A Bouquet of Amaryllis Under an Umbrella: It may hurt to let go, but sometimes it hurts more to hold on

Kamis, 18 Juni 2015





Alasan mengapa dirinya mencoba untuk jadi gadis yang seolah bisa terbang ke mana-mana adalah karena dia menyukai seorang laki-laki brengsek. Meskipun sepertinya seluruh dunia tahu, juga meskipun semua orang di sekitarnya meminta dia jangan mendekat, gadis itu punya pikiran berbeda. Dia senang berlama-lama ada dalam ruangan musik serta menghabiskan waktu di dalamnya sembari memainkan beberapa lagu. Walaupun tentu saja, laki-laki itu tidak bisa mendengarnya.

Hujan di bulan Juni kali ini membuat para guru yang pulang paling akhir menggerutu. Sebagian dari mereka tidak membawa payung karena tidak mengira kalau malam ini hujan. Mereka yang tidak mau berlama-lama menunggu dalam gedung les nekat menerobos tirai hujan yang tebal lalu menghentikan taksi di dekat halte. Sementara itu Viola melihat dengan diam salah satu guru pria—orang terakhir dalam gedung itu juga berlari ke arah mobil yang menjemputnya.

Gadis itu memegang payung putihnya, berdiri dekat pintu kaca sambil terus memandang sebuah garasi di seberang jalan kini. Beberapa orang pria yang bekerja di sana selama seharian telah pergi meninggalkan seorang laki-laki muda yang bekerja di situ kurang lebih dua setengah tahun ini. Viola melihat lampu-lampu di sana dipadamkan. Bahkan dari jarak sejauh itu, Viola bisa mendengar bunyi perkakas yang tengah dibereskan. Sosok siluet laki-laki itupun tampak mondar-mandir ke sana kemari, bersiap menutup bengkel.

Viola berbinar. Sudah waktunya, pikir gadis itu. Untung saja jalan raya di depannya sudah cukup lengang sehingga tidak perlu waktu lama baginya untuk menyeberang. Sesampainya dia di sisi jalan bersamaan dengan keluarnya laki-laki itu lalu menutup garasi kemudian menguncinya.

Laki-laki itu tidak memiliki payung ataupun jas hujan untuk menaungi tubuhnya. Dia hanya berjalan tenang menyusuri jalan, tidak peduli pakaian yang dia kenakan basah kuyup. Viola ingin sekali menawarkan berbagi payung dengannya, tapi urung. Gadis itu tidak memiliki keberanian untuk hal-hal seperti itu. Jadilah yang ada dia berjalan di belakang laki-laki itu dengan jarak yang tidak seberapa dekat.

***

“Eh, sudah tahu belum kalau semalam ada kecelakaan di jembatan angker?” 

“Tahu-tahu! Ada tabrakan trus mobilnya terbakar.”

“Nggak heran sih. Di sana kan sering ada balapan liar.”

Viola menoleh ketika sekumpulan gadis yang sama sepertinya, juga les musik di sana menyinggu tentang balapan liar yang akhir-akhir ini marak. Polisi telah berusaha untuk membubarkan kelompok ugal-ugalan itu, namun mereka tidak pernah berhenti berulah. Lagipula pikir Viola, mereka tidak pernah mengadakan balapan seperti itu di pagi atau siang hari, melainkan malam hari—itupun larut. Mereka hanyalah sekumpulan orang-orang yang kebingungan mencari wadah untuk menyalurkan hobi.

Pada akhirnya pun Viola bertanya-tanya apakah laki-laki itu termasuk di antara mereka. Dia senang memperhatikan laki-laki itu begitu serius mengutak-atik mobil yang masuk ke bengkel. Dia juga tahu bengkel di sana merupakan salah satu bengkel terbaik di kota. Tentunya banyak mobil-mobil bagus diperbaiki atau ditata ulang di sana—sebagian mereka ditangani langsung oleh laki-laki itu.

Sejauh ini entah dia harus lega atau sedih. Lega karena laki-laki itu tampak baik-baik saja, juga sedih karena dia tidak berusaha untuk kembali.

Viktor Sua begitu bersinar ketika pertama kalinya dia hadir dalam pesta keluarga Len enam tahun silam. Tidak seperti relasi-relasi ayahnya yang membosankan, laki-laki itu telah berhasil merebut perhatian Viola yang baru berusia sepuluh tahun dengan permainan piano yang memukau. Tidak seperti Meri yang selalu dapat menggandeng tangan ayah mereka, Melisma yang cerdas, Tiara yang jadi pusat perhatian, atau Amarta yang bisa dengan mudah mengundang kasih sayang orang lain, Viola duduk kaku sendirian di atas kursi panjang empuk yang diperuntukkan bagi lima kembar Len.

Viola lahir lebih dulu, namun dia merasa seperti bukan siapa-siapa. Senyumnya kaku pada setiap orang yang menghampirinya dan mengucapkan selamat ulang tahun.

Kemudian Viktor Sua mendatanginya, membawa seuntai benang pita yang tidak sengaja copot dari gaun Viola kecil. Viola yang tersipu malu, membiarkan Viktor yang lalu memasangkan pita itu gaun Viola di bagian belakang. Orang-orang tidak terlalu memperhatikan mereka dan sibuk mengurusi urusan masing-masing.

“Kenapa tak ke tengah-tengah?” tanyanya ketika itu. “Kau akan tampak bersinar hanya dengan tersenyum pada mereka.”

Viktor memakai tuksedo, dan sekuntum bunga disematkan di bagian dada. Tenang, laki-laki itu mengambil bunganya kemudian menyematkannya di sisi samping bando perak Viola. Laki-laki itu kemudian menggandengnya lalu membawanya ke tengah-tengah ruangan sehingga semua orang melihatnya.

Pandangan Viola menerawang. Tidak lama setelah itu, dia tahu kalau Viktor merupakan putra tunggal seorang pianis yang melegenda sampai kini. Bisa dikatakan kalau dialah alasan mengapa Viola begitu senang membiarkan irama-irama indah mengalun berkat jari-jarinya.

Untuk dapat menjadi seorang gadis yang bisa disandingkan dengan laki-laki itu…

Akan tetapi suatu ketika, Viktor membuang musik yang membuatnya bersinar. Laki-laki itu jatuh ke liang yang amat dalam hingga tidak bisa lagi naik ke atas—atau lebih tepatnya tidak mau. Dibandingkan dengan duduk di atas panggung menghadap piano, menjadi pusat perhatian penontonnya, Viktor lebih memilih berkutat dengan mobil-mobil dalam garasi. Tangannya tidak lagi seindah dulu. 

Mengapa ketika Viola beranjak lebih tinggi, dia justru turun ke bawah?

***

Untuk ke sekian kalinya, Viola sengaja pulang paling akhir ketika les piano usai. Menghabiskan sedikit waktu yang tersisa, jari-jarinya memainkan kembali sebuah lagu bersamaan dengan suara rintik gerimis di luar. Dia menoleh ke arah jam dinding lalu beranjak dari sana, membawa juga tas biola di punggung. Saat dia baru saja keluar dari gedung, garasi bengkel seberang jalan telah ditutup. Viktor tidak terlihat. Sepertinya hari ini, bengkel itu selesai lebih awal dari biasanya.

Viola menghela napas kecewa. Dia lalu melangkah pulang sambil membawa payung.

Tidak dia duga, satu jalan yang selalu dia lewati untuk pulang ke rumah sedang dalam perbaikan. Ada sebuah lubang yang besar di sana. Viola tidak bisa lewat. Terpaksa, dia pun mengambil jalan lain yang lebih sempit juga lebih sedikit penerangan. Beberapa menit menyusuri jalan itu, sepasang matanya menangkap segerombol laki-laki seusianya sedang duduk dan tertawa-tawa sambil menghisap rokok. 

Viola benci asap rokok. Dia juga muak melihat tingkah orang-orang itu. Meskipun demikian, kakinya tetap melangkah tanpa takut karena dia selalu bisa menjaga diri selama sebuah tongkat besi tersimpan dalam tas yang dia jinjing.

Gerombolan laki-laki itu melihat Viola dan mereka bangkit berdiri menghadang. Jumlahnya ada tujuh orang. Cukup menjadi penghalang di jalan yang sempit itu.

Salah seorang dari mereka bersiul memandang Viola dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Sendirian?” tanya salah seorang yang lain.
 
Viola mengatupkan bibirnya rapat-rapat lalu melangkah maju hendak melewati mereka tanpa menggubris. Tapi tiba-tiba lengannya ditahan. Refleks, gadis itupun menyentakkannya. Keningnya berkerut marah.

“Tak usah marah begitu. Kami cuma heran ada cewek keluyuran malam-malam begini. Mau diantar?”

“Nggak. Terimakasih,” jawab Viola pendek kemudian berbalik lagi untuk pergi. Namun lagi-lagi salah seorang menyentuh bahunya. Viola pun refleks menepisnya lagi. Melihatnya, gerombolan itu tertawa.

“Kalau dilihat-lihat cantik juga.”

Mata Viola melebar melihat tangan salah satu dari mereka terulur untuk menyentuh wajahnya. Bergerak mundur, payungnya malah jatuh sehingga sekarang wajahnya tampak terlihat jelas di bawah penerangan lampu meskipun agak redup. Orang-orang itu beberapa detik tertegun memandangnya.

Viola bersiap memberi pelajaran pada mereka dengan merogoh tas, mengambil tongkatnya diam-diam ketika tiba-tiba terdengar bunyi kaleng yang ditendang membentur dinding lalu masuk ke tong sampah. Viola membelalak terkejut, sama halnya dengan gerombolan itu. Mereka pun menoleh ke asal suara.

Tampak seorang laki-laki berjalan tenang mendekat. Awalnya wajah laki-laki itu tidak kelihatan jelas. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Viola tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Viktor.

Laki-laki itu menyipit tidak senang pada gerombolan tadi, disambut dengan tingkah kikuk mereka. Viola tidak tahu alasannya, namun sepertinya gerombolan itu takut pada Viktor. Apakah selain jadi mekanik mobil-mobil balap, dia juga jadi anggota geng tertentu? Entahlah.

Pandangan mereka bertemu. Setelah sekian lama Viola hanya memperhatikannya dari kejauhan, kini Viktor benar-benar menatapnya.

Do I know you?” Dia bertanya. Wajahnya datar. Cahaya yang dulu Viola lihat dalam dirinya nyaris tidak nampak lagi.

Bingung dengan apa yang dikatakan Viktor, Viola hanya bisa diam.

“Kau sering mengikutiku pulang,” kata Viktor lagi.

Pipi Viola langsung memanas. Padahal selama ini pikirnya laki-laki itu tidak tahu.

“Apa kau penguntit?” Viktor memiringkan kepala. “Tapi ini aneh. Aku merasa pernah melihatmu sebelumnya.”

Dia ingat, batin Viola senang. Setetes air matanya menitik. Sedetik kemudian dia merasakan kedua kakinya lemas. Badannya merosot jatuh dan akhirnya terduduk di atas jalan yang basah dan kotor.

Viktor langsung menghampirinya karena terkejut.

“Kau baik-baik saja? Apa yang sudah orang-orang sialan itu lakukan padamu?” tanyanya.

“Kenapa kau di sini?” Hanya itu yang dapat dilontarkan Viola.

Viktor tahu gadis itu sering mengikutinya sewaktu pekerjaannya usai di bengkel. Meski awalnya merasa sedikit terganggu, Viktor sebenarnya tidak berpikir kalau gadis itu adalah seorang penguntit. Wajahnya kelihatan tidak asing meskipun dia tidak bisa mengingat dengan jelas kapan sebelumnya mereka bertemu.

“Kau menjatuhkan kalungmu,” kata Viktor mengeluarkan seuntai kalung dengan bandul mutiara di tengah-tengah.

Viola membisu. Tidak tahu harus mengatakan apa karena sekarang benaknya kosong.

Viktor mendengus. Tidak disangka laki-laki itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada Viola sambil tetap berlutut. Viola mengerjap beberapa kali sebelum menyadari kalau laki-laki itu telah memasangkan kalung itu kembali ke lehernya. Setelahnya dia juga menarik lengan Viola untuk membantunya berdiri.

“Aku tak bisa mengantarmu pulang. Di ujung jalan itu ada pos polisi, jadi jangan khawatir,” katanya. Sebelum dia beranjak pergi, Viola menahan lengannya hingga menoleh.

Gadis itu mengambil payungnya yang tadi terjatuh. Dia pun menyodorkannya pada Viktor.

“Aku tak memerlukannya. Kau pakai saja,” tanggap Viktor pendek. Dia akan berbalik lagi, tapi kata-kata Viola membuatnya tertahan lagi.

“Kalau begitu…” Tangan Viola menggenggam erat payungnya. “Apa kau mau mendengarkan permainanku besok?”

“Permainan?”

“Aku seorang komponis,” kata Viola memberitahu. “Aku sering memainkan piano..”

Viktor tertegun. Pikirannya diselimuti kabut abu-abu beberapa saat sebelum menarik diri dan pergi. Viola tidak bisa lagi menahannya. Sosoknya menghilang di ujung jalan meninggalkan Viola yang bergeming.

Gadis itu kemudian menangis. Meninggalkan payungnya di sana, dia pun juga berbalik pergi.

Laki-laki itu telah jatuh ke lubang yang terlalu dalam hingga Viola tidak akan bisa meraihnya.

A Piece of Honesty: She's not mad, she's hungry. Give her food, and everything will just fine

Minggu, 14 Juni 2015





Segera setelah mobil merah muda itu masuk ke halaman parkir sebuah gedung pusat olahraga, sepasang boots hitam berhak tinggi langsung menjulur dari dalam kursi penumpang. Keadaan di sekitar cukup lengang sehingga gadis itu tidak mengundang banyak perhatian seperti yang biasa dia alami. Sekujur tubuhnya berbalut warna hitam: jeans hitam, cape dengan tudung hitam, juga tidak lupa sepasang matanya tertutup kacamata hitam. Rambut cokelat ikalnya tersembunyi sempurna di balik tudung.

Gladys harus akui, meskipun dengan emosi yang meledak-ledak, artis remaja yang selalu dia buntuti ke mana-mana itu selalu mempersiapkan baik-baik hal-hal yang jadi perhatiannya—walaupun lebih sering mengarah pada sesuatu yang sebenarnya lumayan… anarkis.

Seperti misalnya apa yang hendak dia lakukan dengan tongkat bisbol yang tengah gadis itu pegang.

Kepalanya menoleh ke segala arah di sekelilingnya, mencari mobil yang adalah milik seseorang yang telah membuatnya gadis itu murka. Tidak butuh waktu lama. Mobil itu diparkir tidak jauh dari mobilnya kini. Kemudian tanpa pikir panjang dia mendatanginya.
Pandangan Gladys yang tadinya tidak pernah lepas memperhatikan tingkah gadis itu pun akhirnya memalingkan muka lalu mendesis—benar-benar tidak sampai hati melihat langsung perbuatannya kali ini.

Sang Gadis bertudung mengangkat tongkat bisbolnya tinggi-tinggi lalu mengayunkannya keras tepat di kaca depan mobil orang yang membuatnya marah. Tidak cukup sekali, dia memukulkan tongkat itu berkali-kali hingga nyaris semua bagian kaca depannya hancur total. Belum puas, mesin depanpun juga jadi sasarannya. Beberapa orang yang awalnya berjalan berlalu-lalang membelalak syok melihat perbuatan gadis itu tapi tidak ada yang cukup berani menghentikannya.

Barulah dalam hitungan menit kemudian, setelah merasakan emosinya terlampiaskan seluruhnya, gadis itu berhenti. Rongga dadanya naik turun karena sebagian energinya cukup terkuras mengingat dia mengerahkan seluruh kekuatannya hari itu hanya untuk menghancurkan sebuah mobil.

Gladys yang ingin membenamkan kepalanya dalam-dalam ke stir pelan-pelan menoleh ke arah artis yang diasuhnya.

Chrisantee—begitu Gladys memanggilnya—bukan gadis yang jahat. Hanya saja ketika dia marah, orang yang terkena amuknya akan hancur sehancur-hancurnya. Untuk kasus kali ini, Gladys cukup punya andil. Dia memperkenalkan Chrisantee pada seorang produser yang mesum—Gladys bersumpah, dia tidak tahu menahu soal itu awalnya. Produser itu minta supaya Chrisantee memperlakukannya dengan “baik”, namun ujung-ujungnya tentu saja berbeda jauh dengan apa yang Gladys anggap mulanya.

Dia—Chrisantee memang bukan artis besar. Suaranya ketika menyanyi, juga akting gadis itu lumayan bagus. Namun dia ingin orang-orang mengenalnya karena usaha yang dia lakukan, bukan dengan pengaruh yang dia miliki. Karenanya dia memulai segala sesuatunya mulai dari level terendah. Makanya mereka sering menawarkan diri ke beberapa agen. Tentunya ini bukan untuk yang pertama kalinya terjadi.

Dua setengah tahun Chrisantee memulai semuanya, dia pun mendapatkan kepopuleran yang sudah lama diidam-idamkan. Meski begitu, gadis itu tidak mau terlalu cepat puas.

Gladys telah terbiasa menghadapi tingkah Chrisantee yang blak-blakan. Namun entah kenapa dia tidak pernah bisa menebak apa yang kemudian dilakukan gadis itu. Sama seperti kali ini. Padahal setahunya saudaranya yang lain tidak ada yang senekat itu walaupun harus Gladys akui—mereka semuanya aneh. Well, memangnya orang mana yang akan menganggap biasa kembar berjumlah lima?

Sekarang dilihatnya Chrisantee membalikkan badan lalu melangkah kembali ke mobilnya. Gladys menghela napas panjang ketika gadis itu membuka pintu belakang dan masuk setelah lebih dulu melemparkan tongkat bisbol yang dia bawa ke dalam. Dia menyibakkan tudung lalu melepaskan kacamata kemudian berbaring miring dengan muka cemberut.

“Sudah lega sekarang?” tanya Gladys yang menghidupkan kembali mesin mobil lalu tanpa menunggu perintah gadis itu mereka pun beranjak dari sana.

“Aku lapar…,” gumam Chrisantee dengan tatapan kosong seolah telah berhari-hari dia lalui tanpa makan.

“Kita bisa beli salad di minimarket kalau kau mau,” respon Gladys.

“Seperti aku mau makan itu saja.”

Gladys mengerutkan kening.

“Aku mau makan nasi dan daging kecap—sepanci penuh.”

“Hei, Chrisantee! Orang brengsek macam apa yang mengajarimu makan sebanyak itu waktu sedang marah?!” Gladys membelalak dan langsung membentaknya tanpa pikir panjang. Sedikit banyak, wanita itu mengakui kalau sifatnya sendiri tidak jauh berbeda dengan Chrisantee. “Harus berapa kali aku mengajarimu cara menghitung kalori?!”

“Produser itu sempat mengajakku ke hotel…” Chrisantee berujar memotong khotbah Gladys. Manajernya pun bungkam dan menelan ludah. “Rasanya aku ingin sekali menggunakan tongkat bisbolku lagi…,” gumamnya membuat Gladys sedikit takut.

“Da—…” Gladys meresponnya kemudian setelah jeda beberapa detik. “Daging kecap di mana maksudmu?”

***

Dan di sanalah mereka, duduk berhadapan di dalam sebuah restoran Korea. Meja yang ada di tengah mereka penuh dengan makanan. Chrisantee lahap memakan daging kecapnya setelah lebih dulu menyumpal mulutnya dengan sesendok penuh nasi. Dia nampak begitu telaten memisahkan daging dengan tulangnya sementara Gladys memperhatikan dia dalam kelesuan. Gladys sendiri hanya memesan segelas lemon tea dingin yang sampai sekarang masih utuh. Melihat Chrisantee makan saja sudah membuatnya kenyang. Bahkan dia merasa tidak perlu lagi menyantap makan malamnya nanti.

“Aku tahu kau kelaparan. Setidaknya makan pelan-pelan. Kalau kau tersedak hebat seperti dulu, aku juga yang repot,” nasihat Gladys entah Chrisantee dengar atau tidak.

Sesaat kemudian ponsel Gladys berbunyi. Wanita itu merogoh tasnya untuk mengambil benda putih itu. Saat membukanya, dia mendapati ada satu pesan yang masuk. Dari orang yang sama sekali tidak dia duga.

“Hei, Chrisantee,” panggil Gladys tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. “Ada satu kembaranmu di sini.”

Chrisantee tetap mengunyah makanan dalam mulutnya, meski begitu temponya berkurang.

“Siapa?” tanya gadis itu sembari menebak-nebak. Paling-paling sepasang kembarannya yang ada di Indonesia—karena merekalah yang paling mungkin mendatanginya, tidak seperti sepasang lainnya.

“Kembaranmu yang nama depannya panjang,” kata Gladys. “Aku tidak terlalu ingat… oh, tapi aku ingat nama tengahnya. Vrtnica.”

Dan sontak, Chrisantee menyemburkan sebagian makanan di mulutnya hingga mengenai wajah Gladys.

***

Selama Chrisantee bersamanya, dia nyaris tidak pernah menyinggung keempat kembarannya sebelum orang lain melakukannya lebih dulu. Gladys pernah bertanya mengapa mereka terpisah satu sama lain, namun gadis itu hanya menjawabnya dengan seulas senyum masam. Gladys juga tidak pernah bertemu dengan ayah si Kembar dan hanya pernah mendengar suaranya lewat sambungan telepon.

Sekarang setelah mereka kembali lagi ke mobil menuju ke bandara, Gladys melihat Chrisantee duduk di kursi belakang sembari menggigiti ujung kuku jempolnya. Gadis itu tegang. Gladys jarang sekali melihatnya seperti itu. Bahkan di saat-saat paling genting sekalipun Chrisantee akan berusaha berbohong dengan sembunyi di balik gelak tawanya.

Sesampainya di bandara, Chrisantee langsung berlari sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari-cari sosok itu di antara banyak orang yang berlalu-lalang. Beberapa dari mereka mengenalinya dan langsung berusaha memotret gadis itu menggunakan kamera ponsel. 

Gladys menghela napas panjang, memutuskan akan membiarkannya saja. Setidaknya para fans di sana tidak seagresif fans di panggung tempat Chrisantee menyanyi.

Sedetik kemudian, mata Chrisantee terpaku pada satu arah. Gladys mengikuti arah pandangannya dan melihatnya. Sosok seorang gadis yang kurang lebih mirip dengan Chrisantee, hanya saja dengan tatanan rambut serta rona kulit yang berbeda. Keduanya pun memiliki selera yang berbeda soal pakaian.

Gadis manekin tidak berubah seperti terakhir kali mereka bertemu—kurang lebih setahun yang lalu. Dia mengenakan gaun renda yang berwarna biru lembut. Rambut cokelat terangnya seperti biasa dibiarkan tergerai jatuh. Sementara di belakang gadis itu, dua orang pria mengikutinya membawakan koper serta barang-barang lain.

Gladys mendekati Chrisantee dan berdiri di sebelahnya begitu Vrtnica menghentikan langkah tepat di hadapan mereka. Dia menatap Chrisantee sekilas sebelum gadis itu spontan memalingkan wajah—gugup.

Ah.. apa dia selalu seperti ini waktu bertemu kembarannya satu itu? Gladys bertanya-tanya. Setahunya Chrisantee bersikap wajar ketika bertemu kembarannya yang lain.

How are you?” tanya Vrtnica memecah kekakuan.

“Aku baik-baik saja,” jawab Chrisantee ditambah anggukan. “Tumben kau ke sini. Ada perlu apa?”

Vrtnica memiringkan kepalanya seolah memikirkan sesuatu alih-alih menjawab Chrisantee.
“Aku butuh samsak tinju…,” katanya. “Mau mengantarku?”

“Oke!” Senyum Chrisantee mengembang.

Entah itu karena Vrtnica memintanya, ataukah karena tinju adalah olahraga kesukaannya, Gladys tidak tahu.

***

“Pilihlah,” pinta Vrnica—lebih cocok dikatakan memerintah—pada Chrisantee disambut anggukan senang hati gadis itu, kemudian dia berlari kecil ke samsak-samsak tinju yang digantung.

Mereka ada di pusat belanja bagian peralatan dan perlengkapan olahraga sekarang. Dua orang pria yang mengekor Vrtnica kemudian membawakan sebuah kursi untuk gadis itu duduki. Sementara itu Gladys pun berdiri kikuk di sebelahnya.

“Ada kejadian menarik apa?” tanya Vrtnica tanpa mengalihkan perhatiannya dari Chrisantee yang sedang memilih samsak—bahkan beberapa kali meninjunya.

“Apa?” Gladys mengangkat alis, bingung.

“Anak satu itu pasti sering membuatmu repot kan?”

“Ah, itu…” Gladys tertawa hambar. “Sebenarnya tadi pagi dia menghancurkan mobil calon produsernya.”

Vrtnica tersenyum tipis. Kemudian keheningan tercipta.

“Omong-omong… bisakah aku minta sedikit bantuanmu?” tanya Gladys, membuat Vrtnica menoleh padanya. “Maukah kau menasihati dia? Bukannya aku keberatan dengan sikapnya selama ini.. tapi kalau dia terus melampiaskan emosinya kala sedang kesal seperti tadi.. aku takut karirnya akan redup.”

Vrtnica menghadapkan kepalanya kembali ke depan lalu menopang dagu.

“Anak itu…” Dia berkata. “Sering sekali berbohong.”

Gladys terdiam. Gadis itu benar. Chrisantee sering menyembunyikan rasa tegang, takut, dan kecemasannya di balik  tawanya.

“Namun di saat tertentu.. dia akan sangat jujur pada perasaannya sendiri,” kata Vrtnica lagi. “Kalau kularang dia melakukan hal-hal yang mencerminkan perasaannya saat itu juga, dia akan sepenuhnya jadi seorang pembohong.” Vrtnica menoleh. “Kau ingin dia jadi seperti itu?”

Gladys tertegun. Perhatiannya kembali pada Chrisantee yang tampak senang sekali memainkan samsak seolah lupa pada keberadaan mereka berdua.

“Tentu.. aku tidak melarangmu menasihatinya,” kata Vrnica pelan. “Semuanya akan menjadi lain kalau aku yang melakukannya… kalau aku bilang jika dia akan menangis sebelum tertidur, apa kau akan percaya?”
“Apa?”
“Aku tidak pernah mengatakannya ya?” Vrtnica tersenyum penuh arti. “Meski Tiara tidak bisa menganggapku sama dengan yang lain, dan meskipun juga sebagian dirinya takut padaku, dia tidak pernah tahu aku mengkhawatirkannya lebih dari siapa pun dalam keluarga kami.”

Jeda yang panjang. Gladys melihatnya menutup kedua mata.

“Biarkan dia melakukan apa pun selama tidak membahayakan dirinya atau orang lain,” kata gadis itu terdengar tidak terbantahkan. “Because whatever you do, good or bad, people will always have something negative to say.”

Bibir Gladys terkatup erat. Mengapa? Tanyanya dalam hati. Mengapa meskipun gadis itu jauh lebih muda darinya, Vrtnica terdengar jauh lebih dewasa? Perlahan dirinya pun paham mengapa Chrisantee begitu menganggapnya istimewa.

“Tapi itu tidak berarti dia bisa melakukan apa pun… terutama hal-hal seperti itu.” Gladys memprotes.

That’s why you’re here.”

Jawaban gadis itu lagi-lagi membuat Gladys tertegun.

Tengah larut dalam pikirannya, Chrisantee berlari kecil menghampiri mereka.

“Aku lupa tanya kau butuh berapa,” ucap gadis itu.

Vrtnica tersenyum tipis. 

“Pilihlah yang kau suka. Gantilah samsak di kamarmu,” katanya.

Chrisantee mengerjap. “Ganti? Kenapa?”

Maid rumahmu mengatakan padaku kalau samsakmu hancur semalam. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kau memukulinya.” Vrtnica lalu berdiri. “Jangan terlalu berlebihan,” nasihatnya lalu berbalik hendak pergi.

“Kau tidak mau mampir dulu sebelum pergi?” tanya Chrisantee ragu-ragu.

Vrtnica menoleh lagi padanya. Tangan kirinya terangkat meminta sesuatu dari salah satu guard-nya tadi. Pria itupun memberikan padanya sebuah kotak dengan pegangan besi. Vrtnica kemudian memberikannya pada Chrisantee.

“Apa ini?”

“Makan malammu,” jawab Vrtnica. “Bagilah dengan Gladys.” Dan setelah mengatakannya, dia pergi.

“Ah… apa-apaan…,” keluh Chrisantee sedih. “Cuma begitu saja…” Dia menatap sebentar kotak tadi tanpa minat lalu mengalihkannya pada Gladys.

“Apa isinya?” tanya Gladys.

“Mana kutahu. Ayo pulang. Oh, bilang samsak yang kupilih tadi untuk dikirim ke rumah. Aku yakin mereka tak akan minta bayaran karena semua samsak itu sudah dibeli,” kata Chrisantee lesu.

Gladys menghela napas panjang. Hidungnya mencium aroma yang lezat dari kotak tadi. Dia pun tergoda untuk membukanya. Dan kemudian, mulutnya membentuk huruf “o”.

“Ini makanan apa? Daging kecap?” gumam wanita itu asal-asalan.

Chrisantee mengerutkan kening dan langsung melihat isi kotak itu juga.

“Ini semur!!” pekiknya senang. Hidungnya menghirup dalam-dalam kuah coklat di kotak itu. “Dan bukan sembarang semur!! Ini semur yang dimasak di restoran mendiang mama!”

“Oh?”

What? Kau mau bilang kalau kau tidak tahu makanan kesukaanku?” Mata Chrisantee menyipit.

Gladys memutar bola matanya. “Mana kutahu kalau kau terlihat begitu lahap menyantap segala jenis makanan!”

Chrisantee cemberut dan langsung merebut kotak itu lalu melengos pergi. Dua-duanya sama-sama sebal, namun Gladys tetap setia mengikutinya.

That’s why I’m here…,” gumamnya sangat pelan kemudian tersenyum.