Feeling for the Angel (Complication)

Minggu, 27 Maret 2016



Yosi mematung. Butuh waktu baginya untuk memahami senyuman penuh arti cewek itu juga satu pertanyaan sederhana yang dia lontarkan. Tatapan mereka tersambung cukup lama walau tanpa mereka sadari. Yosi memandang gadis itu dengan tujuan mencari tahu siapa dia dan apa maksudnya dia berada di sana, sedangkan di sisi lain gadis itu tampak menikmati hawa menelisik dari Yosi. Dalam ekspresi cewek tangguh itu terkandung rasa penasaran yang amat sangat juga sedikit kecurigaan.

“Kenapa tak kau tanya saja padaku daripada kau tersesat dalam labirin otakmu itu jauh lebih lama daripada seharusnya?” tanya gadis itu akhirnya.

Kalimatnya dirasa sinis, namun pengucapannya tergolong manis. Yang paling membuat semuanya jelas adalah bahasa formal yang dia ucapkan. Hal itu bukti kalau Yosi tidak salah mengingat meski bertahun-tahun telah berlalu semenjak pertemuan terakhirnya dengan gadis manekin yang dulu menabraknya: salah satu dari si Kembar.

Gigi seri Yosi mulai menekan bibir bawah. Dia sedikit menghela napas seusai mendebat dalam hati. Petunjuk satu: gadis itu jelas salah satu dari si Kembar karena wajah mereka sama persis. Petunjuk dua: kalau gadis itu mengenalnya, dia pasti akan menyebut nama Yosi, bukannya balik memberi teka-teki.

“Kita… pernah bertemu sebelum ini kan?”

Pertanyaan tadi bisa terlontar oleh siapa pun dari mereka. Yosi telah mengeliminasi kemungkinan gadis itu adalah salah satu dari sepasang kembar yang supel. Kembar yang menabraknya punya ekspresi bagai mayat, jadi gadis itu juga tidak mungkin dia. Salah satu dari mereka pernah mengatakan kalau jumlah mereka ada lima. Yosi hanya mengenal tiga di antaranya, dan mungkin saja yang dia temui kali ini adalah satu dari dua kembar yang tidak Yosi kenal.

“Siapa?” Satu kata tanya itulah yang akhirnya bisa Yosi ucapkan alih-alih menebak.

Tawa gadis itu meledak. Kening Yosi berkerut melihatnya tertawa geli sampai-sampai di sudut matanya keluar bulir air.

“Kau lumayan,” katanya di sela-sela tawa yang menggelitik. Usai tawanya reda, dia melihat ke sekeliling, mendapati tidak ada pelanggan selain dirinya di sana. “Ah… aku ingin mengajakmu mengobrol… mungkin susah karena kau sedang bekerja. Hm…”

Lagi, tatapannya menyorot lurus pada Yosi—seperti memaksanya mengabulkan keinginan gadis itu.

Yosi menghela napas panjang dan memutar bola mata. Dia meninggalkan etalase sejenak untuk minta izin rekannya menemani gadis yang diakunya sebagai teman. Untungnya waitress lain itu setuju menggantikan Yosi, ditambah memang kafe sedang sepi pengunjung. Yosi kembali lalu menyarankan gadis itu untuk duduk sementara dia menyiapkan es krim yang tadi dipesan.

Gadis itu mengambil duduk di meja yang ditaruh menempel dengan dinding kaca. Dia sedang memandang keluar ketika Yosi menaruh banana split di mejanya. Gadis itu menoleh. Senyumnya tersungging manis.

“Silakan duduk,” katanya sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Sepasang matanya jernih sekali. Binar yang dia tunjukkan seolah jelas antusias dengan keberadaan orang di depannya sekarang ini. “Yosi? Namamu Yosi?” Dia melihat ke name tag yang Yosi sematkan di dada. “Boleh aku panggil Yosi?”

“Silakan,” jawab Yosi pendek. “Lo belum tanya tanya gue tadi?”

“Siapa aku?” Gadis itu menyendokkan sedikit es krim ke mulutnya. “Kenapa kau tidak berusaha menebak? Kebanyakan orang yang bertemu kami melakukan hal yang sama. Dan lagi, aku suka bagaimana orang-orang itu terlihat serius saat menebak. Mereka pikir akan sangat mudah membedakan kami ketika tahu kriteria khas yang kami miliki.”

“Lo bilang lo suka,” kata Yosi menanggapi. “Tapi nyatanya kalimat yang terakhir lo bilang jelas nunjukin kalau lo nggak suka diremehin.”

Gadis itu tertawa lagi.

“Kau benar-benar lumayan,” komentarnya senang. “Kalau kita benar-benar pernah bertemu sebelum ini, aku pasti tak akan lupa. Kau terlalu menarik untuk dilupakan.”

Dia tipe orang yang sangat percaya diri mengemukakan begitu saja apa yang ada dalam benaknya. Karakternya kuat, mengarah ke pribadi yang sungguh-sungguh ingin dianggap ada. Orang seperti itu jelas akan selalu berusaha menjadi tokoh yang dilibatkan. Satu hal yang pasti harus diketahui Yosi: masing-masing kembar tidak bisa disimpulkan begitu saja menjadi teman atau lawan.

“Nah, jadi.. siapa dari kami yang kau kenal?” Gadis itu bertanya. Padahal dia tidak sedikitpun menyinggung pertanyaan singkat dari Yosi perihal siapa dia, melainkan melontarkan banyak tanya alias berfokus pada dengan siapa dia bicara.

“Viola. Dia suka memainkan biola waktu di sekolah,” ujar Yosi mengingat sosok gadis berperangai dewasa yang lembut.

“Anak yang lahir pertama,” tanggap gadis itu sembari tersenyum. “Dia rajin mengisi resital, kau tahu? Kau harus menontonnya kapan-kapan.”

“Amarta. Cewek yang suka sekali buat bento.”

“Si Bungsu yang lucu.” Lagi-lagi gadis itu menambahkan. Kali ini dengan memilin rambutnya. Terakhir dia mendirikan kafe dessert sambil belajar menjadi pastry chef. Oh, kau beruntung sekali bisa kenal dengan mereka.”

“Dan…”

Gadis itu tampak mengerjap saat Yosi mulai menyebut kembar ke tiga yang dia kenal.

“Ratimeria—cewek yang pernah nabrak gue sampai koma bahkan hilang ingatan.”

Dan seketika, ekspresi gadis itu membeku. Sekujur tubuhnya bergeming, hanya kelopak matanya yang bergerak menatap Yosi dalam-dalam. Yosi terdiam karena sisi ceria gadis di depannya mendadak lenyap, berganti dengan warna wajah yang keruh seperti mendengar sesuatu yang seharusnya tidak pernah diungkit di dekatnya.

“Kapan..” Dia akhirnya berucap. “Terakhir kali kau melihatnya?”

***

Hujan deras yang melanda beberapa menit yang lalu menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang. Dengan bersandar pada tembok pembatas jalan dan rel, Ryan mengeluarkan pemantik dari saku celana setelah menjepit sebatang rokok menggunakan bibir. Pandangannya menyorot kosong saat setitik api yang dia nyalakan mulai membakar ujung rokok. Asap kemudian mengepul keluar bersamaan dengan napasnya.

“Brengsek lo…,” maki seorang cowok yang tersungkur di depan Rian yang berwajah babak belur. Dia juga menekan perutnya yang terasa nyeri luar biasa. Di sekelilingnya, tiga orang cowok bernasib sama.

Hebatnya meski wajah empat cowok itu amburadul, wajah Rian “bersih”. Hanya saja sudut bibirnya sedikit mengeluarkan darah.

“Lain kali jangan ajak gue lagi ke tempat sialan itu,” kata Rian. “Udah cukup darah yang lo isep dari gue. Kalau mau, lo bisa cari rongsok di gunungan sampah kampus. Sampah emang seharusnya nyari sampah.”

Tanpa menunggu balasan, Rian berjalan pergi. Dia melewati jalan-jalan sempit yang minim penerangan. Sesekali, pandangannya mengarah ke langit di mana sinar bintang terlihat jelas. Bahkan tanpa sepengetahuannya, tiga tahun belakangan ini berlalu dengan amat baik. Rian ragu kenapa dia bisa melangkah sejauh ini padahal rasanya kungkungan yang memenjarakannya belum juga berakhir.

Rian memarkir motornya di lapangan terbuka tidak jauh dari sana. Bahkan, kunci motor itu masih terpasang. Rian bahkan tidak peduli kalau-kalau dia kembali dan motor hitam itu menghilang.  Paling-paling yang dilakukannya adalah menyuruh orang untuk melacaknya lalu menghajar pencurinya habis-habisan.

“Lama banget. Aku pikir kamu dihajar sampai pingsan.”

Suara itu membuat Rian menoleh tepat sebelum cowok itu memakai helm. Seorang cewek dalam balutan celana ketat dan jaket hitam tersampir di bahu mendekatinya sambil tersenyum. Kedua pipinya bergantian menggembung berkat permen loli yang dia kulum.

“Ayo makan. Aku lapar,” kata cewek itu lagi.

Rian tidak membalas. Gantinya, dia melemparkan satu lagi helm di motornya pada cewek itu.

“Helmmu ganti? Kenapa? Aku suka biru kemarin.”

“Nggak usah kebanyakan protes, Samsin. Masih untung lo nggak gue tinggal di sini,” gerutu Rian.

Cewek bernama Samsin itu menurut. Dia memakai helm yang diberikan Rian lalu membonceng di belakang cowok itu. Mereka pergi menerobos hawa dingin malam.

***

“Tiga tahun lalu. Sebelum kenaikan ke kelas tiga.”

Jawaban Yosi tidak membuat cewek di hadapannya puas. Sinar mata yang awalnya antusias berganti dengan tatapan keragu-raguan. Dia mungkin tidak berpikir kalau Yosi berbohong, namun hatinya menerka-nerka haruskah dia bertanya untuk mengorek lebih jauh lagi.

“Kau tahu di mana dia sekarang?” tanyanya kemudian.

Yosi menggeleng. Sementara gadis itu mengalihkan perhatiannya dengan menggigiti kuku-kuku jarinya, ganti Yosi yang bertanya.

“Kalian kembar dan tidak saling tahu keberadaan satu sama lain?”

Gadis itu menatapnya lagi. Bibirnya mengulum seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Berani bertaruh, Yosi yakin ada sesuatu yang tidak beres.

“Di antara kami berlima, dia adalah orang yang paling susah ditemui,” jawab gadis itu sama sekali tidak terdengar seperti sedang membela diri. “Well, kita tidak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi anyway.”

Yosi mengernyit. Tidak masalah kalau Yosi tidak akan melihat Ratimeria untuk selamanya—semisal ucapan itu benar. Apa maksudnya dengan kata kita? Mereka kembar alias satu keluarga. Jadi masalah apa yang terjadi sampai-sampai mereka tidak akan pernah bertemu lagi?

Sebelum Yosi mulai memikirkan segala kemungkinan yang ada, ucapan gadis itu membuyarkan segalanya.

“Dia meninggal dua tahun lalu setelah ditembak.” Gadis itu memalingkan wajahnya ke luar kafe. “Dan aku—kembar ke empat—penasaran ada berapa keluarga Lureic yang berkeliaran di sini.”