Yosi
mematung. Butuh waktu baginya untuk memahami senyuman penuh arti cewek itu juga
satu pertanyaan sederhana yang dia lontarkan. Tatapan mereka tersambung cukup
lama walau tanpa mereka sadari. Yosi memandang gadis itu dengan tujuan mencari
tahu siapa dia dan apa maksudnya dia berada di sana, sedangkan di sisi lain
gadis itu tampak menikmati hawa menelisik dari Yosi. Dalam ekspresi cewek
tangguh itu terkandung rasa penasaran yang amat sangat juga sedikit kecurigaan.
“Kenapa
tak kau tanya saja padaku daripada kau tersesat dalam labirin otakmu itu jauh
lebih lama daripada seharusnya?” tanya gadis itu akhirnya.
Kalimatnya
dirasa sinis, namun pengucapannya tergolong manis. Yang paling membuat semuanya
jelas adalah bahasa formal yang dia ucapkan. Hal itu bukti kalau Yosi tidak
salah mengingat meski bertahun-tahun telah berlalu semenjak pertemuan
terakhirnya dengan gadis manekin yang dulu menabraknya: salah satu dari si
Kembar.
Gigi
seri Yosi mulai menekan bibir bawah. Dia sedikit menghela napas seusai mendebat
dalam hati. Petunjuk satu: gadis itu jelas salah satu dari si Kembar karena
wajah mereka sama persis. Petunjuk dua: kalau gadis itu mengenalnya, dia pasti
akan menyebut nama Yosi, bukannya balik memberi teka-teki.
“Kita… pernah bertemu sebelum ini kan?”
Pertanyaan
tadi bisa terlontar oleh siapa pun dari mereka. Yosi telah mengeliminasi
kemungkinan gadis itu adalah salah satu dari sepasang kembar yang supel. Kembar
yang menabraknya punya ekspresi bagai mayat, jadi gadis itu juga tidak mungkin
dia. Salah satu dari mereka pernah mengatakan kalau jumlah mereka ada lima.
Yosi hanya mengenal tiga di antaranya, dan mungkin saja yang dia temui kali ini
adalah satu dari dua kembar yang tidak Yosi kenal.
“Siapa?”
Satu kata tanya itulah yang akhirnya bisa Yosi ucapkan alih-alih menebak.
Tawa gadis
itu meledak. Kening Yosi berkerut melihatnya tertawa geli sampai-sampai di
sudut matanya keluar bulir air.
“Kau
lumayan,” katanya di sela-sela tawa yang menggelitik. Usai tawanya reda, dia melihat
ke sekeliling, mendapati tidak ada pelanggan selain dirinya di sana. “Ah… aku
ingin mengajakmu mengobrol… mungkin susah karena kau sedang bekerja. Hm…”
Lagi,
tatapannya menyorot lurus pada Yosi—seperti memaksanya mengabulkan keinginan
gadis itu.
Yosi
menghela napas panjang dan memutar bola mata. Dia meninggalkan etalase sejenak
untuk minta izin rekannya menemani gadis yang diakunya sebagai teman. Untungnya
waitress lain itu setuju menggantikan
Yosi, ditambah memang kafe sedang sepi pengunjung. Yosi kembali lalu
menyarankan gadis itu untuk duduk sementara dia menyiapkan es krim yang tadi
dipesan.
Gadis
itu mengambil duduk di meja yang ditaruh menempel dengan dinding kaca. Dia sedang
memandang keluar ketika Yosi menaruh banana split di mejanya. Gadis itu
menoleh. Senyumnya tersungging manis.
“Silakan
duduk,” katanya sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Sepasang matanya
jernih sekali. Binar yang dia tunjukkan seolah jelas antusias dengan keberadaan
orang di depannya sekarang ini. “Yosi? Namamu Yosi?” Dia melihat ke name tag yang Yosi sematkan di dada. “Boleh
aku panggil Yosi?”
“Silakan,”
jawab Yosi pendek. “Lo belum tanya tanya gue tadi?”
“Siapa
aku?” Gadis itu menyendokkan sedikit es krim ke mulutnya. “Kenapa kau tidak
berusaha menebak? Kebanyakan orang yang bertemu kami melakukan hal yang sama. Dan
lagi, aku suka bagaimana orang-orang itu terlihat serius saat menebak. Mereka pikir
akan sangat mudah membedakan kami ketika tahu kriteria khas yang kami miliki.”
“Lo
bilang lo suka,” kata Yosi menanggapi. “Tapi nyatanya kalimat yang terakhir lo
bilang jelas nunjukin kalau lo nggak suka diremehin.”
Gadis
itu tertawa lagi.
“Kau
benar-benar lumayan,” komentarnya senang. “Kalau kita benar-benar pernah
bertemu sebelum ini, aku pasti tak akan lupa. Kau terlalu menarik untuk
dilupakan.”
Dia tipe
orang yang sangat percaya diri mengemukakan begitu saja apa yang ada dalam
benaknya. Karakternya kuat, mengarah ke pribadi yang sungguh-sungguh ingin
dianggap ada. Orang seperti itu jelas akan selalu berusaha menjadi tokoh yang
dilibatkan. Satu hal yang pasti harus diketahui Yosi: masing-masing kembar
tidak bisa disimpulkan begitu saja menjadi teman atau lawan.
“Nah,
jadi.. siapa dari kami yang kau kenal?” Gadis itu bertanya. Padahal dia tidak
sedikitpun menyinggung pertanyaan singkat dari Yosi perihal siapa dia,
melainkan melontarkan banyak tanya alias berfokus pada dengan siapa dia bicara.
“Viola.
Dia suka memainkan biola waktu di sekolah,” ujar Yosi mengingat sosok gadis
berperangai dewasa yang lembut.
“Anak
yang lahir pertama,” tanggap gadis itu sembari tersenyum. “Dia rajin mengisi
resital, kau tahu? Kau harus menontonnya kapan-kapan.”
“Amarta.
Cewek yang suka sekali buat bento.”
“Si
Bungsu yang lucu.” Lagi-lagi gadis itu menambahkan. Kali ini dengan memilin
rambutnya. Terakhir dia mendirikan kafe dessert
sambil belajar menjadi pastry chef.
Oh, kau beruntung sekali bisa kenal dengan mereka.”
“Dan…”
Gadis
itu tampak mengerjap saat Yosi mulai menyebut kembar ke tiga yang dia kenal.
“Ratimeria—cewek
yang pernah nabrak gue sampai koma bahkan hilang ingatan.”
Dan
seketika, ekspresi gadis itu membeku. Sekujur tubuhnya bergeming, hanya kelopak
matanya yang bergerak menatap Yosi dalam-dalam. Yosi terdiam karena sisi ceria
gadis di depannya mendadak lenyap, berganti dengan warna wajah yang keruh
seperti mendengar sesuatu yang seharusnya tidak pernah diungkit di dekatnya.
“Kapan..”
Dia akhirnya berucap. “Terakhir kali kau melihatnya?”
***
Hujan
deras yang melanda beberapa menit yang lalu menyisakan hawa dingin yang menusuk
tulang. Dengan bersandar pada tembok pembatas jalan dan rel, Ryan mengeluarkan
pemantik dari saku celana setelah menjepit sebatang rokok menggunakan bibir. Pandangannya
menyorot kosong saat setitik api yang dia nyalakan mulai membakar ujung rokok. Asap
kemudian mengepul keluar bersamaan dengan napasnya.
“Brengsek
lo…,” maki seorang cowok yang tersungkur di depan Rian yang berwajah babak
belur. Dia juga menekan perutnya yang terasa nyeri luar biasa. Di sekelilingnya,
tiga orang cowok bernasib sama.
Hebatnya
meski wajah empat cowok itu amburadul, wajah Rian “bersih”. Hanya saja sudut
bibirnya sedikit mengeluarkan darah.
“Lain
kali jangan ajak gue lagi ke tempat sialan itu,” kata Rian. “Udah cukup darah
yang lo isep dari gue. Kalau mau, lo bisa cari rongsok di gunungan sampah
kampus. Sampah emang seharusnya nyari sampah.”
Tanpa
menunggu balasan, Rian berjalan pergi. Dia melewati jalan-jalan sempit yang
minim penerangan. Sesekali, pandangannya mengarah ke langit di mana sinar
bintang terlihat jelas. Bahkan tanpa sepengetahuannya, tiga tahun belakangan
ini berlalu dengan amat baik. Rian ragu kenapa dia bisa melangkah sejauh ini
padahal rasanya kungkungan yang memenjarakannya belum juga berakhir.
Rian
memarkir motornya di lapangan terbuka tidak jauh dari sana. Bahkan, kunci motor
itu masih terpasang. Rian bahkan tidak peduli kalau-kalau dia kembali dan motor
hitam itu menghilang. Paling-paling yang
dilakukannya adalah menyuruh orang untuk melacaknya lalu menghajar pencurinya
habis-habisan.
“Lama
banget. Aku pikir kamu dihajar sampai pingsan.”
Suara
itu membuat Rian menoleh tepat sebelum cowok itu memakai helm. Seorang cewek
dalam balutan celana ketat dan jaket hitam tersampir di bahu mendekatinya
sambil tersenyum. Kedua pipinya bergantian menggembung berkat permen loli yang
dia kulum.
“Ayo
makan. Aku lapar,” kata cewek itu lagi.
Rian
tidak membalas. Gantinya, dia melemparkan satu lagi helm di motornya pada cewek
itu.
“Helmmu
ganti? Kenapa? Aku suka biru kemarin.”
“Nggak
usah kebanyakan protes, Samsin. Masih untung lo nggak gue tinggal di sini,” gerutu
Rian.
Cewek
bernama Samsin itu menurut. Dia memakai helm yang diberikan Rian lalu
membonceng di belakang cowok itu. Mereka pergi menerobos hawa dingin malam.
***
“Tiga
tahun lalu. Sebelum kenaikan ke kelas tiga.”
Jawaban
Yosi tidak membuat cewek di hadapannya puas. Sinar mata yang awalnya antusias
berganti dengan tatapan keragu-raguan. Dia mungkin tidak berpikir kalau Yosi
berbohong, namun hatinya menerka-nerka haruskah dia bertanya untuk mengorek
lebih jauh lagi.
“Kau
tahu di mana dia sekarang?” tanyanya kemudian.
Yosi
menggeleng. Sementara gadis itu mengalihkan perhatiannya dengan menggigiti
kuku-kuku jarinya, ganti Yosi yang bertanya.
“Kalian
kembar dan tidak saling tahu keberadaan satu sama lain?”
Gadis
itu menatapnya lagi. Bibirnya mengulum seperti sedang menimbang-nimbang
sesuatu. Berani bertaruh, Yosi yakin ada sesuatu yang tidak beres.
“Di
antara kami berlima, dia adalah orang yang paling susah ditemui,” jawab gadis
itu sama sekali tidak terdengar seperti sedang membela diri. “Well, kita tidak akan pernah bisa
bertemu dengannya lagi anyway.”
Yosi
mengernyit. Tidak masalah kalau Yosi tidak akan melihat Ratimeria untuk
selamanya—semisal ucapan itu benar. Apa maksudnya dengan kata kita? Mereka kembar alias satu keluarga.
Jadi masalah apa yang terjadi sampai-sampai mereka tidak akan pernah bertemu
lagi?
Sebelum
Yosi mulai memikirkan segala kemungkinan yang ada, ucapan gadis itu membuyarkan
segalanya.
“Dia
meninggal dua tahun lalu setelah ditembak.” Gadis itu memalingkan wajahnya ke
luar kafe. “Dan aku—kembar ke empat—penasaran ada berapa keluarga Lureic yang
berkeliaran di sini.”