Sweet Birthday

Sabtu, 05 April 2014




Hujan turun lagi malam itu. Angin badai menerjang Tembalang, membuat pohon mangga di depan kostku meliuk-liuk seakan mau ambruk. Tong sampah yang kulihat sore tadi penuh dengan limbah, kini berguling-guling ke sana kemari setelah membiarkan semua isinya berceceran di pekarangan.

Aku terdiam mendapati semua itu melalui jendela kamarku yang menghadap keluar. Setelah hampir seharian mengikuti mata kuliah yang menumpuk ditambah dengan latihan senam untuk penilaian lusa, aku berharap bisa melewati malam ini dengan Darren. Kami sepakat akan makan malam bersama hari ini. Tapi cuacanya sungguh buruk. Aku tidak yakin Darren akan menerobos badai seperti ini. Cowok itu memang tangguh sebenarnya. Kalau seumpama dia benar-benar datang menemuiku malam itu, aku justru akan memarahinya. Aku terlalu menyayangi cowok itu dan tak mau kalau sampai melihatnya jatuh sakit.

Hanya saja...

Sejenak aku menunduk lalu menyandarkan kepalaku ke dinding. Kuhela napas panjang sehingga harumnya tanah yang basah merasuk sempurna ke paru-paruku. Kecewa. Ini adalah malam yang kutunggu-tunggu. Aku benar-benar menantikannya bahkan sudah semenjak lama. Sekali lagi kutengok kalender Angry Birds di meja kerjaku. Ada lingkaran spidol merah yang tebal pada tanggal dua puluh November.

Besok adalah ulang tahunku yang ke sembilan belas.

Mendengus lagi, aku mendengar pintu kamarku diketuk. Saat kubuka, kudapati Kak Delila membawa tumpukan baju-bajunya. Rambutnya basah akibat kehujanan. Sempat aku bersyukur karena tidak sedang menjemur pakaian hari ini.

“Dek, pintu depan mau aku kunci. Mbak Irma kan lagi pulang kampung, kalau bisa motornya dimasukin ke garasi sekarang aja, mumpung belum penuh,” katanya.

“Iya, Kak. Makasih ya,” ucapku.

Kak Delila tersenyum mengangguk kemudian pergi ke kamarnya. Aku menutup kembali pintuku dengan enggan.

Ketika aku melihat kunci motorku tergeletak di atas meja, tak ada sedikitpun niatku untuk mengambilnya. Aku terlalu malas melakukan apa yang dikatakan Kak Delila tadi. Dia juga bilang akan mengunci pintu di depan dan itu artinya tidak akan ada tamu yang boleh masuk. Begitu juga Darren. Anehnya cowok itu sama sekali tidak mengontakku untuk membatalkan janji yang kami buat.
Well, sepertinya tidak ada yang bisa kulakukan malam ini selain tidur lebih awal. Aku biarkan saja motorku yang masih terparkir di luar. Tidur dan mengenyahkan semua pikiran yang membuatku kesal itu lebih baik sekarang—walaupun perutku agak sedikit lapar.

***

Beberapa jam lamanya dan rasanya aku telah puas tertidur. Aku masih mendengar suara hujan samar-samar walaupun tidak sederas tadi. Ketika membalik badan ke samping, aku melihat jam weker dekat kipas angin di atas meja. Pukul setengah satu dini hari. Bibirku sedikit menyunggingkan senyum.

Happy birthday, ucapku pada diri sendiri.

Let’s make a wish...

Aku melipat tanganku serta menutup mata. Kubatin semua harapanku pada diri sendiri juga semua orang yang kusayangi di mana pun mereka berada.

Darren.

Tiba-tiba nama cowok itu terlintas di benakku lagi. Oh, buat apa aku memikirkannya? Paling-paling dia sedang menikmati tidurnya mengingat baru pukul berapa sekarang. Miris jika aku mengira dia tidak ingat hari apa ini. Tapi mudah-mudahan tidak begitu.

Kupeluk lagi gulingku untuk meneruskan tidur ketika tak lama kemudian aku mendengar suara aneh, seperti...

“Pst! Pssssstt!!”

Sekali dua kali. Mataku mengerjap karenanya. 

Nggak mungkin...

Badanku langsung melompat ke arah jendela. Kubuka tirai dan apa yang ada di luar sedang memegangi pagar itu otomatis membuat mataku terbelalak dan mulutku menganga. Cepat-cepat aku berlari keluar kamar menuju ke garasi karena pintu utama dikunci, aku keluar lewat sana.

“Darren!” seruku terkejut bukan main.

Cowok yang ada di hadapanku sekarang ini justru tersenyum meringis menanggapi ekspresi wajahku yang bingung. Begitu melihatku tadi, dia segera melepaskan tudung mantel hujannya. Memang dasar otaknya encer juga. Kalau dia sampai datang dengan sekujur tubuh basah kuyup, aku tak akan berpikir dua kali untuk mengomelinya.

“Kamu apa-apaan?! Tahu kan sekarang jam berapa?!” Tanganku bergegas akan membuka pagar yang tingginya tak seberapa itu ketika Darren justru menghentikan geraknya.

“Aku nggak akan masuk. Habis ini aku mau langsung balik kost,” kata Darren yang masih tersenyum penuh arti.

Aku terdiam, hanya karena tak tahu harus berkata apa. Tangannya yang satu lagi disodorkannya padaku. Sebuah kandang kecil dengan beberapa helai kain di dalamnya. Ketika kuperhatikan lagi dengan teliti, ada seekor bayi kucing.

“Ini...”

“Dua hari yang lalu, ada sepasang anak kucing di loteng kostku. Setelah aku tahu, niatnya mau aku biarkan saja, tapi induknya nggak datang-datang juga. Karena kamu suka kucing, maka aku pikir kamu bisa rawat dia, sementara aku yang pelihara kembarannya biar kamu nggak terlalu repot,” jelas Darren.

Ya Tuhan.. senyum orang ini masih saja membuat jantungku berdebar-debar...

“Selamat ulang tahun, Areah,” ucap Darren lagi yang tambah membuat pikiranku melayang ke mana-mana. “Maaf tadi nggak kontak. Hapeku masuk ke kubangan waktu pulang kuliah tadi. Karena hujannya kelewat deras juga, aku nggak bisa langsung temuin kamu.”

“Nggak apa-apa,” kataku cepat. “Makasih.”

Kami sama-sama tersenyum malu satu sama lain.

“Yakin nggak mau masuk?” tanyaku.

Nope, aku pulang aja. Kita bisa ketemu lagi besok. Lanjutin aja tidurnya,” goda Darren.

“Baiklah. Hati-hati...”

Hangat menjalar tubuhku saat Darren meremas tanganku lembut. Tak lama, dia kembali ke motornya lalu berlalu. Beberapa saat lamanya aku masih mematung di situ memeluk kucing plus kandang pemberiannya. Ya, tentu saja aku akan merawatnya. Senang rasanya punya teman kecil baru.

Hujan yang membuat suasana hatiku galau beberapa jam yang lalu, sekarang justru terasa sejuk menyenangkan.

“Met malam,” gumamku. “I love you...”

0 komentar: