Wounds Heal, Scar Left (2)

Jumat, 04 September 2015




Ketika pandangan laki-laki itu tidak lagi memperhatikan keramaian di depan rumah makan miliknya, kepalanya beralih menghadap lurus senada tubuhnya kini. Dia tertegun mendapati si Gadis yang barusan terjatuh menatapnya tanpa berkedip. Kontak mata mereka pun tersambung setidaknya beberapa detik. Kening laki-laki yang mengenakan celemek itupun berkerut menyadari sepasang mata itu mendadak berlinang. Dari jarak mereka yang dekat, dia yakin gadis itu sedang melihat ke arahnya. Tapi apakah mereka saling mengenal?

Berkedip seolah tersadar dari lamunan, gadis itulah yang duluan memutus kontak mata mereka. Dia menoleh ke samping, tepatnya ke bagian bawah. Laki-laki itupun mengikuti arah pandang gadis itu dan dia menemukan banyak tangkai mawar yang agak berserakan, keluar dari kertas pembungkusnya.

Si Gadis berjongkok memunguti mawar-mawarnya dengan hati-hati. Sebagian kelopak yang terlepas juga dipungutnya. Bahkan hanya dari sudut matanya pun si Laki-laki tahu, gadis itu merasa sangat sedih. Sorot matanya yang sendu tampak begitu menyayat hatinya. Berinisiatif, dia pun segera keluar dari dalam rumah makan untuk membantunya.

Laki-laki itu menyingsingkan lengan lalu berjongkok di depan si Gadis dan membereskan mawar-mawar tadi dengan cepat tanpa merusaknya. Warna merah kelopaknya mulai menggelap diterpa panas. Laki-laki itupun berpikir, jika terlihat begitu sedih, gadis itu pastilah membeli mawar tadi untuk sesuatu yang amat penting.

“Kau harus cepat-cepat menaruhnya dalam vas yang berisi air,” kata si Laki-laki, membuat gadis tadi menatapnya kembali.

Mereka bersamaan berdiri dan gadis itu memeluk erat bungkusan mawarnya di depan tubuh.

“Tasmu dicopet kan? Bagaimana kalau kau lapor polisi dulu?”

Alih-alih menjawab, genangan air di pelupuk mata gadis itu bertambah. Kelopak mata bawahnya tidak lagi bisa menampung hingga akhirnya setitik air matanya jatuh, mengalir di pipi kanan. Laki-laki itu terkejut lalu panik. Gadis di hadapannya menangis tanpa suara.

“Kau terluka? Mau masuk ke dalam dulu?”

Gadis itu lagi-lagi tidak menjawab. Namun kali ini kedua tangannya kemudian terangkat mengulurkan bungkusan mawar miliknya. Ke arah mana bunga merah itu disodorkan, membuat laki-laki di depannya tertegun tidak mengerti.

“Ambillah..,” kata gadis itu pelan. Mata sendunya semakin kuat menyorot. Secara tidak langsung memaksa si Laki-laki menerima pemberiannya tanpa perlu bertanya.

Setelah bungkusan mawar itu diambil, kedua sudut bibir gadis itu terangkat membentuk seulas senyum walaupun dua garis kemilau menghiasi pipinya. Senyum itu tidak hanya sekedar bermakna senang, namun melukiskan kebahagiaan tidak terkira meskipun laki-laki itu sendiri tidak tahu sebabnya.

Seolah-olah sebelum detik ini mereka bertemu, kehidupannya berkubang dalam air yang keruh dan mengental. Siapa pun tidak akan hidup lama di dalamnya. Tidak ada cahaya yang bisa meringsek masuk, juga tidak ada udara yang bisa dihirup.

“Chan! Chan! Dipanggil bos tuh!” seru seseorang dari dalam rumah makan.

Mendengar namanya disebut, laki-laki itupun mendesah keras. Awalnya dia bersyukur karena rumah makan mereka sepi pengunjung. Memang bukan hal yang menguntungkan, tapi setidaknya dia bisa melakukan aktivitas yang lain, seperti… melanjutkan pahatan kemarin?

“Kau mau masuk ke dalam?” tawar laki-laki bernama Chan itu. “Aku bisa membuatkanmu teh hangat.” Buru-buru dia menambahkan saat teringat tas gadis itu baru saja dicuri. “Gratis.”

Gadis itu tersenyum pertanda merespon baik. Mereka lalu masuk ke dalam. Chan langsung menghambur ke ruangan dalam, meninggalkan gadis yang diajaknya—yang bahkan belum dipersilakan duduk. Satu orang lagi laki-laki di sana yang sepertinya pelayan berlari kecil menghampirinya lalu menarik sebuah kursi.

Si Gadis lagi-lagi tersenyum dengan satu kedipan yang lambat dan tenang sebagai ganti ucapan terimakasih.

“Chan! Chan!!” Pelayan tadi tiba-tiba melingkarkan lengannya ke leher Chan setelah berlari masuk ke dapur. Saat itu Chan sudah menyelesaikan pembicaraan singkatnya dengan seorang pria tua pemilik rumah makan tersebut. “Siapa itu? Cewek itu! Cakep betul! Pacar kau?” tanya Hendra—teman Chan dengan logat batak.

“Bukan.” Chan menjawab sambil mengaduk gula dalam segelas teh yang dia buat. “Dia yang tadi kecopetan.”

“Kau yang ajak ke sini?”

“Masa’ aku biarin?” Pandangan Chan mengarah pada segunung tangkai mawar yang masih ada dalam kantong kertas. Bunga-bunga itu benar-benar akan layu kalau tidak buru-buru ditaruh vas berisi air. “Dra, cariin vas dong. Kalau nggak ada, botol plastik bolehlah. Taruh tuh bunga di tempat yang ada airnya ya.”

“Kau dapat darimana mawar banyak sekali itu?”

“Tanyanya ntar aja, aku mau kasih teh hangat dulu.”

Hendra mengangguk. Pipinya tidak berhenti mengembang mengulum senyum yang apabila dibiarkan bisa-bisa meluber ke mana-mana.

Gadis tadi menempati meja yang nyaris menempel pada bingkai kayu jendela. Dari arah kepalanya, Chan bisa menebak kalau gadis itu sedang memandang keluar. Bahkan boleh jadi dia sedang melamun. Mungkin dia sangat sedih karena tasnya baru saja dibawa kabur. Di dalam tasnya paling tidak berisi dua hal yang penting: dompet dan ponsel. Orang mana yang bisa tenang kalau dua benda itu direbut paksa darinya?

“Minumlah dulu,” kata Chan setelah menaruh segelas teh hangat di depan gadis itu. Kantong tehnya masih melayang di dalamnya.

Gadis itu mengalihkan pandangannya lalu menatap Chan. Ekspresinya terlihat begitu tenang diselimuti kesan damai. Tidak terlihat perasaan gelisah atau cemas yang diduga Chan. Dia akui, Hendra tidak melebih-lebihkan kata-katanya kali ini, meski keseringan laki-laki itu sering mengobral kata cantik pada gadis-gadis yang bersliweran di pasar sekalipun. Gadis di depannya memang amat cantik. Orang mana pun pasti akan setuju dengan pendapat ini.

Melihatnya, Chan jadi mengingat seorang gadis yang mulanya terlahir sebagai manusia, kemudian berubah menjadi vampir karena digigit kekasih vampirnya. Kulit gadis itu nyaris sepucat susu yang menggenang dalam wadah bening. Wajah ovalnya yang kecil berlindung pada rambut hitamnya yang cukup tipis namun lembut dan jatuh. Chan ingat gerak mulut gadis itu ketika berucap tadi. Sepasang bibirnya tidak digerakkan dengan benar, mungkin karena itulah suara yang keluar sungguh pelan. Meskipun sisi luarnya juga pucat serupa warna kulit, makin ke dalam warna bibir itu merekah merah, menunjukkan kalau darah juga mengalir di sana. Bentuk hidungnya simetris sempurna, tidak begitu mancung namun indah. Sementara itu sepasang matanya yang masih menyisakan sendu nampak jernih serupa air mengalir yang tidak jauh dari sumber dia berasal.

Garis-garis wajah itu memaparkan kemudaannya dengan jelas. Mungkin usianya beberapa tahun di bawah Chan. Juga yang membuat Chan penasaran, rupa gadis itu punya nada guratan yang asing. Memang ada semburat khas wajah Indonesia darinya, namun Chan juga menangkap sisi oriental gadis itu. Mungkin dia blasteran Jepang atau semacamnya?

Menerima tatapan menyelidik Chan, gadis itu tersenyum penuh arti seolah tahu semua yang dipikirkannya saat ini.

“Namamu Chan?” tanya gadis itu kemudian.

Chan mengangguk. “Kedengaran Asia sekali ya? Namaku Chandler, tapi anak-anak di sini lebih suka memanggilku Chan.”

“Kau suka memahat lilin?”

 
Chan mengerjap. Dia memang suka memahat. Namun bukan bongkahan kayu-kayu besar, melainkan kayu-kayu yang berukuran kecil dengan ukiran yang rumit dan detil. Tapi kenapa gadis itu lebih memilih menebak kalau yang dipahatnya adalah benda bertekstur halus dan berminyak seperti lilin?

Sebelum Chan balik bertanya, gadis itu lebih dulu meneruskan kata-katanya.

“Kau sering menggunakan pisau kecil dan menekan sisi atasnya. Tampak jelas dari jari telunjukmu..,” ujar si Gadis bernada halus. “Lilin…” Dia berucap, awalnya menggantung. “Namamu.. bermakna si Pembuat lilin..”

Chan terdiam namun beberapa detik kemudian tertawa.

“Coba saja kalau kau pakai baju formal, seperti pakaian kantoran. Aku pasti akan kira kau semacam detektif atau jaksa. Yah.. semacam itu,” katanya. “Jarang sekali orang bisa nebak seperti itu. Aku memang suka memahat, tapi kayu, bukan lilin. Tapi namaku memang berarti si Pembuat lilin.”

Gadis itu menanggapinya lagi dengan senyuman yang Chan tidak bisa artikan. Sedetik, matanya menyorot kosong, namun kemudian fokus lagi seolah berupaya mengenal Chan lebih jauh biarpun tidak banyak kalimat tanya yang dia lontarkan. Kedua tangan gadis itu menangkup pada gelas tehnya, seperti menyerap semua kehangatan yang ada di sana.

“Ah.. bagaimana pencopet tadi ya? Sudah tertangkap belum? Kau pasti khawatir ya?” ujar Chan.

“Sedikit..,” jawab gadis itu pelan.

“Aku bisa menemani kau ke kantor polisi nanti. Yang penting kau tenangkan diri dulu. Oh ya. Namamu siapa?”

Jeda. Senyum yang menghias wajah gadis itu sempat menghilang, berganti dengan ekspresi enggan yang menyimpan sinar redup. Untunglah kemudian, keramahan gadis itu kembali, namun dengan respon yang tidak Chan duga.

“Apa pun yang kau sukai..”

“Hah?” Alis Chan terangkat bingung.

Si Gadis lagi-lagi tersenyum penuh arti.

“Kau bisa memanggilku apa pun yang kau mau..,” katanya.

“Kenapa?” tanya Chan heran.

“Hanya.. aku ingin tahu menurutmu, nama apa yang akan kau berikan ketika bertemu denganku.” Pandangan gadis itu menerawang mengingat sekilas memori yang meninggalkan luka sayatan di hatinya.

Seorang laki-laki dengan tawa renyah yang hangat, pada akhirnya berselimut kebekuan dan menghilang tenggelam ke dalam laut hitam.

Masih dengan pikiran heran dan bertanya-tanya, Chan awalnya bingung bagaimana merespon gadis itu. Tapi begitu melihat wajah murungnya, Chan merasa bisa menghiburnya hanya dengan memberi gadis itu sebuah nama yang cantik, sesuai sosoknya kini.

“Aku… boleh memanggilmu Kirana?”

0 komentar: