepertinya senang sekali melakukan hal yang sama berulang-ulang,” komentar Snare yang bergelantungan di lubang ventilasi. Kepalanya ada di bawah, dan kakinya berselonjor keluar. Entah sudah berapa anak yang terkaget-kaget melihat sepasang kaki keluar dari sana.

Agatha tetap diam seperti tidak mendengar.

“Aku lapar. Kau tidak mau ke kantin? Belikan jus tomat buatku,” pinta Snare.

Lagi-lagi tidak ada tanggapan.

“Atau mungkin kau lebih senang aku menghisap di leher salah satu anak.”

Gunting yang digunakan Agatha tetap pada iramanya, tidak ada perubahan. Snare yakin Agatha meragukan kalau dia akan sungguh-sungguh melakukannya. Snare sedang tidak lapar. Baru kemarin dia menghisap darah seekor domba sampai tandas, dan aromanya bahkan masih dirasakan Snare. Jus tomat hanya kadang-kadang dia minum untuk pengganjal perut—meski rasanya tidak terlalu enak.

Beberapa menit lagi terlewat, Snare mulai bosan. Dia akhirnya turun dari ventilasi lalu melangkah mendekati Agatha. Dia menarik kursi sebelahnya, kemudian duduk di hadapan gadis itu. Wajahnya datar namun Snare menangkap aura keruh di sana.

Mendapat ide brilian, Snare pun berkata, “Dyar masih membuat harimu buruk? Harus kuapakan dia?”

Tiba-tiba air dalam akuarium bergerak secepat kilat seperti cambuk mengarah ke Snare. Air itu menyayat wajahnya seketika hingga darah mengalir dari luka robek di pelipis hingga dagu Snare—membuatnya tampak mengerikan. Snare tersenyum, matanya langsung berubah merah menyala padahal yang dia cium adalah bau darahnya sendiri. Laki-laki itu tidak terkejut karena dia memang sengaja memancing emosi Agatha. Hanya saja kali ini emosinya singkat dan ringkas, bukan dengan gertakan atau umpatan.

“Jangan ganggu aku,” kata Agatha pelan dengan tetap menggunting.

Luka memanjang yang ada di wajah Snare perlahan menutup dengan sendirinya. Agak menyakitkan memang, tamparan tadi.

“Mungkin kau akan tertarik dengan hal lain,” kata Snare lagi. “Ini soal gadis yang kau sebut iblis. Kau tahu dia sengaja mencederai salah satu anak di sini kemarin?”

***

“Ada orang di luar.” Zein menggumam sebelum memasukkan sepotong roti ke dalam mulut. Dia tidak melihatnya, hanya merasakan kehadiran seseorang dekat pagar asrama mereka.

“Siapa?” tanya Shin sambil memotong-motong sawi putih.

“Aku tidak kenal. Dia sedang mondar-mandir.”

“Kenapa dia tidak memencet bel? Apa jangan-jangan penguntit?”

“Tidak. Dia teman kita,” kata Audin memberitahu. Dia mengintip keluar lewat jendela. “Namanya Gael. Dia pasti mencari Eva.”

“Gael?” Shin mengerutkan kening. “Anak aneh itu? Darimana kau tahu dia mencari Eva?”

“Aku akan menemuinya.” Audin beranjak keluar. Ketika dia membuka pintu depan, Gael terperanjat. Melihat Audin menghampirinya, dia pun salah tingkah apalagi saat pagar besi itu dibuka gemboknya.

“Ma-maaf.. aku ingin memencet bel, tapi..”

“Mau bertemu Eva?” tanya Audin.

“Ti-tidak! Bukan begitu… Aku memang ingin bertemu dengannya, tapi dia tidak membalas pesanku, jadi… mungkin dia sedang sibuk, atau istirahat.. aku tidak mau mengganggu.”

Terdiam, Audin merasa tidak enak hati pada orang di hadapannya kini. Gael jelas tidak sama dengan Laz ataupun Eero. Guru-guru selalu berkomentar kalau Gael begitu jenius. Nilai-nilainya luar biasa, terutama karena dia anak akselerasi. Tapi melihatnya sekarang, Audin merasa kasihan. Flashdisk milik Gael telah Audin berikan pada Eva, namun tanggapannya menyedihkan.

“Dari Gael? Tidak. Terimakasih. Katakan padanya aku sudah muak dengan film sejarah. Dulu aku memang sering menontonnya karena nilai sejarahku jeblok. Sekarang tidak lagi, jadi… mungkin kapan-kapan saja kalau aku butuh.”

Dengan kata lain, Eva hanya memanfaatkannya saja.

Audin menghela napas panjang. Apa yang harus dia lakukan? Gael tampak seperti sebatang korek api yang akan langsung menjadi abu jika dinyalakan. Gael korek kayunya, sedangkan Eva api. Persis sekali.

“Ka-kalau begitu, aku pulang dulu..”

“Tunggu sebentar,” tahan Audin. “Bagaimana kalau masuk dulu sebentar? Sebentar lagi sepertinya akan hujan. Shin akan membuatkanmu teh.”

Gael sempat ragu, tapi Audin yang tidak sabar langsung menarik lengannya masuk. Di sana laki-laki itu celingukan gugup melihat penghuni-penghuni DM lain yang asing baginya. Zein menatap ke arahnya, tersenyum dengan pipi yang menggembung karena sedang mengunyah. Shin juga tersenyum padanya sekilas lalu kembali mengaduk-aduk kuah dalam panci. Sementara itu Laz dan Eero seperti biasa sedang memutar video games, kali ini bertema balapan liar. Mereka tidak menyadari kehadiran Gael.

“Duduk dulu,” kata Audin menunjuk sofa di belakang Laz dan Eero. Gael mengangguk.

Audin mengambil satu cangkir di lemari layang.

“Sedang apa?” tanya Shin.

“Membuatkan dia teh.”

“Biar aku saja. Kau panggil saja Eva. Katamu tadi dia mencari Eva.”

“Oh, itu…” Audin sempat terdiam. Dia ragu apakah Eva mau menemuinya.

Ketika ditanya kenapa dia tidak menyukai Gael, Audin mendapatkan dua alasan konyol: Eva tidak suka orang yang bergigi kawat. Dia juga tidak suka laki-laki berambut belah tengah. Tapi biar bagaimana pun Gael sudah di sini. Memberitahu Eva tanpa memaksanya ke ruang tengah seharusnya tidak jadi masalah. Siapa tahu meski tidak punya nurani, Eva masih berpegang pada etika.

“Ya, kenapa tidak?” balas Audin lalu segera berlari kecil menaiki tangga.

Bersamaan dengan itu, Lana melayang turun dari lantai dua. Gadis itu terbang, hendak ke ruang tengah. Shin terkesiap. Tanaman sulur yang ada di pojok dapur langsung memanjang dan menjambak rambut Lana hingga gadis itu memekik. Suara bedebum keras terdengar sedetik kemudian.

“Ap—!”

Lana akan protes tapi Zein langsung membekap mulutnya.

“Ada manusia di situ. Mengerti? Manusia. Lazimnya, manusia tidak bisa terbang.” Zein berbisik.

Lana bungkam. Dia kemudian mengangguk mengerti.

Shin dan Zein menghela napas lega. Mereka lalu membiarkan Lana yang berjalan ke ruang tengah. Diam-diam gadis itu mengintip ada siapa di sana selain Laz dan Eero. Dia melihat Gael. Giginya menggigit bibir bawah mengenali anak itu serta gosip yang beredar tentangnya. Hanya sekilas, tapi dia tahu kalau keberadaannya di sini akan sia-sia saja.

Terbukti setelahnya sampai Gael pamit pulang pun, Eva tidak menemuinya.

***

Mr. Elios datang ke asrama sore hari berikutnya dan memberikan instruksi semua penghuni DM harus berkumpul saat itu juga. Yang jelas mereka semua baru saja pulang sekolah dengan baju seragam yang masih melekat di badan. Sekarang setelah mereka semua ada di ruang tengah—kecuali Snare, Mr. Elios yang duduk di sofa paling ujung mengutarakan maksudnya.

“Pagi ini ada aroma dari jejak seekor iblis tercium. Penjaga yang semalam ceroboh, tidak mengetahui ada anak yang menyusup ke kelasnya sendiri. Mungkin ada barang yang tertinggal. Yang jelas sekarang, dia menghilang.”

“Tunggu sebentar.” Laz menyela. “Kenapa iblis bisa masuk ke sana? Bukankah anda sendiri yang menciptakan perisai pelindungnya? Kalau anak itu diculik di luar sekolah mungkin saja. Tapi kenapa bisa di dalam?”

“Iblis memang tidak akan bisa masuk selama perisai itu terpasang.” Mr. Elios membenarkan. “Iblis kali ini kurasa cukup pintar. Dia pasti mengarahkan seseorang untuk melepas salah satu kertas mantra yang kupasang. Mantra itu tidak punya pengaruh apa pun selain pada iblis dan siluman, atau makhluk semacam mereka.”

“Karena sudah terlanjur terjadi, Mr. Elios mau kami mencari dua anak itu?” Kali ini Zein menyambung.

“Yang diculik ada dua anak?” tanya Eero heran.

Zein mengangguk. “Tangan salah satunya menggores sepanjang jalan di lorong dekat barak. Sepertinya diseret dalam keadaan tidak sadar. Sementara yang satunya lagi—perempuan. Ada beberapa helai rambutnya yang rontok di sana. Mereka mengarah ke Diadra—kata Michael.”

“Siapa itu?” tanya Audin.

“Salah satu gagak yang berdiam dekat sana,” jawab Zein.

Hening. Diadra merupakan hutan yang jarang disentuh, letaknya di sisi paling utara kota yang mereka tinggali ini. Jaraknya lumayan jauh dari sekolah. Kenapa iblis itu nekat sekali berburu mangsa di sekolah?

“Iblis tidak akan semudah itu melahap jiwa mereka. Hanya yang punya sisi gelap yang bisa dimakan—itupun harus dengan mental yang lemah. Akan tambah runyam kalau siluman juga terlibat,” papar Eva yang menyilangkan tangan. “Mereka makan daging—bukan roh.”

“Mereka masih hidup,” kata Mr. Elios. “Kita masih bisa menyelamatkan mereka.”

Shin menggigiti ujung kuku.

Mr. Elios lalu bangkit berdiri. Dia menepuk tangannya sekali kemudian memberikan perintah yang tidak bisa dibantah.

“Eero, kau tinggal. Buat kristal perpindahan sesegera mungkin. Hanya lima anak yang kuizinkan pergi ke sana: Zein, Audin, Laz, Eva, dan Agatha. Lana, kau bisa memantau dari udara, pertajam tangkapan gelombang suara. Shin…”

Gadis yang namanya disebut terakhir oleh Mr. Elios itu mengerjap dan beraut bingung. Shin memang ingin ikut membantu, tapi dia tidak pernah ingin memprotes Mr. Elios. Apa mungkin gurunya itu khawatir dia akan terlalu jauh bertindak seperti ketika Dyar lompat ke sungai dulu? Shin memang kuat, tapi responnya buruk dalam keadaan genting.

“Kau juga tinggal,” kata Mr. Elios akhirnya setelah menghela napas panjang. “Pastikan Eero tidak mengacau. Bersiaplah satu jam lagi.”

Mr. Elios pun pergi setelah menyelesaikan instruksinya, menyisakan keheningan panjang. Shin menggenggam tangannya erat-erat—sedikit kecewa. Eero yang biasanya memecah kekakuan dengan tawa pun kali ini tegang. Laki-laki itu langsung pergi ke kamarnya untuk menciptakan kristal perpindahan. Tidak lama, ruang tengah itupun kosong karena semuanya harus bersiap. Tentunya tidak ada yang mau seragam mereka rusak di tengah perburuan malam nanti.