Sebutlah
seseorang saja yang punya mimpi dengan ide-ide dasar di dalam otaknya itu
tertuang melalui goresan pena di atas kertas putih. Berkat ketekunan serta
kesabarannya, dia pun menuai hasil dari hobinya menulis itu. Sementara para
penulis dengan tekun memencet-mencet keyboard
untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai, sempatkanlah menengok ke rak-rak
yang ada di toko buku.
Gramedia
misalnya. Toko buku terbesar se-Indonesia yang ada di seluruh ibukota provinsi
ini merupakan toko buku paling lengkap dengan menjual berbagai macam jenis
buku, entah itu fiksi atau non fiksi. Para penulis sampai sekarang terus
berlomba supaya karya mereka dapat diterbitkan Gramedia yang dikenal sebagai
penerbit utama di Indonesia. Di tengah-tengah pemasaran buku yang terus melonjak
karena kesadaran masyarakat untuk membaca yang cukup tinggi, penerbit-penerbit
barupun hadir untuk mengejar kepopuleran sebagai perusahaan penerbit yang
handal.
Fungsi
penerbit sendiri sejatinya ialah untuk mempulikasikan atau menyebarkan sebuah
karya entah itu karangan seseorang ataupun hasil penelitian ke kalangan luas
supaya berguna bagi masyarakat tersebut. Tetapi seiring dengan berjalannya
waktu, fungsi ini berubah, dari yang awalnya menyeleksi naskah-naskah yang
masuk untuk mempertimbangkan layak terbit atau tidak, menjadi sebuah lahan
untuk menghasilkan uang atau mencari keuntungan berbagai pihak yang terlibat.
Penerbit
yang berlabel yang baik tentunya akan dengan ketat menyeleksi naskah yang masuk
sehingga buku yang diterbitkan tersebut layak untuk disajikan kepada golongan
pembaca tertentu. Lain halnya dengan penerbit yang hanya mementingkan hasil
dari pemasaran. Tidak peduli kualitas dari isi naskah yang mereka dapatkan,
penerbit tersebut dengan mudah memaksakan proses penerbitan naskah yang mungkin
bisa dibilang tidak layak untuk terbit.
Rata-rata
seorang penulis mendapatkan hasil dari sistem royalti sekitar 10-25% dari total
penjualan. Penulis sendiri bisa dianggap sebagai pihak yang cukup lemah untuk
memperhitungkan tinggi rendahnya keuntungan yang mereka dapat. Kejujuran dalam
prosedur pihak penerbit sangatlah penting dalam hal ini mengingat naskah karya
yang mereka dapat, merupakan jerih payah si Penulis selama (mungkin)
berbulan-bulan.
Konsumenpun
juga patut diperhitungkan untuk menilai layak atau tidaknya karya dalam sebuah
buku itu dibaca. Dari merekalah penilaian yang berisi kritik itu diperlukan
demi kemajuan penerbit atau penulisnya sendiri. Kita coba ambil contoh,
misalnya saya ingin membeli buku karangan fiksi berbentuk novel. Saat saya
melihat deretan novel-novel tersebut pada rak di toko buku, maka saya akan
memilih buku dengan judul, sampul, serta sinopsis yang menarik di bagian
belakang buku. Dikarenakan penggunaan kertas yang semakin meningkat membuat
harga bukupun dinilai mahal apalagi bagi seorang mahasiswa seperti saya.
Selesai
membeli sebuah novel, dengan rasa senang, akhirnya saya buka dan baca
sesampainya di rumah. Dan bayangkan bagaimana perasaan saya setelah selesai
membaca novel itu, ternyata isinya jauh dari kesan memuaskan. Memang sampul dan
judul tampak menarik sehingga kita tergiur untuk membelinya. Tetapi jika isi
buku tidak sesuai dengan harapan dan harganya yang mahal, kita akan kecewa
bukan? Hal itu belum lagi diperparah dengan munculnya blurb (tulisan seperti puisi di bagian belakang karangan fiksi yang
seharusnya berisi sebagian sinopsis cerita), pembeli seringkali akan bingung
menerka isi serta persoalan yang dibahas dalam buku tersebut.
Namun,
ada sisi positif yang jelas didapat dari maraknya penerbit-penerbit baru yang
berdiri sekarang ini yaitu kesempatan yang luas bagi para penulis yang sangat
ingin mempublikasikan karyanya. Tentunya hal tersebut juga harus diimbangi
dengan kualitas gaya bahasa dan penyajian yang bagus supaya dapat diapresiasi
dengan baik oleh pembacanya.
1 komentar:
bagus juga masukannya buat writter n publisher
Posting Komentar