Ketika
pandangan laki-laki itu tidak lagi memperhatikan keramaian di depan rumah makan
miliknya, kepalanya beralih menghadap lurus senada tubuhnya kini. Dia tertegun
mendapati si Gadis yang barusan terjatuh menatapnya tanpa berkedip. Kontak mata
mereka pun tersambung setidaknya beberapa detik. Kening laki-laki yang
mengenakan celemek itupun berkerut menyadari sepasang mata itu mendadak
berlinang. Dari jarak mereka yang dekat, dia yakin gadis itu sedang melihat ke
arahnya. Tapi apakah mereka saling mengenal?
Berkedip
seolah tersadar dari lamunan, gadis itulah yang duluan memutus kontak mata
mereka. Dia menoleh ke samping, tepatnya ke bagian bawah. Laki-laki itupun
mengikuti arah pandang gadis itu dan dia menemukan banyak tangkai mawar yang
agak berserakan, keluar dari kertas pembungkusnya.
Si
Gadis berjongkok memunguti mawar-mawarnya dengan hati-hati. Sebagian kelopak
yang terlepas juga dipungutnya. Bahkan hanya dari sudut matanya pun si
Laki-laki tahu, gadis itu merasa sangat sedih. Sorot matanya yang sendu tampak
begitu menyayat hatinya. Berinisiatif, dia pun segera keluar dari dalam rumah
makan untuk membantunya.
Laki-laki
itu menyingsingkan lengan lalu berjongkok di depan si Gadis dan membereskan
mawar-mawar tadi dengan cepat tanpa merusaknya. Warna merah kelopaknya mulai
menggelap diterpa panas. Laki-laki itupun berpikir, jika terlihat begitu sedih,
gadis itu pastilah membeli mawar tadi untuk sesuatu yang amat penting.
“Kau
harus cepat-cepat menaruhnya dalam vas yang berisi air,” kata si Laki-laki,
membuat gadis tadi menatapnya kembali.
Mereka
bersamaan berdiri dan gadis itu memeluk erat bungkusan mawarnya di depan tubuh.
“Tasmu
dicopet kan? Bagaimana kalau kau lapor polisi dulu?”
Alih-alih
menjawab, genangan air di pelupuk mata gadis itu bertambah. Kelopak mata
bawahnya tidak lagi bisa menampung hingga akhirnya setitik air matanya jatuh,
mengalir di pipi kanan. Laki-laki itu terkejut lalu panik. Gadis di hadapannya
menangis tanpa suara.
“Kau
terluka? Mau masuk ke dalam dulu?”
Gadis
itu lagi-lagi tidak menjawab. Namun kali ini kedua tangannya kemudian terangkat
mengulurkan bungkusan mawar miliknya. Ke arah mana bunga merah itu disodorkan,
membuat laki-laki di depannya tertegun tidak mengerti.
“Ambillah..,”
kata gadis itu pelan. Mata sendunya semakin kuat menyorot. Secara tidak
langsung memaksa si Laki-laki menerima pemberiannya tanpa perlu bertanya.
Setelah
bungkusan mawar itu diambil, kedua sudut bibir gadis itu terangkat membentuk
seulas senyum walaupun dua garis kemilau menghiasi pipinya. Senyum itu tidak
hanya sekedar bermakna senang, namun melukiskan kebahagiaan tidak terkira
meskipun laki-laki itu sendiri tidak tahu sebabnya.
Seolah-olah
sebelum detik ini mereka bertemu, kehidupannya berkubang dalam air yang keruh
dan mengental. Siapa pun tidak akan hidup lama di dalamnya. Tidak ada cahaya
yang bisa meringsek masuk, juga tidak ada udara yang bisa dihirup.
“Chan!
Chan! Dipanggil bos tuh!” seru seseorang dari dalam rumah makan.
Mendengar
namanya disebut, laki-laki itupun mendesah keras. Awalnya dia bersyukur karena
rumah makan mereka sepi pengunjung. Memang bukan hal yang menguntungkan, tapi
setidaknya dia bisa melakukan aktivitas yang lain, seperti… melanjutkan pahatan
kemarin?
“Kau
mau masuk ke dalam?” tawar laki-laki bernama Chan itu. “Aku bisa membuatkanmu
teh hangat.” Buru-buru dia menambahkan saat teringat tas gadis itu baru saja
dicuri. “Gratis.”
Gadis
itu tersenyum pertanda merespon baik. Mereka lalu masuk ke dalam. Chan langsung
menghambur ke ruangan dalam, meninggalkan gadis yang diajaknya—yang bahkan
belum dipersilakan duduk. Satu orang lagi laki-laki di sana yang sepertinya
pelayan berlari kecil menghampirinya lalu menarik sebuah kursi.
Si
Gadis lagi-lagi tersenyum dengan satu kedipan yang lambat dan tenang sebagai
ganti ucapan terimakasih.
“Chan!
Chan!!” Pelayan tadi tiba-tiba melingkarkan lengannya ke leher Chan setelah
berlari masuk ke dapur. Saat itu Chan sudah menyelesaikan pembicaraan
singkatnya dengan seorang pria tua pemilik rumah makan tersebut. “Siapa itu?
Cewek itu! Cakep betul! Pacar kau?” tanya Hendra—teman Chan dengan logat batak.
“Bukan.”
Chan menjawab sambil mengaduk gula dalam segelas teh yang dia buat. “Dia yang
tadi kecopetan.”
“Kau
yang ajak ke sini?”
“Masa’
aku biarin?” Pandangan Chan mengarah pada segunung tangkai mawar yang masih ada
dalam kantong kertas. Bunga-bunga itu benar-benar akan layu kalau tidak
buru-buru ditaruh vas berisi air. “Dra, cariin vas dong. Kalau nggak ada, botol
plastik bolehlah. Taruh tuh bunga di tempat yang ada airnya ya.”
“Kau
dapat darimana mawar banyak sekali itu?”
“Tanyanya
ntar aja, aku mau kasih teh hangat dulu.”
Hendra
mengangguk. Pipinya tidak berhenti mengembang mengulum senyum yang apabila
dibiarkan bisa-bisa meluber ke mana-mana.
Gadis
tadi menempati meja yang nyaris menempel pada bingkai kayu jendela. Dari arah
kepalanya, Chan bisa menebak kalau gadis itu sedang memandang keluar. Bahkan
boleh jadi dia sedang melamun. Mungkin dia sangat sedih karena tasnya baru saja
dibawa kabur. Di dalam tasnya paling tidak berisi dua hal yang penting: dompet
dan ponsel. Orang mana yang bisa tenang kalau dua benda itu direbut paksa
darinya?
“Minumlah
dulu,” kata Chan setelah menaruh segelas teh hangat di depan gadis itu. Kantong
tehnya masih melayang di dalamnya.
Gadis
itu mengalihkan pandangannya lalu menatap Chan. Ekspresinya terlihat begitu
tenang diselimuti kesan damai. Tidak terlihat perasaan gelisah atau cemas yang
diduga Chan. Dia akui, Hendra tidak melebih-lebihkan kata-katanya kali ini,
meski keseringan laki-laki itu sering mengobral kata cantik pada gadis-gadis
yang bersliweran di pasar sekalipun. Gadis di depannya memang amat cantik.
Orang mana pun pasti akan setuju dengan pendapat ini.
Melihatnya,
Chan jadi mengingat seorang gadis yang mulanya terlahir sebagai manusia,
kemudian berubah menjadi vampir karena digigit kekasih vampirnya. Kulit gadis
itu nyaris sepucat susu yang menggenang dalam wadah bening. Wajah ovalnya yang
kecil berlindung pada rambut hitamnya yang cukup tipis namun lembut dan jatuh.
Chan ingat gerak mulut gadis itu ketika berucap tadi. Sepasang bibirnya tidak
digerakkan dengan benar, mungkin karena itulah suara yang keluar sungguh pelan.
Meskipun sisi luarnya juga pucat serupa warna kulit, makin ke dalam warna bibir
itu merekah merah, menunjukkan kalau darah juga mengalir di sana. Bentuk
hidungnya simetris sempurna, tidak begitu mancung namun indah. Sementara itu
sepasang matanya yang masih menyisakan sendu nampak jernih serupa air mengalir
yang tidak jauh dari sumber dia berasal.
Garis-garis
wajah itu memaparkan kemudaannya dengan jelas. Mungkin usianya beberapa tahun
di bawah Chan. Juga yang membuat Chan penasaran, rupa gadis itu punya nada
guratan yang asing. Memang ada semburat khas wajah Indonesia darinya, namun
Chan juga menangkap sisi oriental gadis itu. Mungkin dia blasteran Jepang atau
semacamnya?
Menerima
tatapan menyelidik Chan, gadis itu tersenyum penuh arti seolah tahu semua yang
dipikirkannya saat ini.
“Namamu
Chan?” tanya gadis itu kemudian.
Chan
mengangguk. “Kedengaran Asia sekali ya? Namaku Chandler, tapi anak-anak di sini
lebih suka memanggilku Chan.”
“Kau
suka memahat lilin?”
Chan
mengerjap. Dia memang suka memahat. Namun bukan bongkahan kayu-kayu besar,
melainkan kayu-kayu yang berukuran kecil dengan ukiran yang rumit dan detil.
Tapi kenapa gadis itu lebih memilih menebak kalau yang dipahatnya adalah benda
bertekstur halus dan berminyak seperti lilin?
Sebelum
Chan balik bertanya, gadis itu lebih dulu meneruskan kata-katanya.
“Kau
sering menggunakan pisau kecil dan menekan sisi atasnya. Tampak jelas dari jari
telunjukmu..,” ujar si Gadis bernada halus. “Lilin…” Dia berucap, awalnya
menggantung. “Namamu.. bermakna si Pembuat lilin..”
Chan
terdiam namun beberapa detik kemudian tertawa.
“Coba
saja kalau kau pakai baju formal, seperti pakaian kantoran. Aku pasti akan kira
kau semacam detektif atau jaksa. Yah.. semacam itu,” katanya. “Jarang sekali
orang bisa nebak seperti itu. Aku memang suka memahat, tapi kayu, bukan lilin.
Tapi namaku memang berarti si Pembuat lilin.”
Gadis
itu menanggapinya lagi dengan senyuman yang Chan tidak bisa artikan. Sedetik,
matanya menyorot kosong, namun kemudian fokus lagi seolah berupaya mengenal
Chan lebih jauh biarpun tidak banyak kalimat tanya yang dia lontarkan. Kedua
tangan gadis itu menangkup pada gelas tehnya, seperti menyerap semua kehangatan
yang ada di sana.
“Ah..
bagaimana pencopet tadi ya? Sudah tertangkap belum? Kau pasti khawatir ya?”
ujar Chan.
“Sedikit..,”
jawab gadis itu pelan.
“Aku
bisa menemani kau ke kantor polisi nanti. Yang penting kau tenangkan diri dulu.
Oh ya. Namamu siapa?”
Jeda.
Senyum yang menghias wajah gadis itu sempat menghilang, berganti dengan
ekspresi enggan yang menyimpan sinar redup. Untunglah kemudian, keramahan gadis
itu kembali, namun dengan respon yang tidak Chan duga.
“Apa
pun yang kau sukai..”
“Hah?”
Alis Chan terangkat bingung.
Si
Gadis lagi-lagi tersenyum penuh arti.
“Kau
bisa memanggilku apa pun yang kau mau..,” katanya.
“Kenapa?”
tanya Chan heran.
“Hanya..
aku ingin tahu menurutmu, nama apa yang akan kau berikan ketika bertemu
denganku.” Pandangan gadis itu menerawang mengingat sekilas memori yang
meninggalkan luka sayatan di hatinya.
Seorang
laki-laki dengan tawa renyah yang hangat, pada akhirnya berselimut kebekuan dan
menghilang tenggelam ke dalam laut hitam.
Masih
dengan pikiran heran dan bertanya-tanya, Chan awalnya bingung bagaimana
merespon gadis itu. Tapi begitu melihat wajah murungnya, Chan merasa bisa
menghiburnya hanya dengan memberi gadis itu sebuah nama yang cantik, sesuai
sosoknya kini.
“Aku…
boleh memanggilmu Kirana?”
0 komentar:
Posting Komentar