Welcome to Disaster Maker Club (8): The Nerd Boy is Falling in Love

Rabu, 09 Desember 2015



Sesaat, Audin menutup matanya setelah langkah kakinya berhenti setelah berjalan agak jauh memasuki hutan Diadra. Di sekelilingnya, rekan satu timnya kali itu juga berdiri tidak jauh. Audin bergerak seperti orang bersujud. Telinga kanannya lalu menempel persis di atas tanah, seperti sedang berusaha mendengarkan sesuatu yang setidaknya akan berguna bagi mereka untuk mencari dua anak yang diculik. Ketika telah menemukannya, sepasang matanya kemudian terbuka.

Tanpa dia berdiri, Audin berkata, “Mereka ada tidak jauh dari sini.”

“Baunya sedikit anyir,” tambah Zein.

“Ke arah mana?” tanya Laz.

“Lurus saja,” jawab Audin lalu bangkit berdiri dan menepuk-nepuk tangan menyingkirkan kotoran di sana.

Mereka berjalan kurang lebih beberapa menit hingga akhirnya sampai di tempat dengan hawa yang sedikit ganjil. Pohon-pohon yang tumbuh di depan mereka tidak menjulang tinggi ke atas, melainkan saling membengkok membentuk lingkaran. Tanaman-tanaman lain semacam sulur, memanjang berhimpit seperti menjelma dinding dalam daerah yang gelap beberapa langkah di hadapan mereka.

Zein maju menyentuh batang pohon yang bengkok juga sulur-sulur di sana.

“Ini sarangnya, kurasa,” kata gadis itu.

“Tunggu apa lagi?” Eva menjentikkan jari hingga keluar api sebesar kepalan tangan. Tanpa rasa takut, dia langsung melangkah memasuki ruang gelap di dalam dinding sulur tanaman itu.

Zein dan Audin sempat saling berpandangan sebelum mengekor di belakang Eva. Laz menyusul di belakang mereka, sedangkan Agatha berjalan di paling akhir. Pedang perlahan-lahan keluar dari telapak tangan Laz, namun tidak ada darah yang keluar meskipun pedang itu seperti menyayatnya.

Mendadak mata Zein mengerjap.

“Eva, berhenti!” sentaknya, membuat Eva langsung menoleh. Zein pelan-pelan mendongak diikuti yang lain.

Mereka terbelalak tatkala melihat gerombolan makhluk mengerikan menggantung di sepanjang langit-langit gua. Ada yang berbentuk menyerupai laba-laba namun setengah tubuh bagian atasnya berbentuk manusia, ada ular raksasa yang merayap, kelelawar setengah reptil, dan lain sebagainya. Sebagian dari mereka menatap Zein dan yang lain seperti tengah memperhatikan mangsa. Saking menjijikkannya, air liur mereka menetes.

“Hitungan ke tiga, kita langsung lari ke dalam,” kata Zein memberi aba-aba. “TIGA!!!”

Sontak mereka semua berlari gila-gilaan lebih ke dalam. Bahkan tanpa menoleh ke belakang, mereka semua tahu siluman-siluman ganas itu mengejar mereka. Gawatnya lagi beberapa siluman sengaja menjatuhkan diri dari langit-langit untuk menerkam siapa pun yang ada di bawahnya.

Eva berdecap kesal. Gadis itu mengerem larinya dan menciptakan api merah yang memanjang untuk membakar siluman-siluman itu. Sebagian langsung menjadi bangkai-bangkai gosong, tapi tetap saja, saking banyaknya jumlah mereka, Eva tidak bisa langsung menyingkirkannya. Apalagi yang ada di lorong itu bukan hanya siluman, melainkan juga Zein dan yang lain.

Seekor siluman yang berwujud seperti belalang sembah raksasa yang masih merayap cepat di langit-langit langsung menghujamkan senjata di tangannya mengarah tepat pada Audin. Tiba-tiba saja gadis itu tersandung lalu terjatuh keras. Serangan siluman itu meleset, tapi dia melakukannya untuk yang ke dua kali. Tapi sebelum benda tajam itu melukai Audin, Laz menebas tangan siluman itu hingga terpotong dan terlempar entah ke mana. Agatha dengan sigap menarik lengan Audin, memaksanya untuk kembali berlari.

Mereka berlari menyongsong cahaya yang berpendar di sisi paling ujung. Saking cepatnya hingga sebagian besar mereka terjatuh keras di ruangan yang kosong.

“Audin! Tutup!!” seru Zein keras.

Audin langsung mengayunkan tangannya hingga lubang gua itu tertutup dengan dinding tanah yang keras. Kelimanya sama-sama terengah-engah dan sedikit bisa bernapas lega.

“Aku tahu Diadra itu sarang siluman. Tapi aku tidak pernah melihat mereka ada sebanyak itu sebelumnya,” ujar Eva kemudian menjatuhkan badannya ke tanah.

Laz dan Agatha bersamaan berdiri saat mata mereka melihat jaring-jaring laba-laba yang luas tidak jauh dari tempat mereka kini. Di tengah-tengah jaring itu, meskipun tampak kecil, ada dua orang yang tubuhnya dibalut benang-benang tipis yang beracun di sana.

“Siluman laba-laba?” Laz bergumam dan mengernyit.

Tiba-tiba seekor laba-laba kecil meluncur tepat di atas Agatha, hendak menggigit lehernya. Gadis itu langsung mendongak ke atas dan tangannya mengacung ke atas, memegang sebuah botol penyemprot.

“Argh!!! Mataku!!” pekik laba-laba itu. Siluman itu terlempar setelah Agatha menendangnya keras ke depan. Makhluk itu sempat mengucek-ngucek matanya sekilas sebelum menggumamkan sesuatu dengan cerobohnya. “Minyak…?”

Senyuman tersungging di bibir Eva. Gadis itu menjentikkan jarinya dan mendadak api merah melahap laba-laba kecil tadi hingga tubuhnya hangus menjadi abu meski hanya sesaat.

“Aku berani bertaruh,” kata Eva kemudian sembari menatap Agatha. Gadis itu tersenyum yakin. “Kau sengaja membawa minyak dalam botol itu karena ada aku di sini kan?”

Agatha tidak menjawab. Dia juga tidak terang-terangan membentak seperti yang biasa gadis itu lakukan. Tidak mengacuhkan Eva, Agatha mengalihkan pandangannya lalu melangkah ke tempat dua anak yang tidak bisa bergerak berkat benang-benang jaring yang membalut tubuh mereka.

Audin menyikut Zein.

“Dia kenapa lagi?” tanyanya.

Zein diam. Kedua bibirnya mengulum. Batinnya bertanya-tanya apakah mungkin kepala gadis itu terbentur sesuatu tanpa Zein tahu? Ah, ada satu cara untuk mengeceknya.

“Atha, hati-hati loh!” seru Zein mengingatkan.

Agatha menoleh. Matanya mendelik tajam.

“Sekali lagi kau salah menyebut namaku, kubunuh kau,” ancam gadis itu tajam meski serak.

Baiklah, dia tidak terbentur, simpul Zein dalam hati.

“Dia…” Audin mengerjap-ngerjap tidak percaya saat mengenali salah satu anak yang dijerat di jaring laba-laba itu. “Gael..?”

***

Shin berbaring menyamping di ranjangnya—tidak bisa tidur. Tentu saja. Bagaimana dia bisa tidur sementara teman-temannya yang lain sibuk dalam sebuah misi, sedangkan dirinya disuruh tinggal dan jaga rumah? Apa yang dipikirkan Mr. Elios soal dirinya? Apakah dia begitu menganggap Shin tidak bisa diandalkan?

Gadis itu menegakkan punggungnya tiba-tiba lalu menggeleng cepat. Dengan tujuan mengenyahkan pikiran-pikiran buruk itu, Shin bahkan dua kali menampar pipinya sendiri. Mendengus keras, dia pun turun dari ranjang dan melangkah keluar. Begitu membuka pintu, dia kaget mendapati Eero sedang menggambar di atas lantai.

Alat yang dia gunakan hanya kapur hitam. Berkat benda itu, tangannya menjadi hitam legam. Yang membuat Shin tidak habis pikir, Eero menggambar simbol-simbol aneh itu di atas lantai ruang tamu asrama itu. Entah sejak kapan semua perabotan di sana disingkirkan di satu sisi, sehingga laki-laki itu bisa leluasa menggambarnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Shin bingung.

Eero bangkit berdiri lalu mengusap keningnya yang berkeringat. Otomatis, jidatnya berwarna hitam.

“Kalau dugaanku benar…,” katanya setelah menoleh pada Shin. “Iblis satu ini akan merepotkan sekali.”

***

“Laz.” Agatha menyebut namanya. Tanpa dia utarakan maksudpun, laki-laki itu kemudian melangkah mendekat dengan gerakan memegang pedang yang bersiap akan mengayun.

“STOP!!”

Tubuh Laz langsung mematung seperti seseorang menekan tombol pause tiba-tiba. Tidak hanya dia, yang lain juga langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling karena barusan yang menghentikan Laz adalah suara Lana.

“Di mana kau, Lang?” Zein berseru.

“Jauh di atas kalian!” jawab Lana. Suaranya menggema di dalam gua tempat mereka berada. “Aku barusan dapat pesan dari Eero. Jangan sentuh jaring-jaring itu! Bahkan sedikitpun, kalian tidak boleh menyentuh benang-benang yang berceceran di lantai.”

Eva mengerutkan kening. Gadis itu rupanya masih berbaring di atas tanah karena merasa malas bergerak. Telapak tangannya lalu mengambil segenggam pasir di atas tanah. Matanya lalu menyipit tatkala mendapati pasir yang dia genggam ada benang-benang tipis yang terselip.

“Memangnya ada apa dengan benang ini?” gumamnya penasaran. Sebelum yang lain membatin pertanyaan yang sama, Eva tiba-tiba menjerit saat kumpulan benang lainnya menjerat tubuhnya supaya terkubur di dalam tanah.

“Benangnya hidup?!” Audin terperangah. Dia melihat Zein yang berlari hendak menolong Eva, tapi tiba-tiba gadis itu menjerit juga ketika gerombolan benang menarik kakinya hingga menggantung di udara. “Zein!” serunya.

“Jangan bergerak!!” teriak Agatha menghentikan gerak Audin yang akan menolong Zein. “Matamu buta?! Tidak lihat ada benang-benang itu berserakan di lantai?”

Pandangan Audin dan Laz beringsut ke sekitar kaki mereka. Benar katanya. Banyak sekali benang-benang berwarna perak yang tersebar di atas tanah.

“Siapa pun… tolong aku…,” kata Zein yang menggantung terbalik di langit-langit. Wajahnya sedikit membiru. “Lama-lama aku mual…”

Agatha mendengus.

Laz menarik kembali pedangnya lalu memasukkan senjata itu ke dalam sarung  yang menempel di celananya. Siapa yang tahu kalau sarung pedang itu justru menyenggol balutan benang di tubuh anak-anak yang diculik. Laz tersentak. Tanpa sempat berteriak, laki-laki itu ditarik paksa ke dinding dalam keadaan mulut yang disumpal.

“Woi! Kalian baik-baik saja?!” seru Lana bertanya.

“Tanyakan pada Eero siluman macam apa ini!” balas Agatha.

“Bukan siluman! Yang ada di sana hanya ada satu iblis. Mr. Elios bilang iblis yang menculik anak-anak itu kan?”

Agatha berdecap. Tangannya menyilang.

“Apa Eero juga memberitahu bagaimana cara menyingkirkan benang-benang ini?!” seru Audin. “Eva, Zein, dan Laz terperangkap!”

“Mereka harus melepaskan diri sendiri—begitu kata Eero,” balas Lana.

Saran macam apa itu? Zein membatin sebal. Detik berikutnya dia membekap mulutnya sendiri begitu merasakan ada sesuatu yang hendak keluar dari perutnya melalui mulut.

Tanpa mereka sadari, Laz perlahan-lahan mengubah wujud dirinya menjadi bola baja raksasa. Saking beratnya, benang-benang itu lama-lama tidak mampu menahan berat baja itu hingga akhirnya satu persatu benang terputus. Tepat ketika bola baja itu terlepas, sebelum menghujam tanah, Agatha tersentak dan menoleh.

Tahu-tahu bola baja itu menggelinding ke arahnya.

“Ap—!”

“Lari!” seru Audin.

Terlambat. Bola itu menggelinding dan langsung menghantamnya hingga membuat liang besar di dinding gua, dengan posisi Agatha di dalamnya. Laz perlahan-lahan berubah kembali ke wujud asli. Laki-laki itu langsung kebingungan, tidak ingat apa yang telah dia perbuat. Segerombolan benang nyaris akan menjeratnya lagi, namun Laz memotong semuanya dalam sekali tebas.

Bersamaan dengan itu, tanah tempat Eva berada meledak. Zein dan Audin pun langsung terbatuk-batuk karena tidak tahan dengan asap dan debu yang berterbangan. Eva bersin berulang kali karena hidungnya kemasukan debu.

“Apa ini? Kompor gasnya meledak?”

Mereka semua menoleh ke orang yang sama. Orangnya sama, tapi… logat dan nada suaranya berbeda.

“Mana si Bau Kencur Shin? Biar kugoreng dia di teflon!”

Agatha. Dan yah… kepalanya terbentur.

0 komentar: