Bunga Bulan

Jumat, 25 Desember 2015


Zaman dahulu, nun jauh perbukitan barat, berdirilah sebuah kerajaan di mana musim semi selalu hadir membahagiakan penduduknya. Ada berbagai macam jenis bunga. Ratusan mungkin ribuan tanaman bunga berwarna-warni tumbuh layaknya rumput di musim penghujan. Semerbak wangi bunga tercium tatkala seseorang menginjakkan kakinya di sana.

Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang terkenal berkat wibawa dan kharismanya sehingga rakyatpun segan. Berkat kecerdasannya memimpin, Negeri Castamore menjadi wilayah yang makmur dan tentram, nyaris tak pernah ada pertikaian baik di dalam negeri maupun dengan negeri lain.

Dari permaisuri yang amat dicintainya, sang Raja memiliki dua orang anak, seorang pangeran dan seorang putri. Mereka terlahir kembar. Rakyat bersukacita menyambut kelahiran penerus tahta itu. Namun, ada sedikit kekecewaan juga kesedihan di lingkup istana. Penyebabnya, sang Putri terlahir buta. Meskipun begitu, sang Putri tetap mendapatkan kasih sayang yang sama dengan yang diterima sang Pangeran dari raja dan permaisuri, hingga walau dalam keadaan seperti itu, putri tetap merasakan kebahagian.

Menginjak usia tujuh belas, sang Pangeran—Leilos—tumbuh menjadi pemuda yang tampan serta pandai melakukan berbagai hal. Rakyat mengelu-elukannya sebagai calon raja yang agung, harta berharga Negeri Castamore. Hal-hal itulah yang membuat kaum hawa—khususnya putri dari keluarga bangsawan—berlomba-lomba untuk menarik hatinya, dengan harapan salah satu dari mereka akan terpilih menjadi calon permaisuri kelak.

Sang Putri—Luna—turut senang mengetahui pencapaian yang sukses dari kakak kembarnya. Tidak ada rasa iri karena rakyat lebih memperhatikan Leilos dibandingkan dirinya. Dia tahu posisinya yang hanya sebagai seorang putri. Terlebih menyadari keadaannya yang buta. Yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa bagi keselamatan keluarganya dan negeri ini, setiap malam, sambil menghadap keluar jendela kamarnya.

Luna sendiri tumbuh menjadi pribadi yang lembut, juga memiliki paras elok permaisuri. Pesonanya tidak terkalahkan oleh gadis mana pun di seluruh penjuru negeri. Saking cantiknya, dia mendapat sebutan sebagai “Bunga Utama Castamore”. Konon katanya jika dia tersenyum, bunga-bunga di sekelilingnya akan langsung mekar.

“Baginda Raja dan Pangeran berburu lagi. Memang cuacanya selalu cerah, jadi pasti akan mendapat hasil yang memuaskan,” celoteh seorang dayang muda sambil merapikan rambut Luna.

“Ibunda?”

“Yang Mulia Permaisuri mengunjungi Nyonya Bangsawan Fadelga hari ini.”

“Menyenangkan sekali ya, bisa jalan-jalan keluar...” Luna mendesah lalu diikuti dengan wajahnya yang berubah murung.

“Tuan Putri...” Dayang itu menghentikan gerak tangannya yang sedari tadi menyisir. “Apa Tuan Putri mau jalan-jalan di taman? Saya akan menemani Tuan Putri.”

Senyum Luna merekah. “Tentu saja.”

***
Mikhail—seorang pemuda, putra seorang bandit dari Avlon, negeri tetangga—berhasil menyelinap masuk ke dalam istana dengan mengenakan pakaian pelayan pria yang dia pukul pingsan tadi. Sambil tersenyum lebar penuh kemenangan, dia berjalan penuh semangat menyusuri lorong dalam istana sambil membawa sebuah guci besar yang nantinya akan dia taruh di sebuah ruangan—perintah kepala pelayan. Lehernya memutar, mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menikmati kemegahan serta kemewahan istana. Tetapi kemudian, tatapannya terpaku ke sebuah arah.

Seorang gadis berambut coklat tengah berjalan sambil membawa tongkat diikuti beberapa dayang di belakangnya. Bahkan dari kejauhan, Mikhail bisa melihat dengan jelas pesonanya. Bentuk wajah yang sempurna, mata yang indah, bibir yang ranum, serta senyum yang menawan...

Mikhail tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Tidak sekarang. Tidak sedikitpun. Dia hanya perlu berdiri di sana, dan menikmati keindahan itu. Sebentar saja.

“Tuan Putri!”

Apa? Siapa? Tuan Putri?

Mikhail mengerutkan kening ketika mendengar salah satu dayang memanggil gadis itu.

Jadi itulah... Bunga Utama Castamore...

Dia memang secantik bidadari. Tidak mengherankan apabila banyak orang mengagumi kecantikan gadis itu. Walaupun dia buta...

Tuan Putri Luna yang berharga bagi Kerajaan Castamore. Permata yang paling berkilau dari sekian banyak hal yang indah di negeri ini. Mikhail sedikit tersenyum membiarkan angan-angannya menari-nari.

Bisakah aku mencuri permata terindah itu?

“Luna memberi salam pada Ayahanda dan Kakanda...,” kata Luna sedikit membungkuk menghadap pada Raja Hermon dan Pangeran Leilos yang berdiri di belakangnya.

“Apa yang kau lakukan seharian ini?” tanya Raja.

“Jalan-jalan di taman, menikmati suasananya,” jawab Luna tersenyum.

“Kau senang?”

“Iya, Luna senang sekali berada di taman istana..”

“Walaupun di luar menyenangkan dan ada dayang-dayang menjagamu, kau tidak boleh sering-sering keluar, Luna. Aku mengkhawatirkanmu. Tetaplah di dalam istana dan lakukan apa pun yang kamu suka, tapi jangan minta ayahanda mengizinkanmu keluar lingkungan istana.”

Luna terdiam. Raut mukanya berubah datar.

“Oh, sudah waktunya makan malam. Ayo kita ke ruang makan,” kata Raja Hermon lalu tanpa basa-basi lagi, dia langsung beranjak dari sana.

Leilos yang menyadari perubahan suasana hati adikknya, meminta para dayang meninggalkan mereka berdua dengan isyarat tangan.

“Kau pasti mengerti maksud ayah bicara seperti itu tadi,” kata Leilos memecah kesunyian selama beberapa menit itu karena Luna masih bergeming, juga membisu.

“Aku tahu...” ucap Luna lirih.

“Ayah hanya tak ingin kau menghadapi bahaya apa pun. Bayangkan jika kau berjalan-jalan di luar.. lalu tanpa kau sadari, ada sesuatu, mungkin seseorang muncul dan...”

“Aku tahu.” Luna memotong. “Kita sudah membicarakan ini berulang kali.”

Leilos mengangkat bahu. “Kalau kau memang benar-benar tahu, kenapa wajahmu jadi begitu?”

“Aku bilang kalau aku tahu.. hanya tahu. Tapi tidak pernah terbiasa dengan hal itu.”

“Luna...”

“Aku selalu iri padamu. Ayahanda sering mengajakmu keluar, entah itu untuk berburu, sekedar berkuda, atau berlatih beladiri...”

“Jangan bilang kalau kau ingin mempelajari kegiatan seorang laki-laki.” Leilos menyilangkan tangan.

“Kalau aku... terlahir sebagai seorang laki-laki tetapi buta seperti ini.. apakah ayahanda akan tetap mengurungku di dalam istana?”

Leilos terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan adiknya, sementara gadis itu mulai menitikkan air mata. Leilos tahu dibalik ketegaran dan keceriaan yang setiap hari dipancarkannya, Luna selalu menyimpan kesedihan. Kadang dia tak merasa berguna. Dia selalu mencap dirinya sendiri bahwa dia bukan kakak yang baik. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mengenyahkan rasa sedih itu hilang tak berbekas dari jiwa Luna.

“Aku hanya bisa merasakan keindahan itu dengan caraku sendiri. Jelas tak bisa sepertimu. Aku hanya ingin dipahami... bukan dengan perlakuan burung di dalam sangkar seperti ini...”

“Luna...”

“Aku lelah. Sepertinya aku akan tidur lebih awal... selamat malam, Kakanda..”

Malam itu, Mikhail mulai melakukan aksinya. Segala sesuatu telah dipersiapkannya sebaik mungkin. Menurut informasi yang dia dapat, keluarga raja sedang bersantap makan malam. Bukan hal sulit baginya untuk menjarah salah satu kamar utama istana. Paling-paling hanya ada beberapa pengawal penjaga, itupun bukan masalah besar. Hanya saja bagian pokok adalah kamar raja dan permaisuri. Dia tidak akan seceroboh itu sampai nekat masuk ke sana. Fatalnya, dia akan dipenggal. Tak perlu muluk-muluk, dia hanya harus memasuki satu kamar yang dekat dengan salah satu menara istana. Cukup mewah—dan pastinya ada barang bagus di sana.

Satu pijakan. Dua, tiga, empat... terus... hampir sampai.

Di saat Mikhail berhenti bergerak sejenak untuk mengambil napas sebanyak-banyaknya, samar-samar... terdengar suara tangisan.

Seorang gadis?

Tanpa ragu lagi, dipijaknya siku-siku terakhir yang tersisa. Dan akhirnya, sampailah dia di dekat sebuah jendela yang terbuka lebar-lebar. Tidak salah lagi. Suara tangisan itu berasal dari dalam kamar itu. Mikhail melongok ke dalam dan tampaklah sesosok gadis memeluk kakinya sendiri, menangis di pojokan.

Mikhail tertegun. Bukankah dia gadis yang dilihatnya tadi? Sang Putri?

Pelan-pelan, dia masuk lewat jendela yang terbuka lebar itu. Dalam hati dia berdoa supaya gadis itu tak menyadari kehadirannya. Walaupun terlahir sebagai seorang putri, gadis itu buta, jadi apa pun yang dia lakukan bukan masalah kan? Yang perlu dia lakukan hanya mengambil sesuatu yang berharga, lalu lekas pergi. Jadi tak ada seorangpun yang akan tahu, termasuk...

“Siapa itu?”

Mikhail terkesiap. Dia menoleh ke arah gadis itu. Luna menegakkan kepalanya, tapi matanya tidak tertuju pada apa pun.

“Aku tahu ada seseorang di sini... bersamaku,” katanya lagi.

Mikhail menelan ludah.

“Kau siapa?” Luna mengusap pipinya yang basah, lalu dia berdiri—masih memegang tongkatnya.

Seharusnya Mikhail langsung melesat pergi kalau saja Luna tidak menghentikannya.

“Jangan takut,” ucapnya, berniat memberikan ketenangan. “Aku memang selalu membuka jendela itu lebar-lebar... setiap malam. Hanya berharap suatu saat, akan ada sesuatu.. atau seseorang dari luar.. datang ke sini, lalu membawaku bersamanya.”

Sekali lagi, Mikhail terpesona memandang paras luar biasa elok Luna. Dibiarkannya gadis itu bicara, karena sorot matanya sedih. Seperti burung kecil yang terkurung dalam sangkar. Diyakinkannya diri sendiri kalau bidadari itu sama sekali bukan ancaman.

“Kalaupun yang datang adalah seorang pembunuh.. aku sama sekali tidak keberatan.. karena setidaknya jiwaku akan bebas...”

“Aku bukan pembunuh.” Satu kalimat terlontar dari mulut Mikhail.

Luna terkejut dan membalik badannya, menghadap Mikhail. Dia mengerjapkan matanya, lalu tersenyum. Seketika, Mikhail merasakan sebagian dari dirinya langsung meleleh.

“Kalau memang berniat membunuhku, kau sudah melakukannya ketika aku menangis tadi,” kata Luna—tetap bersikap tenang dan lembut walau dia tak tahu siapa yang tengah diajaknya bicara. “Aku senang ada orang yang bisa diajak mengobrol selain dayang-dayang.. ah.. apa yang kau lakukan di sini?”

Mikhail tersentak.

“Apakah kau pencuri?”

“A—aku...”

“Tak apa, ambillah apa pun yang kau mau. Aku tidak keberatan.”

Pernyataan yang aneh, batin Mikhail.

“Kalau aku mengizinkanmu mengambil apa pun dari kamarku ini, maukah kau datang ke sini tiap malam? Aku bisa melonggarkan penjagaan di sini tiap kau akan datang.”

Mikhail tersentak dan memundurkan tubuhnya ketika Luna membungkuk. Kenapa seorang putri raja yang terhormat seperti dirinya begitu mudah memberikan hormat pada... seorang bandit?!

“Kumohon..,” ucap Luna. “Jadilah temanku.”

Mikhail tak bisa berkata apa pun lagi. Cepat-cepat dia pergi dari situ tanpa menoleh. Rasa gugup terlihat jelas dari tingkahnya. Sementara itu, mengetahui “tamu tak diundang” telah pergi, Luna mendesah lalu mengembalikan wajah sedihnya.

Pagi harinya, Mikhail sama sekali tak bisa mempercayai kejadian semalam. Mimpi apa dia? Masuk ke kamar seorang putri, bahkan gadis itu berkata terang-terangan kalau dia tidak keberatan Mikhail mencuri. Ini benar-benar aneh. Gadis itu benar-benar lain dari gadis-gadis seumurannya. Memang dia begitu cantik, terlalu cantik hingga tak bisa dibandingkan dengan perempuan mana pun. Mengapa dia bisa berkata seperti itu? Dirinya hanya anak seorang bandit. Ditambah lagi, Mikhail adalah seorang laki-laki. Camkan itu. Laki-laki! Memangnya gadis itu tidak berpikir apa yang seandainya akan terjadi apabila seorang laki-laki dan seorang gadis berada dalam kamar yang sama?

Tak masuk akal.

Tapi... benar-benar.. bahkan bulanpun bukan tandingan keelokkannya.

***

Luna terus mengurung diri di kamar, mengunci pintu dari dalam walaupun para dayang juga terus mengetuk untuk mengantarkan sarapan. Luna tak peduli. Dia hanya ingin sendirian. Jantungnya akan berdetak lebih cepat berkali lipat kalau ingatan mengenai kejadian semalam muncul lagi.

Kenapa dia pergi begitu saja? Apa aku salah bicara?

Suaranya.. jelas dia seorang laki-laki. Luna mendesah. Belum pernah dirinya merasakan kenyamanan mendengar kata-kata yang halus dari seorang laki-laki muda, selain dari Leilos. Mengapa?

Apakah dia akan datang lagi kemari malam ini?

Siapa tahu mereka akan bertemu lagi..

***

Mikhail tak tahu apakah yang dia lakukan ini dibenarkan atau tidak. Sekali lagi dia mendongak ke atas, melihat sebuah kamar yang masih tampak terang dengan jendela yang terbuka lebar itu. Pandangannya beralih pada setangkai bunga bulan yang sengaja dia ikat di sabuknya supaya tidak terjatuh sewaktu dia memanjat nanti.

Apakah kata-kata gadis itu masih berlaku? Mikhail tahu dia tak boleh terlalu berharap. Yang menempel di ingatannya adalah sorot mata yang sedih, juga bibir gadis itu yang sedikit gemetar ketika bicara dengannya. 

Dia hanya kesepian...


Luna memangku dagunya ketika dia berdiri menghadap keluar jendela malam itu. Hawa dingin menggelitik dan angin membuat rambut coklat panjangnya meliuk-liuk. Dihelanya napas panjang—sesaat, dia merasakan ada sesuatu yang hadir. Di hadapannya. Bukan. Dia bisa mendengar suara napas seseorang begitu dekat di wajahnya. Luna terkejut, namun dia tak mengatakan apa pun.

“Ini aku.” Suara laki-laki itu menyadarkan keterkejutan Luna.

Mikhail melihatnya mengerjapkan mata. Tak berapa lama kemudian, gadis itu tersenyum.

“Kau datang lagi...,” ucap gadis itu lirih.

Luna merasakan tangannya digenggam lalu laki-laki yang baru dikenalnya kemarin malam itu memberinya sesuatu. Mulanya keras, dan kurus seperti ranting. Luna menegakkannya lalu meraba terus ke atas hingga dia merasakan sesuatu yang halus dan lembut. Didekatkannya ujung benda itu ke hidung sehingga dia bisa mencium wanginya. Bibirnya menyunggingkan senyum lagi. Benda itu... bunga..

“Buatku?” Luna bertanya. Dia tak perlu menunggu lagi untuk mengucapkan, “Terimakasih.”

***

Semenjak itulah, hampir setiap malam, Luna dan Mikhail bertemu tanpa ada orang yang tahu. Mikhail pergi ke gunung setiap hari untuk mencari bunga bulan untuk Luna. Yang diinginkannya, hanyalah melihat gadis itu tersenyum, karena senyumannya jauh lebih indah daripada permata apa pun yang pernah dilihatnya. Hanya dengan kata-kata yang singkat—tanpa nama, mereka tetap menikmati pertemuan mereka. Walau singkat.. Mikhail akhirnya sadar kalau gadis itu telah benar-benar berharga baginya.


Luna tidak mengerti perasaan apa yang sedang memenuhi hatinya kini. Ada rasa hangat ketika laki-laki itu ada di dekatnya, sedikit kecewa ketika laki-laki itu pergi, juga kerinduan ketika laki-laki itu tidak menemuinya di suatu malam. Luna hanya bisa mendesah, namun sesekali dia hanya tersenyum seolah baru saja diberikan hadiah terindah.

Leilos heran melihat tingkah adiknya akhir-akhir ini. Tapi dia ragu bertanya mengingat betapa menderitanya gadis itu berada terus-terusan di dalam istana. Luna sudah cukup sedih tanpa harus ditambah dengan pertanyaan konyolnya.

Rasa penasaran Leilos bertambah ketika mendapati vas besar di kamar Luna penuh dengan beberapa tangkai bunga bulan. Bukankah bunga itu tergolong sangat langka?

***
“Pangeran belum tidur?”

“Aku belum mengantuk,” jawab Leilos pendek. Namun air mukanya berubah ketika samar-samar dia melihat sesosok bayangan merayap dekat salah satu menara, dekat dengan kamar Luna. “Ada penyelinap masuk...”

“Apa? Di mana?” tanya abdi kerajaan itu, bingung.

Tanpa berpikir dua kali, Leilos bersiap memanah. Ditariknya tali busur itu dengan kecermatan penuh. Tak akan meleset. Bidikan Leilos hampir tak pernah meleset. Dan dalam sekejap, ujung panah itu langsung menancap pada sasaran.

***
Untuk pertama kalinya, Luna benar-benar gelisah. Semalaman dia tetap terjaga. Hingga langit berubah terang, dia tidak berhenti menunggu. Dipastikannya lagi jendela yang masih terbuka lebar hingga kini. Namun dia tak merasakan kehadiran orang itu.

Dia tidak datang... kenapa?

Entah kenapa sedetik kemudian, dadanya terasa sakit. Begitu nyeri hingga membuat air matanya perlahan tumpah. Seakan-akan kehangatan itu telah menghilang dan sekarang digantikan oleh deru angin pagi yang dingin, yang berhamburan masuk lewat jendela. Harusnya jendela itu hanya mengizinkan laku-laki itu yang masuk. Bukan yang lain.

Masih dengan nyeri di dadanya, seakan diremas, Luna turun dari tempat tidurnya, dan berjalan menghampiri vas di mana dia menaruh bunga-bunga bulan yang diberikan Mikhail untuknya. Diraihnya benda itu lalu dipeluknya, berharap dengan begitu, rasa sakit yang tiba-tiba menyerangnya akan berkurang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Rasa sakit itu bertambah hingga dirinya terisak.

“ Luna?” 

Luna tersentak. Vas yang dipeluknya terlepas kemudian pecah berkeping-keping begitu menyentuh lantai. 

“Luna!” Leilos yang kaget dengan reaksi adiknya langsung panik. Tangannya menyentuh kedua lengan gadis itu. “Kau kenapa? Ada apa, Luna?” 

Sama sekali tidak mengerti perasaannya sendiri, tangis Luna pecah. Kali ini di pelukan Leilos, dia mencurahkan semua rasa sakit yang dia sendiri tidak tahu apa sebabnya.

Belum pernah Leilos mendapati Luna bergetar hebat dan suara tangisannya seakan menyayat hati setiap orang yang mendengarnya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Luna bersikap aneh akhir-akhir ini? Kenapa dia memeluk erat vas bunga berisikan bunga-bunga bulan itu? Kenapa dia sekarang menangis? Kenapa...

Tubuh Leilos seakan membeku begitu dia menyadari ada benang merah yang menghubungkan kejadian ini dengan peristiwa semalam. Penyelinap itu dan adiknya...

Oh, sialan...

“Luna...” Leilos hanya mampu memeluk adiknya lebih erat. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Maaf... Maafkan aku!

***

“Tuan Putri benar-benar tampak kurang sehat...,” kata seorang dayang sedih mendapati wajah Luna pucat dan badannya bertambah kurus. “Tuan Putri yakin kalau kita tak butuh tabib? Ini kan demi...”

“Tidak,” potong Luna singkat. “Pergilah..”

“Saya diminta pangeran untuk menjaga Tuan Putri. Beliau khawatir kalau nantinya ada penyusup lagi yang mencoba masuk ke kamar Tuan Putri lagi.”

“Penyusup... apa maksudmu?” tanya Luna yang seketika merasakan sesuatu yang dingin menyelimuti dirinya.

“Beberapa hari yang lalu ada seorang penyusup mendekati kamar putri. Pangeran tahu, lalu beliau memanahnya dan akhirnya penyusup itu mati.” Dayang itu menyambung, “Penyusup itu juga membawa bunga.. bunga bulan. Diikat di sabuknya, mungkin itu semacam jimat.”

***

Leilos terjaga di tengah keheningan malam. Dia memandang keluar bulan yang terlihat penuh, membuat langit terang benderang. Lama dia mematung seperti itu sembari memikirkan apa yang telah dia perbuat.

Benar, dia seorang penyusup. Pakaian yang dikenakannya hitam legam supaya tidak terlihat di kegelapan malam. Leilos tidak yakin apa yang akan terjadi apabila dia tidak memanah laki-laki itu, atau setidaknya anak panah itu meleset. Leilos tidak ingin mengetahuinya—atau lebih tepatnya dia menyangkal pikiran-pikiran yang mengganggu tersebut.

Dia menghembuskan napas terakhir dengan menggenggam erat sekuntum bunga bulan—bukan sebilah pisau atau pedang seperti yang akan dilakukan pencuri pada umumnya. Dan setelah laki-laki itu meninggal, Leilos mendapati Luna tampak terluka teramat sangat.

Leilos tersadar dari lamunan tatkala pintu ruangannya diketuk. Dia menoleh dan melihat adiknya berjalan masuk seorang diri, hanya ditemani sebilah bambu penuntun. Pandangannya kosong menatap lurus ke depan. Memang, karena buta, Luna tidak pernah bisa benar-benar menatap ke mana pun. Namun kali ini, sorot mata itu begitu lain. Wajahnya sendu seperti kembali ke dirinya yang dulu: burung indah yang terkurung dalam sangkar.

“Luna?” Leilos menyebut namanya pelan. “Kau belum tidur?”

Luna berjalan mendekat. Awalnya Leilos hanya bisa melihat wajah gadis itu karena ruangan tempat mereka berada sekarang ini dibiarkan gelap. Tapi ketika jarak mereka hanya dipisahkan meja besar di hadapan Leilos, mata laki-laki itu melebar mendapati Luna tengah membawa serangkai bunga bulan yang diletakkan di dalam vas berisi air.

“Luna…” Leilos menggumam, menyebut namanya lagi. Hawa dingin menjalar hatinya menebak kalau gadis itu pasti telah tahu perihal si Penyusup itu.

“Cantikkah?” tanya Luna mengeratkan pelukannya yang mengapit vas bunga bulan. “Meski aku tidak tahu seperti apa rupanya…”

“Bunga bulan,” balas Leilos. “Siapa pun yang melihatnya akan tahu bunga itu sangat cantik.”

Luna tersenyum.

“Aku pernah mendengar kisah tentang bunga bulan.. meski cuma sekali. Cerita itupun terlupa karena orang jarang menceritakannya lagi,” katanya. “Belakangan.. aku tidak bisa tidur karena tidak lagi bisa menyentuh kuncup bunga yang baru mekar segar..”

Jantung Leilos mencelos seketika. Pandangannya adiknya beringsut ke bawah, membiarkan bulir air matanya jatuh.

“Luna.. aku—..”

“Aku tidak tahu..” Luna terisak. “Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun. Aku menyalahkan diriku karena tidak bisa memahami apa yang dia beri untukku.. Seorang putri raja yang tidak kenal dunia, terkurung dalam lautan pekat.. hanya karena seseorang memberinya setitik cahaya lilin, dia memberikan hatinya…”

Kaki Leilos tanpa sadar melangkah mendekati adiknya, namun spontan, Luna mundur. Hati Leilos bagai tersayat. Belum pernah dia merasakan sakit seperti itu.

“Aku tidak memilih tinggal di mahligai yang besar.” Lagi Luna berucap sambil tetap terisak. “Dingin.. Sekali aku meraba dinding tempat aku tinggal, aku selalu bertanya kapan akan menyentuh dinding yang lain… Aku merasa di tempat yang hampa, tapi di sisi lain aku terkurung dalam penjara yang indah..”

“Luna.. Ini salahku. Apa pun akan kuperbuat supaya kau tidak lagi bersedih.”

“Makamnya…” Luna berbisik. “Di mana aku bisa bertemu dengannya.. bawa aku ke sana..”

***
Konon, sang Pangeran sendiri yang mengantar putri menemui kekasihnya jauh di dalam hutan. Bersama dengan serangkai bunga bulan yang dia bawa, sang Putri menolak kembali dan memilih hidup tenang di gubuk kecil tidak jauh dari sana. Pada akhirnya dia meninggal, hingga seluruh penjuru kerajaan dirundung kedukaan mendalam.

Pangeran akhirnya dikenakan mahkota raja setelah ayahandanya wafat. Dia memerintah dengan bijak, dan tidak pernah melupakan sosok adiknya. Orang-orang pun selalu menceritakan perihal Putri Bulan dan kisahnya yang sedih.

Saat tahun silih berganti, jauh di dalam hutan tersebut, bunga-bunga bulan pun bermekaran. Siapa pun yang ingin mendapatkannya harus berusaha sekeras mungkin melewati kegelapan dan dinginnya hutan. Akan tetapi, berkat yang diberikan bunga bulan itu setimpal dengan usaha mereka nantinya. Masing-masing kuntum bunga, akan memberikan kebahagian bagi si Penerima.

***

Jadi mengapa tidak kau coba memetiknya satu?