Lesson (2): Pulau Tak Berpenghuni

Senin, 11 April 2016



Sinar matahari yang tambah menyilaukan akhirnya menerobos masuk lewat celah-celah tirai. Siapa pun yang telah menyiapkan kamar itu patut diomeli. Lihat saja sekarang. Jendela yang terdiri dari enam potong kaca persegi panjang itu salah satunya tidak tertutup dengan baik, bahkan menyisakan celah cukup besar di tengah-tengah. Tidak hanya sinar matahari yang meringsek masuk, anginpun demikian. Hembusan angin menggerakkan tirai dan lantas kecolongan saat seharusnya menghalangi cahaya.

Gadis itu akhirnya terbangun. Dia mengerang kesal.

Jam berapa ini? Mengapa alarm ponselnya tidak berbunyi? Ah, lagipula kemarin Jumat, berarti sekarang hari Sabtu. Bukankah tidak masalah kalau dia tidur sampai siang?

Semua rutinitas padat yang dia lakukan hanya berlangsung Senin sampai Jumat. Sisanya, dia bebas menghabiskan waktu untuk diri sendiri. Memangnya siapa yang berani mengusik macan kumbang yang sedang tidur? Gadis itu pernah sekali mendapat telepon saat akhir pekan seperti ini. Sejauh ini dia bersumpah; tidak akan membiarkan pengganggu waktu istirahatnya hidup tenang.

Kelopak matanya terbuka sedikit. Biarpun sekilas dan samar, dia bisa melihat dinding cokelat kamarnya sekarang. Hidungnya mencium aroma kayu. Sementara itu kulitnya mendapati permukaan kasar ketika geraknya tanpa sengaja menyingkap seprai.

Tunggu dulu.

Dinding cokelat? Aroma kayu? Ranjang kasar?

Matanya seketika terbuka penuh. Gadis itu terkesiap keras dan sontak terperanjat. Dia akhirnya menegakkan punggung setelah hampir semalaman meringkuk seperti ular. Keringat dingin mengucur. Napasnya memburu. Bagaimana mungkin dia melupakan kejadian yang baru saja dia alami?

Dia telah diculik! Itu satu-satunya alasan mengapa sekarang dirinya berada di tempat asing.

Melisma cepat-cepat menendang selimutnya. Gadis itu langsung berlari tanpa bisa berpikir jernih—setidaknya mempertimbangkan apa yang seharusnya dilakukan korban penculikan ketika mungkin saja ada di sarang pelaku—akibat panik.

Tepat ketika membuka pintu, gadis itu menginjak keset dan dia terpeleset. Badannya ambruk ke belakang diikuti bunyi benturan keras.

***

Di tempat yang sama, hanya saja di kamar yang berbeda, satu gadis lagi bangun dalam keadaan rambut ikalnya yang super berantakan. Pandangannya berkeliling mendapati tempat dia berada kini tampak benar-benar asing.

Hotel? Motel? Atau penginapan biasa? Kenapa manajernya membawa dia ke tempat aneh seperti ini? Ranjangnya tidak senyaman yang selalu dirinya gunakan untuk tidur. Apalagi baru kali ini dia menghabiskan malam di tempat yang berdinding kayu. Apa tema untuk bulan ini sudah berganti menjadi “Menyatu dengan Alam”? Atau mungkin sekarang dirinya berada di negara lain lagi di mana masyarakatnya sangat menjaga lingkungan hidup?

Dia terdiam cukup lama. Hanya saja karena masih sangat mengantuk karena kelelahan setelah konsernya kemarin, akhirnya gadis itu terlelap lagi di balik selimut.

***
Di kamar ketiga, penghuni di dalamnya masih tertidur sampai-sampai mimpi pun tidak bisa mengganggunya. Seluruh bagian selimut berkumpul di tengah-tengah, membalut tubuhnya menjadi serupa dimsum lonjong. Berkat lagu-lagu klasik yang sering dia dengar dan latih, atmosfer dalam kamarnya amatlah damai, sampai akhirnya saat bergerak, entah kenapa gadis itu berguling ke tepian—membawa balutan selimutnya ikut serta. Tubuhnya langsung terjun bebas menghantam lantai

Dia sontak terperanjat begitu dahinya membentur kaki meja.

Mulutnya otomatis berkicau. Dia mengaduh, mengerang, bertanya sambil berseru, mengeluh mengapa selalu saja tubuhnya terbalut erat selimut kala tidur, lalu menyalahkan siapa pun yang meletakkan meja perabot tersebut dekat ranjang.

Tunggu sebentar. Dia mengernyit.

Meja perabot dekat ranjang? Setahunya hanya ada dua rak laci kubus di sisi kanan dan kiri ranjang kamarnya. Dua benda itu tidak memiliki kaki kayu yang panjang.

Gadis itu tertegun kala benaknya memutar kembali apa yang terjadi kemarin. Seseorang membekapnya dari belakang dan…

Shit!” Dia mengumpat.

Dirinya harus bergegas mencari cara untuk kabur. Dia tidak sudi berlama-lama di sana. Dihentak-hentakkannya selimut yang membalut tubuhnya dari pundak sampai ujung kaki. Karena tidak berhasil, dia pun terpaksa menghampiri pintu dengan bergerak-gerak seperti ular. Sialnya ketika hampir mencapai pintu, gadis itu lupa memperkirakan jarak hingga akibatnya, dahinya terbentur lagi. Kali ini lebih keras daripada tadi.

***
Aroma harum teh yang baru saja diseduh menguar saat berpindah dari teko ke sebuah cangkir porselen. Dekat tea set, sarapan lain tersedia dalam keadaan masih hangat.

Seseorang yang duduk di salah satu kursi lalu mengambil sepotong dendeng kemudian menggigitnya meski teksturnya agak keras. Dia makan sambil membaca koran terbaru. Meski bangun tidak kurang dari sepuluh menit yang lalu, matanya menyorot jernih dan pikirannya tenang.

“Lama sekali mereka. Apa perlu dibangunkan?” tanya gadis yang tadi menuangkan teh. Rambut pendek sebahunya masih eksis sampai sekarang, hanya saja dengan poni miring yang lebih panjang. “Ayo kita bangunkan mereka sama-sama!”

“Dua untukmu, satu untukku.”

“Hah?”

“Aku tidak mau membangunkan ketiganya.”

“Ide bagus! Soal efektivitas waktu kan? Kalau begitu, aku bangunkan Tiara. Meri bangunkan Vio dan Meli ya! Kamar mereka kan satu arah.”

Si Gadis manekin tidak sempat mengoreksi si Bungsu karena dia sudah terlanjur berlari-lari pergi.

Ratimeria menghela napas panjang. Diletakkannya koran yang baru selesai dia baca sebanyak empat kolom. Sebenarnya dia enggan meninggalkan tehnya yang pasti sebentar lagi akan mendingin. Uap yang muncul di permukaannya sangat indah. Mendengus sejenak, dia akhirnya melangkah ke kamar dua kembarannya berada.

Lantai kayu sedikit berderit saat dia menyusuri lorong. Rumah kayu itu memang agak seram meski sekarang ada mereka berlima di sana.

Ratimeria hampir mencapai pintu kamar tempat karakter paling galak di antara mereka berada. Tepat saat itu, pintu sudah terbuka sendiri. Sepersekian detik, orang di dalamnya terburu-buru keluar seperti kesetanan. Kaki telanjangnya menginjak keset dan lantas dia pun terpeleset. Tubuhnya limbung ke belakang dan otomatis punggungnya menghantam lantai.

My God… it’s hurt…,” gumam gadis itu sekilas. Kepalanya masih ada di bagian dalam kamar sehingga yang dilihat Ratimeria sekarang hanyalah sepasang kaki gadis itu yang menjulur keluar.

Ratimeria tidak berniat menegur Melisma duluan. Karenanya dia hanya terdiam melihat tingkah laku gadis vampir yang punya kulit sepucat mayat dan berambut hitam legam. Sepasang kaki yang terjulur tadi ditarik lagi ke dalam. Ratimeria bisa mendengar Melisma menggerutu pelan. Akhirnya, gadis yang baru bangun itupun keluar perlahan—dengan cara merangkak. Kepalanya sontak menoleh kaget ke samping begitu menyadari ada orang di dekatnya.

Paranoid.

“Halo,” sapa Ratimeria singkat. Wajahnya hambar.

“Apanya halo?! Kenapa kau ada di sini?!” semprot Melisma. “Aku pikir aku diculik! Aku diculik tepat saat keluar kampus, kau tahu!”

Melisma berteriak tepat di depan mukanya, namun seperti biasa, Ratimeria menanggapi nyaris tanpa emosi.

“Kita memang diculik,” balas gadis itu pendek.

“Hah?”

Sebelum Melisma bertanya lebih jauh, mereka mendengar bunyi benturan yang lumayan keras. Mereka pun menoleh ke arah sumber suara tadi berasal. Pintu kamar yang bersebelahan dengan kamar Melisma dibuka.

Kembaran mereka satu lagi—Viola—keluar dengan bentuk bagai croissant. Mereka bertiga saling bertatap. Raut wajah Viola yang terkejut, persis dengan Melisma sewaktu melihat Ratimeria untuk yang pertama kalinya di tahun ini.

“Apanya yang terbentur kalau badanmu empuk begitu?” Melisma mengernyit.

Viola tertawa. Telunjuknya kemudian terangkan menunjuk ke dahinya yang benjol.

Masih di rumah yang sama, Amarta masih berusaha membangunkan Tiara yang tertidur lelap. Berulang kali mulutnya membeo keras, tapi usaha itu tidak membuahkan hasil sama sekali. Amarta juga sudah membuka jendela supaya sinar matahari bisa lebih leluasa masuk. Tiara tetap saja tidak bergerak. Puncaknya, Amarta naik ke ranjang itu. Kedua tangannya bekerja sama membekap hidung dan mulut Tiara.

Dalam hitungan detik, Tiara mengerjap-ngerjap sadar sebelum mukanya berubah biru.

“Selamat pagi!” sapa Amarta ceria.

Suara teriakan pun kembali memenuhi rumah kayu untuk yang kedua kalinya.

***
Kurang lebih satu jam kemudian, Amarta menyiapkan baju ganti untuk semuanya. Masing-masing kaus yang mudah menyerap keringat, celana pendek, sepasang kaus kaki, dan juga sepatu tali.

“Kenapa kami harus pakai itu?” Melisma mengernyit curiga. “Dari tadi juga tidak ada yang jawab kita sebenarnya ada di mana!”

“Punyaku yang pink kan?” tanya Tiara tidak ambil pusing pada Amarta di sebelahnya.

“Iya. Aku yang ungu,” jawab Amarta juga tidak mengacuhkan Melisma.

“Dengarkan aku!” teriak Melisma kesal.

“Sudah-sudah. Kita memang diculik, tapi toh kita masih bisa kumpul bersama kan?” tanggap Viola mencoba menenangkannya.

Melisma sudah mengenakan kaus putih bergaris kuning, sedangkan milik Viola bergaris merah. Tidak jauh dari mereka, Ratimeria memandang ke sekeliling dalam diam. Kaus yang dia kenakan bergaris putih yang memiliki efek suar. Ketika seorang pria tua bercambang mendekati mereka, dialah yang pertama kali tahu.

“Sepertinya baru kemarin kalian berloncatan ke sana kemari. Bahkan main kuda-kudaan denganku,” ujar pria tua itu lalu tertawa-tawa.

Baik Melisma beserta empat yang lain langsung memandang pria itu dengan mata melebar.

Gargaric Len. Sang Kakek. Mantan pemain basket dan juga… belakangan menyibukkan diri dengan melatih atlet didikannya.

Tiara sempat memalingkan muka untuk sekedar tertawa sinis. Sepertinya dia tahu ke mana kegiatan hari ini mengarah. Tidak jauh berbeda dengan gadis itu, kembar lainnya pun mendadak membeku.

“Ini pulau tidak berpenghuni, my dear,” kata Gargaric memberi tahu. Dia tersenyum sampai-sampai matanya menyipit hampir menutup. “Aku sudah membuang semua alat komunikasi yang kalian punya ke laut.”

Hening. Beberapa dari mereka syok.

“Nah, supaya bisa keluar dari sini, silakan lari keliling pulau sebanyak tiga kali. Urutan kalian akan menentukan berapa hari lagi kalian akan menginap di sini. Oh, dan.. kalian hanya punya waktu dua jam.”

Lesson (1): Penculikan

Sabtu, 09 April 2016



Sendirian ditambah tidak bisa tidur merupakan hal yang biasa bagi Amarta Orchidee Len. Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu terduduk di ranjang. Kali ini dia tidak lagi bisa menyibukkan diri dengan membaca buku. Setelah beberapa hari yang lalu membeli selusin novel dengan genre yang berbeda, akibat waktu luangnya yang berlebihan, semua buku itu habis dia lahap. Tentunya seperti rutinitasnya yang lalu, dia akan merencanakan kapan akan ke toko buku lagi. Hanya saja kali ini dia merasa lelah. Semua hal yang dirasanya menarik dulu, kini telah berubah hambar.

Sekelumit ide mendadak muncul di benak gadis itu. Sebenarnya ide yang amat mengerikan. Matanya menyipit kemudian melirik ke arah telepon di atas meja samping ranjang. Tersenyum licik, dia pun meraih gagang telepon itu lalu memencet beberapa tombol sebelum akhirnya menempelkan benda itu ke telinga.

Dari situlah, mimpi buruk mereka dimulai.

***
Melisma Forsythia Len membaca cepat baris demi baris satu bendel kertas yang dijepit papan alas tulis yang sedang dia pegang. Matanya menyorot tajam penuh napsu membunuh. Cepat, walau tidak kasar, jari-jari tangan kanannya membalik kertas-kertas itu dan menyatroni semua hal yang tertulis di sana tanpa melewatkan secuil katapun. Tiap dia membalik halaman itulah, tiga orang yang berdiri depan meja selalu terperanjat. Wajah dan leher mereka banjir oleh keringat dingin. Salah satunya bahkan berusaha mati-matian menahan hasrat buang air kecil.

AC yang ada di ruangan itu dihidupkan dengan angka derajat minimum. Bahkan tanpa ditambah dengan suhu rendah, ketegangan yang gadis itu ciptakan mampu membuat suasana sebeku puncak Everest.

Saat ini dia sedang duduk di meja putar putih kesayangannya, mengenakan kemeja garis lengan panjang dan rok hitam selutut, juga boots heel hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat tinggi-tinggi di belakang kepala. Gadis itu juga memakai kacamata tanpa bingkai hingga orang lain bisa melihat dengan jelas mata setajam elang yang dia miliki. Sekarang, mata tajam itu bahkan bertambah ganas berkali-kali lipat hanya gara-gara paper yang dia baca sekarang tidak sesuai dengan harapannya.

“Kapan kalian mulai mengerjakan proposal ini?” tanya Melisma tanpa mengalihkan perhatiannya dari tulisan pada paper.

“Empat hari yang lalu waktu tugasnya diberikan,” jawab salah satu dari tiga orang di depannya. “Waktu yang diberi seminggu, jadi kami tiga hari lebih awal..”

Langsung saja, Melisma menyeringai sinis. Celakanya bagi ketiga orang tadi, seringai itu terlihat mirip sekali dengan tawa sadis psikopat yang muncul dalam film horor yang diputar di televisi semalam. Mereka sontak terperanjat sampai hampir melompat ketika gadis itu tiba-tiba saja melempar papan alas tulisnya ke samping hingga menghantam keras dinding.

“Jangan salah sangka,” kata Melisma sambil menyilangkan tangan pada mereka bertiga. “Orang lain memang akan selalu memuji orang rajin. Sayangnya aku punya pendapat berbeda. Kata-kata seperti ‘Hebat sekali kau menyelesaikan dengan cepat’, ‘Rajin sekali mengerjakan’, ‘Sepertinya orang ini patut dipertimbangkan’, sayangnya kalian tidak akan pernah mendapatkannya dariku.”

Mereka bersamaan menelan ludah.

“Menurut kalian mengapa para dosen memberikan jangka waktu lebih lama dari yang biasa kalian habiskan hanya untuk mengerjakan sebuah proyek? Supaya kalian bisa lebih serius mengerjakannya. Masing-masing hari yang kalian dapat sebagai jatah harusnya dipergunakan semestinya. Berani-beraninya kalian mengurangi jatah itu hanya untuk menyisakan hari demi main-main?”

Ketiganya bungkam. Meski tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Melisma, mereka tidak berani mendebat gadis yang mereka curigai sebagai siluman macan kumbang itu.

“Kualitas proyek satu minggu, ditukar dengan kualitas proyek empat hari? JANGAN BERCANDA DENGANKU!!” Teriakan Melisma yang membentak mereka sampai menggetarkan benda-benda yang ada di sana. “Satu minggu lagi. Kalau kalian sampai memberiku sampah seperti tadi, NILAI C PUN TIDAK AKAN SUDI AKU USULKAN PADA MR. EDGAR UNTUK KALIAN!!”

Bagai anjing chihuahua berhadapan dengan seekor singa, mereka nyaris tidak bisa berkutik. Berdebat pun, mereka tidak memiliki keberanian.

“Jangan sampai kulihat batang hidung kalian sebelum proposal itu selesai. KELUAR!!!”

Sontak, ketiga anak tadi langsung berlari keluar terbirit-birit.

Begitu pintu ditutup, Melisma menghela napas panjang, berharap kalau penat di benaknya akan langsung menguap saat karbondioksida dihempaskannya keluar. Teriakannya tadi memicu urat-urat di lehernya keluar. Akibatnya, gadis itu merasa pegal sekarang.

Dia beranjak dari kursi putar empuknya lalu berdiri menghadap dinding kaca untuk memandang keluar. Hari beranjak sore. Gadis itu bisa melihat langit yang perlahan berubah abu-abu meski terhalangi beberapa gedung pencakar langit. Pemandangan yang dia lihat sehari-hari itulah yang membuat penatnya bertambah hari demi hari.

Ponsel yang ada di meja bergetar, memberi tanda kalau ada pesan masuk. Melisma meraih benda yang melebar seiring dengan perkembangan teknologi sampai saat ini. Dinyalakannya layar ponsel itu lalu satu pesan yang dia baca di sana membuat gadis itu mengerutkan kening samar.

Kata-kata singkat yang diketik dalam karakter huruf Jepang itu membuatnya bertanya-tanya siapa pengirimnya.

Lobi paling dasar. –G.L

Siapa G.L? Tidak ada keterangan nomor pengirim hingga Melisma tidak bisa mendapatkan jawaban.

Gadis itu melihat sebentar ke jam tangannya. Dia memang seharusnya sudah boleh pulang sekitar satu jam yang lalu. Lagipula cukuplah hari ini. Melisma merasa butuh istirahat. Gadis itu mengambil jaketnya yang digantung di sudut ruangan kemudian keluar ruangan. Beberapa staf menyapanya namun gadis itu tidak menggubris. Dia sendirian ketika turun ke lantai paling bawah menggunakan lift.

Sesampainya di lantai satu, Melisma mendapati sekitarnya telah sepi. Dia sama sekali tidak merasakan firasat apa pun ketika akhirnya tiba-tiba seseorang menutup mulutnya menggunakan sehelai sapu tangan. Meronta untuk melawan, orang lain lagi langsung datang membantu. Dia membawa sebuah kain yang mirip karung dan tanpa ragu memasukkan gadis itu ke dalamnya. Komplotan itupun menghilang dalam hitungan detik tanpa meninggalkan jejak.

***
Panggung pertunjukkan konser solo didirikan megah di sebuah gedung. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat namun kemeriahan di dalamnya tidak kunjung usai. Di atas panggung tersebut, seorang gadis mengenakan kostum yang mencolok sedang menyanyi dengan nada-nada yang tinggi. Rambutnya cokelat panjang serta ikal terurai panjang menutupi bagian punggung yang terbuka. Kostumnya kurang lebih serupa dengan kostum peri, yakni pakaian atas dan bawah yang menyambung dengan bagian rok yang panjangnya tidak sampai menyentuh lutut. Warnanya didominasi kuning emas, cokelat susu, hitam dan putih.

Tiara Chrisantee Len hampir menyelesaikan lagu terakhirnya di konser kali ini. Diiringi dengan suara-suara penontonnya yang ikut bernyanyi bersama, gadis itu bisa melupakan lelah dan menyanyi dengan sepenuh hati. Akhirnya ketika lagu itu usai, tepuk tangan menggemuruh langsung menyorakinya. Dia pun tersenyum manis lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk melambai sekaligus mengucapkan terimakasih.

Gadis itu kemudian berbalik meninggalkan panggung ke balik tirai di mana manajer menunggunya. Tapi tepat ketika dia turun dari tangga kecil di sana, beberapa orang langsung membekapnya hingga dia tidak bisa berkutik sama sekali. Ujung-ujungnya Tiara jatuh pingsan. Orang-orang tadi pun langsung membawa tubuh Tiara untuk meninggalkan tempat itu secepatnya.

***
Awalnya, jari-jari Viola Amarylis menciptakan kumpulan melodi yang indah saat beradu dengan tuts piano. Maids di rumahnya pun tanpa ada yang menegur, mengerubuti ruang musik yang disiapkan khusus untuk gadis itu hanya untuk mendengar serta menikmati lagu-lagu yang dimainkan. Dari alunan yang lembut itu, mereka bisa menduga kalau Viola sedang dalam suasana hati yang tenang.

Hanya saja dalam hitungan menit selanjutnya, gadis itu mendadak mengingat hal yang langsung membuat kekesalannya bangkit. Menekan rahangnya kuat-kuat, Viola seolah melupakan nada-nada yang seharusnya dia mainkan dalam tempo yang teratur. Gadis itu justru melampiaskan emosinya yang meluap-luap dengan menekan-nekan tuts piano jauh lebih kuat daripada yang seharusnya.

Maids yang yang mendengar perubahan drastis dalam lagu Viola pun langsung terperanjat kaget. Tidak hanya terdengar lebih keras dan menyeramkan, gadis itu bahkan menekan tuts asal-asalan hingga memberi kesan kalau piano yang sudah bertahun-tahun menemani hari-harinya itu akhirnya telah rapuh dimakan usia. Nada-nada yang berantakan, juga energi yang disalurkan berlebihan itu mampu mengubah atmosfer rumah yang mulanya damai menjadi seperti arena perang.

Sekitar beberapa menit kemudian, Viola menghentikan permainan pianonya yang mengerikan tadi. Setelahnya gadis itu melangkah keluar ruangan menuju ke ruang makan untuk mengambil sebotol yogurt. Baru seteguk cairan kental itu mengalir ke tenggorokannya, botol yang ada di tangan gadis itu tiba-tiba terlepas. Benda itu jatuh terbanting ke lantai dan langsung menumpahkan isinya.

Gadis itu tentu tidak pernah menyangka dia akan diculik saat berada dalam rumahnya sendiri.

***
Mereka berjumlah dua belas orang. Sebelas orang pria dan seorang gadis yang mengenakan gaun terusan putih tanpa lengan. Seorang pria di sebelah gadis tadi berbicara mengenai topik mereka hari itu seperti tanpa jeda. Usianya kurang lebih akan menginjak setengah abad. Meski begitu dia tampak sangat bersemangat berceloteh dengan tujuan menarik minat gadis tadi tentang sesuatu yang akan mereka kerjakan.

Ratimeria Vrtnica Len sebenarnya mengantuk saat dipaksa menemani pria pebisnis yang tengah berjalan beriringan dengannya kini. Gadis itu sebenarnya enggan menyetujui tawarannya, namun hal itu tidak langsung tergambar jelas di wajah. Dua tangannya sama-sama dimasukkan ke saku rok. Meski berulang kali ingin menguap, gadis itu berusaha menahannya dengan menggigiti bibir bawah. Di luar itu, dia justru menyadari ada sesuatu yang aneh dengan ketujuh guard-nya hari ini. Sisanya adalah guard dari pria pebisnis di sebelahnya.

“Tentu saya berharap ekspor akan segera dilakukan mengingat begitu besarnya peluang yang pasti kita raih…,” jelas pria itu menutup paparannya yang keseluruhan membosankan. Penjelasannya kebetulan selesai sewaktu mereka sampai dekat pintu keluar.

“Kalau begitu.. saya akan menghubungimu lagi nanti..,” kata Ratimeria membalasnya.

Pria itupun tersenyum puas. Dia lalu pergi bersama dengan tiga pengawalnya setelah membungkuk sekilas pada Ratimeria.

Gadis itu bergeming selama beberapa saat. Ketika akhirnya membalikkan badan untuk menatap satu per satu pengawalnya, dia menarik tangannya yang sejak tadi dimasukkan ke saku. Pengawal-pengawal itupun melebarkan mata karena terkejut melihat Ratimeria ternyata membawa pistol. Bahkan dia mengacungkan dua pistol sekaligus pada mereka.

M-miss?” Salah satunya yang berdiri paling depan tampak sangat terkejut.

Just you,” kata Ratimeria mengundang tanya mereka semua. “Berdiri di belakangku.”

Orang itu menurut. Namanya Nagi. Hanya dia yang kemudian berjalan melewati Ratimeria dan berdiri di belakang gadis itu, sementara pengawal yang lain saling berpandangan bingung.

Yes, I’m holding double handgun. Dan ya.. aku sedang mengarahkannya pada kalian..”

“Ada apa, Miss? Is there something wrong?” tanya Nagi bingung.

“Aku ingat semua orang yang menyertaiku. Dan kalian bukan di antara mereka,” ujar Ratimeria dingin sambil tetap mengacungkan pistol. “Mungkin aku tidak bisa menghancurkan kepala kalian satu per satu dalam waktu singkat. Tapi tidak ada salahnya menembak secara acak.. Tentu aku takkan melakukannya kalau kalian mau bekerja sama..”

Keenam pengawal itu tampak berpikir keras menimbang kata-kata Ratimeria barusan. Hanya dari sorot mata yang mereka tunjukkan, gadis itu langsung bisa menyadari kalau dugaannya benar. Kecurigaannya bertambah saat dia sempat melirik satu per satu saku celana mereka yang walau terlihat samar, namun jelas-jelas di antaranya ada beberapa yang sedikit menggembung karena diisi sesuatu.

Tali. Sapu tangan yang tidak dilipat rapi. Juga sebuah benda yang keras dan terlipat—mungkin pisau untuk mengancamnya supaya tidak melawan.

“Satu..” Ratimeria mulai menghitung. Tepat saat itulah, keenam orang tadi langsung mengambil pistol masing-masing dan bersamaan mengarahkan ujungnya pada Ratimeria.

“Pengkhianat!” seru Nagi marah.

“Kami harus membawa anda ikut bersama kami. Karena kami yakin, anda tidak akan bersedia ikut dengan sukarela, maka kami mempersiapkan semuanya untuk membawa anda paksa,” kata salah satu pengawal itu. “Tadinya kami tidak berniat memakai cara ini, tapi tolong mengertilah.”

Ratimeria tersenyum. Detik berikutnya dia mengarahkan salah satu pistol ke depan wajahnya sendiri sampai-sampai mereka semua terkesiap.

What happen if I say no?” tanya gadis itu dengan sorot mata dingin.

Menculik paksa Ratimeria tidak lagi berlaku. Mereka tahu gadis di depan mereka bisa melakukan apa saja tanpa rasa takut, jadi kendali keadaan sekarang ada di tangan Ratimeria. Kehabisan kata-kata untuk diucapkan, mereka pun terdiam.

“Siapa yang kurang ajar menyuruh kalian menculikku?” tanya gadis itu yang langsung menciptakan hawa kuat mengintimidasi mereka semua.

Salah satu dari mereka memberi isyarat pada yang lain untuk menurunkan senjata. Setelah mereka semua melakukannya, orang itupun maju menunduk sekilas pada Ratimeria lalu menjawabnya dengan singkat.

“Tuan Gargaric Len. Kakek anda.”