Hujan
turun lagi malam itu. Angin badai menerjang Tembalang, membuat pohon mangga di
depan kostku meliuk-liuk seakan mau ambruk. Tong sampah yang kulihat sore tadi
penuh dengan limbah, kini berguling-guling ke sana kemari setelah membiarkan
semua isinya berceceran di pekarangan.
Aku
terdiam mendapati semua itu melalui jendela kamarku yang menghadap keluar.
Setelah hampir seharian mengikuti mata kuliah yang menumpuk ditambah dengan
latihan senam untuk penilaian lusa, aku berharap bisa melewati malam ini dengan
Darren. Kami sepakat akan makan malam bersama hari ini. Tapi cuacanya sungguh
buruk. Aku tidak yakin Darren akan menerobos badai seperti ini. Cowok itu
memang tangguh sebenarnya. Kalau seumpama dia benar-benar datang menemuiku
malam itu, aku justru akan memarahinya. Aku terlalu menyayangi cowok itu dan
tak mau kalau sampai melihatnya jatuh sakit.
Hanya saja...
Sejenak
aku menunduk lalu menyandarkan kepalaku ke dinding. Kuhela napas panjang
sehingga harumnya tanah yang basah merasuk sempurna ke paru-paruku. Kecewa. Ini
adalah malam yang kutunggu-tunggu. Aku benar-benar menantikannya bahkan sudah
semenjak lama. Sekali lagi kutengok kalender Angry Birds di meja kerjaku. Ada lingkaran spidol merah yang tebal
pada tanggal dua puluh November.
Besok
adalah ulang tahunku yang ke sembilan belas.
Mendengus
lagi, aku mendengar pintu kamarku diketuk. Saat kubuka, kudapati Kak Delila
membawa tumpukan baju-bajunya. Rambutnya basah akibat kehujanan. Sempat aku
bersyukur karena tidak sedang menjemur pakaian hari ini.
“Dek,
pintu depan mau aku kunci. Mbak Irma kan lagi pulang kampung, kalau bisa
motornya dimasukin ke garasi sekarang aja, mumpung belum penuh,” katanya.
“Iya,
Kak. Makasih ya,” ucapku.
Kak
Delila tersenyum mengangguk kemudian pergi ke kamarnya. Aku menutup kembali
pintuku dengan enggan.
Ketika
aku melihat kunci motorku tergeletak di atas meja, tak ada sedikitpun niatku
untuk mengambilnya. Aku terlalu malas melakukan apa yang dikatakan Kak Delila
tadi. Dia juga bilang akan mengunci pintu di depan dan itu artinya tidak akan
ada tamu yang boleh masuk. Begitu juga Darren. Anehnya cowok itu sama sekali
tidak mengontakku untuk membatalkan janji yang kami buat.
Well,
sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan malam ini selain tidur lebih awal. Aku
biarkan saja motorku yang masih terparkir di luar. Tidur dan mengenyahkan semua
pikiran yang membuatku kesal itu lebih baik sekarang—walaupun perutku agak
sedikit lapar.
***
Beberapa
jam lamanya dan rasanya aku telah puas tertidur. Aku masih mendengar suara
hujan samar-samar walaupun tidak sederas tadi. Ketika membalik badan ke
samping, aku melihat jam weker dekat kipas angin di atas meja. Pukul setengah
satu dini hari. Bibirku sedikit menyunggingkan senyum.
Happy birthday,
ucapku pada diri sendiri.
Let’s make a wish...
Aku
melipat tanganku serta menutup mata. Kubatin semua harapanku pada diri sendiri
juga semua orang yang kusayangi di mana pun mereka berada.
Darren.
Tiba-tiba
nama cowok itu terlintas di benakku lagi. Oh, buat apa aku memikirkannya?
Paling-paling dia sedang menikmati tidurnya mengingat baru pukul berapa
sekarang. Miris jika aku mengira dia tidak ingat hari apa ini. Tapi
mudah-mudahan tidak begitu.
Kupeluk
lagi gulingku untuk meneruskan tidur ketika tak lama kemudian aku mendengar
suara aneh, seperti...
“Pst!
Pssssstt!!”
Sekali
dua kali. Mataku mengerjap karenanya.
Nggak mungkin...
Badanku
langsung melompat ke arah jendela. Kubuka tirai dan apa yang ada di luar sedang
memegangi pagar itu otomatis membuat mataku terbelalak dan mulutku menganga. Cepat-cepat
aku berlari keluar kamar menuju ke garasi karena pintu utama dikunci, aku
keluar lewat sana.
“Darren!”
seruku terkejut bukan main.
Cowok
yang ada di hadapanku sekarang ini justru tersenyum meringis menanggapi
ekspresi wajahku yang bingung. Begitu melihatku tadi, dia segera melepaskan
tudung mantel hujannya. Memang dasar otaknya encer juga. Kalau dia sampai
datang dengan sekujur tubuh basah kuyup, aku tak akan berpikir dua kali untuk
mengomelinya.
“Kamu
apa-apaan?! Tahu kan sekarang jam berapa?!” Tanganku bergegas akan membuka
pagar yang tingginya tak seberapa itu ketika Darren justru menghentikan
geraknya.
“Aku
nggak akan masuk. Habis ini aku mau langsung balik kost,” kata Darren yang
masih tersenyum penuh arti.
Aku
terdiam, hanya karena tak tahu harus berkata apa. Tangannya yang satu lagi
disodorkannya padaku. Sebuah kandang kecil dengan beberapa helai kain di
dalamnya. Ketika kuperhatikan lagi dengan teliti, ada seekor bayi kucing.
“Ini...”
“Dua
hari yang lalu, ada sepasang anak kucing di loteng kostku. Setelah aku tahu,
niatnya mau aku biarkan saja, tapi induknya nggak datang-datang juga. Karena
kamu suka kucing, maka aku pikir kamu bisa rawat dia, sementara aku yang
pelihara kembarannya biar kamu nggak terlalu repot,” jelas Darren.
Ya Tuhan.. senyum orang
ini masih saja membuat jantungku berdebar-debar...
“Selamat
ulang tahun, Areah,” ucap Darren lagi yang tambah membuat pikiranku melayang ke
mana-mana. “Maaf tadi nggak kontak. Hapeku masuk ke kubangan waktu pulang
kuliah tadi. Karena hujannya kelewat deras juga, aku nggak bisa langsung temuin
kamu.”
“Nggak
apa-apa,” kataku cepat. “Makasih.”
Kami
sama-sama tersenyum malu satu sama lain.
“Yakin
nggak mau masuk?” tanyaku.
“Nope, aku pulang aja. Kita bisa ketemu
lagi besok. Lanjutin aja tidurnya,” goda Darren.
“Baiklah.
Hati-hati...”
Hangat
menjalar tubuhku saat Darren meremas tanganku lembut. Tak lama, dia kembali ke
motornya lalu berlalu. Beberapa saat lamanya aku masih mematung di situ memeluk
kucing plus kandang pemberiannya. Ya, tentu saja aku akan merawatnya. Senang
rasanya punya teman kecil baru.
Hujan
yang membuat suasana hatiku galau beberapa jam yang lalu, sekarang justru
terasa sejuk menyenangkan.
“Met
malam,” gumamku. “I love you...”
0 komentar:
Posting Komentar