Lesson (3): Games Before Lunch

Jumat, 17 Februari 2017

Jejak telapak kaki mereka membekas di permukaan pasir putih. Ada yang melesat bagai orang kesetanan namun meraih posisi pertama, ada yang berlari dengan muka membiru tetapi masuk ke posisi kedua, sepasang yang menyingkir beberapa saat karena salah satunya muntah lalu yang lain menemani, juga satu lagi yang berlari santai karena sejak awal tidak peduli. Gargaric Len menyeringai saat melihat kelimanya melalui teropong di menara mercusuar.

Tiara dan Melisma menyelesaikan tahap awal. Viola, Amarta dan Ratimeria gagal. Alasannya karena Violalah yang muntah, Amarta menemaninya, sedangkan Ratimeria sama sekali tidak punya niat berlomba. Mereka berlima kemudian terduduk lemas di teras rumah kayu—kelelahan. Viola bahkan seperti tubuh kehilangan rohnya, sementara Amarta dengan sabar mengipasi.

“Lama tidak bertemu dan dia tambah kejam..,” gerutu Melisma sebelum menandaskan sebotol air. “Apa dia sedang bosan? Apa karena itu dia sengaja membuat repot?”

“Aku lapar,” kata Tiara polos. “Kita makan apa nanti? Amarta mau masak?”

Amarta menggeleng.

“Kata kakek, akan ada yang membawakan makan,” balasnya memberitahu.

Bunyi singkat berasal dari sesuatu yang dilempar hingga melesat membuat salah satu dari mereka menoleh. Saking singkatnya, empat yang lain tidak menyadarinya. Ratimeria beranjak berdiri lalu melangkah sedikit memutari rumah kayu. Tepatnya di dinding samping, gadis itu menemukan sebatang panah dengan secarik kertas yang terlipat dan diikat di sana.

Aku menunggu kalian di tengah pulau. GL

Dasar orang tua, batin Ratimeria dalam hati. Dia lalu kembali ke tempat semula dan melemparkan begitu saja secarik kertas kusut itu ke tengah-tengah yang lain. Sementara mereka mengernyit mengartikan maksud gadis itu, Ratimeria beranjak pergi tanpa mengatakan apa-apa. Tiaralah yang lebih dulu mengambil kertas itu dan membaca tulisan di sana.

Shit,” umpat Tiara yang langsung berlari menyusul Ratimeria.

“Apa itu?” tanya Amarta saat ganti Melisma yang membaca.

This games isn’t finished yet for today,” gumam si Pualam.

***
Persis di tengah-tengah pulau yang dimaksud kakek mereka, terdapat sebuah lapangan persegi panjang yang pada pinggiran bergaris putih sementara bagian rumpang lapangan itu bercat hijau. Sampai di sana, aroma minyak cat masih tercium. Melisma berjongkok sebentar demi menyentuh lapangan yang mereka pijak. Bekas cat itu masih sangat bersih.

Viola memandang sekitar—terutama dinding kawat yang menutup area lapangan. Tangannya juga memeriksa kawat yang digunakan. Informasi yang dia peroleh kurang lebih sama dengan yang didapatkan Melisma: semua hal di arena tennis pulau itu, semuanya baru saja dibangun.

“Kenapa tidak ada orang di sini?” gumam Amarta mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Hanya beberapa saat kemudian, datang tiga orang laki-laki berwajah asing masuk ke arena. Kaus yang mereka kenakan seragam: berwarna hitam dengan dua garis merah di dada. Dua di antaranya berkulit putih memerah setelah sempat terpapar sinar matahari. Iris mata mereka berwarna abu-abu terang. Satu berambut pirang, sedangkan yang lain berwarna cokelat gelap mengilap. Sementara satu orang lain lagi berkulit hitam, dengan rambut yang hitam keriting.

“Hari cerah sekali di sini!” Speaker yang dipasang di salah satu tiang mengeluarkan suara yang memekakkan telinga. Mereka semuapun refleks menutup telinga. Membenarkan volume speaker tadi, Gargaric tertawa saat meminta maaf. “Bukankah sangat menyenangkan terbebas sementara dari hari-hari jenuh yang biasa kalian jalani?” kata pria tua itu lagi.

Rahang Melisma menekan kuat, berkata dalam hati pada dirinya sendiri kalau tidak ada gunanya mengumpat pada speaker. Ekspresi kesal yang dia tampakkan juga tidak jauh berbeda dari Viola dan Tiara.

“Perkenalkan tiga tamu kalian untuk hari ini: Mawa, Lotad, dan Hebron,” kata Gargaric memperkenalkan. Mawa merupakan laki-laki yang berkulit putih dengan rambut pirang, Lotad yang berambut cokelat gelap, sedangkan Hebron yang berkulit hitam. “Masih ada sekitar satu jam sebelum makan siang, jadi kita akan bermain sebentar.”

Bermain? Tiara menyeringai menahan gemas. Mengingat kakek mereka yang dulu seorang olahragawan, mustahil tiga orang itu hanya pemain biasa. Dan kenapa juga mereka harus laki-laki? Apa kepala si Kakek sempat terbentur baru-baru ini hingga lupa semua cucunya berjenis kelamin perempuan?

Jangan salah sangka, batin Melisma yang rupanya punya pikiran sama dengan Tiara. Mereka berdua merasa tidak masalah bermain dengan siapa pun selama masih dalam kondisi prima. Hanya saja…

Melisma menoleh ke belakang, memandang satu per satu kembarannya yang lain. Viola masih lesu, Amarta balas menatap polos ke arahnya, sedangkan Ratimeria diam seperti patung.

Mereka sama sekali tidak bisa diharapkan..

Apalagi jika mereka sampai kalah, Gargaric mungkin akan menambah jumlah hari mereka terkurung di pulau tidak berpenghuni itu.

“Nah, anak-anak manis, silakan gambreng. Dua pemenang yang akan bermain lebih dulu melawan Mawa dan Hebron,” instruksi Gargaric. “Oh ya, dan.. kalian akan terima akibatnya kalau berlaku curang.”

Tiara lagi-lagi menyeringai. Amarta berseru dengan semangat menarik semuanya untuk mulai gambreng. Pertama, Viola langsung keluar dan gadis itu menghela napas lega. Ratimeria keluar kedua. Saat yang masih gambreng tersisa tiga orang, baik Tiara dan Melisma saling menatap tegang. Bisa gawat kalau Amarta sampai maju.

Dalam tenis, pemainnya akan sangat membutuhkan kemampuan refleks dan lari yang cepat. Amarta tidak akan bisa memenuhi keduanya. Gadis itu buruk sekali dalam kegiatan yang melibatkan gerak fisik.

Mereka kompak bersamaan mengangkat tangan kanan ke udara lalu menghempaskannya berbarengan ke bawah.

“Gambreng!!”

Tiara dan Melisma seketika membeku.

***
Mawa adalah satu dari sebelas pemain didikan Gargaric. Mereka belum mencapai tahapan pemain pro. Mungkin sekitar seperempat dari keselurahan kriteria yang harus dipenuhi sebelum bermain di laga. Meski begitu, Mawa yakin kemampuan dirinya, dan sepuluh orang yang lain juga tidak bisa dianggap remeh. Gargaric sendiri adalah pelatih yang punya kompetensi penuh—meski Mawa dan yang lain sepakat menyebutnya iblis. Tapi berkat itulah, mereka jauh berkembang hanya dalam jangka waktu setahun ini.

Sebelum datang ke pulau itu, Gargaric mengundang mereka secara pribadi dengan alasan liburan karena merasa latihan yang mereka lakukan cukup menguras tenaga. Hebron bahkan muntah terkadang akibat latihan mereka yang sesekali terlampau berat. Saat hampir sampai di lapangan tenis, Mawa mengira ajakan untuk berlibur hanya akal-akalan Gargaric. Lotad juga mengira mereka akan latih tanding dengan pemain pro.

Ketiganya sama-sama terkejut melihat lima orang gadis yang ada di sana. Ditambah lagi, wajah mereka sama persis—hanya saja dengan tipe rambut yang berbeda.

Gargaric memerintahkan mereka untuk gambreng demi memutuskan siapa di antara mereka yang akan bermain duluan. Beberapa saat kemudian, dua gadis pun tersisa. Satu gadis berambut pendek yang tersenyum lebar antusias, sedangkan satu lagi gadis berambut hitam legam—mengikatnya di belakang kepala yang sejenak berwajah keruh. Sepertinya dia tidak terima dengan hasil gambreng tadi.

Untuk lawan mereka, Mawa memutuskan berpasangan dengan Hebron.

Siapa mereka? Dan kenapa Gargaric meminta Mawa dan yang lain untuk melawan mereka? Sepertinya kelima gadis itu masih remaja.

Mereka akan menemukan jawabannya nanti. Pokoknya, tidak peduli siapa pun mereka, baik Mawa dan Hebron tidak akan mengalah. Mereka bertiga akan bermain dengan segenap kemampuan yang mereka punya.

***
Seumur hidupnya hingga saat ini, Melisma tidak pernah membayangkan kalau dia akan menjadi partner tenis si Bungsu. Bisa jadi kali ini adalah arena permainan yang paling menyebalkan yang pernah Melisma lakukan.

Tiara mengambil dua raket yang telah disiapkan tidak jauh dari sana lalu melemparkannya masing-masing satu pada Melisma dan Amarta.

Seakan tidak peduli dengan apa yang Melisma pikirkan—atau mungkin sungguh-sungguh tidak tahu, senyum Amarta tidak sekalipun pudar. Dia pun mengangguk menurut perintah si Pualam yang menyuruhnya berdiri di sisi depan, sementara Melisma sendiri berniat akan meng-cover wilayah belakang.

Melisma bahkan tidak yakin Amarta akan sanggup melakukan serve ringan.

Melisma memulai pertandingan dengan melambungkan bola tinggi-tinggi ke udara. Bola itu langsung melesat di wilayah Mawa dan Hebron. Hebron berlari menyongsong bola, lalu mengembalikannya dengan pukulan forehand. Pukulan yang cepat, kuat dan tegas. Melisma langsung berlari mengembalikannya.

Dan tiba ketika bola itu dipukul ke empat kalinya, Melisma melompat tinggi—seketika melakukan smash. Bola seketika menghantam rumpang di wilayah Mawa dan Hebron—tanpa keduanya bisa mengejar, menimbulkan bunyi yang membuat Lotad bersiul terkesima.

One-zero!” seru Tiara yang duduk di kursi wasit lantas membuat Hebron berdecap.

“Apa dia pro?” tanya Hebron pelan pada Mawa.

Melisma mengernyit. Aksen Inggris-Amerika, pikirnya mengenali bahasa yang dua laki-laki itu ucapkan.

We’ll know,” balas Mawa pendek.

Namun tetap saja, sehebat apa pun pualam, jika pasangan bermainnya tidak bisa mengimbangi. Hanya kekalahan yang menunggu di depan mata.

0 komentar: