Sinar
matahari yang tambah menyilaukan akhirnya menerobos masuk lewat celah-celah
tirai. Siapa pun yang telah menyiapkan kamar itu patut diomeli. Lihat saja
sekarang. Jendela yang terdiri dari enam potong kaca persegi panjang itu salah
satunya tidak tertutup dengan baik, bahkan menyisakan celah cukup besar di
tengah-tengah. Tidak hanya sinar matahari yang meringsek masuk, anginpun
demikian. Hembusan angin menggerakkan tirai dan lantas kecolongan saat
seharusnya menghalangi cahaya.
Gadis
itu akhirnya terbangun. Dia mengerang kesal.
Jam
berapa ini? Mengapa alarm ponselnya tidak berbunyi? Ah, lagipula kemarin Jumat,
berarti sekarang hari Sabtu. Bukankah tidak masalah kalau dia tidur sampai
siang?
Semua
rutinitas padat yang dia lakukan hanya berlangsung Senin sampai Jumat. Sisanya,
dia bebas menghabiskan waktu untuk diri sendiri. Memangnya siapa yang berani
mengusik macan kumbang yang sedang tidur? Gadis itu pernah sekali mendapat
telepon saat akhir pekan seperti ini. Sejauh ini dia bersumpah; tidak akan
membiarkan pengganggu waktu istirahatnya hidup tenang.
Kelopak
matanya terbuka sedikit. Biarpun sekilas dan samar, dia bisa melihat dinding
cokelat kamarnya sekarang. Hidungnya mencium aroma kayu. Sementara itu kulitnya
mendapati permukaan kasar ketika geraknya tanpa sengaja menyingkap seprai.
Tunggu
dulu.
Dinding
cokelat? Aroma kayu? Ranjang kasar?
Matanya
seketika terbuka penuh. Gadis itu terkesiap keras dan sontak terperanjat. Dia akhirnya
menegakkan punggung setelah hampir semalaman meringkuk seperti ular. Keringat dingin
mengucur. Napasnya memburu. Bagaimana mungkin dia melupakan kejadian yang baru
saja dia alami?
Dia
telah diculik! Itu satu-satunya alasan mengapa sekarang dirinya berada di
tempat asing.
Melisma
cepat-cepat menendang selimutnya. Gadis itu langsung berlari tanpa bisa
berpikir jernih—setidaknya mempertimbangkan apa yang seharusnya dilakukan
korban penculikan ketika mungkin saja ada di sarang pelaku—akibat panik.
Tepat
ketika membuka pintu, gadis itu menginjak keset dan dia terpeleset. Badannya
ambruk ke belakang diikuti bunyi benturan keras.
***
Di
tempat yang sama, hanya saja di kamar yang berbeda, satu gadis lagi bangun
dalam keadaan rambut ikalnya yang super berantakan. Pandangannya berkeliling
mendapati tempat dia berada kini tampak benar-benar asing.
Hotel?
Motel? Atau penginapan biasa? Kenapa manajernya membawa dia ke tempat aneh
seperti ini? Ranjangnya tidak senyaman yang selalu dirinya gunakan untuk tidur.
Apalagi baru kali ini dia menghabiskan malam di tempat yang berdinding kayu. Apa
tema untuk bulan ini sudah berganti menjadi “Menyatu dengan Alam”? Atau mungkin
sekarang dirinya berada di negara lain lagi di mana masyarakatnya sangat
menjaga lingkungan hidup?
Dia
terdiam cukup lama. Hanya saja karena masih sangat mengantuk karena kelelahan
setelah konsernya kemarin, akhirnya gadis itu terlelap lagi di balik selimut.
***
Di
kamar ketiga, penghuni di dalamnya masih tertidur sampai-sampai mimpi pun tidak
bisa mengganggunya. Seluruh bagian selimut berkumpul di tengah-tengah, membalut
tubuhnya menjadi serupa dimsum lonjong. Berkat lagu-lagu klasik yang sering dia
dengar dan latih, atmosfer dalam kamarnya amatlah damai, sampai akhirnya saat
bergerak, entah kenapa gadis itu berguling ke tepian—membawa balutan selimutnya
ikut serta. Tubuhnya langsung terjun bebas menghantam lantai
Dia
sontak terperanjat begitu dahinya membentur kaki meja.
Mulutnya
otomatis berkicau. Dia mengaduh, mengerang, bertanya sambil berseru, mengeluh
mengapa selalu saja tubuhnya terbalut erat selimut kala tidur, lalu menyalahkan
siapa pun yang meletakkan meja perabot tersebut dekat ranjang.
Tunggu
sebentar. Dia mengernyit.
Meja
perabot dekat ranjang? Setahunya hanya ada dua rak laci kubus di sisi kanan dan
kiri ranjang kamarnya. Dua benda itu tidak memiliki kaki kayu yang panjang.
Gadis
itu tertegun kala benaknya memutar kembali apa yang terjadi kemarin. Seseorang membekapnya
dari belakang dan…
“Shit!” Dia mengumpat.
Dirinya
harus bergegas mencari cara untuk kabur. Dia tidak sudi berlama-lama di sana. Dihentak-hentakkannya
selimut yang membalut tubuhnya dari pundak sampai ujung kaki. Karena tidak
berhasil, dia pun terpaksa menghampiri pintu dengan bergerak-gerak seperti
ular. Sialnya ketika hampir mencapai pintu, gadis itu lupa memperkirakan jarak
hingga akibatnya, dahinya terbentur lagi. Kali ini lebih keras daripada tadi.
***
Aroma
harum teh yang baru saja diseduh menguar saat berpindah dari teko ke sebuah
cangkir porselen. Dekat tea set,
sarapan lain tersedia dalam keadaan masih hangat.
Seseorang
yang duduk di salah satu kursi lalu mengambil sepotong dendeng kemudian
menggigitnya meski teksturnya agak keras. Dia makan sambil membaca koran
terbaru. Meski bangun tidak kurang dari sepuluh menit yang lalu, matanya
menyorot jernih dan pikirannya tenang.
“Lama
sekali mereka. Apa perlu dibangunkan?” tanya gadis yang tadi menuangkan teh.
Rambut pendek sebahunya masih eksis sampai sekarang, hanya saja dengan poni
miring yang lebih panjang. “Ayo kita bangunkan mereka sama-sama!”
“Dua
untukmu, satu untukku.”
“Hah?”
“Aku
tidak mau membangunkan ketiganya.”
“Ide
bagus! Soal efektivitas waktu kan? Kalau begitu, aku bangunkan Tiara. Meri
bangunkan Vio dan Meli ya! Kamar mereka kan satu arah.”
Si
Gadis manekin tidak sempat mengoreksi si Bungsu karena dia sudah terlanjur
berlari-lari pergi.
Ratimeria
menghela napas panjang. Diletakkannya koran yang baru selesai dia baca sebanyak
empat kolom. Sebenarnya dia enggan meninggalkan tehnya yang pasti sebentar lagi
akan mendingin. Uap yang muncul di permukaannya sangat indah. Mendengus sejenak,
dia akhirnya melangkah ke kamar dua kembarannya berada.
Lantai
kayu sedikit berderit saat dia menyusuri lorong. Rumah kayu itu memang agak
seram meski sekarang ada mereka berlima di sana.
Ratimeria
hampir mencapai pintu kamar tempat karakter paling galak di antara mereka
berada. Tepat saat itu, pintu sudah terbuka sendiri. Sepersekian detik, orang
di dalamnya terburu-buru keluar seperti kesetanan. Kaki telanjangnya menginjak keset
dan lantas dia pun terpeleset. Tubuhnya limbung ke belakang dan otomatis
punggungnya menghantam lantai.
“My God… it’s hurt…,” gumam gadis itu
sekilas. Kepalanya masih ada di bagian dalam kamar sehingga yang dilihat
Ratimeria sekarang hanyalah sepasang kaki gadis itu yang menjulur keluar.
Ratimeria
tidak berniat menegur Melisma duluan. Karenanya dia hanya terdiam melihat
tingkah laku gadis vampir yang punya kulit sepucat mayat dan berambut hitam
legam. Sepasang kaki yang terjulur tadi ditarik lagi ke dalam. Ratimeria bisa
mendengar Melisma menggerutu pelan. Akhirnya, gadis yang baru bangun itupun
keluar perlahan—dengan cara merangkak. Kepalanya sontak menoleh kaget ke
samping begitu menyadari ada orang di dekatnya.
Paranoid.
“Halo,”
sapa Ratimeria singkat. Wajahnya hambar.
“Apanya
halo?! Kenapa kau ada di sini?!” semprot Melisma. “Aku pikir aku diculik! Aku
diculik tepat saat keluar kampus, kau tahu!”
Melisma
berteriak tepat di depan mukanya, namun seperti biasa, Ratimeria menanggapi
nyaris tanpa emosi.
“Kita
memang diculik,” balas gadis itu pendek.
“Hah?”
Sebelum
Melisma bertanya lebih jauh, mereka mendengar bunyi benturan yang lumayan
keras. Mereka pun menoleh ke arah sumber suara tadi berasal. Pintu kamar yang
bersebelahan dengan kamar Melisma dibuka.
Kembaran
mereka satu lagi—Viola—keluar dengan bentuk bagai croissant. Mereka bertiga saling bertatap. Raut wajah Viola yang
terkejut, persis dengan Melisma sewaktu melihat Ratimeria untuk yang pertama
kalinya di tahun ini.
“Apanya
yang terbentur kalau badanmu empuk begitu?” Melisma mengernyit.
Viola
tertawa. Telunjuknya kemudian terangkan menunjuk ke dahinya yang benjol.
Masih
di rumah yang sama, Amarta masih berusaha membangunkan Tiara yang tertidur
lelap. Berulang kali mulutnya membeo keras, tapi usaha itu tidak membuahkan
hasil sama sekali. Amarta juga sudah membuka jendela supaya sinar matahari bisa
lebih leluasa masuk. Tiara tetap saja tidak bergerak. Puncaknya, Amarta naik ke
ranjang itu. Kedua tangannya bekerja sama membekap hidung dan mulut Tiara.
Dalam
hitungan detik, Tiara mengerjap-ngerjap sadar sebelum mukanya berubah biru.
“Selamat
pagi!” sapa Amarta ceria.
Suara
teriakan pun kembali memenuhi rumah kayu untuk yang kedua kalinya.
***
Kurang
lebih satu jam kemudian, Amarta menyiapkan baju ganti untuk semuanya. Masing-masing
kaus yang mudah menyerap keringat, celana pendek, sepasang kaus kaki, dan juga
sepatu tali.
“Kenapa
kami harus pakai itu?” Melisma mengernyit curiga. “Dari tadi juga tidak ada
yang jawab kita sebenarnya ada di mana!”
“Punyaku
yang pink kan?” tanya Tiara tidak
ambil pusing pada Amarta di sebelahnya.
“Iya. Aku
yang ungu,” jawab Amarta juga tidak mengacuhkan Melisma.
“Dengarkan
aku!” teriak Melisma kesal.
“Sudah-sudah.
Kita memang diculik, tapi toh kita masih bisa kumpul bersama kan?” tanggap
Viola mencoba menenangkannya.
Melisma
sudah mengenakan kaus putih bergaris kuning, sedangkan milik Viola bergaris
merah. Tidak jauh dari mereka, Ratimeria memandang ke sekeliling dalam diam. Kaus
yang dia kenakan bergaris putih yang memiliki efek suar. Ketika seorang pria
tua bercambang mendekati mereka, dialah yang pertama kali tahu.
“Sepertinya
baru kemarin kalian berloncatan ke sana kemari. Bahkan main kuda-kudaan
denganku,” ujar pria tua itu lalu tertawa-tawa.
Baik
Melisma beserta empat yang lain langsung memandang pria itu dengan mata
melebar.
Gargaric
Len. Sang Kakek. Mantan pemain basket dan juga… belakangan menyibukkan diri
dengan melatih atlet didikannya.
Tiara
sempat memalingkan muka untuk sekedar tertawa sinis. Sepertinya dia tahu ke
mana kegiatan hari ini mengarah. Tidak jauh berbeda dengan gadis itu, kembar
lainnya pun mendadak membeku.
“Ini
pulau tidak berpenghuni, my dear,”
kata Gargaric memberi tahu. Dia tersenyum sampai-sampai matanya menyipit hampir
menutup. “Aku sudah membuang semua alat komunikasi yang kalian punya ke laut.”
Hening.
Beberapa dari mereka syok.
“Nah,
supaya bisa keluar dari sini, silakan lari keliling pulau sebanyak tiga kali. Urutan
kalian akan menentukan berapa hari lagi kalian akan menginap di sini. Oh, dan..
kalian hanya punya waktu dua jam.”