When Marshmallow Meet Coffee (1/3)

Kamis, 30 Juli 2015




Action!!” seru sutradara melengking di awal scene drama kali itu.

Si Gadis aktris yang telah lebih dulu diikat dengan baik oleh kru hingga menggantung di bagian luar gedung lalu menendang keras kaca jendela menggunakan hak sepatunya yang panjang dan runcing. Detik berikutnya kaca jendela itu pecah berantakan sehingga dia kemudian bisa masuk ke sana. Tidak lupa, dia memutus tali pengikat di perut hingga terlepas. Badannya berguling sekali sebelum dia berganti posisi dalam keadaan akan menembak.

Cut! Okay!” seru sutradara lagi diikuti dengan tepuk tangan riuh kru-kru yang bertugas.

Tiara menyibakkan poni yang menutupi alis matanya ketika kemudian sadar ada yang salah dengan pergelangan tangannya. Kelopak mata gadis itu berkedip begitu melihat ada serpihan kaca yang menancap di sisi samping pergelangan tangan.

“Kau mau minum sesuatu yang lain? Akan kubelikan,” kata Gladys menghampirinya dan menyodorkan sebotol air mineral.

“Ada tisu?” gumam Tiara langsung menunjukkan bagian tangannya yang terluka direspon Gladys dengan mata membelalak dan mulut menganga.

***

Beberapa jam kemudian gadis itu tertidur—membentuk tubuhnya menjadi huruf u. Posisi kepalanya lebih rendah dari kakinya yang diletakkan di atas sandaran kursi depan dalam mobil. Jendela belakang dibuka sedikit sehingga dia bisa menikmati angin berkelebat yang masuk meski tidak seberapa. Sekelilingnya penuh dengan bungkus-bungkus marshmallow yang telah kosong, di tangannya bahkan masih ada salah satunya. Sementara itu satu tangannya lagi yang terluka telah dibebat sepulangnya mereka dari klinik.

Gladys masuk ke mobil tidak lama kemudian membawa seplastik besar makanan yang seperti biasa dibungkus setelah dibeli langsung dari restoran. Setelah dua bulan lebih Tiara makan tanpa protes—hanya—salad dan buah untuk sehari-harinya, Gladys berpikir kalau hanya malam ini saja dia akan membiarkan anak itu makan banyak.

“Hei, Chrisantee,” panggil Gladys memperhatikan gadis itu melalui cermin. “Kau tidur?”

Tidak ada sahutan. Beberapa detik kemudian posisi kepala Tiara berganti arah, meski begitu mulutnya membuka.

Mobil itu lalu melaju ke apartemen tempat mereka tinggal bersama dua tahun ini. Sesampainya di sana Tiara telah membuka mata, mengenali tempat di mana mereka berada hingga Gladys tidak perlu repot-repot membangunkannya. Tiara membenarkan tudung jaket lalu memasang kacamata sebelum turun. Dia berjalan melewati Gladys yang sesaat kerepotan membawa barang belanjaan dan masuk duluan.

Gladys menghela napas panjang—bukan karena kelakuan Tiara, biar begitu dia sudah terbiasa mendapati perangainya yang menyebalkan, melainkan karena perlahan-lahan tubuhnya menggigil. Wanita pertengahan umur tiga puluh itu menyentuh kening menggunakan tangannya yang sibuk menjinjing tas plastik. Benar dugaannya, dia agak demam.

***

Sekitar tengah malam lewat kemudian, Tiara yang merasa haus keluar dari kamarnya dan berjalan gontai menuju dapur. Dia mengisi gelasnya sampai penuh lalu minum beberapa tenggak tanpa jeda. Matanya tidak sengaja melirik pada setoples marshmallow yang dia sendiri letakkan di sana. Tutup toples itu dipasang asal-asalan. Mendecap, Tiara pun membenarkan tutupnya ketika selanjutnya perlahan-lahan dia merasakan sesuatu yang berjumlah banyak merambati tangannya. Refleks, gadis itu menyeka kulitnya sendiri dibarengi dengan rasa gatal.

Panik, Tiara lalu menyalakan lampu. Gadis itu sontak menjerit menjadi-jadi ketika melihat gerombolan semut berlarian di tangannya, bahkan beberapa dari mereka telah berhasil menjalar sampai ke lengan.

“GLADYS! GLADYS!!!” pekik Tiara memanggil, namun tidak ada sahutan.

Tubuh Tiara bergerak-gerak liar mengusir semut-semut agresif yang merambat di tubuhnya sekaligus kakinya melangkah cepat ke kamar Gladys. Gadis itu kemudian mengguncang-guncangkan tubuh Gladys yang terbaring di atas ranjang. Tapi yang dia dapati sungguh di luar dugaan. Kekalapan Tiara berangsur-angsur menghilang tatkala melihat wajah Gladys yang merah padam disertai bulir-bulir keringat.

“Kau sakit..?” gumam Tiara sebelum akhirnya menelepon nomor darurat di ponselnya.

***

Gadis itu duduk dengan kaki menyilang di ruang tunggu di rumah sakit. Dia mengenakan jaket biru muda bertudung, celana jeans senada, juga sepasang boots heels cokelat susu. Supaya orang-orang yang berlalu lalang di sana tidak mengenali wajahnya, Tiara sengaja memakai lagi kacamata hitam yang lebar—bahkan boleh dibilang kacamata itu menutupi setengah wajahnya.

Gladys kena tifus. Dia harus dirawat di rumah sakit kurang lebih seminggu. Akibatnya Tiara harus ke mana-mana sendirian sekarang. Gladys memang memberinya catatan penuh mengenai kegiatan gadis itu, seperti syuting, pemotretan, kapan dia harus bolak-balik ke stasiun televisi, dan sebagainya. Namun jelas bukan Tiara namanya kalau setelah ini dia menurut layaknya anak anjing yang patuh. Kegiatan-kegiatan yang tidak disukainya dibatalkan begitu saja, atau ditunda. Hanya beberapa saja yang dia sanggupi.


Tiara saat ini sedang mencoba meredam kegelisahannya semenjak malam tadi. Dia menunggu salep obat yang dimintanya diberikan. Gara-gara gerombolan semut semalam, kedua tangannya kini penuh ruam-ruam merah. Kondisinya bahkan mulai parah ketika gadis itu sadar kalau gatalnya merembet sampai ke wajah.

Oh, God… Jangan sampai alergi serangga itu juga menyerang wajah cantiknya yang berharga! Besok dia harus tandatangan iklan kosmetik! Sialan. Sialan.

Begitu namanya dipanggil, Tiara buru-buru menebus obatnya dan cepat-cepat pergi. Sampai di apartemen, dia hampir saja menonton televisi seharian hingga lupa waktu untuk mengoleskan salep. Tak ayal, keesokan harinya jeritan gadis itu kembali melengking tinggi tatkala melihat wajahnya sendiri ke cermin.

***

Pukul satu siang. Satu jam lagi seharusnya dia sudah ada di gedung perusahaan kosmetik di mana dia akan menandatangani kontrak. Tiara sudah selesai membasuh tubuhnya yang masih gatal-gatal. Meski begitu dia benar-benar ragu apakah tetap akan ke sana atau tidak. Wajahnya seperti monster—bukan lagi sebening mutiara seperti yang seharusnya dia tampakkan di iklan nanti. Dan di situlah dia, duduk di depan televisi sambil menggigiti ujung kuku.

Tepat saat itu bel pintu apartemennya berbunyi. Seseorang memencetnya dari luar.

Tiara berdecap sebelum membukanya. Saat itulah seorang kurir laki-laki yang membawa barang kiriman sontak terkesiap melihat Tiara. Keduanya sama-sama kaget. Tiara yang lupa total akan kondisi wajahnya buru-buru menarik kain tirai jendela di dekatnya untuk menutupi wajahnya yang ruam. Kurir tadi memaksakan senyum ramah sembari meminta gadis itu menandatangani kertas bukti catatan pengiriman. Selesai dengan urusannya, dia pun pergi, meninggalkan Tiara yang mematung.

Aku benar-benar tampak seperti monster… batinnya sedih sekaligus malu.

Dia hampir saja melompat ke kasur, membatalkan janji pertemuannya dengan klien kosmetik ketika ponselnya mendadak bergetar. Ada satu pesan yang masuk. Tiara membacanya sekilas dan seketika menangkupkan kedua tangannya ke wajah.

Wanita itu kaku sekali. Bahkan dalam keadaan sakit begitu dia masih ingat semua hal yang harus dilakukan Tiara. Dia mau tidak mau harus mengambil cuti, tapi kenapa tampaknya sekarang dia sengaja mencekik Tiara meskipun dari jauh? Apa dia tidak bisa mengerti kondisi Tiara saat ini?

Oh, tunggu. Gladys tidak tahu mengenai ruam-ruam di sekujur tubuhnya. Tiara memang orang yang membawa wanita itu ke rumah sakit, tapi saat itu dia dalam keadaan tidur hingga mereka tidak sempat bersitatap. Gladys tidak perlu tahu. Sama sekali tidak! Telinga Tiara bakal sakit mendengarnya menjerit histeris.

Mendebat dalam hati beberapa saat, Tiara lalu masuk kamarnya tanpa lupa membanting pintu. Tidak lama gadis itupun keluar memakai jaket, celana panjang, boots heels, kaca mata hitam—sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pakaiannya sehari-hari ketika keluar, hanya saja kali itu nyaris tidak ada yang bisa dilihat. Tambahan lain: dia memakai masker, juga sarung tangan.

***

Mobil yang dia jalankan sendiri seperti membelah udara di sekitarnya. Hanya dalam beberapa menit, Tiara sudah ada di ruangan manajer perusahaan tempatnya membuat kontrak. Gadis itu duduk di tengah ruangan dengan kaki menyilang—gaya seenaknya seperti biasa. Dua orang pria yang ada di situ pun bengong beberapa saat melihat penampilan Tiara saat ini. Salah satu dari mereka bahkan ragu gadis itu Tiara—yang belakangan sering menyanyi di televisi. Tapi begitu mendengar suaranya yang jelas namun enggan, satu yang lain langsung yakin gadis itu Tiara.

“Ini dokumen kontrak,” kata salah satu dari mereka menyodorkan satu jilid kertas pada Tiara. “Silakan dibaca baru ditandatangani. Omong-omong… anda tidak bersama nona manajer?”

Tiara diam saja. Tangannya sibuk membalik lembar demi lembar dokumen kontrak.

“Anda haus? Mau saya bawakan sesuatu? Teh mungkin?”

Responnya negatif. Tiara makin kasar membolak-balik kertas dokumen tadi. Mereka sampai-sampai khawatir kertas-kertas itu bisa sobek. Setelah sempat saling memandang, mereka akhirnya bisa maklum mengingat rumor yang beredar kalau perangai gadis itu agak buruk. Atau kemungkinan lainnya, suasana Tiara sedang tidak begitu bagus.

“Jadi aku harus menggigit jempolku supaya kontraknya sah?” tanya Tiara kemudian. Sarkas.

Salah satu dari mereka buru-buru mengambil pulpen dari saku lalu memberikannya pada gadis itu. Tanpa menunda lagi Tiara membubuhkan tanda tangannya di sana. Sebenarnya dia tidak sedikit pun membaca dokumen kontrak, itu hanya untuk basa-basi. Tubuhnya masih agak gatal sehingga dia tidak ingin berlama-lama di sana.

“Aku boleh pulang?” tanya gadis itu langsung pada poinnya.

“Ah, ya. Silakan.”

Tiara segera beranjak keluar. Satu lift yang kebetulan terbuka sedang setengah penuh. Dia buru-buru masuk sebelum pintunya menutup. Posisinya sendiri kali ini membelakangi orang-orang yang ada di dalam sana, sepertinya pegawai perusahaan itu.

“Kabarnya Chrisantee akan datang ke sini,” ujar salah satu dari mereka—seorang wanita.

“Buat apa?”

“Tidak tahu? Perusahaan kan mengontrak dia jadi model iklan produk baru.”

“Oh ya? Apanya yang bagus dari perempuan jalang macam itu?”

Tiara mengerutkan kening.

“Apa maksudmu?” Obrolan tadi berlanjut.

“Kabarnya dia siksa manajernya sampai masuk rumah sakit.”

“Bukan itu saja.” Kali ini yang lain ikut-ikutan. “Rumornya dia bolak-balik ke luar negeri buat operasi plastik dan pita suara.”

“Dasar artis jaman sekarang…”

Tiara mengepalkan tangan. Emosinya masih bisa ditahan sesampainya lift itu di lantai paling dasar. Saat pintunya terbuka, dia yang pertama kali keluar baru diikuti yang lain. Mendadak Tiara membalikkan badan hingga membuat karyawati-karyawati itu sempat terkaget. Anehnya, gadis itu tidak melakukan apa pun. Dia membalikkan badannya lagi lalu beranjak pergi.

Rongga dadanya terasa terbakar. Akibatnya Tiara berjalan cepat sambil mengepalkan kedua tangannya. Saking kesalnya, dia bahkan tidak melihat seorang wanita yang berjalan berlawanan arah di depannya, sedang merogoh-rogoh tasnya yang terbuka. Tubrukan keras pun terjadi hingga keduanya sama-sama terjatuh. Isi tas itu pun hampir semuanya tumpah.

“Maaf,” ucap Tiara pendek kemudian membantu memunguti satu persatu bawaannya, tidak peduli wanita itu sempat mendecap kesal. Ketika ada satu benda berkilauan agak jauh dari sana, Tiara pun lantas mengambilnya. Namun saat mengenali bros itu sebagai miliknya, dia pun memasukkan benda itu ke dalam saku jaket.

Dari situlah kesialannya bertambah. Salah satu guard yang ada di sana tidak sengaja melihatnya lalu tanpa berpikir panjang mengira Tiara mencurinya—agak maklum karena baik penampilan ataupun tingkah gadis itu rada mencurigakan.

Tiara dan wanita karyawati tadi telah berpisah jauh ketika mendadak guard tadi bersama rekannya mendatangi Tiara.

“Apa?” tanya gadis itu kesal saat jalannya dihalangi.
 
“Apa itu di sakumu?” tanya guard itu sedikitpun tidak ramah.

Tiara mengeluarkan bros yang berkilauan di dalam saku jaketnya.

“Brosku,” jawabnya pendek.

Guard tampak tertawa sinis.

“Sudah ketahuan mencuri masih bisa berlagak,” kata pria itu lalu merebut bros tadi.

Tiara tentu saja kaget. Karena awalnya telah menyimpan kekesalan, emosinya pun mulai naik lagi.

“Kembalikan!!” teriaknya marah. Bukan hanya sebab bros itu adalah miliknya, namun bros itu juga paling berharga di antara perhiasannya yang lain. Masing-masing bros diberikan pada dirinya juga saudarinya yang lain mewakili nama tengah mereka.

“Tolong panggil ke sini karyawan yang tasnya jatuh tadi,” kata guard yang mengambil bros krisan itu dari Tiara tanpa mengacuhkan teriakan gadis itu.

“Berikan padaku!!! ITU MILIKKU!!” teriaknya lagi. Tiara berusaha untuk merebut kembali brosnya namun dua orang pria menahan lengannya hingga dia nyaris tidak bisa bergerak. Ketika guard pembawa bros tadi mulai melangkah menjauh, gerak Tiara makin liar. Bahkan dua pria yang menahannya sampai kewalahan. Tidak terelakkan, dua orang itu bahkan menerima tinju Tiara tepat di wajah.

“Aku bilang kembalikan! KEMBALIKAN!!” bentaknya berusaha lagi merebut brosnya.

Keributan itu berhasil memancing perhatian orang-orang di sana termasuk para guard yang lain. Mereka pun berdatangan dan langsung meringkus Tiara seperti menangkap seorang pencuri. Gadis itu bahkan dipaksa menyerah dengan jerembab ke lantai. Kedua tangannya dikunci di belakang tubuh hingga kali ini dia berteriak kesakitan.

“Kenapa bisa ada orang macam ini masuk ke sini?” kata salah satunya. “Coba lepas kacamata dan maskernya!”

Tidak! Jangan!

Terlambat. Mereka membuka kacamata dan maskernya hingga wajahnya yang berhias ruam-ruam merah terlihat jelas. Mereka bahkan bergidik setelah melihatnya.

“Bawa dia ke pos keamanan!”

Tiara dipaksa berdiri dan gadis itu meronta lagi. Orang-orang yang menahannya bahkan terpaksa menekan kuat lagi lengannya hingga gadis itu meringis kesakitan.

Dan perlahan-lahan bulir demi bulir air matanya jatuh.

Detik kemudian tiba-tiba seseorang menyentak pegangan pria yang menahan Tiara di sisi kanan. Pria yang berada di sisi kirinya juga langsung dibuat mundur tepat saat Tiara mulai terisak. Tindakan orang tadi sontak membuat para guard kebingungan dan tidak bisa berbuat apa pun. Seketika itu juga orang tadi memutar tubuh Tiara supaya jatuh ke pelukannya.

Tiara mengerjap. Wajahnya terhalang oleh dinding bahu seseorang. Namun alih-alih terkejut, gadis itu justru tetap tinggal dalam rasa malu dan sedihnya.

“Kalian,” kata orang itu kemudian dengan nada yang tenang dan tegas. Suara laki-laki. “Diam di sana, tunggu perhitungan dariku. Because you have dare laid your hands on her.”

That Time They were Learning (Coda)

Sabtu, 18 Juli 2015





“Aku paham makna kata-kata itu. Tapi.. meskipun tidak bisa jadi sahabat mereka.. kami masih bisa menjadi teman,” kata Amarta. “Kau dulu pernah bilang kalau kita harus selalu menjaga hubungan baik kita dengan orang lain. Aku juga akan melakukan hal yang sama.”

“Itu sebabnya kau mencampur sup Isabel dengan kepiting tanpa memberitahunya meski tahu dia alergi?”

Amarta meremas kedua tangannya—merasa sangat bersalah.

“Perbuatanku tidak bisa dibenarkan,” nyatanya tegas. “Membiarkannya melakukan apa yang mereka mau.. juga karena tidak mengadukannya pada orang lain, bukankah.. orang lain akan menganggap kalau aku sudah membayarnya?”

Ratimeria menutup mata sejenak sebelum merespon kalimat itu dengan senyuman samar. Amarta pun menangkap senyuman itu sebagai tanda pembenaran. Walaupun gadis itu sempat kabur karena tidak tahan, setidaknya dia telah berbesar hati dan berani menyelesaikan semuanya dengan sempurna. Mudah mengatakan pada diri sendiri untuk minta maaf, namun diamnya gadis itu telah menunjukkan segalanya.

“Aku punya permintaan…,” kata Amarta kemudian.

“Katakan.”

“Biarkan aku mengadakan pesta kecil besok.. di sini.”

“Terserah saja.” Ratimeria memiringkan kepala. “Rumah ini bukan atas namaku, jadi lakukan apa yang kalian mau.”

сŠæŠ°ŃŠøŠ±Š¾. (terimakasih)” Amarta tersenyum lalu segera beranjak dengan berlari-lari kecil keluar ruangan.

***

Mansion itu punya gedung olahraga yang jarang sekali dipakai. Tapi mumpung semua kembar ada dalam lokasi yang sama, tempat itu kemudian ramai dengan suara-suara tawa dan bunyi bola hijau yang berulang kali memantul berganti arah. Di masing-masing kubu di lapangan, berdiri Melisma dan Tiara yang menguncir rambut mereka tinggi ke belakang. Keduanya mengenakan shirt polos berkerah khusus olahraga dan rok pendek di atas lutut. Tempat sepi itu pun berubah menjadi arena bermain tenis.

Dalam satu giliran tiba-tiba Tiara melakukan smash kilat hingga Melisma refleks berlari lebih cepat menyongsong bola, tapi yang ada gadis itu terjatuh keras.

Beberapa pelayan rumah yang menyaksikan langsung heboh dan bertepuk tangan karena menurut mereka pertandingan kali itu seru, tidak berbeda jauh dengan yang mereka lihat di televisi.

Melisma segera bangkit berdiri lalu membenarkan posisi wristband kuningnya yang berwarna sama juga dengan pita di rambut. Seorang pelayan pria yang kali itu jadi petugas lapangan dadakan kemudian melemparkan bola hijau padanya. Melisma tidak menunda sedikitpun untuk menghantamkan bola itu pada Tiara. Mereka pun kembali asyik dengan pertandingan kali ini.

Amarta datang tidak lama kemudian diikuti pelayan-pelayan mereka yang mendorong troli makanan yang telah gadis itu selesai buat. Dia mengarahkan mereka ke meja besar di samping Ratimeria yang tengah duduk menonton. Cangkir teh Dimbula yang ada di dekatnya telah kosong dan dingin. Amarta lalu menukarnya dengan cangkir baru yang telah dihangatkan lebih dulu lalu menuangkan Green Pekoe dari teko merah muda yang cantik. Tidak lupa juga bungsu itu menyiapkan kesukaan kembar yang lain: segelas besar susu tawar hangat untuk Melisma, semangkuk besar marshmallow warna-warni untuk Tiara, dan jus stroberi untuk Viola yang suka semua jenis buah.

Karena hari telah menjelang sore dan mereka semua setuju untuk mengadakan pesta kecil-kecilan, Amarta membuat berbagai macam snack sore yang hampir seluruhnya manis. Red velvet cake dan cheesecake yang sudah dipotong-potong, sekotak penuh macarons, dan tujuh gelas sherry trifle. Tidak lupa dia juga menyiapkan bunga segar dalam vas dan sekeranjang salad buah.

Seorang pelayan datang kemudian membisikkan sesuatu pada Amarta dari jarak yang tidak begitu dekat. Senyum gadis itu lalu mengembang dan dia pun berlari pergi.

“Mereka sudah datang,” ujar Viola mendekat pada Ratimeria—dia juga membawa raket dan mengenakan baju olahraga yang santai.

Tiba-tiba terdengar bunyi bedebum keras disambut suara heboh lagi para pelayan yang menonton. Kali ini Tiara yang terjungkal. Bukannya menekan bibir sebal seperti Melisma tadi, dia justru tertawa terbahak-bahak sembari menyeka keringat di dahinya. Melisma sendiri menggeleng-geleng dan berkacak pinggang. Gadis itu lalu menoleh ke arah Viola dan Ratimeria.

“Giliran siapa?” tanya si Gadis pualam yang sekarang memegangi kedua lututnya.

Viola menoleh pada Ratimeria. “Kau mau main?”

Ratimeria balas memandangnya. “Kau menantangku?”

“Hei, ini cuma tenis. Kenapa bahasamu seperti itu?”

“Tidak ada yang salah dengan bahasaku. Tanggapanmu yang salah.”

Viola memutar bola mata lalu pandangannya beralih lagi ke lapangan. Melisma dan Tiara sepertinya tidak lagi berminat untuk meneruskan pertandingan “santai” mereka.

“Siapa yang menang tadi?” tanya Viola keras.

“SERI!!” Melisma dan Tiara menjawab tidak kalah kerasnya.

“Oke, enyah dari lapangan. Sekarang giliranku dan Meri.”

Meskipun dari jauh, Melisma dan Tiara sempat berpandangan sekilas sebelum keluar garis lapangan. Tadinya mereka sama-sama berpikir Viola akan bermain dengan Amarta. Ratimeria biasanya hanya jadi penonton dan diam di satu sisi sementara pemain lainnya sibuk berakting. Sebutan manekin sesungguhnya benar adanya karena gadis itu jarang sekali menggerakkan seluruh tubuh dalam satu waktu—setidaknya itu yang selama ini mereka lihat. Mendengar kalau dia setuju bermain tenis walau hanya saat santai saja membuat atmosfer di sekeliling mereka mendadak terasa aneh.

Viola kemudian menempati bagian lapangan yang berjarak lebih jauh. Ratimeria melepaskan cape-nya yang tipis lalu melangkah masuk dalam arena setelah salah satu pelayan memberinya raket. Melisma dan Tiara menonton mereka kaku saat menyadari Ratimeria membawa raket seperti memegang pedang samurai.

Servis pertama dilakukan oleh Ratimeria. Viola pun bersiap dengan kuda-kudanya. Bola itu dipukul, memantul sekali kemudian dikembalikan ke arah sebaliknya. Saat itulah, bola dipukul keras dan tajam ke sisi terjauh dari jangkauan Viola menggunakan pukulan backhand yang tegas dan kuat. Terkesiap, Viola berlari namun akibatnya bagian bawah sepatu yang dia kenakan mendadak terasa sangat licin, membuat gadis itu terjatuh keras.

Melisma bersiul, berujar pada Tiara, “Itu hasrat pro. Menjengkelkan menyadarinya tidak pernah lunak pada siapa pun—meski di permainan santai seperti ini.”

Ratimeria menempelkan kepala raket di belakang lehernya—seperti mengejek walau wajahnya datar seperti biasa. Viola lalu bangkit berdiri. Padahal baru ronde pertama, namun napasnya langsung berubah labil. Permainan itu pun diteruskan meski tidak imbang.

Tidak lama kemudian datang Amarta yang ceria bersama dengan Haven dan Isabel yang memenuhi undangan untuk ikut hadir dalam pesta. Mereka sama-sama mengerjap melihat Viola dan Ratimeria yang sedang beradu di lapangan.

“Kami sudah lama tidak main tenis. Ini cuma tenis santai saja kok. Kalian boleh main kalau kalian mau,” kata Amarta. Namun bagi Haven dan Isabel, yang mereka lihat justru sebaliknya. “Duduk dulu,” katanya lagi lalu memberikan pada mereka masing-masing segelas sherry trifle.

Bunyi seseorang jatuh lagi—tentu saja Viola, dan ini sudah yang ketiga kalinya.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Viola sambil menyeka peluh di leher samping.

“Apa?”

“Kapan tepatnya kau belajar tenis?”

“Aku mempelajari apa pun yang kulihat.” Ratimeria menjawab sambil mengayun-ayunkan raket. “Semuanya aku latih waktu malam sebelum tidur.”

Viola melirik Melisma dan Tiara disambut kedikan bahu.

“Termasuk karate?” Viola bertanya lagi. Dia pernah mendengar dari salah satu laki-laki yang pernah mengekor Ratimeria ke mana-mana kalau gadis itu telah mengenakan sabuk hitam di dogi-nya. Viola tidak pernah memercayai ucapan itu sampai sesaat lalu sebelum si Manekin memberitahunya dengan mulutnya sendiri.

Padahal hampir setiap hari yang Viola lihat, dia selalu bertingkah seperti kucing malas!

Ratimeria menjawab pertanyaan tadi dengan anggukan. Viola mendengus kemudian bersiap.

“Ayo mulai lagi,” katanya.

“Tidak mau.”

What?!”

“Aku tidak mau berkeringat lebih banyak. Tadi aku sudah mandi,” jawab Ratimeria bernada bosan. Dagunya menunjuk ke arah Haven dan Isabel yang sedang mengobrol dengan Amarta. “Tamunya sudah datang.”

Amarta memberikan sepiring kecil red velvet cake pada Isabel sementara Haven telah menelan segigit macaron ke mulutnya. 

“Kamu nggak bilang kalau punya lebih dari satu kembaran,” kata Isabel memperhatikan empat kembar yang saling bicara di tepi lapangan.

Amarta mengerjap. “Aku sudah pernah bilang kalau di keluargaku, kami lima bersaudara.”

“Ya, tapi kami nggak tahu kalau kalian semua kembar,” respon Haven. “Apalagi kemarin-kemarin, di antara mereka ada yang menyamar jadi kamu kan?”

Amarta meringis sembari menyuapkan sesendok sherry trifle ke mulut.

“Jadi siapa yang menyamar jadi kamu kemarin-kemarin?” Haven kembali menginterogasi. “Aku dengar dari Dania, waktu dia melemparmu.. maksudku, kembaranmu dengan telur, dia langsung dijambak. Juga Kevin dan Willy, tahu kan? Kembaranmu itu juga melempar mereka sampai terpental ke tembok.”

Mata Isabel melebar sedangkan Amarta tertegun gugup.

“Oh dan juga… Daren sepertinya suka padamu,” tambah Haven hingga Amarta tersedak. “Aku nggak tahu kenapa mukanya babak belur baru-baru ini. Dia seperti baru saja terjebak tawuran. Anehnya dia cengar-cengir persis idiot. Ah, satu lagi.. waktu dia menyanyi di pensi kemarin, jelas-jelas kembaranmu tahu kalau aku yang bikin kamu di-bully.”

“Suaranya bagus sekali, juga cantik seperti artis.” Isabel mengomentari.

Amarta bingung memutuskan apakah dia harus memberitahu mereka atau tidak mengenai Tiara dan Melisma yang bergantian menyamar menjadi dirinya. Namun sebelum dia selesai mendebat dalam hati, keempat kembarannya telah lebih dulu menghampiri mereka.

“Hai, Haven. Hai, Isabel,” sapa Viola dibalas ucapan yang sama. Gadis itu lalu menggantikan Amarta memperkenalkan kembaran mereka yang lain. Pertama-tama dia menunjuk gadis berambut ikal cokelat terang yang panjang di sebelahnya. “Kenalkan, ini Tiara. Dia model, penyanyi, dan aktris, tapi di Singapura. Dia anak yang lahir keempat.”

“Hai!” Tiara melambaikan tangan rendah.

“Meskipun tidak terlalu terkenal,” gumam Melisma pelan yang langsung merusak suasana. Balasannya, Tiara langsung mendelik tajam ke arah gadis itu.

“Oh jadi yang…”

“Ya, dia yang menyanyi waktu di pensi kemarin.” Amarta memotong membenarkan tebakan Isabel.

“Omong-omong apa kabarnya Daren?” tanya Tiara. “Aku sempat menghajarnya karena telah menaburi sup makan siangku dengan semut.”

Haven, Isabel, dan Amarta langsung saling pandang bergantian. Pernyataan itu sekaligus menjawab penasaran Haven tadi.

“Kamu hajar dia?” ulang Haven tidak percaya.

“Tiara sempat belajar tinju,” kata Amarta memberitahu.

“Ini Melisma.” Viola buru-buru mengalihkan topik dengan memperkenalkan gadis pualam di sebelahnya.

Isabel dan Haven menoleh pada Melisma tapi mereka tidak mendapat ekspresi yang ramah. Gadis itu tampak enggan dan berulang kali berdehem—entah karena gugup atau justru kurang suka dengan suasananya.

“Dia kembar ketiga,” kata Viola kemudian memelankan suaranya saat memberitahu Haven dan Isabel, “Dania sempat melemparnya dengan telur, lalu… kalian tahu sendiri.” Gadis itu lalu tertawa hambar diikuti Haven yang perlahan merinding.

Amarta pun berbisik pada Haven, “Dia jago judo..”

“Dan yang ini Meri.” Kali ini Viola menyebutkan nama gadis bermata sendu yang duduk agak jauh.

Mata kiri Ratimeria masih dibalut kain. Isabel dan Haven memandangnya namun gadis itu tidak menoleh melainkan dengan tenang menyesap tehnya.

“Dia kembar kedua,” terang Viola—hanya sebatas itu mendeskripsikan Ratimeria. “Aku kembar pertama, sedangkan Amarta yang kelima.” Sikap dewasa Viola kemudian nampak dari caranya bicara. Tidak mengherankan perannya di antara kembar yang lain adalah si Penyelesai masalah. “Kalian tahu sejak tahu kalau Marta di-bully kemarin-kemarin.. aku yang khawatir lalu menghubungi yang lain. Aku merasa tidak enak hati secara tidak langsung meminta saudara-saudara kami yang sibuk ini kembali ke rumah. Dan seperti yang kalian tahu, ada yang ngotot sampai menyamar jadi Amarta.”

“Maaf,” ucap Haven dan Isabel bersamaan.

Viola menggeleng. “Marta juga salah,” balasnya bijak. “Syukurlah kalian sudah baikan.”

Suasana hening sesaat. Amarta lalu menghidupkannya kembali dengan menaruh piring-piring kecil red velvet cake atau cheesecake dan segelas sherry trifle di depan masing-masing mereka. Beberapa tertawa melontarkan gurauan, atau ada juga yang berdecap kesal karena terus disindir.

Ratimeria memperhatikan dalam diam kemudian tersenyum samar. Setidaknya mereka tidak tanya lagi perihal balutan di mata kirinya, meski benar terluka, namun dengan alasan yang jauh berbeda dengan yang dia sebut dulu. Di depannya contoh perihal memaafkan telah jelas dibentangkan. Namun dia sendiri tidak yakin suasana seperti itu juga berlaku untuknya.

Sederhana sekaligus rumit. Itu saja.


“Forgiveness is a gift you give yourself.” -Tony Robbins-