Wounds Heal, Scar Left (5)

Rabu, 16 Desember 2015





Bau teh yang beraroma vanilla menguar begitu uap melayang lalu menghilang, menyatu dengan udara. Gadis itu meletakkan kembali teko yang lama-lama membakar tangannya. Dia lupa bagaimana seharusnya menyiapkan teh yang baik karena rupanya baru sadar kalau dirinya terbiasa dibantu. Membawa cangkir teh tersebut beserta piring kecil alasnya, dia lalu duduk menghadap meja di ruang tengah. Rumah itu sempit, namun terasa menyenangkan.

Orchidee yang datang sekitar lima menit yang lalu tidak sungkan membuka kotak yang diletakkan sedikit berdesakan dengan tumpukan buku-buku dongeng klasik yang rata-rata lebar dan tebal. Kardus pembungkusnya berwarna baby purple, dengan pita kuning susu. Dari dalam kardus itu, dia mengeluarkan sehelai gaun koktail berwarna senada. Dress itu berbahan viscose dengan model loose. Sederhana tetapi terkesan lembut.

“Ini gaun yang agak mahal, kau tahu?” kata Orchidee menoleh pada Kirana yang tengah menambahkan gula kubus ke dalam cangkir.

Tidak ada sahutan. Orchidee mengabaikannya dengan membolak-balik sisi depan dan belakang gaun pendek selutut itu. Beberapa saat, dia baru sadar kalau masih ada barang lain yang dia lewatkan, tertinggal di kardus pembungkus tadi.

Sepatu berwarna putih.

“Cantik sekali…,” gumam Orchidee. Mendadak keningnya muncul kerutan hingga kepalanya meneleng spontan pada kembarannya. “Apa dia orang yang membuatmu senang akhir-akhir ini? Kenapa kau tidak memperkenalkannya padaku?”

“Bukan dia,” jawab Kirana pendek.

“Lalu?”

“Orang yang memberiku pekerjaan..”

Orchidee terkesiap. Mulutnya membuka dan matanya melebar antusias. Kirana langsung tahu apa yang dia pikirkan, meskipun hal itu sama sekali bukan hal yang mengejutkan kalau benar, tapi dugaan gadis itu meleset.

“Bos tempatku bekerja, suka padamu?! Eh, berapa umurnya? Jangan bilang kalau dia pria bercambang dan berotot seksi yang suka menggoda wanita!”

Ah, tebakan Kirana meleset. Yang Orchidee pikirkan bahkan lebih parah.

“Memang apa yang salah dengan deskripsi priamu itu?” Kirana menopang samping kepalanya yang miring ke kanan.

“Jangan sampai kau suka dengan pria seperti itu!” protes Orchidee. Suaranya setengah berteriak hingga napas gadis itu berubah labil.

Kedua sudut bibir Kirana terangkat membentuk seulas senyum samar. Dia lebih dulu menyesap tehnya sebelum menatap Orchidee lagi.

“Dia jauh lebih muda dari ayah..,” jawab Kirana seolah kalimat itu telah cukup menghilangkan semua kekhawatiran Orchidee.

***

Cakra mengendarai mobilnya ke alamat yang diberikan oleh Kirana. Mobil itu berhenti di ujung gang karena tidak mungkin masuk ke jalan yang sempit. Cakra melihat sekelilingnya saat ini, mendapati rumah-rumah  dan gedung apartemen dengan harga sewa yang murah mendiami kompleks tersebut. Dia mematikan mesin mobilnya, menunggu. Arlojinya menunjukkan pukul delapan kurang delapan belas menit. Tiga menit lagi seharusnya gadis itu akan menampakkan diri.

Cakra memakai setelan jas hitam dengan craft yang berwarna persis dengan gaun yang dia berikan pada Kirana. Tangannya mengerat pada stir, kulit di sana memucat bahkan seolah membeku. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah ini keputusan yang tepat.

Laki-laki itu membenci keluarganya, kecuali ibunya. Sebenarnya Cakra tahu, undangan itu hanyalah alat untuk mengejeknya. Mereka ingin membuat dia merasakan rendah diri, menganggap kalau semua yang dilakukannya adalah hal konyol hanya karena bagi mereka tidak menghasilkan apa-apa. Dan selama ini bagi Cakra, bukannya memberikan sesuatu yang berharga untuknya, mereka justru hanya berusaha menjerat kakinya supaya tidak ke mana-mana.

Apa yang harus dia lakukan? Sungguh, dia tidak memiliki ide apa pun untuk menghadapi orang-orang itu nantinya. Obrolan itu nantinya hanya akan membuat Cakra muak.

Cakra menghela napas panjang. Dia mengerjap tatkala melihat dari kejauhan Kirana yang melangkah pelan menghampiri mobilnya. Laki-laki itu terpaku. Dia tahu kalau gadis mana pun akan berdandan ketika diminta mengenakan dress untuk datang ke pesta, namun apa yang dia lihat saat ini benar-benar mengejutkannya.

Rambut panjang coklatnya yang terang seperti nilon, disampirkan di bahu kiri kemudian dililit sedemikian rupa dengan hiasan serupa tumbuhan sulur dari jaring-jaring benang berwarna senada dengan gaunnya. Wajahnya sendiri tidak jauh berbeda dengan kesehariannya ketika mereka bertemu di Kembang Rasa, tentunya dengan rona yang lebih lembut dan halus. Mungkin gadis itu hanya membubuhkan sedikit bedak, juga lipstik pastel di bibirnya.

Kirana berhenti ketika jaraknya hanya satu langkah dari kaca pintu mobil yang ada di sebelah Cakra. Laki-laki itu buru-buru turun dari mobil lalu berjalan memutar menghampiri Kirana. Gadis itu seperti biasa menatapnya tanpa ekspresi yang berarti.

“Terimakasih karena bersedia menemaniku,” ucap Cakra. “Kau… Kau sangat cantik..”

Tidak mengacuhkan pujian tadi, Kirana memalingkan wajah kemudian menggumam, “Kita harus berangkat sekarang kalau kau tidak ingin terlambat..”

Cakra tersenyum hambar.

“Ya..,” jawabnya pelan. “Tentu saja.”

***

Seorang pria tua dalam ball room yang mewah, dikelilingi oleh beberapa orang yang membincangkan urusan mereka. Dia pria yang berwajah tegas serta bertubuh tinggi, meski perutnya sedikit membuncit.

“Pak Darmintjaja pasti senang sekali dengar Luki Putra berhasil bangun mall di Taiwan.”

“Kabarnya kemarin ketemu sama anak kedua Mr. Hong yang pengusaha properti di Korea ya? Bagus kalau seumpama mereka jadi.”

“Saya kok malah jarang dengar soal Cakra, Pak? Bisnis atau kuliah di mana dia?”

Pria bermarga Darmintjaja itu hanya tersenyum lalu meminum wine di gelas pialanya. Dalam hati dia membatin lagi kalau Cakra mungkin tidak akan datang lagi ke pesta semacam itu. Kurang lebih tiga bulan yang lalu, Cakra datang ke pesta seperti itu bersama seorang gadis yang bahkan tidak mampu mengangkat kepalanya di kalangan orang-orang di sana. Cakra pun tidak betah berada di hall waktu itu. Setidaknya tekanan seperti ini akan ampuh bekerja pada anak tak tahu malu itu.

Cakra tidak pernah menyukai bidang bisnis seperti ayah ataupun kakaknya. Dia lebih suka bergaul dengan anak-anak kumuh seusianya. Terakhir kabarnya, dia bahkan bekerja sebagai pelayan restoran kecil untuk membiayai kuliahnya sendiri, karena Darmintjaja menolak untuk membiayai kuliah seni rupa bodohnya itu.

“Omong-omong, anda semua tahu soal Mr. Slovki? Kabarnya dia akan datang.”

Owner menara Goghini di Jerman? Oh ya? Pak Ronald bisa juga ya mengundang orang macam itu.”

“Sepertinya Mr. Slovki juga ada urusan di sini, tapi tidak tahu urusan bisnis atau apa.”

Obrolan itu terputus ketika mendadak, satu gerombolan itu merasakan tamu-tamu di sekeliling mereka saling berbisik dengan pandangan yang tertuju ke satu arah. Tidak aneh sebenarnya meski Cakra seringkali mengabaikan apa yang dia punya, ayahnya—pria bernama Darmintjaja tadi merupakan salah satu pebisnis yang paling berpengaruh di Indonesia. Tidak hanya itu, gadis misterius yang bersamanya juga lumayan membuat para tamu bertanya-tanya.

***

Kirana bisa menyadari banyak pasang mata tertuju pada Cakra, padahal baru beberapa langkah mereka masuk ke aula di gedung tersebut. Cakra menampakkan wajah tenang, namun Kirana merasakan siku lengan yang mengait tangannya begitu tegang.

Tanpa laki-laki itu tahu, Kirana sebenarnya telah mencari tahu semua hal tentangnya. Sekarang, gadis itu bisa menebak alasan mengapa Cakra menjadi pelayan restoran sementara keluarganya amat kaya.

“Kau tidak perlu memaksakan diri untuk tersenyum..,” kata Kirana pelan sementara mereka melangkah makin ke tengah, menuju ayah Cakra—Darmintjaja berada.

Cakra mengerjap sesaat.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Terlepas siapa pun yang kau benci, tidak ada larangan untuk tidak menampakkannya. Bahkan ketika kau berusaha terlihat baik-baik saja, orang-orang macam ini tetap akan berpendapat ada yang salah dengan hubunganmu. Karena itu.. berbohong atau tidak, hasilnya akan sama..”

Cakra terdiam. Pikirannya mencerna baik-baik sambil memandang sosok ayahnya yang perlahan makin dekat. Dalam kekalutannya, kata-kata Kirana mulai menerobos benak laki-laki itu.

“Kau pikir mengapa semua orang di pesta ini tersenyum? Karena mereka semua palsu.. Mereka berkoar tentang hal-hal yang sama, tapi tidak ada yang berharga di dalamnya. Kamu yang bersedih.. lebih dari cukup tahu seperti apa caranya menjalani hidupmu sendiri..”

Langkah Cakra seketika berhenti karena laki-laki itu tertegun. Dia pun menoleh pada Kirana yang terlihat menatap kosong ke depan. Mengapa gadis itu bersikap dan berkata seolah tahu segalanya?

Darmintjaja melangkah mendatangi mereka diiringi tamu-tamu yang mengitarinya tadi. Senyuman merendahkan tampak di bibir pria itu, meskipun yang ada di hadapannya adalah putranya sendiri.

“Aku pikir kau tidak datang,” katanya. “Oh ya, kenalkan, ini anak saya, Cakra. Dia kuliah di jurusan seni rupa.”

Orang-orang selain mereka langsung memasang wajah bingung.

Tidak menghiraukan balasan apa yang akan keluar dari mulut Cakra, Darmintjaja mendadak mengalihkan topik lagi dengan membicarakan putra sulungnya yang sukses berbisnis. Hal itu tentu saja sukses memperjelas hubungan antara ayah dan anak itu.

“Omong-omong, siapa nona ini?” Salah satu dari mereka bertanya.

“Dia temanku. Namanya Kirana,” balas Cakra sebelum Kirana menanggapi. “Kami rekan kerja di restoran tidak jauh dari sini.”

Baik Darmintjaja dan yang lainnya terkejut oleh kalimat Cakra.

“Kerja? Maksudmu bisnis?” tanya salah seorang.

“Bukan.” Cakra tersenyum. “Aku jadi pelayan restoran untuk membayar kuliahku sendiri.”

Mereka sontak tercengang. Samar sekali, Kirana tersenyum.

“Karena sudah datang ke sini, berarti saya sudah memenuhi undangan kan? Kami langsung pamit dulu karena restoran sekarang pasti ramai sekali. Kalau tidak membantu, bisa-bisa kami dipecat.”

Darmintjaja syok—tidak mampu berkata-kata.

Cakra langsung membalikkan badan dengan tangan kiri yang lantas menarik Kirana pergi. Tangan itu terasa dingin, namun ada ketegaran di sana.

Melewati gerombolan beberapa tamu yang mengobrol, seorang pria bercambang yang berdiri di sekitar sudut ruangan tidak sengaja melihat wajah Kirana. Matanya melebar seketika, bahkan dia hampir saja berlari juga berseru memanggil gadis itu kalau saja tamu lain tidak menyapanya tiba-tiba.

“Mr. Slovki, ada apa?

“Ah, tidak…” Pria itu menjawab dengan ragu-ragu. “Sepertinya tadi saya melihat atasan saya di sini..”

0 komentar: