MARAKNYA PERUSAHAAN PENERBIT BARU = PELUANG BAGI PENULIS?

Senin, 22 April 2013



Sebutlah seseorang saja yang punya mimpi dengan ide-ide dasar di dalam otaknya itu tertuang melalui goresan pena di atas kertas putih. Berkat ketekunan serta kesabarannya, dia pun menuai hasil dari hobinya menulis itu. Sementara para penulis dengan tekun memencet-mencet keyboard untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai, sempatkanlah menengok ke rak-rak yang ada di toko buku.

Gramedia misalnya. Toko buku terbesar se-Indonesia yang ada di seluruh ibukota provinsi ini merupakan toko buku paling lengkap dengan menjual berbagai macam jenis buku, entah itu fiksi atau non fiksi. Para penulis sampai sekarang terus berlomba supaya karya mereka dapat diterbitkan Gramedia yang dikenal sebagai penerbit utama di Indonesia. Di tengah-tengah pemasaran buku yang terus melonjak karena kesadaran masyarakat untuk membaca yang cukup tinggi, penerbit-penerbit barupun hadir untuk mengejar kepopuleran sebagai perusahaan penerbit yang handal.

Fungsi penerbit sendiri sejatinya ialah untuk mempulikasikan atau menyebarkan sebuah karya entah itu karangan seseorang ataupun hasil penelitian ke kalangan luas supaya berguna bagi masyarakat tersebut. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, fungsi ini berubah, dari yang awalnya menyeleksi naskah-naskah yang masuk untuk mempertimbangkan layak terbit atau tidak, menjadi sebuah lahan untuk menghasilkan uang atau mencari keuntungan berbagai pihak yang terlibat.

Penerbit yang berlabel yang baik tentunya akan dengan ketat menyeleksi naskah yang masuk sehingga buku yang diterbitkan tersebut layak untuk disajikan kepada golongan pembaca tertentu. Lain halnya dengan penerbit yang hanya mementingkan hasil dari pemasaran. Tidak peduli kualitas dari isi naskah yang mereka dapatkan, penerbit tersebut dengan mudah memaksakan proses penerbitan naskah yang mungkin bisa dibilang tidak layak untuk terbit.

Rata-rata seorang penulis mendapatkan hasil dari sistem royalti sekitar 10-25% dari total penjualan. Penulis sendiri bisa dianggap sebagai pihak yang cukup lemah untuk memperhitungkan tinggi rendahnya keuntungan yang mereka dapat. Kejujuran dalam prosedur pihak penerbit sangatlah penting dalam hal ini mengingat naskah karya yang mereka dapat, merupakan jerih payah si Penulis selama (mungkin) berbulan-bulan.

Konsumenpun juga patut diperhitungkan untuk menilai layak atau tidaknya karya dalam sebuah buku itu dibaca. Dari merekalah penilaian yang berisi kritik itu diperlukan demi kemajuan penerbit atau penulisnya sendiri. Kita coba ambil contoh, misalnya saya ingin membeli buku karangan fiksi berbentuk novel. Saat saya melihat deretan novel-novel tersebut pada rak di toko buku, maka saya akan memilih buku dengan judul, sampul, serta sinopsis yang menarik di bagian belakang buku. Dikarenakan penggunaan kertas yang semakin meningkat membuat harga bukupun dinilai mahal apalagi bagi seorang mahasiswa seperti saya.

Selesai membeli sebuah novel, dengan rasa senang, akhirnya saya buka dan baca sesampainya di rumah. Dan bayangkan bagaimana perasaan saya setelah selesai membaca novel itu, ternyata isinya jauh dari kesan memuaskan. Memang sampul dan judul tampak menarik sehingga kita tergiur untuk membelinya. Tetapi jika isi buku tidak sesuai dengan harapan dan harganya yang mahal, kita akan kecewa bukan? Hal itu belum lagi diperparah dengan munculnya blurb (tulisan seperti puisi di bagian belakang karangan fiksi yang seharusnya berisi sebagian sinopsis cerita), pembeli seringkali akan bingung menerka isi serta persoalan yang dibahas dalam buku tersebut.

Namun, ada sisi positif yang jelas didapat dari maraknya penerbit-penerbit baru yang berdiri sekarang ini yaitu kesempatan yang luas bagi para penulis yang sangat ingin mempublikasikan karyanya. Tentunya hal tersebut juga harus diimbangi dengan kualitas gaya bahasa dan penyajian yang bagus supaya dapat diapresiasi dengan baik oleh pembacanya.

1 komentar:

Deni A.L mengatakan...

bagus juga masukannya buat writter n publisher