Zaman
dahulu, nun jauh perbukitan barat, berdirilah sebuah kerajaan di mana musim
semi selalu hadir membahagiakan penduduknya. Ada berbagai macam jenis bunga.
Ratusan mungkin ribuan tanaman bunga berwarna-warni tumbuh layaknya rumput di
musim penghujan. Semerbak wangi bunga tercium tatkala seseorang menginjakkan
kakinya di sana.
Kerajaan
itu dipimpin oleh seorang raja yang terkenal berkat wibawa dan kharismanya
sehingga rakyatpun segan. Berkat kecerdasannya memimpin, Negeri Castamore
menjadi wilayah yang makmur dan tentram, nyaris tak pernah ada pertikaian baik
di dalam negeri maupun dengan negeri lain.
Dari
permaisuri yang amat dicintainya, sang Raja memiliki dua orang anak, seorang
pangeran dan seorang putri. Mereka terlahir kembar. Rakyat bersukacita
menyambut kelahiran penerus tahta itu. Namun, ada sedikit kekecewaan juga
kesedihan di lingkup istana. Penyebabnya, sang Putri terlahir buta. Meskipun
begitu, sang Putri tetap mendapatkan kasih sayang yang sama dengan yang
diterima sang Pangeran dari raja dan permaisuri, hingga walau dalam keadaan
seperti itu, putri tetap merasakan kebahagian.
Menginjak
usia tujuh belas, sang Pangeran—Leilos—tumbuh menjadi pemuda yang tampan serta
pandai melakukan berbagai hal. Rakyat mengelu-elukannya sebagai calon raja yang
agung, harta berharga Negeri Castamore. Hal-hal itulah yang membuat kaum
hawa—khususnya putri dari keluarga bangsawan—berlomba-lomba untuk menarik
hatinya, dengan harapan salah satu dari mereka akan terpilih menjadi calon
permaisuri kelak.
Sang
Putri—Luna—turut senang mengetahui pencapaian yang sukses dari kakak kembarnya.
Tidak ada rasa iri karena rakyat lebih memperhatikan Leilos dibandingkan
dirinya. Dia tahu posisinya yang hanya sebagai seorang putri. Terlebih menyadari
keadaannya yang buta. Yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa bagi keselamatan
keluarganya dan negeri ini, setiap malam, sambil menghadap keluar jendela
kamarnya.
Luna sendiri tumbuh
menjadi pribadi yang lembut, juga memiliki paras elok permaisuri. Pesonanya
tidak terkalahkan oleh gadis mana pun di seluruh penjuru negeri. Saking
cantiknya, dia mendapat sebutan sebagai “Bunga Utama Castamore”. Konon katanya
jika dia tersenyum, bunga-bunga di sekelilingnya akan langsung mekar.
“Baginda
Raja dan Pangeran berburu lagi. Memang cuacanya selalu cerah, jadi pasti akan
mendapat hasil yang memuaskan,” celoteh seorang dayang muda sambil merapikan
rambut Luna.
“Ibunda?”
“Yang
Mulia Permaisuri mengunjungi Nyonya Bangsawan Fadelga hari ini.”
“Menyenangkan
sekali ya, bisa jalan-jalan keluar...” Luna mendesah lalu diikuti dengan
wajahnya yang berubah murung.
“Tuan
Putri...” Dayang itu menghentikan gerak tangannya yang sedari tadi menyisir.
“Apa Tuan Putri mau jalan-jalan di taman? Saya akan menemani Tuan Putri.”
Senyum Luna merekah.
“Tentu saja.”
***
Mikhail—seorang
pemuda, putra seorang bandit dari Avlon, negeri tetangga—berhasil menyelinap masuk
ke dalam istana dengan mengenakan pakaian pelayan pria yang dia pukul pingsan
tadi. Sambil tersenyum lebar penuh kemenangan, dia berjalan penuh semangat
menyusuri lorong dalam istana sambil membawa sebuah guci besar yang nantinya
akan dia taruh di sebuah ruangan—perintah kepala pelayan. Lehernya memutar,
mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menikmati kemegahan serta kemewahan
istana. Tetapi kemudian, tatapannya terpaku ke sebuah arah.
Seorang
gadis berambut coklat tengah berjalan sambil membawa tongkat diikuti beberapa
dayang di belakangnya. Bahkan dari kejauhan, Mikhail bisa melihat dengan jelas
pesonanya. Bentuk wajah yang sempurna, mata yang indah, bibir yang ranum, serta
senyum yang menawan...
Mikhail
tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Tidak sekarang. Tidak
sedikitpun. Dia hanya perlu berdiri di sana, dan menikmati keindahan itu.
Sebentar saja.
“Tuan
Putri!”
Apa? Siapa? Tuan
Putri?
Mikhail
mengerutkan kening ketika mendengar salah satu dayang memanggil gadis itu.
Jadi itulah...
Bunga Utama Castamore...
Dia
memang secantik bidadari. Tidak mengherankan apabila banyak orang mengagumi
kecantikan gadis itu. Walaupun dia buta...
Tuan
Putri Luna yang berharga bagi Kerajaan Castamore. Permata yang paling berkilau
dari sekian banyak hal yang indah di negeri ini. Mikhail sedikit tersenyum
membiarkan angan-angannya menari-nari.
Bisakah
aku mencuri permata terindah itu?
“Luna
memberi salam pada Ayahanda dan Kakanda...,” kata Luna sedikit membungkuk
menghadap pada Raja Hermon dan Pangeran Leilos yang berdiri di belakangnya.
“Apa
yang kau lakukan seharian ini?” tanya Raja.
“Jalan-jalan
di taman, menikmati suasananya,” jawab Luna tersenyum.
“Kau
senang?”
“Iya,
Luna senang sekali berada di taman istana..”
“Walaupun
di luar menyenangkan dan ada dayang-dayang menjagamu, kau tidak boleh
sering-sering keluar, Luna. Aku mengkhawatirkanmu. Tetaplah di dalam istana dan
lakukan apa pun yang kamu suka, tapi jangan minta ayahanda mengizinkanmu keluar
lingkungan istana.”
Luna
terdiam. Raut mukanya berubah datar.
“Oh,
sudah waktunya makan malam. Ayo kita ke ruang makan,” kata Raja Hermon lalu
tanpa basa-basi lagi, dia langsung beranjak dari sana.
Leilos
yang menyadari perubahan suasana hati adikknya, meminta para dayang
meninggalkan mereka berdua dengan isyarat tangan.
“Kau
pasti mengerti maksud ayah bicara seperti itu tadi,” kata Leilos memecah
kesunyian selama beberapa menit itu karena Luna masih bergeming, juga membisu.
“Aku
tahu...” ucap Luna lirih.
“Ayah
hanya tak ingin kau menghadapi bahaya apa pun. Bayangkan jika kau
berjalan-jalan di luar.. lalu tanpa kau sadari, ada sesuatu, mungkin seseorang
muncul dan...”
“Aku
tahu.” Luna memotong. “Kita sudah membicarakan ini berulang kali.”
Leilos
mengangkat bahu. “Kalau kau memang benar-benar
tahu, kenapa wajahmu jadi begitu?”
“Aku
bilang kalau aku tahu.. hanya tahu.
Tapi tidak pernah terbiasa dengan hal itu.”
“Luna...”
“Aku
selalu iri padamu. Ayahanda sering mengajakmu keluar, entah itu untuk berburu,
sekedar berkuda, atau berlatih beladiri...”
“Jangan
bilang kalau kau ingin mempelajari kegiatan seorang laki-laki.” Leilos
menyilangkan tangan.
“Kalau
aku... terlahir sebagai seorang laki-laki tetapi buta seperti ini.. apakah
ayahanda akan tetap mengurungku di dalam istana?”
Leilos
terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan adiknya, sementara gadis itu mulai
menitikkan air mata. Leilos tahu dibalik ketegaran dan keceriaan yang setiap
hari dipancarkannya, Luna selalu menyimpan kesedihan. Kadang dia tak merasa
berguna. Dia selalu mencap dirinya sendiri bahwa dia bukan kakak yang baik. Tidak
ada yang bisa dia lakukan untuk mengenyahkan rasa sedih itu hilang tak berbekas
dari jiwa Luna.
“Aku
hanya bisa merasakan keindahan itu dengan caraku sendiri. Jelas tak bisa
sepertimu. Aku hanya ingin dipahami... bukan dengan perlakuan burung di dalam
sangkar seperti ini...”
“Luna...”
“Aku lelah. Sepertinya
aku akan tidur lebih awal... selamat malam, Kakanda..”
Malam
itu, Mikhail mulai melakukan aksinya. Segala sesuatu telah dipersiapkannya
sebaik mungkin. Menurut informasi yang dia dapat, keluarga raja sedang
bersantap makan malam. Bukan hal sulit baginya untuk menjarah salah satu kamar
utama istana. Paling-paling hanya ada beberapa pengawal penjaga, itupun bukan
masalah besar. Hanya saja bagian pokok adalah kamar raja dan permaisuri. Dia
tidak akan seceroboh itu sampai nekat masuk ke sana. Fatalnya, dia akan
dipenggal. Tak perlu muluk-muluk, dia hanya harus memasuki satu kamar yang
dekat dengan salah satu menara istana. Cukup mewah—dan pastinya ada barang
bagus di sana.
Satu pijakan.
Dua, tiga, empat... terus... hampir sampai.
Di
saat Mikhail berhenti bergerak sejenak untuk mengambil napas
sebanyak-banyaknya, samar-samar... terdengar suara tangisan.
Seorang gadis?
Tanpa
ragu lagi, dipijaknya siku-siku terakhir yang tersisa. Dan akhirnya, sampailah
dia di dekat sebuah jendela yang terbuka lebar-lebar. Tidak salah lagi. Suara
tangisan itu berasal dari dalam kamar itu. Mikhail melongok ke dalam dan
tampaklah sesosok gadis memeluk kakinya sendiri, menangis di pojokan.
Mikhail
tertegun. Bukankah dia gadis yang dilihatnya tadi? Sang Putri?
Pelan-pelan,
dia masuk lewat jendela yang terbuka lebar itu. Dalam hati dia berdoa supaya
gadis itu tak menyadari kehadirannya. Walaupun terlahir sebagai seorang putri,
gadis itu buta, jadi apa pun yang dia lakukan bukan masalah kan? Yang perlu dia
lakukan hanya mengambil sesuatu yang berharga, lalu lekas pergi. Jadi tak ada
seorangpun yang akan tahu, termasuk...
“Siapa
itu?”
Mikhail
terkesiap. Dia menoleh ke arah gadis itu. Luna menegakkan kepalanya, tapi
matanya tidak tertuju pada apa pun.
“Aku
tahu ada seseorang di sini... bersamaku,” katanya lagi.
Mikhail
menelan ludah.
“Kau
siapa?” Luna mengusap pipinya yang basah, lalu dia berdiri—masih memegang
tongkatnya.
Seharusnya
Mikhail langsung melesat pergi kalau saja Luna tidak menghentikannya.
“Jangan
takut,” ucapnya, berniat memberikan ketenangan. “Aku memang selalu membuka
jendela itu lebar-lebar... setiap malam. Hanya berharap suatu saat, akan ada
sesuatu.. atau seseorang dari luar.. datang ke sini, lalu membawaku
bersamanya.”
Sekali
lagi, Mikhail terpesona memandang paras luar biasa elok Luna. Dibiarkannya
gadis itu bicara, karena sorot matanya sedih. Seperti burung kecil yang
terkurung dalam sangkar. Diyakinkannya diri sendiri kalau bidadari itu sama
sekali bukan ancaman.
“Kalaupun
yang datang adalah seorang pembunuh.. aku sama sekali tidak keberatan.. karena
setidaknya jiwaku akan bebas...”
“Aku
bukan pembunuh.” Satu kalimat terlontar dari mulut Mikhail.
Luna
terkejut dan membalik badannya, menghadap Mikhail. Dia mengerjapkan matanya,
lalu tersenyum. Seketika, Mikhail merasakan sebagian dari dirinya langsung
meleleh.
“Kalau
memang berniat membunuhku, kau sudah melakukannya ketika aku menangis tadi,”
kata Luna—tetap bersikap tenang dan lembut walau dia tak tahu siapa yang tengah
diajaknya bicara. “Aku senang ada orang yang bisa diajak mengobrol selain
dayang-dayang.. ah.. apa yang kau lakukan di sini?”
Mikhail
tersentak.
“Apakah
kau pencuri?”
“A—aku...”
“Tak
apa, ambillah apa pun yang kau mau. Aku tidak keberatan.”
Pernyataan
yang aneh, batin Mikhail.
“Kalau
aku mengizinkanmu mengambil apa pun dari kamarku ini, maukah kau datang ke sini
tiap malam? Aku bisa melonggarkan penjagaan di sini tiap kau akan datang.”
Mikhail
tersentak dan memundurkan tubuhnya ketika Luna membungkuk. Kenapa seorang putri
raja yang terhormat seperti dirinya begitu mudah memberikan hormat pada...
seorang bandit?!
“Kumohon..,”
ucap Luna. “Jadilah temanku.”
Mikhail tak bisa
berkata apa pun lagi. Cepat-cepat dia pergi dari situ tanpa menoleh. Rasa gugup
terlihat jelas dari tingkahnya. Sementara itu, mengetahui “tamu tak diundang”
telah pergi, Luna mendesah lalu mengembalikan wajah sedihnya.
Pagi
harinya, Mikhail sama sekali tak bisa mempercayai kejadian semalam. Mimpi apa
dia? Masuk ke kamar seorang putri, bahkan gadis itu berkata terang-terangan
kalau dia tidak keberatan Mikhail mencuri. Ini benar-benar aneh. Gadis itu
benar-benar lain dari gadis-gadis seumurannya. Memang dia begitu cantik,
terlalu cantik hingga tak bisa dibandingkan dengan perempuan mana pun. Mengapa
dia bisa berkata seperti itu? Dirinya hanya anak seorang bandit. Ditambah lagi,
Mikhail adalah seorang laki-laki. Camkan itu. Laki-laki! Memangnya gadis itu
tidak berpikir apa yang seandainya akan terjadi apabila seorang laki-laki dan
seorang gadis berada dalam kamar yang sama?
Tak
masuk akal.
Tapi...
benar-benar.. bahkan bulanpun bukan tandingan keelokkannya.
***
Luna
terus mengurung diri di kamar, mengunci pintu dari dalam walaupun para dayang
juga terus mengetuk untuk mengantarkan sarapan. Luna tak peduli. Dia hanya
ingin sendirian. Jantungnya akan berdetak lebih cepat berkali lipat kalau
ingatan mengenai kejadian semalam muncul lagi.
Kenapa dia pergi
begitu saja? Apa aku salah bicara?
Suaranya..
jelas dia seorang laki-laki. Luna mendesah. Belum pernah dirinya merasakan
kenyamanan mendengar kata-kata yang halus dari seorang laki-laki muda, selain
dari Leilos. Mengapa?
Apakah dia akan
datang lagi kemari malam ini?
Siapa
tahu mereka akan bertemu lagi..
***
Mikhail
tak tahu apakah yang dia lakukan ini dibenarkan atau tidak. Sekali lagi dia
mendongak ke atas, melihat sebuah kamar yang masih tampak terang dengan jendela
yang terbuka lebar itu. Pandangannya beralih pada setangkai bunga bulan yang
sengaja dia ikat di sabuknya supaya tidak terjatuh sewaktu dia memanjat nanti.
Apakah
kata-kata gadis itu masih berlaku? Mikhail tahu dia tak boleh terlalu berharap.
Yang menempel di ingatannya adalah sorot mata yang sedih, juga bibir gadis itu
yang sedikit gemetar ketika bicara dengannya.
Dia hanya kesepian...
Luna
memangku dagunya ketika dia berdiri menghadap keluar jendela malam itu. Hawa
dingin menggelitik dan angin membuat rambut coklat panjangnya meliuk-liuk.
Dihelanya napas panjang—sesaat, dia merasakan ada sesuatu yang hadir. Di
hadapannya. Bukan. Dia bisa mendengar suara napas seseorang begitu dekat di
wajahnya. Luna terkejut, namun dia tak mengatakan apa pun.
“Ini
aku.” Suara laki-laki itu menyadarkan keterkejutan Luna.
Mikhail
melihatnya mengerjapkan mata. Tak berapa lama kemudian, gadis itu tersenyum.
“Kau
datang lagi...,” ucap gadis itu lirih.
Luna
merasakan tangannya digenggam lalu laki-laki yang baru dikenalnya kemarin malam
itu memberinya sesuatu. Mulanya keras, dan kurus seperti ranting. Luna
menegakkannya lalu meraba terus ke atas hingga dia merasakan sesuatu yang halus
dan lembut. Didekatkannya ujung benda itu ke hidung sehingga dia bisa mencium
wanginya. Bibirnya menyunggingkan senyum lagi. Benda itu... bunga..
“Buatku?”
Luna bertanya. Dia tak perlu menunggu lagi untuk mengucapkan, “Terimakasih.”
***
Semenjak
itulah, hampir setiap malam, Luna dan Mikhail bertemu tanpa ada orang yang
tahu. Mikhail pergi ke gunung setiap hari untuk mencari bunga bulan untuk Luna.
Yang diinginkannya, hanyalah melihat gadis itu tersenyum, karena senyumannya
jauh lebih indah daripada permata apa pun yang pernah dilihatnya. Hanya dengan
kata-kata yang singkat—tanpa nama, mereka tetap menikmati pertemuan mereka.
Walau singkat.. Mikhail akhirnya sadar kalau gadis itu telah benar-benar
berharga baginya.
Luna
tidak mengerti perasaan apa yang sedang memenuhi hatinya kini. Ada rasa hangat
ketika laki-laki itu ada di dekatnya, sedikit kecewa ketika laki-laki itu
pergi, juga kerinduan ketika laki-laki itu tidak menemuinya di suatu malam.
Luna hanya bisa mendesah, namun sesekali dia hanya tersenyum seolah baru saja
diberikan hadiah terindah.
Leilos
heran melihat tingkah adiknya akhir-akhir ini. Tapi dia ragu bertanya mengingat
betapa menderitanya gadis itu berada terus-terusan di dalam istana. Luna sudah
cukup sedih tanpa harus ditambah dengan pertanyaan konyolnya.
Rasa
penasaran Leilos bertambah ketika mendapati vas besar di kamar Luna penuh dengan
beberapa tangkai bunga bulan. Bukankah bunga itu tergolong sangat langka?
***
“Pangeran
belum tidur?”
“Aku
belum mengantuk,” jawab Leilos pendek. Namun air mukanya berubah ketika
samar-samar dia melihat sesosok bayangan merayap dekat salah satu menara, dekat
dengan kamar Luna. “Ada penyelinap masuk...”
“Apa?
Di mana?” tanya abdi kerajaan itu, bingung.
Tanpa
berpikir dua kali, Leilos bersiap memanah. Ditariknya tali busur itu dengan
kecermatan penuh. Tak akan meleset. Bidikan Leilos hampir tak pernah meleset.
Dan dalam sekejap, ujung panah itu langsung menancap pada sasaran.
***
Untuk
pertama kalinya, Luna benar-benar gelisah. Semalaman dia tetap terjaga. Hingga
langit berubah terang, dia tidak berhenti menunggu. Dipastikannya lagi jendela
yang masih terbuka lebar hingga kini. Namun dia tak merasakan kehadiran orang itu.
Dia tidak
datang... kenapa?
Entah
kenapa sedetik kemudian, dadanya terasa sakit. Begitu nyeri hingga membuat air
matanya perlahan tumpah. Seakan-akan kehangatan itu telah menghilang dan
sekarang digantikan oleh deru angin pagi yang dingin, yang berhamburan masuk
lewat jendela. Harusnya jendela itu hanya mengizinkan laku-laki itu yang masuk.
Bukan yang lain.
Masih
dengan nyeri di dadanya, seakan diremas, Luna turun dari tempat tidurnya, dan
berjalan menghampiri vas di mana dia menaruh bunga-bunga bulan yang diberikan
Mikhail untuknya. Diraihnya benda itu lalu dipeluknya, berharap dengan begitu,
rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya akan berkurang. Namun yang terjadi
justru sebaliknya. Rasa sakit itu bertambah hingga dirinya terisak.
“
Luna?”
Luna
tersentak. Vas yang dipeluknya terlepas kemudian pecah berkeping-keping begitu
menyentuh lantai.
“Luna!”
Leilos yang kaget dengan reaksi adiknya langsung panik. Tangannya menyentuh
kedua lengan gadis itu. “Kau kenapa? Ada apa, Luna?”
Sama
sekali tidak mengerti perasaannya sendiri, tangis Luna pecah. Kali ini di
pelukan Leilos, dia mencurahkan semua rasa sakit yang dia sendiri tidak tahu
apa sebabnya.
Belum
pernah Leilos mendapati Luna bergetar hebat dan suara tangisannya seakan
menyayat hati setiap orang yang mendengarnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa Luna bersikap aneh akhir-akhir ini? Kenapa dia memeluk erat vas bunga
berisikan bunga-bunga bulan itu? Kenapa dia sekarang menangis? Kenapa...
Tubuh
Leilos seakan membeku begitu dia menyadari ada benang merah yang menghubungkan
kejadian ini dengan peristiwa semalam. Penyelinap itu dan adiknya...
Oh, sialan...
“Luna...”
Leilos hanya mampu memeluk adiknya lebih erat. Hanya itu yang bisa dilakukannya.
Maaf... Maafkan aku!
***
“Tuan
Putri benar-benar tampak kurang sehat...,” kata seorang dayang sedih mendapati
wajah Luna pucat dan badannya bertambah kurus. “Tuan Putri yakin kalau kita tak
butuh tabib? Ini kan demi...”
“Tidak,”
potong Luna singkat. “Pergilah..”
“Saya
diminta pangeran untuk menjaga Tuan Putri. Beliau khawatir kalau nantinya ada
penyusup lagi yang mencoba masuk ke kamar Tuan Putri lagi.”
“Penyusup...
apa maksudmu?” tanya Luna yang seketika merasakan sesuatu yang dingin
menyelimuti dirinya.
“Beberapa
hari yang lalu ada seorang penyusup mendekati kamar putri. Pangeran tahu, lalu
beliau memanahnya dan akhirnya penyusup itu mati.” Dayang itu menyambung,
“Penyusup itu juga membawa bunga.. bunga bulan. Diikat di sabuknya, mungkin itu
semacam jimat.”
***
Leilos terjaga di tengah keheningan malam. Dia memandang
keluar bulan yang terlihat penuh, membuat langit terang benderang. Lama dia
mematung seperti itu sembari memikirkan apa yang telah dia perbuat.
Benar, dia seorang penyusup. Pakaian yang dikenakannya
hitam legam supaya tidak terlihat di kegelapan malam. Leilos tidak yakin apa
yang akan terjadi apabila dia tidak memanah laki-laki itu, atau setidaknya anak
panah itu meleset. Leilos tidak ingin mengetahuinya—atau lebih tepatnya dia
menyangkal pikiran-pikiran yang mengganggu tersebut.
Dia menghembuskan napas terakhir dengan menggenggam
erat sekuntum bunga bulan—bukan sebilah pisau atau pedang seperti yang akan
dilakukan pencuri pada umumnya. Dan setelah laki-laki itu meninggal, Leilos
mendapati Luna tampak terluka teramat sangat.
Leilos tersadar dari lamunan tatkala pintu ruangannya
diketuk. Dia menoleh dan melihat adiknya berjalan masuk seorang diri, hanya
ditemani sebilah bambu penuntun. Pandangannya kosong menatap lurus ke depan.
Memang, karena buta, Luna tidak pernah bisa benar-benar menatap ke mana pun.
Namun kali ini, sorot mata itu begitu lain. Wajahnya sendu seperti kembali ke
dirinya yang dulu: burung indah yang terkurung dalam sangkar.
“Luna?” Leilos menyebut namanya pelan. “Kau belum
tidur?”
Luna berjalan mendekat. Awalnya Leilos hanya bisa
melihat wajah gadis itu karena ruangan tempat mereka berada sekarang ini
dibiarkan gelap. Tapi ketika jarak mereka hanya dipisahkan meja besar di
hadapan Leilos, mata laki-laki itu melebar mendapati Luna tengah membawa
serangkai bunga bulan yang diletakkan di dalam vas berisi air.
“Luna…” Leilos menggumam, menyebut namanya lagi. Hawa dingin
menjalar hatinya menebak kalau gadis itu pasti telah tahu perihal si Penyusup
itu.
“Cantikkah?” tanya Luna mengeratkan pelukannya yang
mengapit vas bunga bulan. “Meski aku tidak tahu seperti apa rupanya…”
“Bunga bulan,” balas Leilos. “Siapa pun yang
melihatnya akan tahu bunga itu sangat cantik.”
Luna tersenyum.
“Aku pernah mendengar kisah tentang bunga bulan..
meski cuma sekali. Cerita itupun terlupa karena orang jarang menceritakannya
lagi,” katanya. “Belakangan.. aku tidak bisa tidur karena tidak lagi bisa
menyentuh kuncup bunga yang baru mekar segar..”
Jantung Leilos mencelos seketika. Pandangannya adiknya
beringsut ke bawah, membiarkan bulir air matanya jatuh.
“Luna.. aku—..”
“Aku tidak tahu..” Luna terisak. “Aku tidak bisa
menyalahkan siapa pun. Aku menyalahkan diriku karena tidak bisa memahami apa
yang dia beri untukku.. Seorang putri raja yang tidak kenal dunia, terkurung
dalam lautan pekat.. hanya karena seseorang memberinya setitik cahaya lilin,
dia memberikan hatinya…”
Kaki Leilos tanpa sadar melangkah mendekati adiknya,
namun spontan, Luna mundur. Hati Leilos bagai tersayat. Belum pernah dia
merasakan sakit seperti itu.
“Aku tidak memilih tinggal di mahligai yang besar.”
Lagi Luna berucap sambil tetap terisak. “Dingin.. Sekali aku meraba dinding
tempat aku tinggal, aku selalu bertanya kapan akan menyentuh dinding yang lain…
Aku merasa di tempat yang hampa, tapi di sisi lain aku terkurung dalam penjara
yang indah..”
“Luna.. Ini salahku. Apa pun akan kuperbuat supaya kau
tidak lagi bersedih.”
“Makamnya…” Luna berbisik. “Di mana aku bisa bertemu
dengannya.. bawa aku ke sana..”
***
Konon, sang Pangeran sendiri yang mengantar putri
menemui kekasihnya jauh di dalam hutan. Bersama dengan serangkai bunga bulan
yang dia bawa, sang Putri menolak kembali dan memilih hidup tenang di gubuk
kecil tidak jauh dari sana. Pada akhirnya dia meninggal, hingga seluruh penjuru
kerajaan dirundung kedukaan mendalam.
Pangeran akhirnya dikenakan mahkota raja setelah
ayahandanya wafat. Dia memerintah dengan bijak, dan tidak pernah melupakan
sosok adiknya. Orang-orang pun selalu menceritakan perihal Putri Bulan dan
kisahnya yang sedih.
Saat tahun silih berganti, jauh di dalam hutan
tersebut, bunga-bunga bulan pun bermekaran. Siapa pun yang ingin mendapatkannya
harus berusaha sekeras mungkin melewati kegelapan dan dinginnya hutan. Akan
tetapi, berkat yang diberikan bunga bulan itu setimpal dengan usaha mereka
nantinya. Masing-masing kuntum bunga, akan memberikan kebahagian bagi si
Penerima.
***
Jadi
mengapa tidak kau coba memetiknya satu?