Welcome to Disaster Maker Club Sidestory: Calathea Zebrina

Sabtu, 06 Agustus 2016



Calathea zebrina.

Shin tidak pernah bosan memandangi permukaan daunnya yang indah, apalagi setelah telaten mengelapnya setiap sore. Hanya ada satu jenis calathea di kebunnya yang berukuran kecil dan ditanam dalam sebuah pot tanah liat. Belum lama menjadi salah satu koleksinya, Shin rupanya tidak sabar melihat tanaman itu berbunga. Sayangnya, beberapa kali dicoba pun, kekuatannya tidak berhasil membuat calathea berbunga. Keruh, gadis itu menyadari kalau berhasil tidaknya kemampuan yang dia gunakan bergantung pada suasana hatinya sendiri.

Bunga yang cantik tidak akan sudi mekar untuk seseorang yang berpikiran suram seperti Shin saat ini.

Gadis itu mendesah, lantas beranjak meninggalkan kebunnya. Dia melepaskan sarung tangan yang melekat menggunakan gigi. Ketika kemudian Shin mulai membuka ikatan celemeknya, mata gadis itu melebar melihat seseorang yang tidak dia duga.

“Aku tidak melihat siapa pun di dalam. Kupikir aku akan menemukanmu di taman belakang,” kata Mr. Elios.

Shin tidak membiarkan pandangannya terpaku lama pada iris mata biru laut yang laki-laki itu miliki. Kecanggungan dan enggan lagi-lagi menguasainya. Shin pikir ini bukan saat yang tepat untuk bicara pada Mr. Elios, meskipun hatinya mengatakan sebaliknya. Dia tidak mungkin mengusir gurunya dari asrama. Karenanya walau tidak bisa bersikap hangat seperti biasa, Shin merasa bisa berpura-pura jadi seorang murid yang santun.

“Saya akan buatkan teh,” kata Shin akhirnya setelah melepaskan celemek.

“Tidak.” Mr. Elios menolak. “Kau akan menemaniku dalam kebunmu.”

Bahkan sebelum Shin sempat memprotes, Mr. Elios lebih dulu menyingkir dari pandangannya, melangkah menghampiri kebun. Shin mengerjap. Gadis itu membalikkan badan memandang sosok belakang gurunya yang berbalut coat biru gelap dengan kerah yang sampai menutup dagunya. Saat laki-laki itu melewati Shin, aroma sitrus tercium. Bukan dari parfum, melainkan dari sampo. Shin menyadari kalau rambut laki-laki itu masih setengah basah. Mungkin itu sebabnya Mr. Elios terlihat agak kedinginan.

Sempat ragu, Shin akhirnya menyusul laki-laki itu ke kebun kaca miliknya. Sebelum masuk, mata Shin tidak bisa lepas dari sosoknya yang duduk di atas kursi kayu yang biasa gadis itu duduki. Perlahan-lahan Shin mendekat. Mr. Elios bergeming. Di wajahnya yang putih merona itu, sepasang kelopak matanya menutup.

“Guru baik-baik saja?” tanya Shin namun Mr. Elios tidak membalas. “Tawaran saya untuk membuatkan teh hangat tadi masih berlaku.”

Bidadari itu perlahan membuka matanya.

“Kita harus bicara,” katanya.

“Saya belum merasa perlu.”

Gawat, Shin membatin. Sejak kapan dia jadi gugup begini? Air menggenang di pelupuk matanya. Kalau dia tidak cepat-cepat pergi…

Shin hampir saja berlari. Namun mendadak saja tubuhnya mematung. Sesuatu seolah menahannya untuk tidak pergi. Posisinya saat ini tengah membelakangi Mr. Elios dan Shin tidak bisa melihat apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Kemudian pelan-pelan sehelai kain sutra biru melilit pinggangnya. Shin kaget. Sebelum dia berusaha melepaskan diri, salah satu atribut pakaian bidadari yang menyimpan kekuatan sihir itu telah lebih dulu membuat tubuhnya melayang kembali ke tempat Mr. Elios berada.

Kaki Shin berpijak di atas tanah, dan saat itulah orang itu memeluknya dari belakang.

Hangat..

Shin tidak bisa lagi mencegahnya. Setitik air matanya jatuh membasahi pipi. Dia langsung luluh berada dalam pelukan laki-laki itu, menyentuh tangan yang melingkar di pundaknya, serta merasakan napasnya.

“Aku masih tidak menemukan alasan sebenarnya kenapa kau menjauhiku,” kata Mr. Elios pelan. “Aku sudah cukup mengenalmu sehingga aku yakin ini tidak ada hubungannya dengan pembelaanku untuk Agana saat itu.”

Gadis itu tertegun. Ketika pelukan Mr. Elios longgar, gadis itu berbalik menatapnya.

“Guru tahu?”

“Agatha tidak akan pernah tersenyum lembut seperti itu,” ujar Mr. Elios sembari menyisir anak-anak rambut di telinga Shin menggunakan tangannya. Alisnya agak berkerut tatkala melihat melihat gadis itu kembali berwajah keruh. “Kau tidak pernah bercerita tentang sebab kau tidak menyukai Agana.”

“Lepaskan aku.” Shin menuntut. Dia membuang muka begitu mengingat kembali hal yang membuatnya kesal.

Nyatanya bidadari laki-laki itu tidak berniat melepaskannya. Lengannya bahkan lebih erat memeluk sehingga Shin nyaris tidak bisa bergerak.

When you trust someone and get to know them, you eventually learn about their wounds too…,” bisik Mr. Elios. Dia menenggelamkan wajahnya dalam helaian rambut hitam legam Shin. “Aku tidak mengatakan ini sebagai gurumu. Aku mengatakannya sebagai orang yang peduli padamu.”

Air mata Shin mengalir lagi. Dia pun balas memelus Mr. Elios.

“Aku takut kau meninggalkanku..,” gumamnya. “Kau tidak tahu apa yang telah kulakukan supaya tidak ditinggalkan.”

“Aku takkan meninggalkanmu selama kau tidak melepaskan tanganku.”

Dekapan mereka mengerat. Di saat Shin terlalu sibuk membenamkan wajah yang merona dan basah akibat air mata, bunga-bunga dalam kebunnya bermekaran. Mr. Elios mengangkat wajahnya saat dia masih memeluk Shin. Pandangannya mengedar ke sekeliling dan dia tersenyum.

Satu-satunya tanaman di atas meja—calathea zebrine, memunculkan bunga ungu.