“Action!!” seru sutradara melengking di
awal scene drama kali itu.
Si
Gadis aktris yang telah lebih dulu diikat dengan baik oleh kru hingga
menggantung di bagian luar gedung lalu menendang keras kaca jendela menggunakan
hak sepatunya yang panjang dan runcing. Detik berikutnya kaca jendela itu pecah
berantakan sehingga dia kemudian bisa masuk ke sana. Tidak lupa, dia memutus
tali pengikat di perut hingga terlepas. Badannya berguling sekali sebelum dia
berganti posisi dalam keadaan akan menembak.
“Cut! Okay!”
seru sutradara lagi diikuti dengan tepuk tangan riuh kru-kru yang bertugas.
Tiara
menyibakkan poni yang menutupi alis matanya ketika kemudian sadar ada yang
salah dengan pergelangan tangannya. Kelopak mata gadis itu berkedip begitu
melihat ada serpihan kaca yang menancap di sisi samping pergelangan tangan.
“Kau
mau minum sesuatu yang lain? Akan kubelikan,” kata Gladys menghampirinya dan
menyodorkan sebotol air mineral.
“Ada
tisu?” gumam Tiara langsung menunjukkan bagian tangannya yang terluka direspon
Gladys dengan mata membelalak dan mulut menganga.
***
Beberapa
jam kemudian gadis itu tertidur—membentuk tubuhnya menjadi huruf u. Posisi
kepalanya lebih rendah dari kakinya yang diletakkan di atas sandaran kursi
depan dalam mobil. Jendela belakang dibuka sedikit sehingga dia bisa menikmati
angin berkelebat yang masuk meski tidak seberapa. Sekelilingnya penuh dengan
bungkus-bungkus marshmallow yang
telah kosong, di tangannya bahkan masih ada salah satunya. Sementara itu satu
tangannya lagi yang terluka telah dibebat sepulangnya mereka dari klinik.
Gladys
masuk ke mobil tidak lama kemudian membawa seplastik besar makanan yang seperti
biasa dibungkus setelah dibeli langsung dari restoran. Setelah dua bulan lebih Tiara
makan tanpa protes—hanya—salad dan buah untuk sehari-harinya, Gladys berpikir
kalau hanya malam ini saja dia akan membiarkan anak itu makan banyak.
“Hei,
Chrisantee,” panggil Gladys memperhatikan gadis itu melalui cermin. “Kau
tidur?”
Tidak
ada sahutan. Beberapa detik kemudian posisi kepala Tiara berganti arah, meski
begitu mulutnya membuka.
Mobil
itu lalu melaju ke apartemen tempat mereka tinggal bersama dua tahun ini.
Sesampainya di sana Tiara telah membuka mata, mengenali tempat di mana mereka
berada hingga Gladys tidak perlu repot-repot membangunkannya. Tiara membenarkan
tudung jaket lalu memasang kacamata sebelum turun. Dia berjalan melewati Gladys
yang sesaat kerepotan membawa barang belanjaan dan masuk duluan.
Gladys
menghela napas panjang—bukan karena kelakuan Tiara, biar begitu dia sudah terbiasa
mendapati perangainya yang menyebalkan, melainkan karena perlahan-lahan
tubuhnya menggigil. Wanita pertengahan umur tiga puluh itu menyentuh kening
menggunakan tangannya yang sibuk menjinjing tas plastik. Benar dugaannya, dia
agak demam.
***
Sekitar
tengah malam lewat kemudian, Tiara yang merasa haus keluar dari kamarnya dan
berjalan gontai menuju dapur. Dia mengisi gelasnya sampai penuh lalu minum
beberapa tenggak tanpa jeda. Matanya tidak sengaja melirik pada setoples marshmallow yang dia sendiri letakkan di
sana. Tutup toples itu dipasang asal-asalan. Mendecap, Tiara pun membenarkan
tutupnya ketika selanjutnya perlahan-lahan dia merasakan sesuatu yang berjumlah
banyak merambati tangannya. Refleks, gadis itu menyeka kulitnya sendiri
dibarengi dengan rasa gatal.
Panik,
Tiara lalu menyalakan lampu. Gadis itu sontak menjerit menjadi-jadi ketika
melihat gerombolan semut berlarian di tangannya, bahkan beberapa dari mereka
telah berhasil menjalar sampai ke lengan.
“GLADYS!
GLADYS!!!” pekik Tiara memanggil, namun tidak ada sahutan.
Tubuh
Tiara bergerak-gerak liar mengusir semut-semut agresif yang merambat di
tubuhnya sekaligus kakinya melangkah cepat ke kamar Gladys. Gadis itu kemudian
mengguncang-guncangkan tubuh Gladys yang terbaring di atas ranjang. Tapi yang
dia dapati sungguh di luar dugaan. Kekalapan Tiara berangsur-angsur menghilang
tatkala melihat wajah Gladys yang merah padam disertai bulir-bulir keringat.
“Kau
sakit..?” gumam Tiara sebelum akhirnya menelepon nomor darurat di ponselnya.
***
Gadis
itu duduk dengan kaki menyilang di ruang tunggu di rumah sakit. Dia mengenakan
jaket biru muda bertudung, celana jeans
senada, juga sepasang boots heels cokelat susu. Supaya orang-orang
yang berlalu lalang di sana tidak mengenali wajahnya, Tiara sengaja memakai
lagi kacamata hitam yang lebar—bahkan boleh dibilang kacamata itu menutupi
setengah wajahnya.
Gladys
kena tifus. Dia harus dirawat di rumah sakit kurang lebih seminggu. Akibatnya
Tiara harus ke mana-mana sendirian sekarang. Gladys memang memberinya catatan
penuh mengenai kegiatan gadis itu, seperti syuting, pemotretan, kapan dia harus
bolak-balik ke stasiun televisi, dan sebagainya. Namun jelas bukan Tiara
namanya kalau setelah ini dia menurut layaknya anak anjing yang patuh.
Kegiatan-kegiatan yang tidak disukainya dibatalkan begitu saja, atau ditunda.
Hanya beberapa saja yang dia sanggupi.
Tiara
saat ini sedang mencoba meredam kegelisahannya semenjak malam tadi. Dia
menunggu salep obat yang dimintanya diberikan. Gara-gara gerombolan semut
semalam, kedua tangannya kini penuh ruam-ruam merah. Kondisinya bahkan mulai
parah ketika gadis itu sadar kalau gatalnya merembet sampai ke wajah.
Oh, God…
Jangan sampai alergi serangga itu juga menyerang wajah cantiknya yang berharga!
Besok dia harus tandatangan iklan kosmetik! Sialan. Sialan.
Begitu
namanya dipanggil, Tiara buru-buru menebus obatnya dan cepat-cepat pergi.
Sampai di apartemen, dia hampir saja menonton televisi seharian hingga lupa
waktu untuk mengoleskan salep. Tak ayal, keesokan harinya jeritan gadis itu
kembali melengking tinggi tatkala melihat wajahnya sendiri ke cermin.
***
Pukul
satu siang. Satu jam lagi seharusnya dia sudah ada di gedung perusahaan
kosmetik di mana dia akan menandatangani kontrak. Tiara sudah selesai membasuh
tubuhnya yang masih gatal-gatal. Meski begitu dia benar-benar ragu apakah tetap
akan ke sana atau tidak. Wajahnya seperti monster—bukan lagi sebening mutiara
seperti yang seharusnya dia tampakkan di iklan nanti. Dan di situlah dia, duduk
di depan televisi sambil menggigiti ujung kuku.
Tepat
saat itu bel pintu apartemennya berbunyi. Seseorang memencetnya dari luar.
Tiara
berdecap sebelum membukanya. Saat itulah seorang kurir laki-laki yang membawa
barang kiriman sontak terkesiap melihat Tiara. Keduanya sama-sama kaget. Tiara
yang lupa total akan kondisi wajahnya buru-buru menarik kain tirai jendela di
dekatnya untuk menutupi wajahnya yang ruam. Kurir tadi memaksakan senyum ramah
sembari meminta gadis itu menandatangani kertas bukti catatan pengiriman.
Selesai dengan urusannya, dia pun pergi, meninggalkan Tiara yang mematung.
Aku benar-benar tampak seperti
monster… batinnya sedih sekaligus malu.
Dia
hampir saja melompat ke kasur, membatalkan janji pertemuannya dengan klien
kosmetik ketika ponselnya mendadak bergetar. Ada satu pesan yang masuk. Tiara
membacanya sekilas dan seketika menangkupkan kedua tangannya ke wajah.
Wanita
itu kaku sekali. Bahkan dalam keadaan sakit begitu dia masih ingat semua hal
yang harus dilakukan Tiara. Dia mau tidak mau harus mengambil cuti, tapi kenapa
tampaknya sekarang dia sengaja mencekik Tiara meskipun dari jauh? Apa dia tidak
bisa mengerti kondisi Tiara saat ini?
Oh,
tunggu. Gladys tidak tahu mengenai ruam-ruam di sekujur tubuhnya. Tiara memang
orang yang membawa wanita itu ke rumah sakit, tapi saat itu dia dalam keadaan
tidur hingga mereka tidak sempat bersitatap. Gladys tidak perlu tahu. Sama sekali
tidak! Telinga Tiara bakal sakit mendengarnya menjerit histeris.
Mendebat
dalam hati beberapa saat, Tiara lalu masuk kamarnya tanpa lupa membanting
pintu. Tidak lama gadis itupun keluar memakai jaket, celana panjang, boots heels, kaca mata hitam—sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan pakaiannya sehari-hari ketika keluar, hanya saja kali itu
nyaris tidak ada yang bisa dilihat. Tambahan lain: dia memakai masker, juga
sarung tangan.
***
Mobil
yang dia jalankan sendiri seperti membelah udara di sekitarnya. Hanya dalam
beberapa menit, Tiara sudah ada di ruangan manajer perusahaan tempatnya membuat
kontrak. Gadis itu duduk di tengah ruangan dengan kaki menyilang—gaya seenaknya
seperti biasa. Dua orang pria yang ada di situ pun bengong beberapa saat
melihat penampilan Tiara saat ini. Salah satu dari mereka bahkan ragu gadis itu
Tiara—yang belakangan sering menyanyi di televisi. Tapi begitu mendengar
suaranya yang jelas namun enggan, satu yang lain langsung yakin gadis itu
Tiara.
“Ini
dokumen kontrak,” kata salah satu dari mereka menyodorkan satu jilid kertas
pada Tiara. “Silakan dibaca baru ditandatangani. Omong-omong… anda tidak
bersama nona manajer?”
Tiara
diam saja. Tangannya sibuk membalik lembar demi lembar dokumen kontrak.
“Anda
haus? Mau saya bawakan sesuatu? Teh mungkin?”
Responnya
negatif. Tiara makin kasar membolak-balik kertas dokumen tadi. Mereka sampai-sampai
khawatir kertas-kertas itu bisa sobek. Setelah sempat saling memandang, mereka
akhirnya bisa maklum mengingat rumor yang beredar kalau perangai gadis itu agak
buruk. Atau kemungkinan lainnya, suasana Tiara sedang tidak begitu bagus.
“Jadi
aku harus menggigit jempolku supaya kontraknya sah?” tanya Tiara kemudian. Sarkas.
Salah
satu dari mereka buru-buru mengambil pulpen dari saku lalu memberikannya pada
gadis itu. Tanpa menunda lagi Tiara membubuhkan tanda tangannya di sana. Sebenarnya
dia tidak sedikit pun membaca dokumen kontrak, itu hanya untuk basa-basi. Tubuhnya
masih agak gatal sehingga dia tidak ingin berlama-lama di sana.
“Aku
boleh pulang?” tanya gadis itu langsung pada poinnya.
“Ah,
ya. Silakan.”
Tiara
segera beranjak keluar. Satu lift yang kebetulan terbuka sedang setengah penuh.
Dia buru-buru masuk sebelum pintunya menutup. Posisinya sendiri kali ini
membelakangi orang-orang yang ada di dalam sana, sepertinya pegawai perusahaan
itu.
“Kabarnya
Chrisantee akan datang ke sini,” ujar salah satu dari mereka—seorang wanita.
“Buat
apa?”
“Tidak
tahu? Perusahaan kan mengontrak dia jadi model iklan produk baru.”
“Oh
ya? Apanya yang bagus dari perempuan jalang macam itu?”
Tiara
mengerutkan kening.
“Apa
maksudmu?” Obrolan tadi berlanjut.
“Kabarnya
dia siksa manajernya sampai masuk rumah sakit.”
“Bukan
itu saja.” Kali ini yang lain ikut-ikutan. “Rumornya dia bolak-balik ke luar
negeri buat operasi plastik dan pita suara.”
“Dasar
artis jaman sekarang…”
Tiara
mengepalkan tangan. Emosinya masih bisa ditahan sesampainya lift itu di lantai
paling dasar. Saat pintunya terbuka, dia yang pertama kali keluar baru diikuti
yang lain. Mendadak Tiara membalikkan badan hingga membuat karyawati-karyawati
itu sempat terkaget. Anehnya, gadis itu tidak melakukan apa pun. Dia membalikkan
badannya lagi lalu beranjak pergi.
Rongga
dadanya terasa terbakar. Akibatnya Tiara berjalan cepat sambil mengepalkan
kedua tangannya. Saking kesalnya, dia bahkan tidak melihat seorang wanita yang
berjalan berlawanan arah di depannya, sedang merogoh-rogoh tasnya yang terbuka.
Tubrukan keras pun terjadi hingga keduanya sama-sama terjatuh. Isi tas itu pun hampir
semuanya tumpah.
“Maaf,”
ucap Tiara pendek kemudian membantu memunguti satu persatu bawaannya, tidak
peduli wanita itu sempat mendecap kesal. Ketika ada satu benda berkilauan agak
jauh dari sana, Tiara pun lantas mengambilnya. Namun saat mengenali bros itu
sebagai miliknya, dia pun memasukkan benda itu ke dalam saku jaket.
Dari
situlah kesialannya bertambah. Salah satu guard
yang ada di sana tidak sengaja melihatnya lalu tanpa berpikir panjang mengira
Tiara mencurinya—agak maklum karena baik penampilan ataupun tingkah gadis itu
rada mencurigakan.
Tiara
dan wanita karyawati tadi telah berpisah jauh ketika mendadak guard tadi bersama rekannya mendatangi
Tiara.
“Apa?”
tanya gadis itu kesal saat jalannya dihalangi.
“Apa
itu di sakumu?” tanya guard itu
sedikitpun tidak ramah.
Tiara
mengeluarkan bros yang berkilauan di dalam saku jaketnya.
“Brosku,”
jawabnya pendek.
Guard tampak
tertawa sinis.
“Sudah
ketahuan mencuri masih bisa berlagak,” kata pria itu lalu merebut bros tadi.
Tiara
tentu saja kaget. Karena awalnya telah menyimpan kekesalan, emosinya pun mulai
naik lagi.
“Kembalikan!!”
teriaknya marah. Bukan hanya sebab bros itu adalah miliknya, namun bros itu
juga paling berharga di antara perhiasannya yang lain. Masing-masing bros
diberikan pada dirinya juga saudarinya yang lain mewakili nama tengah mereka.
“Tolong
panggil ke sini karyawan yang tasnya jatuh tadi,” kata guard yang mengambil bros krisan itu dari Tiara tanpa mengacuhkan
teriakan gadis itu.
“Berikan
padaku!!! ITU MILIKKU!!” teriaknya lagi. Tiara berusaha untuk merebut kembali
brosnya namun dua orang pria menahan lengannya hingga dia nyaris tidak bisa
bergerak. Ketika guard pembawa bros
tadi mulai melangkah menjauh, gerak Tiara makin liar. Bahkan dua pria yang
menahannya sampai kewalahan. Tidak terelakkan, dua orang itu bahkan menerima
tinju Tiara tepat di wajah.
“Aku
bilang kembalikan! KEMBALIKAN!!” bentaknya berusaha lagi merebut brosnya.
Keributan
itu berhasil memancing perhatian orang-orang di sana termasuk para guard yang lain. Mereka pun berdatangan
dan langsung meringkus Tiara seperti menangkap seorang pencuri. Gadis itu
bahkan dipaksa menyerah dengan jerembab ke lantai. Kedua tangannya dikunci di
belakang tubuh hingga kali ini dia berteriak kesakitan.
“Kenapa
bisa ada orang macam ini masuk ke sini?” kata salah satunya. “Coba lepas
kacamata dan maskernya!”
Tidak! Jangan!
Terlambat.
Mereka membuka kacamata dan maskernya hingga wajahnya yang berhias ruam-ruam
merah terlihat jelas. Mereka bahkan bergidik setelah melihatnya.
“Bawa
dia ke pos keamanan!”
Tiara
dipaksa berdiri dan gadis itu meronta lagi. Orang-orang yang menahannya bahkan
terpaksa menekan kuat lagi lengannya hingga gadis itu meringis kesakitan.
Dan
perlahan-lahan bulir demi bulir air matanya jatuh.
Detik
kemudian tiba-tiba seseorang menyentak pegangan pria yang menahan Tiara di sisi
kanan. Pria yang berada di sisi kirinya juga langsung dibuat mundur tepat saat
Tiara mulai terisak. Tindakan orang tadi sontak membuat para guard kebingungan dan tidak bisa berbuat
apa pun. Seketika itu juga orang tadi memutar tubuh Tiara supaya jatuh ke
pelukannya.
Tiara
mengerjap. Wajahnya terhalang oleh dinding bahu seseorang. Namun alih-alih
terkejut, gadis itu justru tetap tinggal dalam rasa malu dan sedihnya.
“Kalian,”
kata orang itu kemudian dengan nada yang tenang dan tegas. Suara laki-laki. “Diam
di sana, tunggu perhitungan dariku. Because
you have dare laid your hands on her.”