Calathea zebrina.
Shin
tidak pernah bosan memandangi permukaan daunnya yang indah, apalagi setelah
telaten mengelapnya setiap sore. Hanya ada satu jenis calathea di kebunnya yang
berukuran kecil dan ditanam dalam sebuah pot tanah liat. Belum lama menjadi
salah satu koleksinya, Shin rupanya tidak sabar melihat tanaman itu berbunga. Sayangnya,
beberapa kali dicoba pun, kekuatannya tidak berhasil membuat calathea berbunga.
Keruh, gadis itu menyadari kalau berhasil tidaknya kemampuan yang dia gunakan
bergantung pada suasana hatinya sendiri.
Bunga
yang cantik tidak akan sudi mekar untuk seseorang yang berpikiran suram seperti
Shin saat ini.
Gadis
itu mendesah, lantas beranjak meninggalkan kebunnya. Dia melepaskan sarung
tangan yang melekat menggunakan gigi. Ketika kemudian Shin mulai membuka ikatan
celemeknya, mata gadis itu melebar melihat seseorang yang tidak dia duga.
“Aku
tidak melihat siapa pun di dalam. Kupikir aku akan menemukanmu di taman
belakang,” kata Mr. Elios.
Shin
tidak membiarkan pandangannya terpaku lama pada iris mata biru laut yang
laki-laki itu miliki. Kecanggungan dan enggan lagi-lagi menguasainya. Shin pikir
ini bukan saat yang tepat untuk bicara pada Mr. Elios, meskipun hatinya
mengatakan sebaliknya. Dia tidak mungkin mengusir gurunya dari asrama. Karenanya
walau tidak bisa bersikap hangat seperti biasa, Shin merasa bisa berpura-pura
jadi seorang murid yang santun.
“Saya
akan buatkan teh,” kata Shin akhirnya setelah melepaskan celemek.
“Tidak.”
Mr. Elios menolak. “Kau akan menemaniku dalam kebunmu.”
Bahkan sebelum
Shin sempat memprotes, Mr. Elios lebih dulu menyingkir dari pandangannya,
melangkah menghampiri kebun. Shin mengerjap. Gadis itu membalikkan badan
memandang sosok belakang gurunya yang berbalut coat biru gelap dengan kerah yang sampai menutup dagunya. Saat laki-laki
itu melewati Shin, aroma sitrus tercium. Bukan dari parfum, melainkan dari
sampo. Shin menyadari kalau rambut laki-laki itu masih setengah basah. Mungkin itu
sebabnya Mr. Elios terlihat agak kedinginan.
Sempat ragu,
Shin akhirnya menyusul laki-laki itu ke kebun kaca miliknya. Sebelum masuk,
mata Shin tidak bisa lepas dari sosoknya yang duduk di atas kursi kayu yang
biasa gadis itu duduki. Perlahan-lahan Shin mendekat. Mr. Elios bergeming. Di wajahnya
yang putih merona itu, sepasang kelopak matanya menutup.
“Guru
baik-baik saja?” tanya Shin namun Mr. Elios tidak membalas. “Tawaran saya untuk
membuatkan teh hangat tadi masih berlaku.”
Bidadari
itu perlahan membuka matanya.
“Kita
harus bicara,” katanya.
“Saya
belum merasa perlu.”
Gawat, Shin membatin. Sejak
kapan dia jadi gugup begini? Air menggenang di pelupuk matanya. Kalau dia tidak
cepat-cepat pergi…
Shin
hampir saja berlari. Namun mendadak saja tubuhnya mematung. Sesuatu seolah
menahannya untuk tidak pergi. Posisinya saat ini tengah membelakangi Mr. Elios
dan Shin tidak bisa melihat apa yang sedang laki-laki itu lakukan. Kemudian pelan-pelan
sehelai kain sutra biru melilit pinggangnya. Shin kaget. Sebelum dia berusaha
melepaskan diri, salah satu atribut pakaian bidadari yang menyimpan kekuatan
sihir itu telah lebih dulu membuat tubuhnya melayang kembali ke tempat Mr.
Elios berada.
Kaki
Shin berpijak di atas tanah, dan saat itulah orang itu memeluknya dari
belakang.
Hangat..
Shin
tidak bisa lagi mencegahnya. Setitik air matanya jatuh membasahi pipi. Dia langsung
luluh berada dalam pelukan laki-laki itu, menyentuh tangan yang melingkar di
pundaknya, serta merasakan napasnya.
“Aku
masih tidak menemukan alasan sebenarnya kenapa kau menjauhiku,” kata Mr. Elios
pelan. “Aku sudah cukup mengenalmu sehingga aku yakin ini tidak ada hubungannya
dengan pembelaanku untuk Agana saat itu.”
Gadis
itu tertegun. Ketika pelukan Mr. Elios longgar, gadis itu berbalik menatapnya.
“Guru
tahu?”
“Agatha
tidak akan pernah tersenyum lembut seperti itu,” ujar Mr. Elios sembari
menyisir anak-anak rambut di telinga Shin menggunakan tangannya. Alisnya agak
berkerut tatkala melihat melihat gadis itu kembali berwajah keruh. “Kau tidak
pernah bercerita tentang sebab kau tidak menyukai Agana.”
“Lepaskan
aku.” Shin menuntut. Dia membuang muka begitu mengingat kembali hal yang
membuatnya kesal.
Nyatanya
bidadari laki-laki itu tidak berniat melepaskannya. Lengannya bahkan lebih erat
memeluk sehingga Shin nyaris tidak bisa bergerak.
“When you trust someone and get to know them,
you eventually learn about their wounds too…,” bisik Mr. Elios. Dia menenggelamkan
wajahnya dalam helaian rambut hitam legam Shin. “Aku tidak mengatakan ini
sebagai gurumu. Aku mengatakannya sebagai orang yang peduli padamu.”
Air
mata Shin mengalir lagi. Dia pun balas memelus Mr. Elios.
“Aku
takut kau meninggalkanku..,” gumamnya. “Kau tidak tahu apa yang telah kulakukan
supaya tidak ditinggalkan.”
“Aku
takkan meninggalkanmu selama kau tidak melepaskan tanganku.”
Dekapan
mereka mengerat. Di saat Shin terlalu sibuk membenamkan wajah yang merona dan
basah akibat air mata, bunga-bunga dalam kebunnya bermekaran. Mr. Elios
mengangkat wajahnya saat dia masih memeluk Shin. Pandangannya mengedar ke
sekeliling dan dia tersenyum.
0 komentar:
Posting Komentar