Sendirian
ditambah tidak bisa tidur merupakan hal yang biasa bagi Amarta Orchidee Len. Seperti
malam-malam sebelumnya, gadis itu terduduk di ranjang. Kali ini dia tidak lagi
bisa menyibukkan diri dengan membaca buku. Setelah beberapa hari yang lalu
membeli selusin novel dengan genre yang berbeda, akibat waktu luangnya yang
berlebihan, semua buku itu habis dia lahap. Tentunya seperti rutinitasnya yang
lalu, dia akan merencanakan kapan akan ke toko buku lagi. Hanya saja kali ini
dia merasa lelah. Semua hal yang dirasanya menarik dulu, kini telah berubah
hambar.
Sekelumit
ide mendadak muncul di benak gadis itu. Sebenarnya ide yang amat mengerikan. Matanya
menyipit kemudian melirik ke arah telepon di atas meja samping ranjang. Tersenyum
licik, dia pun meraih gagang telepon itu lalu memencet beberapa tombol sebelum
akhirnya menempelkan benda itu ke telinga.
Dari
situlah, mimpi buruk mereka dimulai.
***
Melisma
Forsythia Len membaca cepat baris demi baris satu bendel kertas yang dijepit
papan alas tulis yang sedang dia pegang. Matanya menyorot tajam penuh napsu
membunuh. Cepat, walau tidak kasar, jari-jari tangan kanannya membalik
kertas-kertas itu dan menyatroni semua hal yang tertulis di sana tanpa
melewatkan secuil katapun. Tiap dia membalik halaman itulah, tiga orang yang
berdiri depan meja selalu terperanjat. Wajah dan leher mereka banjir oleh
keringat dingin. Salah satunya bahkan berusaha mati-matian menahan hasrat buang
air kecil.
AC yang
ada di ruangan itu dihidupkan dengan angka derajat minimum. Bahkan tanpa
ditambah dengan suhu rendah, ketegangan yang gadis itu ciptakan mampu membuat
suasana sebeku puncak Everest.
Saat
ini dia sedang duduk di meja putar putih kesayangannya, mengenakan kemeja garis
lengan panjang dan rok hitam selutut, juga boots
heel hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat tinggi-tinggi di belakang
kepala. Gadis itu juga memakai kacamata tanpa bingkai hingga orang lain bisa
melihat dengan jelas mata setajam elang yang dia miliki. Sekarang, mata tajam
itu bahkan bertambah ganas berkali-kali lipat hanya gara-gara paper yang dia baca sekarang tidak
sesuai dengan harapannya.
“Kapan
kalian mulai mengerjakan proposal ini?” tanya Melisma tanpa mengalihkan
perhatiannya dari tulisan pada paper.
“Empat hari
yang lalu waktu tugasnya diberikan,” jawab salah satu dari tiga orang di
depannya. “Waktu yang diberi seminggu, jadi kami tiga hari lebih awal..”
Langsung
saja, Melisma menyeringai sinis. Celakanya bagi ketiga orang tadi, seringai itu
terlihat mirip sekali dengan tawa sadis psikopat yang muncul dalam film horor
yang diputar di televisi semalam. Mereka sontak terperanjat sampai hampir
melompat ketika gadis itu tiba-tiba saja melempar papan alas tulisnya ke
samping hingga menghantam keras dinding.
“Jangan
salah sangka,” kata Melisma sambil menyilangkan tangan pada mereka bertiga. “Orang
lain memang akan selalu memuji orang rajin. Sayangnya aku punya pendapat
berbeda. Kata-kata seperti ‘Hebat sekali kau menyelesaikan dengan cepat’, ‘Rajin
sekali mengerjakan’, ‘Sepertinya orang ini patut dipertimbangkan’, sayangnya
kalian tidak akan pernah mendapatkannya dariku.”
Mereka
bersamaan menelan ludah.
“Menurut
kalian mengapa para dosen memberikan jangka waktu lebih lama dari yang biasa kalian
habiskan hanya untuk mengerjakan sebuah proyek? Supaya kalian bisa lebih serius
mengerjakannya. Masing-masing hari yang kalian dapat sebagai jatah harusnya
dipergunakan semestinya. Berani-beraninya kalian mengurangi jatah itu hanya
untuk menyisakan hari demi main-main?”
Ketiganya
bungkam. Meski tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Melisma, mereka tidak
berani mendebat gadis yang mereka curigai sebagai siluman macan kumbang itu.
“Kualitas
proyek satu minggu, ditukar dengan kualitas proyek empat hari? JANGAN BERCANDA
DENGANKU!!” Teriakan Melisma yang membentak mereka sampai menggetarkan
benda-benda yang ada di sana. “Satu minggu lagi. Kalau kalian sampai memberiku
sampah seperti tadi, NILAI C PUN TIDAK AKAN SUDI AKU USULKAN PADA MR. EDGAR UNTUK
KALIAN!!”
Bagai
anjing chihuahua berhadapan dengan seekor singa, mereka nyaris tidak bisa
berkutik. Berdebat pun, mereka tidak memiliki keberanian.
“Jangan
sampai kulihat batang hidung kalian sebelum proposal itu selesai. KELUAR!!!”
Sontak,
ketiga anak tadi langsung berlari keluar terbirit-birit.
Begitu
pintu ditutup, Melisma menghela napas panjang, berharap kalau penat di benaknya
akan langsung menguap saat karbondioksida dihempaskannya keluar. Teriakannya tadi
memicu urat-urat di lehernya keluar. Akibatnya, gadis itu merasa pegal
sekarang.
Dia
beranjak dari kursi putar empuknya lalu berdiri menghadap dinding kaca untuk
memandang keluar. Hari beranjak sore. Gadis itu bisa melihat langit yang
perlahan berubah abu-abu meski terhalangi beberapa gedung pencakar langit. Pemandangan
yang dia lihat sehari-hari itulah yang membuat penatnya bertambah hari demi
hari.
Ponsel yang
ada di meja bergetar, memberi tanda kalau ada pesan masuk. Melisma meraih benda
yang melebar seiring dengan perkembangan teknologi sampai saat ini. Dinyalakannya
layar ponsel itu lalu satu pesan yang dia baca di sana membuat gadis itu
mengerutkan kening samar.
Kata-kata
singkat yang diketik dalam karakter huruf Jepang itu membuatnya bertanya-tanya
siapa pengirimnya.
Lobi paling
dasar. –G.L
Siapa
G.L? Tidak ada keterangan nomor pengirim hingga Melisma tidak bisa mendapatkan
jawaban.
Gadis
itu melihat sebentar ke jam tangannya. Dia memang seharusnya sudah boleh pulang
sekitar satu jam yang lalu. Lagipula cukuplah hari ini. Melisma merasa butuh
istirahat. Gadis itu mengambil jaketnya yang digantung di sudut ruangan
kemudian keluar ruangan. Beberapa staf menyapanya namun gadis itu tidak
menggubris. Dia sendirian ketika turun ke lantai paling bawah menggunakan lift.
Sesampainya
di lantai satu, Melisma mendapati sekitarnya telah sepi. Dia sama sekali tidak
merasakan firasat apa pun ketika akhirnya tiba-tiba seseorang menutup mulutnya
menggunakan sehelai sapu tangan. Meronta untuk melawan, orang lain lagi
langsung datang membantu. Dia membawa sebuah kain yang mirip karung dan tanpa
ragu memasukkan gadis itu ke dalamnya. Komplotan itupun menghilang dalam
hitungan detik tanpa meninggalkan jejak.
***
Panggung
pertunjukkan konser solo didirikan megah di sebuah gedung. Waktu telah
menunjukkan pukul sebelas malam lewat namun kemeriahan di dalamnya tidak
kunjung usai. Di atas panggung tersebut, seorang gadis mengenakan kostum yang
mencolok sedang menyanyi dengan nada-nada yang tinggi. Rambutnya cokelat
panjang serta ikal terurai panjang menutupi bagian punggung yang terbuka. Kostumnya
kurang lebih serupa dengan kostum peri, yakni pakaian atas dan bawah yang
menyambung dengan bagian rok yang panjangnya tidak sampai menyentuh lutut. Warnanya
didominasi kuning emas, cokelat susu, hitam dan putih.
Tiara
Chrisantee Len hampir menyelesaikan lagu terakhirnya di konser kali ini. Diiringi
dengan suara-suara penontonnya yang ikut bernyanyi bersama, gadis itu bisa
melupakan lelah dan menyanyi dengan sepenuh hati. Akhirnya ketika lagu itu
usai, tepuk tangan menggemuruh langsung menyorakinya. Dia pun tersenyum manis
lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk melambai sekaligus mengucapkan
terimakasih.
Gadis
itu kemudian berbalik meninggalkan panggung ke balik tirai di mana manajer
menunggunya. Tapi tepat ketika dia turun dari tangga kecil di sana, beberapa
orang langsung membekapnya hingga dia tidak bisa berkutik sama sekali. Ujung-ujungnya
Tiara jatuh pingsan. Orang-orang tadi pun langsung membawa tubuh Tiara untuk
meninggalkan tempat itu secepatnya.
***
Awalnya,
jari-jari Viola Amarylis menciptakan kumpulan melodi yang indah saat beradu
dengan tuts piano. Maids di rumahnya
pun tanpa ada yang menegur, mengerubuti ruang musik yang disiapkan khusus untuk
gadis itu hanya untuk mendengar serta menikmati lagu-lagu yang dimainkan. Dari alunan
yang lembut itu, mereka bisa menduga kalau Viola sedang dalam suasana hati yang
tenang.
Hanya saja
dalam hitungan menit selanjutnya, gadis itu mendadak mengingat hal yang
langsung membuat kekesalannya bangkit. Menekan rahangnya kuat-kuat, Viola
seolah melupakan nada-nada yang seharusnya dia mainkan dalam tempo yang
teratur. Gadis itu justru melampiaskan emosinya yang meluap-luap dengan
menekan-nekan tuts piano jauh lebih kuat daripada yang seharusnya.
Maids yang yang mendengar
perubahan drastis dalam lagu Viola pun langsung terperanjat kaget. Tidak hanya
terdengar lebih keras dan menyeramkan, gadis itu bahkan menekan tuts
asal-asalan hingga memberi kesan kalau piano yang sudah bertahun-tahun menemani
hari-harinya itu akhirnya telah rapuh dimakan usia. Nada-nada yang berantakan,
juga energi yang disalurkan berlebihan itu mampu mengubah atmosfer rumah yang
mulanya damai menjadi seperti arena perang.
Sekitar
beberapa menit kemudian, Viola menghentikan permainan pianonya yang mengerikan
tadi. Setelahnya gadis itu melangkah keluar ruangan menuju ke ruang makan untuk
mengambil sebotol yogurt. Baru seteguk cairan kental itu mengalir ke
tenggorokannya, botol yang ada di tangan gadis itu tiba-tiba terlepas. Benda itu
jatuh terbanting ke lantai dan langsung menumpahkan isinya.
Gadis
itu tentu tidak pernah menyangka dia akan diculik saat berada dalam rumahnya
sendiri.
***
Mereka
berjumlah dua belas orang. Sebelas orang pria dan seorang gadis yang mengenakan
gaun terusan putih tanpa lengan. Seorang pria di sebelah gadis tadi berbicara
mengenai topik mereka hari itu seperti tanpa jeda. Usianya kurang lebih akan
menginjak setengah abad. Meski begitu dia tampak sangat bersemangat berceloteh
dengan tujuan menarik minat gadis tadi tentang sesuatu yang akan mereka
kerjakan.
Ratimeria
Vrtnica Len sebenarnya mengantuk saat dipaksa menemani pria pebisnis yang tengah
berjalan beriringan dengannya kini. Gadis itu sebenarnya enggan menyetujui
tawarannya, namun hal itu tidak langsung tergambar jelas di wajah. Dua tangannya
sama-sama dimasukkan ke saku rok. Meski berulang kali ingin menguap, gadis itu
berusaha menahannya dengan menggigiti bibir bawah. Di luar itu, dia justru
menyadari ada sesuatu yang aneh dengan ketujuh guard-nya hari ini. Sisanya adalah guard dari pria pebisnis di sebelahnya.
“Tentu saya
berharap ekspor akan segera dilakukan mengingat begitu besarnya peluang yang
pasti kita raih…,” jelas pria itu menutup paparannya yang keseluruhan
membosankan. Penjelasannya kebetulan selesai sewaktu mereka sampai dekat pintu
keluar.
“Kalau
begitu.. saya akan menghubungimu lagi nanti..,” kata Ratimeria membalasnya.
Pria itupun
tersenyum puas. Dia lalu pergi bersama dengan tiga pengawalnya setelah
membungkuk sekilas pada Ratimeria.
Gadis
itu bergeming selama beberapa saat. Ketika akhirnya membalikkan badan untuk
menatap satu per satu pengawalnya, dia menarik tangannya yang sejak tadi
dimasukkan ke saku. Pengawal-pengawal itupun melebarkan mata karena terkejut
melihat Ratimeria ternyata membawa pistol. Bahkan dia mengacungkan dua pistol
sekaligus pada mereka.
“M-miss?” Salah satunya yang berdiri
paling depan tampak sangat terkejut.
“Just you,” kata Ratimeria mengundang
tanya mereka semua. “Berdiri di belakangku.”
Orang
itu menurut. Namanya Nagi. Hanya dia yang kemudian berjalan melewati Ratimeria
dan berdiri di belakang gadis itu, sementara pengawal yang lain saling
berpandangan bingung.
“Yes, I’m holding double handgun. Dan
ya.. aku sedang mengarahkannya pada kalian..”
“Ada
apa, Miss? Is there something wrong?”
tanya Nagi bingung.
“Aku
ingat semua orang yang menyertaiku. Dan kalian bukan di antara mereka,” ujar
Ratimeria dingin sambil tetap mengacungkan pistol. “Mungkin aku tidak bisa
menghancurkan kepala kalian satu per satu dalam waktu singkat. Tapi tidak ada
salahnya menembak secara acak.. Tentu aku takkan melakukannya kalau kalian mau
bekerja sama..”
Keenam
pengawal itu tampak berpikir keras menimbang kata-kata Ratimeria barusan. Hanya
dari sorot mata yang mereka tunjukkan, gadis itu langsung bisa menyadari kalau
dugaannya benar. Kecurigaannya bertambah saat dia sempat melirik satu per satu
saku celana mereka yang walau terlihat samar, namun jelas-jelas di antaranya
ada beberapa yang sedikit menggembung karena diisi sesuatu.
Tali. Sapu
tangan yang tidak dilipat rapi. Juga sebuah benda yang keras dan terlipat—mungkin
pisau untuk mengancamnya supaya tidak melawan.
“Satu..”
Ratimeria mulai menghitung. Tepat saat itulah, keenam orang tadi langsung
mengambil pistol masing-masing dan bersamaan mengarahkan ujungnya pada
Ratimeria.
“Pengkhianat!”
seru Nagi marah.
“Kami
harus membawa anda ikut bersama kami. Karena kami yakin, anda tidak akan
bersedia ikut dengan sukarela, maka kami mempersiapkan semuanya untuk membawa
anda paksa,” kata salah satu pengawal itu. “Tadinya kami tidak berniat memakai
cara ini, tapi tolong mengertilah.”
Ratimeria
tersenyum. Detik berikutnya dia mengarahkan salah satu pistol ke depan wajahnya
sendiri sampai-sampai mereka semua terkesiap.
“What happen if I say no?” tanya gadis
itu dengan sorot mata dingin.
Menculik
paksa Ratimeria tidak lagi berlaku. Mereka tahu gadis di depan mereka bisa
melakukan apa saja tanpa rasa takut, jadi kendali keadaan sekarang ada di
tangan Ratimeria. Kehabisan kata-kata untuk diucapkan, mereka pun terdiam.
“Siapa
yang kurang ajar menyuruh kalian menculikku?” tanya gadis itu yang langsung
menciptakan hawa kuat mengintimidasi mereka semua.
Salah
satu dari mereka memberi isyarat pada yang lain untuk menurunkan senjata. Setelah
mereka semua melakukannya, orang itupun maju menunduk sekilas pada Ratimeria
lalu menjawabnya dengan singkat.
“Tuan Gargaric
Len. Kakek anda.”
0 komentar:
Posting Komentar