Bau teh yang beraroma vanilla menguar begitu uap melayang lalu menghilang, menyatu dengan udara. Gadis itu meletakkan kembali teko yang lama-lama membakar tangannya. Dia lupa bagaimana seharusnya menyiapkan teh yang baik karena rupanya baru sadar kalau dirinya terbiasa dibantu. Membawa cangkir teh tersebut beserta piring kecil alasnya, dia lalu duduk menghadap meja di ruang tengah. Rumah itu sempit, namun terasa menyenangkan.
Orchidee
yang datang sekitar lima menit yang lalu tidak sungkan membuka kotak yang
diletakkan sedikit berdesakan dengan tumpukan buku-buku dongeng klasik yang
rata-rata lebar dan tebal. Kardus pembungkusnya berwarna baby purple, dengan pita kuning susu. Dari dalam kardus itu, dia
mengeluarkan sehelai gaun koktail berwarna senada. Dress itu berbahan viscose
dengan model loose. Sederhana tetapi
terkesan lembut.
“Ini
gaun yang agak mahal, kau tahu?” kata Orchidee menoleh pada Kirana yang tengah
menambahkan gula kubus ke dalam cangkir.
Tidak
ada sahutan. Orchidee mengabaikannya dengan membolak-balik sisi depan dan
belakang gaun pendek selutut itu. Beberapa saat, dia baru sadar kalau masih ada
barang lain yang dia lewatkan, tertinggal di kardus pembungkus tadi.
Sepatu
berwarna putih.
“Cantik
sekali…,” gumam Orchidee. Mendadak keningnya muncul kerutan hingga kepalanya
meneleng spontan pada kembarannya. “Apa dia orang yang membuatmu senang
akhir-akhir ini? Kenapa kau tidak memperkenalkannya padaku?”
“Bukan
dia,” jawab Kirana pendek.
“Lalu?”
“Orang
yang memberiku pekerjaan..”
Orchidee
terkesiap. Mulutnya membuka dan matanya melebar antusias. Kirana langsung tahu
apa yang dia pikirkan, meskipun hal itu sama sekali bukan hal yang mengejutkan
kalau benar, tapi dugaan gadis itu meleset.
“Bos
tempatku bekerja, suka padamu?! Eh, berapa umurnya? Jangan bilang kalau dia
pria bercambang dan berotot seksi yang suka menggoda wanita!”
Ah,
tebakan Kirana meleset. Yang Orchidee pikirkan bahkan lebih parah.
“Memang
apa yang salah dengan deskripsi priamu itu?” Kirana menopang samping kepalanya
yang miring ke kanan.
“Jangan
sampai kau suka dengan pria seperti itu!” protes Orchidee. Suaranya setengah
berteriak hingga napas gadis itu berubah labil.
Kedua
sudut bibir Kirana terangkat membentuk seulas senyum samar. Dia lebih dulu
menyesap tehnya sebelum menatap Orchidee lagi.
“Dia
jauh lebih muda dari ayah..,” jawab Kirana seolah kalimat itu telah cukup
menghilangkan semua kekhawatiran Orchidee.
***
Cakra
mengendarai mobilnya ke alamat yang diberikan oleh Kirana. Mobil itu berhenti
di ujung gang karena tidak mungkin masuk ke jalan yang sempit. Cakra melihat
sekelilingnya saat ini, mendapati rumah-rumah
dan gedung apartemen dengan harga sewa yang murah mendiami kompleks
tersebut. Dia mematikan mesin mobilnya, menunggu. Arlojinya menunjukkan pukul
delapan kurang delapan belas menit. Tiga menit lagi seharusnya gadis itu akan
menampakkan diri.
Cakra
memakai setelan jas hitam dengan craft
yang berwarna persis dengan gaun yang dia berikan pada Kirana. Tangannya
mengerat pada stir, kulit di sana memucat bahkan seolah membeku. Dalam hati dia
bertanya-tanya apakah ini keputusan yang tepat.
Laki-laki
itu membenci keluarganya, kecuali ibunya. Sebenarnya Cakra tahu, undangan itu
hanyalah alat untuk mengejeknya. Mereka ingin membuat dia merasakan rendah
diri, menganggap kalau semua yang dilakukannya adalah hal konyol hanya karena
bagi mereka tidak menghasilkan apa-apa. Dan selama ini bagi Cakra, bukannya
memberikan sesuatu yang berharga untuknya, mereka justru hanya berusaha
menjerat kakinya supaya tidak ke mana-mana.
Apa
yang harus dia lakukan? Sungguh, dia tidak memiliki ide apa pun untuk
menghadapi orang-orang itu nantinya. Obrolan itu nantinya hanya akan membuat
Cakra muak.
Cakra
menghela napas panjang. Dia mengerjap tatkala melihat dari kejauhan Kirana yang
melangkah pelan menghampiri mobilnya. Laki-laki itu terpaku. Dia tahu kalau
gadis mana pun akan berdandan ketika diminta mengenakan dress untuk datang ke pesta, namun apa yang dia lihat saat ini
benar-benar mengejutkannya.
Rambut
panjang coklatnya yang terang seperti nilon, disampirkan di bahu kiri kemudian
dililit sedemikian rupa dengan hiasan serupa tumbuhan sulur dari jaring-jaring
benang berwarna senada dengan gaunnya. Wajahnya sendiri tidak jauh berbeda
dengan kesehariannya ketika mereka bertemu di Kembang Rasa, tentunya dengan
rona yang lebih lembut dan halus. Mungkin gadis itu hanya membubuhkan sedikit
bedak, juga lipstik pastel di bibirnya.
Kirana
berhenti ketika jaraknya hanya satu langkah dari kaca pintu mobil yang ada di
sebelah Cakra. Laki-laki itu buru-buru turun dari mobil lalu berjalan memutar
menghampiri Kirana. Gadis itu seperti biasa menatapnya tanpa ekspresi yang
berarti.
“Terimakasih
karena bersedia menemaniku,” ucap Cakra. “Kau… Kau sangat cantik..”
Tidak
mengacuhkan pujian tadi, Kirana memalingkan wajah kemudian menggumam, “Kita
harus berangkat sekarang kalau kau tidak ingin terlambat..”
Cakra
tersenyum hambar.
“Ya..,”
jawabnya pelan. “Tentu saja.”
***
Seorang
pria tua dalam ball room yang mewah,
dikelilingi oleh beberapa orang yang membincangkan urusan mereka. Dia pria yang
berwajah tegas serta bertubuh tinggi, meski perutnya sedikit membuncit.
“Pak
Darmintjaja pasti senang sekali dengar Luki Putra berhasil bangun mall di
Taiwan.”
“Kabarnya
kemarin ketemu sama anak kedua Mr. Hong yang pengusaha properti di Korea ya?
Bagus kalau seumpama mereka jadi.”
“Saya
kok malah jarang dengar soal Cakra, Pak? Bisnis atau kuliah di mana dia?”
Pria
bermarga Darmintjaja itu hanya tersenyum lalu meminum wine di gelas pialanya. Dalam
hati dia membatin lagi kalau Cakra mungkin tidak akan datang lagi ke pesta semacam
itu. Kurang lebih tiga bulan yang lalu, Cakra datang ke pesta seperti itu
bersama seorang gadis yang bahkan tidak mampu mengangkat kepalanya di kalangan
orang-orang di sana. Cakra pun tidak betah berada di hall waktu itu. Setidaknya tekanan seperti ini akan ampuh bekerja
pada anak tak tahu malu itu.
Cakra
tidak pernah menyukai bidang bisnis seperti ayah ataupun kakaknya. Dia lebih
suka bergaul dengan anak-anak kumuh seusianya. Terakhir kabarnya, dia bahkan
bekerja sebagai pelayan restoran kecil untuk membiayai kuliahnya sendiri,
karena Darmintjaja menolak untuk membiayai kuliah seni rupa bodohnya itu.
“Omong-omong,
anda semua tahu soal Mr. Slovki? Kabarnya dia akan datang.”
“Owner menara Goghini di Jerman? Oh ya?
Pak Ronald bisa juga ya mengundang orang macam itu.”
“Sepertinya
Mr. Slovki juga ada urusan di sini, tapi tidak tahu urusan bisnis atau apa.”
Obrolan
itu terputus ketika mendadak, satu gerombolan itu merasakan tamu-tamu di
sekeliling mereka saling berbisik dengan pandangan yang tertuju ke satu arah.
Tidak aneh sebenarnya meski Cakra seringkali mengabaikan apa yang dia punya,
ayahnya—pria bernama Darmintjaja tadi merupakan salah satu pebisnis yang paling
berpengaruh di Indonesia. Tidak hanya itu, gadis misterius yang bersamanya juga
lumayan membuat para tamu bertanya-tanya.
***
Kirana
bisa menyadari banyak pasang mata tertuju pada Cakra, padahal baru beberapa
langkah mereka masuk ke aula di gedung tersebut. Cakra menampakkan wajah
tenang, namun Kirana merasakan siku lengan yang mengait tangannya begitu
tegang.
Tanpa
laki-laki itu tahu, Kirana sebenarnya telah mencari tahu semua hal tentangnya. Sekarang,
gadis itu bisa menebak alasan mengapa Cakra menjadi pelayan restoran sementara
keluarganya amat kaya.
“Kau
tidak perlu memaksakan diri untuk tersenyum..,” kata Kirana pelan sementara
mereka melangkah makin ke tengah, menuju ayah Cakra—Darmintjaja berada.
Cakra
mengerjap sesaat.
“Apa
maksudmu?” tanyanya.
“Terlepas
siapa pun yang kau benci, tidak ada larangan untuk tidak menampakkannya. Bahkan
ketika kau berusaha terlihat baik-baik saja, orang-orang macam ini tetap akan
berpendapat ada yang salah dengan hubunganmu. Karena itu.. berbohong atau
tidak, hasilnya akan sama..”
Cakra
terdiam. Pikirannya mencerna baik-baik sambil memandang sosok ayahnya yang
perlahan makin dekat. Dalam kekalutannya, kata-kata Kirana mulai menerobos
benak laki-laki itu.
“Kau
pikir mengapa semua orang di pesta ini tersenyum? Karena mereka semua palsu..
Mereka berkoar tentang hal-hal yang sama, tapi tidak ada yang berharga di
dalamnya. Kamu yang bersedih.. lebih dari cukup tahu seperti apa caranya
menjalani hidupmu sendiri..”
Langkah
Cakra seketika berhenti karena laki-laki itu tertegun. Dia pun menoleh pada
Kirana yang terlihat menatap kosong ke depan. Mengapa gadis itu bersikap dan
berkata seolah tahu segalanya?
Darmintjaja
melangkah mendatangi mereka diiringi tamu-tamu yang mengitarinya tadi. Senyuman
merendahkan tampak di bibir pria itu, meskipun yang ada di hadapannya adalah
putranya sendiri.
“Aku
pikir kau tidak datang,” katanya. “Oh ya, kenalkan, ini anak saya, Cakra. Dia
kuliah di jurusan seni rupa.”
Orang-orang
selain mereka langsung memasang wajah bingung.
Tidak
menghiraukan balasan apa yang akan keluar dari mulut Cakra, Darmintjaja
mendadak mengalihkan topik lagi dengan membicarakan putra sulungnya yang sukses
berbisnis. Hal itu tentu saja sukses memperjelas hubungan antara ayah dan anak
itu.
“Omong-omong,
siapa nona ini?” Salah satu dari mereka bertanya.
“Dia
temanku. Namanya Kirana,” balas Cakra sebelum Kirana menanggapi. “Kami rekan
kerja di restoran tidak jauh dari sini.”
Baik
Darmintjaja dan yang lainnya terkejut oleh kalimat Cakra.
“Kerja?
Maksudmu bisnis?” tanya salah seorang.
“Bukan.”
Cakra tersenyum. “Aku jadi pelayan restoran untuk membayar kuliahku sendiri.”
Mereka
sontak tercengang. Samar sekali, Kirana tersenyum.
“Karena
sudah datang ke sini, berarti saya sudah memenuhi undangan kan? Kami langsung
pamit dulu karena restoran sekarang pasti ramai sekali. Kalau tidak membantu,
bisa-bisa kami dipecat.”
Darmintjaja
syok—tidak mampu berkata-kata.
Cakra
langsung membalikkan badan dengan tangan kiri yang lantas menarik Kirana pergi.
Tangan itu terasa dingin, namun ada ketegaran di sana.
Melewati
gerombolan beberapa tamu yang mengobrol, seorang pria bercambang yang berdiri
di sekitar sudut ruangan tidak sengaja melihat wajah Kirana. Matanya melebar
seketika, bahkan dia hampir saja berlari juga berseru memanggil gadis itu kalau
saja tamu lain tidak menyapanya tiba-tiba.
“Mr.
Slovki, ada apa?
“Ah,
tidak…” Pria itu menjawab dengan ragu-ragu. “Sepertinya tadi saya melihat
atasan saya di sini..”
0 komentar:
Posting Komentar