Lesson (2): Pulau Tak Berpenghuni

Senin, 11 April 2016



Sinar matahari yang tambah menyilaukan akhirnya menerobos masuk lewat celah-celah tirai. Siapa pun yang telah menyiapkan kamar itu patut diomeli. Lihat saja sekarang. Jendela yang terdiri dari enam potong kaca persegi panjang itu salah satunya tidak tertutup dengan baik, bahkan menyisakan celah cukup besar di tengah-tengah. Tidak hanya sinar matahari yang meringsek masuk, anginpun demikian. Hembusan angin menggerakkan tirai dan lantas kecolongan saat seharusnya menghalangi cahaya.

Gadis itu akhirnya terbangun. Dia mengerang kesal.

Jam berapa ini? Mengapa alarm ponselnya tidak berbunyi? Ah, lagipula kemarin Jumat, berarti sekarang hari Sabtu. Bukankah tidak masalah kalau dia tidur sampai siang?

Semua rutinitas padat yang dia lakukan hanya berlangsung Senin sampai Jumat. Sisanya, dia bebas menghabiskan waktu untuk diri sendiri. Memangnya siapa yang berani mengusik macan kumbang yang sedang tidur? Gadis itu pernah sekali mendapat telepon saat akhir pekan seperti ini. Sejauh ini dia bersumpah; tidak akan membiarkan pengganggu waktu istirahatnya hidup tenang.

Kelopak matanya terbuka sedikit. Biarpun sekilas dan samar, dia bisa melihat dinding cokelat kamarnya sekarang. Hidungnya mencium aroma kayu. Sementara itu kulitnya mendapati permukaan kasar ketika geraknya tanpa sengaja menyingkap seprai.

Tunggu dulu.

Dinding cokelat? Aroma kayu? Ranjang kasar?

Matanya seketika terbuka penuh. Gadis itu terkesiap keras dan sontak terperanjat. Dia akhirnya menegakkan punggung setelah hampir semalaman meringkuk seperti ular. Keringat dingin mengucur. Napasnya memburu. Bagaimana mungkin dia melupakan kejadian yang baru saja dia alami?

Dia telah diculik! Itu satu-satunya alasan mengapa sekarang dirinya berada di tempat asing.

Melisma cepat-cepat menendang selimutnya. Gadis itu langsung berlari tanpa bisa berpikir jernih—setidaknya mempertimbangkan apa yang seharusnya dilakukan korban penculikan ketika mungkin saja ada di sarang pelaku—akibat panik.

Tepat ketika membuka pintu, gadis itu menginjak keset dan dia terpeleset. Badannya ambruk ke belakang diikuti bunyi benturan keras.

***

Di tempat yang sama, hanya saja di kamar yang berbeda, satu gadis lagi bangun dalam keadaan rambut ikalnya yang super berantakan. Pandangannya berkeliling mendapati tempat dia berada kini tampak benar-benar asing.

Hotel? Motel? Atau penginapan biasa? Kenapa manajernya membawa dia ke tempat aneh seperti ini? Ranjangnya tidak senyaman yang selalu dirinya gunakan untuk tidur. Apalagi baru kali ini dia menghabiskan malam di tempat yang berdinding kayu. Apa tema untuk bulan ini sudah berganti menjadi “Menyatu dengan Alam”? Atau mungkin sekarang dirinya berada di negara lain lagi di mana masyarakatnya sangat menjaga lingkungan hidup?

Dia terdiam cukup lama. Hanya saja karena masih sangat mengantuk karena kelelahan setelah konsernya kemarin, akhirnya gadis itu terlelap lagi di balik selimut.

***
Di kamar ketiga, penghuni di dalamnya masih tertidur sampai-sampai mimpi pun tidak bisa mengganggunya. Seluruh bagian selimut berkumpul di tengah-tengah, membalut tubuhnya menjadi serupa dimsum lonjong. Berkat lagu-lagu klasik yang sering dia dengar dan latih, atmosfer dalam kamarnya amatlah damai, sampai akhirnya saat bergerak, entah kenapa gadis itu berguling ke tepian—membawa balutan selimutnya ikut serta. Tubuhnya langsung terjun bebas menghantam lantai

Dia sontak terperanjat begitu dahinya membentur kaki meja.

Mulutnya otomatis berkicau. Dia mengaduh, mengerang, bertanya sambil berseru, mengeluh mengapa selalu saja tubuhnya terbalut erat selimut kala tidur, lalu menyalahkan siapa pun yang meletakkan meja perabot tersebut dekat ranjang.

Tunggu sebentar. Dia mengernyit.

Meja perabot dekat ranjang? Setahunya hanya ada dua rak laci kubus di sisi kanan dan kiri ranjang kamarnya. Dua benda itu tidak memiliki kaki kayu yang panjang.

Gadis itu tertegun kala benaknya memutar kembali apa yang terjadi kemarin. Seseorang membekapnya dari belakang dan…

Shit!” Dia mengumpat.

Dirinya harus bergegas mencari cara untuk kabur. Dia tidak sudi berlama-lama di sana. Dihentak-hentakkannya selimut yang membalut tubuhnya dari pundak sampai ujung kaki. Karena tidak berhasil, dia pun terpaksa menghampiri pintu dengan bergerak-gerak seperti ular. Sialnya ketika hampir mencapai pintu, gadis itu lupa memperkirakan jarak hingga akibatnya, dahinya terbentur lagi. Kali ini lebih keras daripada tadi.

***
Aroma harum teh yang baru saja diseduh menguar saat berpindah dari teko ke sebuah cangkir porselen. Dekat tea set, sarapan lain tersedia dalam keadaan masih hangat.

Seseorang yang duduk di salah satu kursi lalu mengambil sepotong dendeng kemudian menggigitnya meski teksturnya agak keras. Dia makan sambil membaca koran terbaru. Meski bangun tidak kurang dari sepuluh menit yang lalu, matanya menyorot jernih dan pikirannya tenang.

“Lama sekali mereka. Apa perlu dibangunkan?” tanya gadis yang tadi menuangkan teh. Rambut pendek sebahunya masih eksis sampai sekarang, hanya saja dengan poni miring yang lebih panjang. “Ayo kita bangunkan mereka sama-sama!”

“Dua untukmu, satu untukku.”

“Hah?”

“Aku tidak mau membangunkan ketiganya.”

“Ide bagus! Soal efektivitas waktu kan? Kalau begitu, aku bangunkan Tiara. Meri bangunkan Vio dan Meli ya! Kamar mereka kan satu arah.”

Si Gadis manekin tidak sempat mengoreksi si Bungsu karena dia sudah terlanjur berlari-lari pergi.

Ratimeria menghela napas panjang. Diletakkannya koran yang baru selesai dia baca sebanyak empat kolom. Sebenarnya dia enggan meninggalkan tehnya yang pasti sebentar lagi akan mendingin. Uap yang muncul di permukaannya sangat indah. Mendengus sejenak, dia akhirnya melangkah ke kamar dua kembarannya berada.

Lantai kayu sedikit berderit saat dia menyusuri lorong. Rumah kayu itu memang agak seram meski sekarang ada mereka berlima di sana.

Ratimeria hampir mencapai pintu kamar tempat karakter paling galak di antara mereka berada. Tepat saat itu, pintu sudah terbuka sendiri. Sepersekian detik, orang di dalamnya terburu-buru keluar seperti kesetanan. Kaki telanjangnya menginjak keset dan lantas dia pun terpeleset. Tubuhnya limbung ke belakang dan otomatis punggungnya menghantam lantai.

My God… it’s hurt…,” gumam gadis itu sekilas. Kepalanya masih ada di bagian dalam kamar sehingga yang dilihat Ratimeria sekarang hanyalah sepasang kaki gadis itu yang menjulur keluar.

Ratimeria tidak berniat menegur Melisma duluan. Karenanya dia hanya terdiam melihat tingkah laku gadis vampir yang punya kulit sepucat mayat dan berambut hitam legam. Sepasang kaki yang terjulur tadi ditarik lagi ke dalam. Ratimeria bisa mendengar Melisma menggerutu pelan. Akhirnya, gadis yang baru bangun itupun keluar perlahan—dengan cara merangkak. Kepalanya sontak menoleh kaget ke samping begitu menyadari ada orang di dekatnya.

Paranoid.

“Halo,” sapa Ratimeria singkat. Wajahnya hambar.

“Apanya halo?! Kenapa kau ada di sini?!” semprot Melisma. “Aku pikir aku diculik! Aku diculik tepat saat keluar kampus, kau tahu!”

Melisma berteriak tepat di depan mukanya, namun seperti biasa, Ratimeria menanggapi nyaris tanpa emosi.

“Kita memang diculik,” balas gadis itu pendek.

“Hah?”

Sebelum Melisma bertanya lebih jauh, mereka mendengar bunyi benturan yang lumayan keras. Mereka pun menoleh ke arah sumber suara tadi berasal. Pintu kamar yang bersebelahan dengan kamar Melisma dibuka.

Kembaran mereka satu lagi—Viola—keluar dengan bentuk bagai croissant. Mereka bertiga saling bertatap. Raut wajah Viola yang terkejut, persis dengan Melisma sewaktu melihat Ratimeria untuk yang pertama kalinya di tahun ini.

“Apanya yang terbentur kalau badanmu empuk begitu?” Melisma mengernyit.

Viola tertawa. Telunjuknya kemudian terangkan menunjuk ke dahinya yang benjol.

Masih di rumah yang sama, Amarta masih berusaha membangunkan Tiara yang tertidur lelap. Berulang kali mulutnya membeo keras, tapi usaha itu tidak membuahkan hasil sama sekali. Amarta juga sudah membuka jendela supaya sinar matahari bisa lebih leluasa masuk. Tiara tetap saja tidak bergerak. Puncaknya, Amarta naik ke ranjang itu. Kedua tangannya bekerja sama membekap hidung dan mulut Tiara.

Dalam hitungan detik, Tiara mengerjap-ngerjap sadar sebelum mukanya berubah biru.

“Selamat pagi!” sapa Amarta ceria.

Suara teriakan pun kembali memenuhi rumah kayu untuk yang kedua kalinya.

***
Kurang lebih satu jam kemudian, Amarta menyiapkan baju ganti untuk semuanya. Masing-masing kaus yang mudah menyerap keringat, celana pendek, sepasang kaus kaki, dan juga sepatu tali.

“Kenapa kami harus pakai itu?” Melisma mengernyit curiga. “Dari tadi juga tidak ada yang jawab kita sebenarnya ada di mana!”

“Punyaku yang pink kan?” tanya Tiara tidak ambil pusing pada Amarta di sebelahnya.

“Iya. Aku yang ungu,” jawab Amarta juga tidak mengacuhkan Melisma.

“Dengarkan aku!” teriak Melisma kesal.

“Sudah-sudah. Kita memang diculik, tapi toh kita masih bisa kumpul bersama kan?” tanggap Viola mencoba menenangkannya.

Melisma sudah mengenakan kaus putih bergaris kuning, sedangkan milik Viola bergaris merah. Tidak jauh dari mereka, Ratimeria memandang ke sekeliling dalam diam. Kaus yang dia kenakan bergaris putih yang memiliki efek suar. Ketika seorang pria tua bercambang mendekati mereka, dialah yang pertama kali tahu.

“Sepertinya baru kemarin kalian berloncatan ke sana kemari. Bahkan main kuda-kudaan denganku,” ujar pria tua itu lalu tertawa-tawa.

Baik Melisma beserta empat yang lain langsung memandang pria itu dengan mata melebar.

Gargaric Len. Sang Kakek. Mantan pemain basket dan juga… belakangan menyibukkan diri dengan melatih atlet didikannya.

Tiara sempat memalingkan muka untuk sekedar tertawa sinis. Sepertinya dia tahu ke mana kegiatan hari ini mengarah. Tidak jauh berbeda dengan gadis itu, kembar lainnya pun mendadak membeku.

“Ini pulau tidak berpenghuni, my dear,” kata Gargaric memberi tahu. Dia tersenyum sampai-sampai matanya menyipit hampir menutup. “Aku sudah membuang semua alat komunikasi yang kalian punya ke laut.”

Hening. Beberapa dari mereka syok.

“Nah, supaya bisa keluar dari sini, silakan lari keliling pulau sebanyak tiga kali. Urutan kalian akan menentukan berapa hari lagi kalian akan menginap di sini. Oh, dan.. kalian hanya punya waktu dua jam.”

0 komentar: