Sesaat,
Audin menutup matanya setelah langkah kakinya berhenti setelah berjalan agak
jauh memasuki hutan Diadra. Di sekelilingnya, rekan satu timnya kali itu juga
berdiri tidak jauh. Audin bergerak seperti orang bersujud. Telinga kanannya
lalu menempel persis di atas tanah, seperti sedang berusaha mendengarkan
sesuatu yang setidaknya akan berguna bagi mereka untuk mencari dua anak yang
diculik. Ketika telah menemukannya, sepasang matanya kemudian terbuka.
Tanpa
dia berdiri, Audin berkata, “Mereka ada tidak jauh dari sini.”
“Baunya
sedikit anyir,” tambah Zein.
“Ke
arah mana?” tanya Laz.
“Lurus
saja,” jawab Audin lalu bangkit berdiri dan menepuk-nepuk tangan menyingkirkan
kotoran di sana.
Mereka
berjalan kurang lebih beberapa menit hingga akhirnya sampai di tempat dengan
hawa yang sedikit ganjil. Pohon-pohon yang tumbuh di depan mereka tidak
menjulang tinggi ke atas, melainkan saling membengkok membentuk lingkaran. Tanaman-tanaman
lain semacam sulur, memanjang berhimpit seperti menjelma dinding dalam daerah
yang gelap beberapa langkah di hadapan mereka.
Zein
maju menyentuh batang pohon yang bengkok juga sulur-sulur di sana.
“Ini
sarangnya, kurasa,” kata gadis itu.
“Tunggu
apa lagi?” Eva menjentikkan jari hingga keluar api sebesar kepalan tangan. Tanpa
rasa takut, dia langsung melangkah memasuki ruang gelap di dalam dinding sulur
tanaman itu.
Zein
dan Audin sempat saling berpandangan sebelum mengekor di belakang Eva. Laz
menyusul di belakang mereka, sedangkan Agatha berjalan di paling akhir. Pedang perlahan-lahan
keluar dari telapak tangan Laz, namun tidak ada darah yang keluar meskipun
pedang itu seperti menyayatnya.
Mendadak
mata Zein mengerjap.
“Eva,
berhenti!” sentaknya, membuat Eva langsung menoleh. Zein pelan-pelan mendongak
diikuti yang lain.
Mereka
terbelalak tatkala melihat gerombolan makhluk mengerikan menggantung di
sepanjang langit-langit gua. Ada yang berbentuk menyerupai laba-laba namun
setengah tubuh bagian atasnya berbentuk manusia, ada ular raksasa yang merayap,
kelelawar setengah reptil, dan lain sebagainya. Sebagian dari mereka menatap
Zein dan yang lain seperti tengah memperhatikan mangsa. Saking menjijikkannya,
air liur mereka menetes.
“Hitungan
ke tiga, kita langsung lari ke dalam,” kata Zein memberi aba-aba. “TIGA!!!”
Sontak
mereka semua berlari gila-gilaan lebih ke dalam. Bahkan tanpa menoleh ke
belakang, mereka semua tahu siluman-siluman ganas itu mengejar mereka. Gawatnya
lagi beberapa siluman sengaja menjatuhkan diri dari langit-langit untuk
menerkam siapa pun yang ada di bawahnya.
Eva
berdecap kesal. Gadis itu mengerem larinya dan menciptakan api merah yang
memanjang untuk membakar siluman-siluman itu. Sebagian langsung menjadi
bangkai-bangkai gosong, tapi tetap saja, saking banyaknya jumlah mereka, Eva
tidak bisa langsung menyingkirkannya. Apalagi yang ada di lorong itu bukan
hanya siluman, melainkan juga Zein dan yang lain.
Seekor
siluman yang berwujud seperti belalang sembah raksasa yang masih merayap cepat
di langit-langit langsung menghujamkan senjata di tangannya mengarah tepat pada
Audin. Tiba-tiba saja gadis itu tersandung lalu terjatuh keras. Serangan
siluman itu meleset, tapi dia melakukannya untuk yang ke dua kali. Tapi sebelum
benda tajam itu melukai Audin, Laz menebas tangan siluman itu hingga terpotong
dan terlempar entah ke mana. Agatha dengan sigap menarik lengan Audin,
memaksanya untuk kembali berlari.
Mereka
berlari menyongsong cahaya yang berpendar di sisi paling ujung. Saking cepatnya
hingga sebagian besar mereka terjatuh keras di ruangan yang kosong.
“Audin!
Tutup!!” seru Zein keras.
Audin
langsung mengayunkan tangannya hingga lubang gua itu tertutup dengan dinding
tanah yang keras. Kelimanya sama-sama terengah-engah dan sedikit bisa bernapas
lega.
“Aku
tahu Diadra itu sarang siluman. Tapi aku tidak pernah melihat mereka ada
sebanyak itu sebelumnya,” ujar Eva kemudian menjatuhkan badannya ke tanah.
Laz dan
Agatha bersamaan berdiri saat mata mereka melihat jaring-jaring laba-laba yang
luas tidak jauh dari tempat mereka kini. Di tengah-tengah jaring itu, meskipun
tampak kecil, ada dua orang yang tubuhnya dibalut benang-benang tipis yang
beracun di sana.
“Siluman
laba-laba?” Laz bergumam dan mengernyit.
Tiba-tiba
seekor laba-laba kecil meluncur tepat di atas Agatha, hendak menggigit
lehernya. Gadis itu langsung mendongak ke atas dan tangannya mengacung ke atas,
memegang sebuah botol penyemprot.
“Argh!!!
Mataku!!” pekik laba-laba itu. Siluman itu terlempar setelah Agatha
menendangnya keras ke depan. Makhluk itu sempat mengucek-ngucek matanya sekilas
sebelum menggumamkan sesuatu dengan cerobohnya. “Minyak…?”
Senyuman
tersungging di bibir Eva. Gadis itu menjentikkan jarinya dan mendadak api merah
melahap laba-laba kecil tadi hingga tubuhnya hangus menjadi abu meski hanya
sesaat.
“Aku
berani bertaruh,” kata Eva kemudian sembari menatap Agatha. Gadis itu tersenyum
yakin. “Kau sengaja membawa minyak dalam botol itu karena ada aku di sini kan?”
Agatha
tidak menjawab. Dia juga tidak terang-terangan membentak seperti yang biasa
gadis itu lakukan. Tidak mengacuhkan Eva, Agatha mengalihkan pandangannya lalu
melangkah ke tempat dua anak yang tidak bisa bergerak berkat benang-benang
jaring yang membalut tubuh mereka.
Audin
menyikut Zein.
“Dia kenapa
lagi?” tanyanya.
Zein
diam. Kedua bibirnya mengulum. Batinnya bertanya-tanya apakah mungkin kepala gadis
itu terbentur sesuatu tanpa Zein tahu? Ah, ada satu cara untuk mengeceknya.
“Atha,
hati-hati loh!” seru Zein mengingatkan.
Agatha
menoleh. Matanya mendelik tajam.
“Sekali
lagi kau salah menyebut namaku, kubunuh kau,” ancam gadis itu tajam meski serak.
Baiklah,
dia tidak terbentur, simpul Zein dalam hati.
“Dia…”
Audin mengerjap-ngerjap tidak percaya saat mengenali salah satu anak yang
dijerat di jaring laba-laba itu. “Gael..?”
***
Shin
berbaring menyamping di ranjangnya—tidak bisa tidur. Tentu saja. Bagaimana dia
bisa tidur sementara teman-temannya yang lain sibuk dalam sebuah misi,
sedangkan dirinya disuruh tinggal dan jaga rumah? Apa yang dipikirkan Mr. Elios
soal dirinya? Apakah dia begitu menganggap Shin tidak bisa diandalkan?
Gadis
itu menegakkan punggungnya tiba-tiba lalu menggeleng cepat. Dengan tujuan
mengenyahkan pikiran-pikiran buruk itu, Shin bahkan dua kali menampar pipinya
sendiri. Mendengus keras, dia pun turun dari ranjang dan melangkah keluar. Begitu
membuka pintu, dia kaget mendapati Eero sedang menggambar di atas lantai.
Alat yang
dia gunakan hanya kapur hitam. Berkat benda itu, tangannya menjadi hitam legam.
Yang membuat Shin tidak habis pikir, Eero menggambar simbol-simbol aneh itu di
atas lantai ruang tamu asrama itu. Entah sejak kapan semua perabotan di sana
disingkirkan di satu sisi, sehingga laki-laki itu bisa leluasa menggambarnya.
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Shin bingung.
Eero
bangkit berdiri lalu mengusap keningnya yang berkeringat. Otomatis, jidatnya
berwarna hitam.
“Kalau
dugaanku benar…,” katanya setelah menoleh pada Shin. “Iblis satu ini akan
merepotkan sekali.”
***
“Laz.”
Agatha menyebut namanya. Tanpa dia utarakan maksudpun, laki-laki itu kemudian
melangkah mendekat dengan gerakan memegang pedang yang bersiap akan mengayun.
“STOP!!”
Tubuh
Laz langsung mematung seperti seseorang menekan tombol pause tiba-tiba. Tidak hanya dia, yang lain juga langsung
mengedarkan pandangan ke sekeliling karena barusan yang menghentikan Laz adalah
suara Lana.
“Di
mana kau, Lang?” Zein berseru.
“Jauh
di atas kalian!” jawab Lana. Suaranya menggema di dalam gua tempat mereka
berada. “Aku barusan dapat pesan dari Eero. Jangan sentuh jaring-jaring itu!
Bahkan sedikitpun, kalian tidak boleh menyentuh benang-benang yang berceceran
di lantai.”
Eva
mengerutkan kening. Gadis itu rupanya masih berbaring di atas tanah karena merasa
malas bergerak. Telapak tangannya lalu mengambil segenggam pasir di atas tanah.
Matanya lalu menyipit tatkala mendapati pasir yang dia genggam ada
benang-benang tipis yang terselip.
“Memangnya
ada apa dengan benang ini?” gumamnya penasaran. Sebelum yang lain membatin
pertanyaan yang sama, Eva tiba-tiba menjerit saat kumpulan benang lainnya
menjerat tubuhnya supaya terkubur di dalam tanah.
“Benangnya
hidup?!” Audin terperangah. Dia melihat Zein yang berlari hendak menolong Eva,
tapi tiba-tiba gadis itu menjerit juga ketika gerombolan benang menarik kakinya
hingga menggantung di udara. “Zein!” serunya.
“Jangan
bergerak!!” teriak Agatha menghentikan gerak Audin yang akan menolong Zein. “Matamu
buta?! Tidak lihat ada benang-benang itu berserakan di lantai?”
Pandangan
Audin dan Laz beringsut ke sekitar kaki mereka. Benar katanya. Banyak sekali
benang-benang berwarna perak yang tersebar di atas tanah.
“Siapa
pun… tolong aku…,” kata Zein yang menggantung terbalik di langit-langit. Wajahnya
sedikit membiru. “Lama-lama aku mual…”
Agatha
mendengus.
Laz
menarik kembali pedangnya lalu memasukkan senjata itu ke dalam sarung yang menempel di celananya. Siapa yang tahu
kalau sarung pedang itu justru menyenggol balutan benang di tubuh anak-anak
yang diculik. Laz tersentak. Tanpa sempat berteriak, laki-laki itu ditarik
paksa ke dinding dalam keadaan mulut yang disumpal.
“Woi!
Kalian baik-baik saja?!” seru Lana bertanya.
“Tanyakan
pada Eero siluman macam apa ini!” balas Agatha.
“Bukan
siluman! Yang ada di sana hanya ada satu iblis. Mr. Elios bilang iblis yang
menculik anak-anak itu kan?”
Agatha
berdecap. Tangannya menyilang.
“Apa
Eero juga memberitahu bagaimana cara menyingkirkan benang-benang ini?!” seru
Audin. “Eva, Zein, dan Laz terperangkap!”
“Mereka
harus melepaskan diri sendiri—begitu kata Eero,” balas Lana.
Saran macam apa itu? Zein
membatin sebal. Detik berikutnya dia membekap mulutnya sendiri begitu merasakan
ada sesuatu yang hendak keluar dari perutnya melalui mulut.
Tanpa
mereka sadari, Laz perlahan-lahan mengubah wujud dirinya menjadi bola baja
raksasa. Saking beratnya, benang-benang itu lama-lama tidak mampu menahan berat
baja itu hingga akhirnya satu persatu benang terputus. Tepat ketika bola baja
itu terlepas, sebelum menghujam tanah, Agatha tersentak dan menoleh.
Tahu-tahu
bola baja itu menggelinding ke arahnya.
“Ap—!”
“Lari!”
seru Audin.
Terlambat.
Bola itu menggelinding dan langsung menghantamnya hingga membuat liang besar di
dinding gua, dengan posisi Agatha di dalamnya. Laz perlahan-lahan berubah
kembali ke wujud asli. Laki-laki itu langsung kebingungan, tidak ingat apa yang
telah dia perbuat. Segerombolan benang nyaris akan menjeratnya lagi, namun Laz
memotong semuanya dalam sekali tebas.
Bersamaan
dengan itu, tanah tempat Eva berada meledak. Zein dan Audin pun langsung
terbatuk-batuk karena tidak tahan dengan asap dan debu yang berterbangan. Eva
bersin berulang kali karena hidungnya kemasukan debu.
“Apa
ini? Kompor gasnya meledak?”
Mereka
semua menoleh ke orang yang sama. Orangnya sama, tapi… logat dan nada suaranya
berbeda.
“Mana
si Bau Kencur Shin? Biar kugoreng dia di teflon!”
Agatha.
Dan yah… kepalanya terbentur.
0 komentar:
Posting Komentar