Alasan
mengapa dirinya mencoba untuk jadi gadis yang seolah bisa terbang ke mana-mana
adalah karena dia menyukai seorang laki-laki brengsek. Meskipun sepertinya
seluruh dunia tahu, juga meskipun semua orang di sekitarnya meminta dia jangan
mendekat, gadis itu punya pikiran berbeda. Dia senang berlama-lama ada dalam
ruangan musik serta menghabiskan waktu di dalamnya sembari memainkan beberapa lagu.
Walaupun tentu saja, laki-laki itu tidak bisa mendengarnya.
Hujan
di bulan Juni kali ini membuat para guru yang pulang paling akhir menggerutu. Sebagian
dari mereka tidak membawa payung karena tidak mengira kalau malam ini hujan. Mereka
yang tidak mau berlama-lama menunggu dalam gedung les nekat menerobos tirai
hujan yang tebal lalu menghentikan taksi di dekat halte. Sementara itu Viola
melihat dengan diam salah satu guru pria—orang terakhir dalam gedung itu juga
berlari ke arah mobil yang menjemputnya.
Gadis
itu memegang payung putihnya, berdiri dekat pintu kaca sambil terus memandang
sebuah garasi di seberang jalan kini. Beberapa orang pria yang bekerja di sana
selama seharian telah pergi meninggalkan seorang laki-laki muda yang bekerja di
situ kurang lebih dua setengah tahun ini. Viola melihat lampu-lampu di sana
dipadamkan. Bahkan dari jarak sejauh itu, Viola bisa mendengar bunyi perkakas
yang tengah dibereskan. Sosok siluet laki-laki itupun tampak mondar-mandir ke
sana kemari, bersiap menutup bengkel.
Viola
berbinar. Sudah waktunya, pikir gadis itu. Untung saja jalan raya di depannya
sudah cukup lengang sehingga tidak perlu waktu lama baginya untuk menyeberang. Sesampainya
dia di sisi jalan bersamaan dengan keluarnya laki-laki itu lalu menutup garasi
kemudian menguncinya.
Laki-laki
itu tidak memiliki payung ataupun jas hujan untuk menaungi tubuhnya. Dia hanya
berjalan tenang menyusuri jalan, tidak peduli pakaian yang dia kenakan basah
kuyup. Viola ingin sekali menawarkan berbagi payung dengannya, tapi urung. Gadis
itu tidak memiliki keberanian untuk hal-hal seperti itu. Jadilah yang ada dia
berjalan di belakang laki-laki itu dengan jarak yang tidak seberapa dekat.
***
“Eh,
sudah tahu belum kalau semalam ada kecelakaan di jembatan angker?”
“Tahu-tahu!
Ada tabrakan trus mobilnya terbakar.”
“Nggak
heran sih. Di sana kan sering ada balapan liar.”
Viola
menoleh ketika sekumpulan gadis yang sama sepertinya, juga les musik di sana
menyinggu tentang balapan liar yang akhir-akhir ini marak. Polisi telah
berusaha untuk membubarkan kelompok ugal-ugalan itu, namun mereka tidak pernah
berhenti berulah. Lagipula pikir Viola, mereka tidak pernah mengadakan balapan
seperti itu di pagi atau siang hari, melainkan malam hari—itupun larut. Mereka hanyalah
sekumpulan orang-orang yang kebingungan mencari wadah untuk menyalurkan hobi.
Pada
akhirnya pun Viola bertanya-tanya apakah laki-laki itu termasuk di antara
mereka. Dia senang memperhatikan laki-laki itu begitu serius mengutak-atik
mobil yang masuk ke bengkel. Dia juga tahu bengkel di sana merupakan salah satu
bengkel terbaik di kota. Tentunya banyak mobil-mobil bagus diperbaiki atau
ditata ulang di sana—sebagian mereka ditangani langsung oleh laki-laki itu.
Sejauh
ini entah dia harus lega atau sedih. Lega karena laki-laki itu tampak baik-baik
saja, juga sedih karena dia tidak berusaha untuk kembali.
Viktor
Sua begitu bersinar ketika pertama kalinya dia hadir dalam pesta keluarga Len
enam tahun silam. Tidak seperti relasi-relasi ayahnya yang membosankan,
laki-laki itu telah berhasil merebut perhatian Viola yang baru berusia sepuluh
tahun dengan permainan piano yang memukau. Tidak seperti Meri yang selalu dapat
menggandeng tangan ayah mereka, Melisma yang cerdas, Tiara yang jadi pusat
perhatian, atau Amarta yang bisa dengan mudah mengundang kasih sayang orang
lain, Viola duduk kaku sendirian di atas kursi panjang empuk yang diperuntukkan
bagi lima kembar Len.
Viola
lahir lebih dulu, namun dia merasa seperti bukan siapa-siapa. Senyumnya kaku pada
setiap orang yang menghampirinya dan mengucapkan selamat ulang tahun.
Kemudian
Viktor Sua mendatanginya, membawa seuntai benang pita yang tidak sengaja copot
dari gaun Viola kecil. Viola yang tersipu malu, membiarkan Viktor yang lalu
memasangkan pita itu gaun Viola di bagian belakang. Orang-orang tidak terlalu
memperhatikan mereka dan sibuk mengurusi urusan masing-masing.
“Kenapa tak ke tengah-tengah?”
tanyanya ketika itu. “Kau akan tampak
bersinar hanya dengan tersenyum pada mereka.”
Viktor
memakai tuksedo, dan sekuntum bunga disematkan di bagian dada. Tenang,
laki-laki itu mengambil bunganya kemudian menyematkannya di sisi samping bando
perak Viola. Laki-laki itu kemudian menggandengnya lalu membawanya ke
tengah-tengah ruangan sehingga semua orang melihatnya.
Pandangan
Viola menerawang. Tidak lama setelah itu, dia tahu kalau Viktor merupakan putra
tunggal seorang pianis yang melegenda sampai kini. Bisa dikatakan kalau dialah
alasan mengapa Viola begitu senang membiarkan irama-irama indah mengalun berkat
jari-jarinya.
Untuk dapat
menjadi seorang gadis yang bisa disandingkan dengan laki-laki itu…
Akan
tetapi suatu ketika, Viktor membuang musik yang membuatnya bersinar. Laki-laki
itu jatuh ke liang yang amat dalam hingga tidak bisa lagi naik ke atas—atau lebih
tepatnya tidak mau. Dibandingkan dengan duduk di atas panggung menghadap piano,
menjadi pusat perhatian penontonnya, Viktor lebih memilih berkutat dengan
mobil-mobil dalam garasi. Tangannya tidak lagi seindah dulu.
Mengapa
ketika Viola beranjak lebih tinggi, dia justru turun ke bawah?
***
Untuk
ke sekian kalinya, Viola sengaja pulang paling akhir ketika les piano usai. Menghabiskan
sedikit waktu yang tersisa, jari-jarinya memainkan kembali sebuah lagu
bersamaan dengan suara rintik gerimis di luar. Dia menoleh ke arah jam dinding
lalu beranjak dari sana, membawa juga tas biola di punggung. Saat dia baru saja
keluar dari gedung, garasi bengkel seberang jalan telah ditutup. Viktor tidak
terlihat. Sepertinya hari ini, bengkel itu selesai lebih awal dari biasanya.
Viola
menghela napas kecewa. Dia lalu melangkah pulang sambil membawa payung.
Tidak
dia duga, satu jalan yang selalu dia lewati untuk pulang ke rumah sedang dalam
perbaikan. Ada sebuah lubang yang besar di sana. Viola tidak bisa lewat. Terpaksa,
dia pun mengambil jalan lain yang lebih sempit juga lebih sedikit penerangan. Beberapa
menit menyusuri jalan itu, sepasang matanya menangkap segerombol laki-laki
seusianya sedang duduk dan tertawa-tawa sambil menghisap rokok.
Viola
benci asap rokok. Dia juga muak melihat tingkah orang-orang itu. Meskipun demikian,
kakinya tetap melangkah tanpa takut karena dia selalu bisa menjaga diri selama
sebuah tongkat besi tersimpan dalam tas yang dia jinjing.
Gerombolan
laki-laki itu melihat Viola dan mereka bangkit berdiri menghadang. Jumlahnya ada
tujuh orang. Cukup menjadi penghalang di jalan yang sempit itu.
Salah
seorang dari mereka bersiul memandang Viola dari ujung kepala sampai ujung
kaki.
“Sendirian?”
tanya salah seorang yang lain.
Viola
mengatupkan bibirnya rapat-rapat lalu melangkah maju hendak melewati mereka
tanpa menggubris. Tapi tiba-tiba lengannya ditahan. Refleks, gadis itupun
menyentakkannya. Keningnya berkerut marah.
“Tak
usah marah begitu. Kami cuma heran ada cewek keluyuran malam-malam begini. Mau
diantar?”
“Nggak.
Terimakasih,” jawab Viola pendek kemudian berbalik lagi untuk pergi. Namun lagi-lagi
salah seorang menyentuh bahunya. Viola pun refleks menepisnya lagi. Melihatnya,
gerombolan itu tertawa.
“Kalau
dilihat-lihat cantik juga.”
Mata
Viola melebar melihat tangan salah satu dari mereka terulur untuk menyentuh
wajahnya. Bergerak mundur, payungnya malah jatuh sehingga sekarang wajahnya
tampak terlihat jelas di bawah penerangan lampu meskipun agak redup. Orang-orang
itu beberapa detik tertegun memandangnya.
Viola
bersiap memberi pelajaran pada mereka dengan merogoh tas, mengambil tongkatnya
diam-diam ketika tiba-tiba terdengar bunyi kaleng yang ditendang membentur
dinding lalu masuk ke tong sampah. Viola membelalak terkejut, sama halnya
dengan gerombolan itu. Mereka pun menoleh ke asal suara.
Tampak
seorang laki-laki berjalan tenang mendekat. Awalnya wajah laki-laki itu tidak
kelihatan jelas. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Viola tidak
bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Viktor.
Laki-laki
itu menyipit tidak senang pada gerombolan tadi, disambut dengan tingkah kikuk
mereka. Viola tidak tahu alasannya, namun sepertinya gerombolan itu takut pada
Viktor. Apakah selain jadi mekanik mobil-mobil balap, dia juga jadi anggota
geng tertentu? Entahlah.
Pandangan
mereka bertemu. Setelah sekian lama Viola hanya memperhatikannya dari kejauhan,
kini Viktor benar-benar menatapnya.
“Do I know you?” Dia bertanya. Wajahnya datar.
Cahaya yang dulu Viola lihat dalam dirinya nyaris tidak nampak lagi.
Bingung
dengan apa yang dikatakan Viktor, Viola hanya bisa diam.
“Kau
sering mengikutiku pulang,” kata Viktor lagi.
Pipi
Viola langsung memanas. Padahal selama ini pikirnya laki-laki itu tidak tahu.
“Apa
kau penguntit?” Viktor memiringkan kepala. “Tapi ini aneh. Aku merasa pernah
melihatmu sebelumnya.”
Dia
ingat, batin Viola senang. Setetes air matanya menitik. Sedetik kemudian dia
merasakan kedua kakinya lemas. Badannya merosot jatuh dan akhirnya terduduk di
atas jalan yang basah dan kotor.
Viktor
langsung menghampirinya karena terkejut.
“Kau
baik-baik saja? Apa yang sudah orang-orang sialan itu lakukan padamu?”
tanyanya.
“Kenapa
kau di sini?” Hanya itu yang dapat dilontarkan Viola.
Viktor
tahu gadis itu sering mengikutinya sewaktu pekerjaannya usai di bengkel. Meski awalnya
merasa sedikit terganggu, Viktor sebenarnya tidak berpikir kalau gadis itu
adalah seorang penguntit. Wajahnya kelihatan tidak asing meskipun dia tidak
bisa mengingat dengan jelas kapan sebelumnya mereka bertemu.
“Kau
menjatuhkan kalungmu,” kata Viktor mengeluarkan seuntai kalung dengan bandul
mutiara di tengah-tengah.
Viola
membisu. Tidak tahu harus mengatakan apa karena sekarang benaknya kosong.
Viktor
mendengus. Tidak disangka laki-laki itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada
Viola sambil tetap berlutut. Viola mengerjap beberapa kali sebelum menyadari
kalau laki-laki itu telah memasangkan kalung itu kembali ke lehernya. Setelahnya
dia juga menarik lengan Viola untuk membantunya berdiri.
“Aku
tak bisa mengantarmu pulang. Di ujung jalan itu ada pos polisi, jadi jangan
khawatir,” katanya. Sebelum dia beranjak pergi, Viola menahan lengannya hingga
menoleh.
Gadis
itu mengambil payungnya yang tadi terjatuh. Dia pun menyodorkannya pada Viktor.
“Aku
tak memerlukannya. Kau pakai saja,” tanggap Viktor pendek. Dia akan berbalik
lagi, tapi kata-kata Viola membuatnya tertahan lagi.
“Kalau
begitu…” Tangan Viola menggenggam erat payungnya. “Apa kau mau mendengarkan
permainanku besok?”
“Permainan?”
“Aku
seorang komponis,” kata Viola memberitahu. “Aku sering memainkan piano..”
Viktor
tertegun. Pikirannya diselimuti kabut abu-abu beberapa saat sebelum menarik
diri dan pergi. Viola tidak bisa lagi menahannya. Sosoknya menghilang di ujung
jalan meninggalkan Viola yang bergeming.
Gadis
itu kemudian menangis. Meninggalkan payungnya di sana, dia pun juga berbalik
pergi.
Laki-laki
itu telah jatuh ke lubang yang terlalu dalam hingga Viola tidak akan bisa
meraihnya.