“Dua rasa caramel, satu rasa apel, dan
satu lagi rasa stroberi. Semuanya yang large,”
pesan Agatha pada wanita paruh baya yang menjaga stan popcorn di taman bermain Liliac. Sementara wanita itu memasukkan popcorn ke dalam masing-masing wadah,
Agatha merogoh tas kecilnya untuk menghitung uang.
Zein, Lana, dan Audin sibuk sendiri
dengan pamflet Liliac. Mereka berdiskusi permainan apa yang sebaiknya didatangi
dulu. Shin sedang duduk melamun di bangku dekat kolam air mancur. Eva tengah
tertawa-tawa dengan Eero, sedangkan Laz meski berada di dekat mereka hanya
sesekali menanggapi—itupun dengan senyum hambar. Sedangkan Snare… bergeming
tidak jauh dari gerobak penjual jus. Mulutnya mengecap tiap kali penjual itu
membuat jus buah berwarna merah.
“Sip! Oke kan? Oke ya!” Zein
mengacungkan jempol. “Kami mau naik roller
coaster dulu! Ada yang mau ikutan?” serunya pada yang lain.
“Aku ikut!” sahut Eva. Melihat Eero
diam saja, gadis itu tiba-tiba mengangkat tangannya. Eero kaget. Bahkan sebelum
laki-laki itu sempat protes, Zein lebih dulu membeo.
“Eva Eero keren deh! Laz ikutan ya!”
kata Zein.
Laz nyengir kuda.
“Yang lain?” sambung Lana bergantian
memandang Shin, Agatha dan Snare.
“Pass,”
jawab Shin dan Agatha bebarengan tanpa sengaja. Keduanya saling berpandangan
sekilas.
“Aku mau naik bianglala saja,” kata
Agatha. “Yang pesan popcorn tadi
siapa? Buruan ambil.”
Zein, Lana, dan Eva langsung menghambur
mengambil pesanan mereka.
“Kita kan mau naik roller coaster. Memang bisa bawa ini?” Lana mengangkat alis.
Hening.
Agatha mendesah. Kumpulan bocah idiot, gerutunya dalam hati namun untungnya bisa
ditahan supaya tidak kelepasan. Benaknya masih keruh gara-gara ingat dua
pengganggu dirinya mengambil alih tubuh mereka selama beberapa hari. Mungkin
tidak terhitung ada berapa banyak masalah yang mereka buat. Agatha hanya
berharap dua pembuat masalah itu tidak menyebabkan kekacauan juga selain di
asrama. Dia tentu tidak rela kerja kerasnya selama ini akan menguap begitu
saja.
“Sini aku bawa,” tawarnya disambut
senyum sumringah yang lain. Dua kotak popcorn
dia bawa di pelukannya sementara dua lainnya dibawa Snare.
“Snare, jangan sampai kau habiskan popcorn
stroberiku mentang-mentang warnanya merah.” Zein memperingatkan sambil
matanya menyipit tajam.
Awalnya, Snare mengangkat alisnya lalu
pandangannya turun ke bawah memperhatikan sebagian popcorn yang berwarna merah. Selanjutnya dengan masih memasang
tampang menyebalkan kali ini, Snare mengambil sekepalan tangan popcorn dan secepat kilat memasukkannya
ke dalam mulut.
Zein menjerit. Gadis itu langsung
melompat “menghajar” Snare, sementara si Vampir justru mempermainkannya. Mudah
saja, karena Zein lebih pendek darinya.
“Pokoknya..,” kata Agatha mengabaikan
tingkah keduanya. “Setelah kalian dari roller
coaster, kita langsung ke teater.” Dia menoleh pada Shin. “Mau ikut ke
bianglala?”
Shin tersenyum tawar.
“Tidak,” tolaknya halus. “Aku mau ke
kafe kopi saja. Nanti aku susul.”
***
Makhluk itu hanya memiliki satu mata.
Tubuhnya seukuran telur, dengan sepasang kaki unggas dengan kuku yang hitam dan
tajam. Dia tampak sangat kecil saat bertengger di satu tempat. Hanya saja
ketika hendak pergi, makhluk itu membentangkan sayapnya yang lebar bagai
kelelawar. Umumnya, makhluk sejenis itu memiliki sayap dengan panjang mendekati
batter bisbol. Hanya saja kali ini
sayapnya tumbuh hampir tiga kali panjang normalnya.
Masalah besar kali ini adalah karena
Lana tidak tahu.
Bertengger pada kabel listrik di taman
Liliac, dia memperhatikan gadis angin itu tampak tertawa riang pada teman-teman
yang menyertainya. Senyumnya cerah seperti biasa. Bahkan mungkin lebih cerah
dari yang gadis itu berikan padanya.
Mengapa dia bisa tersenyum seperti itu?
Apa yang membuatnya tertawa?
Siapa orang-orang yang sedang
bersamanya?
Makhluk itu diam, namun pada matanya
muncul garis-garis merah. Pandangannya tetap mengarah pada sosok Lana yang
mengantri pada barisan orang-orang yang hendak naik pada kereta yang meluncur
cepat. Dia menelengkan tubuhnya, lalu berputar-putar. Saat kakinya tidak lagi
berpijak pada kabel, makhluk itu terbang. Sosoknya kemudian menghilang.
***
Sekitar setengah jam mengantri,
akhirnya tibalah giliran mereka naik. Lana duduk di sebelah Eero. Di belakang
mereka ada Eva dan Zein, sedangkan di belakangnya lagi wajah Laz perlahan
membiru di sebelah Audin.
“Kau baik-baik saja?” tanya Audin.
Laz berdehem. Supaya gadis itu tidak
melihat wajah tegangnya, dia langsung membuang muka.
“Jangan bilang kalau kau takut?” Audin
menebak. Sungguh, dia tidak bermaksud untuk mengejek. Baginya, orang yang
berpura-pura berani padahal ketakutan setengah mati sama sekali tidak keren. Bagus
jika dia takut namun punya kemampuan untuk meredam rasa takut itu. Tapi jika
tidak, bukankah lebih baik menghindar?
Sebelum Audin sempat bertanya lagi, roller coaster itu terlanjur mulai
berjalan. Zein dan Eva bahkan mulai menjerit girang.
Tidak butuh waktu lama, roller coaster itu mempercepat lajunya. Setelah
melewati terowongan yang gelap, mereka mereka naik mencapai posisi rel yang
paling tinggi.
“Put
your hands up, guys!!!” teriak Zein kencang.
“Hell…”
Laz menggumam amat pelan—kurang dari sedetik sebelum kendaraan super cepat itu
meluncur ke titik paling bawah.
Jeritan penumpangnya nyaring
mengalahkan suara gesekan roda dan rel. Tidak
hanya rel yang meluncur dari tempat tinggi ke rendah untuk memacu adrenalin,
kepala mereka juga dibuat pusing dengan rel yang melengkung membentuk lingkaran.
Ada dua titik rel lingkaran. Titik pertama telah mereka lalui. Selanjutnya di
titik kedua, roller coaster itu
berhenti mendadak tepat ketika para penumpangnya dalam posisi kepala di bawah.
“Kenapa ini?” Eva mengernyit. “Mesinnya
rusak?”
Beberapa dari mereka mulai panik dengan
berteriak. Dengan posisi mereka seperti itu, mustahil untuk menyelamatkan diri.
Mereka berada cukup jauh di atas tanah. Mungkin tidak masalah kalau mereka
langsung mengevakuasi penumpang lain dengan kekuatan yang mereka punya, hanya
saja orang-orang itu akan langsung “melihat”. Andai saja Mr. Elios ada di sana,
tentu mereka tidak akan khawatir karena bidadari pria itu akan dengan sigap
menghapus ingatan yang tidak seharusnya ada.
Sembari Zein dan yang lain mencoba
mencari solusi, tubuh Lana kaku. Matanya mengerjap-ngerjap berulang kali. Dia mulai
sulit bernapas. Sekujur badannya seolah membatu. Syaraf-syaraf Lana seolah
mati. Selain kelopak mata, dia tidak bisa menggerakkan anggota tubuh yang lain.
Seseorang…
tolong…
Lana ingin sekali mengucapkan kata itu,
namun mulutnya tidak berfungsi.
Samar-samar, gadis itu menyadari
sesuatu bergerak-gerak dekat seat belt-nya.
Dari suaranya seolah-olah.. seseorang atau sesuatu sedang mencoba membuatnya
jatuh dari ketinggian saat ini.
“Teknisnya tahu tidak ya?” gumam Audin
mengundang pandangan yang lain supaya tertuju padanya. Eero, Eva, dan Zein
menoleh ke belakang sehingga mereka tidak melihatnya.
Baik Audin dan Laz membelalak ngeri
saat tubuh Lana yang bagaikan mayat terjatuh ke bawah tanpa gadis itu berusaha
terbang seperti yang biasa dirinya lakukan.
“LANAA!!!”
***
Ekspresi Snare mendadak berubah ketika
dia dan Agatha tengah menaiki salah satu tempat dalam kincir raksasa. Vampir itu punya insting dan pendengaran yang
tajam. Kepalanya langsung menoleh ke arah sumber suara yang membuatnya punya
firasat aneh.
“Ada apa?” tanya Agatha tanpa
mengalihkan perhatian dari layar ponsel.
“Jeritan tadi..” Snare mengernyit. “Dari
Audin dan Laz?”
Agatha menatapnya.
“Mereka kan sedang naik roller coaster. Wajar kan kalau mereka
menjerit?”
“Bukan jeritan seperti itu,” kata
Snare. Laki-laki itu balas menatap Agatha. Perlahan, matanya berubah merah
sehingga Agatha tertegun. “Aku juga mencium bau darah segar..”
***
Badan Lana tertelungkup di atas tanah
yang penuh rumput gajah mini. Pandangannya buram dan irama napasnya
pendek-pendek. Padahal hanya beberapa saat lalu, sekujur tubuhnya mati rasa. Sekarang
setelah terjun bebas dan menghantam bumi, indera perasanya kembali berfungsi. Rasa
sakitnya timbul perlahan, namun amat menyiksanya.
Sekalipun tidak pernah Lana
membayangkan pengendali udara sepertinya akan terjatuh seperti tadi.
Samar-samar telinganya menangkap
teriakan teman-temannya yang lain. Lana tidak sanggup membalasnya. Ketika
kegelapan mulai menguasai benak gadis itu, sang Makhluk kecil menghampirinya.
Sayapnya bahkan membentang lebar untuk membantu Lana terlelap.
Sebelum kesadarannya berangsur
menghilang, Lana mengenali sosok itu. Makhluk kecil yang menurutnya manis dan
sepatutnya disayangi.
“Pril…,” bisik Lana pelan. Detik
selanjutnya, kelopak mata gadis itu menutup setelah darah segar membasahi
bagian pelipis.
0 komentar:
Posting Komentar