A Broken Cup of Tea

Minggu, 12 Februari 2017

Bangunan perpustakaan menyerupai sepotong kue dengan setengah lebih dindingnya terbuat dari kaca. Rak-rak tinggi diletakkan di tengah-tengah ruangan, sementara rak-rak setinggi seorang anak berusia sepuluh tahun berdempet pada tembok. Terdapat banyak meja dan kursi baca yang bisa digunakan pemustaka di dalamnya—di antaranya, meja dan kursi kayu yang masih berbentuk layaknya wujudnya yang masih berakar dalam tanah.

Laki-laki itu duduk di sana, menumpuk kaki dan bersandar. Di tangannya terbuka sebuah buku yang hanya selebar telapak tangan, bersampul hitam, dengan isi mencapai delapan ratus halaman.

Biasanya dia selalu senang tiap kali beberapa gadis bersliweran, mencuri pandang ke arahnya, lalu berbisik satu sama lain: berkata bahwa ada pemandangan indah dekat mereka. Kalau sudah begitu, jika mood laki-laki itu sedang baik, dia akan dengan senang hati pura-pura menoleh tanpa sengaja lalu melemparkan senyum sapaan. Kemudian, para gadis itu minimal akan kehilangan kesadarannya selama beberapa detik.

Fellon tidak bisa melakukannya kali ini. Dia sedang sibuk membaca. Ya, kali ini sungguhan. Fellon sungguh-sungguh sedang membaca. Tentu saja laki-laki itu membaca bukan karena ingin. Terlihat jelas dari muka bosan yang dia perlihatkan kini. Dia kedapatan berulang kali menguap, mengucek mata, juga membenarkan posisi duduk yang dirasanya tidak nyaman. Meski begitu, sebuah pencapaian yang bagus ketika disadarinya kalau seharian ini dia telah membaca dua puluh lima halaman buku itu.

Dia menghela napas dalam-dalam lalu menutup buku—tidak lupa memasang pembatas lebih dulu.

Apa yang dia lakukan tadi? Fellon bertanya-tanya sarkas. Teman-temannya pasti akan langsung mengatai dia sedang kerasukan jin kutu buku kalau melihat.

Buku yang dibaca Fellon bukanlah mengenai tema yang berat. Buku itu berisi dongeng. Persisnya, dongeng klasik yang sepertinya memiliki berjuta-juta makna tersembunyi yang dicurahkan penulis asli yang sudah meninggal. Felon terkadang mengernyit saat membaca sebaris kalimat yang membingungkan. Dia akan membacanya ulang supaya paham.

Nyatanya bacaan tersebut kali ini tidak sepenuhnya membosankan. Mungkin Fellon tahan membaca berjam-jam berkat deskripsi dunia fantasi yang indah—dunia yang amat cantik, penuh kebahagiaan sekaligus kesedihan.

Fellon menopang dagu saat melihat pemandangan di luar. Langit abu-abu muram, pertanda hari mulai beranjak sore.

Apa yang sedang dia lakukan? Batin Fellon bertanya. Kabarnya gadis itu akan kembali besok lusa. Sudah lima minggu sejak terakhir kali Fellon memandang sosoknya yang serupa bisque doll itu saat tengah menyeduh teh herbal sewaktu sinar matahari pagi menyeruak ke dalam rumah kaca.

Sang Mawar yang bagaikan manekin tak bernyawa.

***

Entah kenapa hujan disertai petir menggelegar seolah menjadi pengiring bagi gadis yang pulang kembali ke tempat dia beristirahat. Mobil hitam besar itu masuk ke halaman, lalu berhenti depan pintu utama. Si Supir keluar duluan dan bergegas menghampiri pintu belakang yang terbuka otomatis. Pria yang juga tidak menampakkan ekspresi itupun melebarkan payung supaya si Penumpang tidak kebasahan.

Dan di sanalah Fellon akhirnya melihat gadis itu—dengan rona pucat dibingkai rambut hitam kelamnya yang berhias pita putih. Gaun terusan yang dia kenakan tidak memberikan efek lekuk tubuh, serta hanya sepanjang bagian atas lutut.

Fellon mengernyit. Di saat hawa dingin membekukan seperti ini, dia memakai gaun tanpa lengan?

Laki-laki itu lalu menghampiri si Gadis, berniat meminjamkan jaket padanya. Namun uluran tangan itu ditepis pelan.

“Kau pakai saja..” Dia berkata pelan tanpa menatap Fellon.

Si Gadis manekin kemudian masuk ke dalam, diikuti dua orang yang juga pekerja rumah itu.

Apa ada masalah? Fellon bertanya dalam hati. Gadis itu selalu menampakkan ekspresi yang hampir sama setiap kali kesempatan. Namun agaknya hari ini berbeda. Atmosfer yang dia ciptakan sedikit aneh. Apa mungkin dia lelah? Apa yang dia lakukan selama Fellon tidak mengawasinya?

Menghela napas, Fellon berpikir kalau dia harus menahan rasa penasarannya dulu saat ini. Setidaknya besok dia akan bisa bertanya.. ketika gadis itu menyeduh teh paginya di rumah kaca.

***

Ukuran teko putih itu mungkin hanya sekepalan tangan Fellon. Gadis itu meletakkannya di atas tabung yang dimasukkan lebih dulu dengan sebuah lilin yang menyala. Memakai cara itulah, air di dalam teko akan terus hangat.

Fellon datang beberapa saat kemudian setelah setengah berlari. Laki-laki itu bangun kesiangan. Buku dongeng sialan kemarin membuat tidurnya nyenyak—terlampau nyenyak malah. Memakai baju seadanya, dia pun terburu-buru pergi ke pekarangan samping, di mana rumah kaca berisi bermacam-macam bunga didirikan. Sudut mata Fellon pun mendapati gadis itu tengah duduk sendirian menghadap meja.

Terengah-engah, Fellon mendekat. Tangan kanannya membawa buku dongeng kemarin lalu sedikit melemparkannya ke meja, menimbulkan bunyi mengetuk yang lantas membuka mata sang Gadis yang tadinya terpejam.

“Setengah lebih sedikit,” kata Fellon sembari mengatur napasnya lagi. Dia mengambil satu lagi kursi kayu tidak jauh dari sana dan mengambil duduk tepat di hadapan si Gadis.

“Kau menikmatinya?” tanya Ratimeria pelan.

“Hanya Tuhan yang tahu demi apa kau menyuruhku membaca itu,” balas Fellon sengit lalu menyilangkan tangan. “Tak bisakah kau menyuruh aku pekerjaan lain? Merobohkan rumah itu misalnya.”

Ratimeria tidak menanggapi. Gadis itu mengangkat cangkirnya kemudian menyesap sedikit teh yang masih mengeluarkan uap. Ketika ditaruhnya lagi cangkir teh itu ke tempatnya, sepasang mata Ratimeria menyorot kosong tidak ke mana pun—seakan-akan dia lupa begitu saja kalau dirinya tidak tengah sendiri.

“Apa kau punya masalah?” tanya Fellon yang lagi-lagi terganggu dengan suasana muram yang Ratimeria ciptakan.

Kelopak mata gadis itu berkedip pelan. Beberapa saat, dia tetap diam sampai akhirnya menelengkan kepala untuk menatap Fellon.

“Deskripsikan aku..,” katanya.

“Hah?”

“You heard me..” Ratimeria menuangkan lagi teh ke cangkirnya. “Apa pun.. Aku akan mendengarnya baik-baik..”

Fellon menggigiti bibir bawah sementara dahi laki-laki itu terlipat. Apa yang sedang gadis aneh itu pikirkan? Apakah suasana hatinya sedang bagus, atau justru sebaliknya? Fellon tidak akan pernah mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan itu, jadi memang satu-satunya pilihan adalah supaya dia menurut.

“Kau seperti lintah,” kata-kata itu langsung meluber keluar dari mulut Fellon yang amat jujur.

“Kenapa?” tanya Ratimeria.

“Mm…” Fellon mengerucutkan bibir. “Ini tidak seperti kau suka menghisap darah dari korbanmu. Kau lebih sering hanya menempel. Ah, tidak. Lebih dari itu, kau suka merantai orang.”

“Apa itu perbuatan jahat?” Gadis itu bertanya lagi—kali ini dengan pandangan yang mengambang.

“Tentu saja!” balas Fellon tanpa ragu. “Remaja harusnya bertingkah dan bermain seperti yang seharusnya. Bukan sibuk mencampuri urusan orang lain.”

“Lalu.. kenapa kau masih mau tinggal bersama dengan seorang penjahat?”

Fellon tertegun mendengar pertanyaan terakhir. Dia mengernyit ke arah Ratimeria, namun gadis itu masih memalingkan wajahnya ke arah lain.

Apa Fellon telah salah berucap? Mungkinkah suasana gadis itu sedang buruk? Tetap saja. Ratimeria tahu benar bagaimana watak Fellon. Bagaimana mungkin dia melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti tadi?

“Apa ada sesuatu terjadi?” tanya Fellon setelah air mukanya berubah serius. Gadis rapuh itu… Dia membatin. Apa yang lagi-lagi dia perbuat?

“Aku..,” ucap Ratimeria pelan—mulanya menggantung. “Seharusnya sudah mati tujuh tahun yang lalu..”

Fellon mengerutkan kening. Gadis itu sedang mengigau? Lagi?

“Aku juga.. seharusnya mengikuti mama.. empat tahun yang lalu..”

Tunggu sebentar, batin Fellon yang mendadak gelisah. Kenapa nada suara Ratimeria seperti orang yang tercekat? Kenapa dia terbata-bata mengucapkan kalimatnya?

Sebelum Fellon menerka lebih jauh, tubuh gadis itu mendadak gemetaran syok. Badannya oleng ke samping—nyaris jatuh kalau saja Fellon tidak sigap menahan lengannya. Suara napasnya mulai tidak beraturan, seperti tersumbat sesuatu. Sekali melihat, Fellon pun tahu apabila Ratimeria sudah mulai kehilangan kesadaran meski sepasang matanya masih terbuka.

Racun?

Fellon langsung mengecek cangkir dan teko di atas meja menggunakan tangan kanannya, sementara tangan yang lain mendekap tubuh Ratimeria. Fellon juga membuka tutup botol kecil yang tadinya dia kira gula cair. Laki-laki itu menghirupnya seketika dan seketika, matanya berkilat marah.

Sari nanas.

“Apa yang kau lakukan?” gumam Fellon murka. “APA YANG AKAN KAU LAKUKAN KALAU AKU TIDAK KE SINI?! KAU—GADIS BRENGSEK!!”

Teriakan Fellon langsung mengundang perhatian orang lain yang juga ada dekat rumah itu. Mereka pun melihat bagaimana Fellon menggendong tubuh Ratimeria masuk ke dalam kediaman tersebut. Ketika disadarinya tidak ada napas keluar dari hidung gadis itu, Fellon meletakkannya pelan ke lantai sementara para maid dan penjaga berkerumun panik.

“PANGGIL DOKTER! CEPAT!!”

Fellon sedikit meninggikan dagu Ratimeria dan detik selanjutnya bibir mereka berdua bertemu.


Aku takkan memaafkanmu jika kau pergi meninggalkanku! Matipun kau tak boleh pergi dari sisiku! Kalau kau ingin mati, aku sendiri yang akan membunuhmu. Tapi tidak kali ini.
Tidak ketika aku membutuhkanmu di sisiku.

0 komentar: