Welcome to Disaster Maker Club (14)

Kamis, 21 Juli 2016



“Dua rasa caramel, satu rasa apel, dan satu lagi rasa stroberi. Semuanya yang large,” pesan Agatha pada wanita paruh baya yang menjaga stan popcorn di taman bermain Liliac. Sementara wanita itu memasukkan popcorn ke dalam masing-masing wadah, Agatha merogoh tas kecilnya untuk menghitung uang.

Zein, Lana, dan Audin sibuk sendiri dengan pamflet Liliac. Mereka berdiskusi permainan apa yang sebaiknya didatangi dulu. Shin sedang duduk melamun di bangku dekat kolam air mancur. Eva tengah tertawa-tawa dengan Eero, sedangkan Laz meski berada di dekat mereka hanya sesekali menanggapi—itupun dengan senyum hambar. Sedangkan Snare… bergeming tidak jauh dari gerobak penjual jus. Mulutnya mengecap tiap kali penjual itu membuat jus buah berwarna merah.

“Sip! Oke kan? Oke ya!” Zein mengacungkan jempol. “Kami mau naik roller coaster dulu! Ada yang mau ikutan?” serunya pada yang lain.

“Aku ikut!” sahut Eva. Melihat Eero diam saja, gadis itu tiba-tiba mengangkat tangannya. Eero kaget. Bahkan sebelum laki-laki itu sempat protes, Zein lebih dulu membeo.

“Eva Eero keren deh! Laz ikutan ya!” kata Zein.

Laz nyengir kuda.

“Yang lain?” sambung Lana bergantian memandang Shin, Agatha dan Snare.

Pass,” jawab Shin dan Agatha bebarengan tanpa sengaja. Keduanya saling berpandangan sekilas.

“Aku mau naik bianglala saja,” kata Agatha. “Yang pesan popcorn tadi siapa? Buruan ambil.”

Zein, Lana, dan Eva langsung menghambur mengambil pesanan mereka.

“Kita kan mau naik roller coaster. Memang bisa bawa ini?” Lana mengangkat alis.

Hening.

Agatha mendesah. Kumpulan bocah idiot, gerutunya dalam hati namun untungnya bisa ditahan supaya tidak kelepasan. Benaknya masih keruh gara-gara ingat dua pengganggu dirinya mengambil alih tubuh mereka selama beberapa hari. Mungkin tidak terhitung ada berapa banyak masalah yang mereka buat. Agatha hanya berharap dua pembuat masalah itu tidak menyebabkan kekacauan juga selain di asrama. Dia tentu tidak rela kerja kerasnya selama ini akan menguap begitu saja.

“Sini aku bawa,” tawarnya disambut senyum sumringah yang lain. Dua kotak popcorn dia bawa di pelukannya sementara dua lainnya dibawa Snare.

“Snare, jangan sampai kau habiskan  popcorn stroberiku mentang-mentang warnanya merah.” Zein memperingatkan sambil matanya menyipit tajam.

Awalnya, Snare mengangkat alisnya lalu pandangannya turun ke bawah memperhatikan sebagian popcorn yang berwarna merah. Selanjutnya dengan masih memasang tampang menyebalkan kali ini, Snare mengambil sekepalan tangan popcorn dan secepat kilat memasukkannya ke dalam mulut.

Zein menjerit. Gadis itu langsung melompat “menghajar” Snare, sementara si Vampir justru mempermainkannya. Mudah saja, karena Zein lebih pendek darinya.

“Pokoknya..,” kata Agatha mengabaikan tingkah keduanya. “Setelah kalian dari roller coaster, kita langsung ke teater.” Dia menoleh pada Shin. “Mau ikut ke bianglala?”

Shin tersenyum tawar.

“Tidak,” tolaknya halus. “Aku mau ke kafe kopi saja. Nanti aku susul.”
***

Makhluk itu hanya memiliki satu mata. Tubuhnya seukuran telur, dengan sepasang kaki unggas dengan kuku yang hitam dan tajam. Dia tampak sangat kecil saat bertengger di satu tempat. Hanya saja ketika hendak pergi, makhluk itu membentangkan sayapnya yang lebar bagai kelelawar. Umumnya, makhluk sejenis itu memiliki sayap dengan panjang mendekati batter bisbol. Hanya saja kali ini sayapnya tumbuh hampir tiga kali panjang normalnya.

Masalah besar kali ini adalah karena Lana tidak tahu.

Bertengger pada kabel listrik di taman Liliac, dia memperhatikan gadis angin itu tampak tertawa riang pada teman-teman yang menyertainya. Senyumnya cerah seperti biasa. Bahkan mungkin lebih cerah dari yang gadis itu berikan padanya.

Mengapa dia bisa tersenyum seperti itu?

Apa yang membuatnya tertawa?

Siapa orang-orang yang sedang bersamanya?

Makhluk itu diam, namun pada matanya muncul garis-garis merah. Pandangannya tetap mengarah pada sosok Lana yang mengantri pada barisan orang-orang yang hendak naik pada kereta yang meluncur cepat. Dia menelengkan tubuhnya, lalu berputar-putar. Saat kakinya tidak lagi berpijak pada kabel, makhluk itu terbang. Sosoknya kemudian menghilang.

***
Sekitar setengah jam mengantri, akhirnya tibalah giliran mereka naik. Lana duduk di sebelah Eero. Di belakang mereka ada Eva dan Zein, sedangkan di belakangnya lagi wajah Laz perlahan membiru di sebelah Audin.

“Kau baik-baik saja?” tanya Audin.

Laz berdehem. Supaya gadis itu tidak melihat wajah tegangnya, dia langsung membuang muka.

“Jangan bilang kalau kau takut?” Audin menebak. Sungguh, dia tidak bermaksud untuk mengejek. Baginya, orang yang berpura-pura berani padahal ketakutan setengah mati sama sekali tidak keren. Bagus jika dia takut namun punya kemampuan untuk meredam rasa takut itu. Tapi jika tidak, bukankah lebih baik menghindar?

Sebelum Audin sempat bertanya lagi, roller coaster itu terlanjur mulai berjalan. Zein dan Eva bahkan mulai menjerit girang.

Tidak butuh waktu lama, roller coaster itu mempercepat lajunya. Setelah melewati terowongan yang gelap, mereka mereka naik mencapai posisi rel yang paling tinggi.

Put your hands up, guys!!!” teriak Zein kencang.

Hell…” Laz menggumam amat pelan—kurang dari sedetik sebelum kendaraan super cepat itu meluncur ke titik paling bawah.

Jeritan penumpangnya nyaring mengalahkan suara gesekan roda dan rel.  Tidak hanya rel yang meluncur dari tempat tinggi ke rendah untuk memacu adrenalin, kepala mereka juga dibuat pusing dengan rel yang melengkung membentuk lingkaran. Ada dua titik rel lingkaran. Titik pertama telah mereka lalui. Selanjutnya di titik kedua, roller coaster itu berhenti mendadak tepat ketika para penumpangnya dalam posisi kepala di bawah.

“Kenapa ini?” Eva mengernyit. “Mesinnya rusak?”

Beberapa dari mereka mulai panik dengan berteriak. Dengan posisi mereka seperti itu, mustahil untuk menyelamatkan diri. Mereka berada cukup jauh di atas tanah. Mungkin tidak masalah kalau mereka langsung mengevakuasi penumpang lain dengan kekuatan yang mereka punya, hanya saja orang-orang itu akan langsung “melihat”. Andai saja Mr. Elios ada di sana, tentu mereka tidak akan khawatir karena bidadari pria itu akan dengan sigap menghapus ingatan yang tidak seharusnya ada.

Sembari Zein dan yang lain mencoba mencari solusi, tubuh Lana kaku. Matanya mengerjap-ngerjap berulang kali. Dia mulai sulit bernapas. Sekujur badannya seolah membatu. Syaraf-syaraf Lana seolah mati. Selain kelopak mata, dia tidak bisa menggerakkan anggota tubuh yang lain.

Seseorang… tolong…

Lana ingin sekali mengucapkan kata itu, namun mulutnya tidak berfungsi.

Samar-samar, gadis itu menyadari sesuatu bergerak-gerak dekat seat belt-nya. Dari suaranya seolah-olah.. seseorang atau sesuatu sedang mencoba membuatnya jatuh dari ketinggian saat ini.

“Teknisnya tahu tidak ya?” gumam Audin mengundang pandangan yang lain supaya tertuju padanya. Eero, Eva, dan Zein menoleh ke belakang sehingga mereka tidak melihatnya.

Baik Audin dan Laz membelalak ngeri saat tubuh Lana yang bagaikan mayat terjatuh ke bawah tanpa gadis itu berusaha terbang seperti yang biasa dirinya lakukan.

“LANAA!!!”

***
Ekspresi Snare mendadak berubah ketika dia dan Agatha tengah menaiki salah satu tempat dalam kincir raksasa.  Vampir itu punya insting dan pendengaran yang tajam. Kepalanya langsung menoleh ke arah sumber suara yang membuatnya punya firasat aneh.

“Ada apa?” tanya Agatha tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponsel.

“Jeritan tadi..” Snare mengernyit. “Dari Audin dan Laz?”

Agatha menatapnya.

“Mereka kan sedang naik roller coaster. Wajar kan kalau mereka menjerit?”

“Bukan jeritan seperti itu,” kata Snare. Laki-laki itu balas menatap Agatha. Perlahan, matanya berubah merah sehingga Agatha tertegun. “Aku juga mencium bau darah segar..”

***
Badan Lana tertelungkup di atas tanah yang penuh rumput gajah mini. Pandangannya buram dan irama napasnya pendek-pendek. Padahal hanya beberapa saat lalu, sekujur tubuhnya mati rasa. Sekarang setelah terjun bebas dan menghantam bumi, indera perasanya kembali berfungsi. Rasa sakitnya timbul perlahan, namun amat menyiksanya.

Sekalipun tidak pernah Lana membayangkan pengendali udara sepertinya akan terjatuh seperti tadi.

Samar-samar telinganya menangkap teriakan teman-temannya yang lain. Lana tidak sanggup membalasnya. Ketika kegelapan mulai menguasai benak gadis itu, sang Makhluk kecil menghampirinya. Sayapnya bahkan membentang lebar untuk membantu Lana terlelap.

Sebelum kesadarannya berangsur menghilang, Lana mengenali sosok itu. Makhluk kecil yang menurutnya manis dan sepatutnya disayangi.

“Pril…,” bisik Lana pelan. Detik selanjutnya, kelopak mata gadis itu menutup setelah darah segar membasahi bagian pelipis.


0 komentar: