Pukul
enam pagi saat Chan membawa dua bungkus plastik penuh belanjaan bersama motor
tuanya ke Kembang Rasa—nama rumah makan itu. Dia masuk tanpa memperhatikan ada
siapa di balik dinding kaca, karena memang biasanya tidak ada karyawan yang
datang lebih pagi darinya. Begitu membuka pintu menggunakan kunci duplikat yang
dia punya, Chan pun membukanya dengan dorongan punggung. Saat itulah dia
terperanjat mendapati seorang gadis bergaun terusan putih selutut tanpa lengan
sedang mengelap kaca.
Kirana
Melihat
Chan yang membelalak serta rongga dadanya yang kembang kempis, gadis yang
sepertinya sepantaran anak-anak SMA itu tersenyum. Tangannya yang terangkat
tinggi untuk mengelap pun beringsut ke bawah, lalu badan yang mungil dan
ramping itupun menghadap ke arah Chan.
“Selamat
pagi,” sapa Kirana. Nadanya begitu halus sampai getaran-getaran aneh menjalar
di batin Chan.
Chan
kemudian tersenyum mengangguk membalas gadis itu. Namun sedetik selanjutnya,
dahi laki-laki itu berkerut menyadari ada yang salah. Saat akhirnya Chan mampu
mencerna keadaan sekelilingnya dengan baik, barulah dia mengetahui sesuatu yang
seharusnya tidak ada di sana adalah gadis itu—Kirana.
“Kenapa
kau bisa ada di sini?” tanya Chan bingung.
Mulut
Kirana tetap terkatup sedangkan senyum tipis gadis itu tetap menghiasi
wajahnya. Gantinya, kelopak mata gadis itu bergerak-gerak sedih ke bawah seolah
kecewa dengan pertanyaan Chan barusan.
“Ma-maksudku…
aku hanya penasaran bagaimana kau masuk ke sini padahal pintunya tadi belum
dibuka,” kata Chan kelabakan. “Dan.. rumah makan ini belum buka, jadi..”
Kalimat laki-laki itu terpotong melihat kain lap kotor yang dibawa Kirana. “Kau
membersihkan kaca?”
Kirana
tersenyum—seolah yang dilakukannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Chan.
Gadis itu lalu mengalihkan perhatiannya lagi ke kaca untuk selanjutnya
meneruskan mengelap.
Sesaat
kemudian, Elmo—pemilik Kembang Rasa yang tinggal di rumah yang bangunannya
berdiri tidak jauh dari sana, datang sambil menguap. Dia melihat Chan yang
menenteng belanjaan dan hanya mengerutkan kening melihat laki-laki itu tidak
kunjung beranjak dari tempatnya berdiri. Sebelum Elmo menegurnya, Chan lebih
dulu menyapa pria berumur akhir tiga puluhan yang sudah memiliki dua anak
laki-laki itu.
“Mr.
Mo, aku sudah membeli mentega yang kau minta,” kata Chan.
Elmo mengangguk.
“Taruh
saja dalam kulkas,” katanya.
Chan menurut.
Pandangannya belum juga berpindah dari Kirana sampai sosoknya benar-benar
terhalang dinding dapur. Elmo sendiri memperhatikan tingkah salah satu
karyawannya itu dengan kalem seolah tidak ada yang aneh. Dia pun menoleh juga,
melihat gadis yang mengaku bernama Kirana itu sedang mengelap lagi—kali ini
meja kayu yang mengkilap. Elmo membatin kalau dia sebenarnya juga merasa aneh
membiarkan gadis itu bekerja.
Pertama
kali melihatnya, Elmo tidak merasa kalau sosok gadis itu serupa dengan remaja
seumurannya yang membutuhkan pekerjaan sambilan. Kulit yang pucat namun juga
sebening kristal itu mengajukan permintaan bernada halus untuknya: yaitu dengan
membiarkannya bekerja apabila Chan juga bekerja. Tentunya Elmo tidak akan
semudah itu percaya kalau saja ayahnya tidak meneleponnya tiba-tiba—langsung dari
Brazil, memintanya untuk membantu gadis itu. Elmo merasa agak janggal karena
meski tahu gadis itu meminta sesuatu darinya, namun ayahnya merasa enggan
menyebut namanya.
Elmo
menghela napas panjang. Laki-laki itu menggaruk lehernya lalu kembali ke
ruangan dalam. Dia masih mengantuk.
***
Kembang
Rasa ramai saat makan siang tiba. Pengunjung yang rata-rata karyawan yang
berkantor tidak jauh dari sana datang untuk mengisi perut. Memang tidak ada
masalah. Chan hanya tertegun mendapati pandangan orang itu beberapa kali bahkan
selalu melirik pada Kirana yang duduk manis di meja kasir. Gadis itu tidak
terlihat sedang melamun, tapi Chan tahu matanya tidak menyorot ke mana pun.
Chan
juga mengamati tiap tamu yang selesai makan lalu membayar makanan yang telah
mereka habiskan. Kirana tidak mencatatnya—dia mencatat saat semua makanan
dihidangkan pada tamu. Gadis itu juga tidak memanfaatkan kalkulator. Jadi sejak
kapan dia menghitung?
Chan
yang merasa tidak benar membiarkannya seperti itu lalu mendatangi Kirana selagi
tamu mereka sudah cukup berkurang siang itu.
“Oh,
Kirana… apa kamu sudah catat bill
mereka tadi? Kamu memang sudah catat waktu mereka datang, tapi nggak ada
salahnya kalau mengecek daftar harga, soalnya kamu kan baru di sini.”
Gadis
serupa manekin itu tidak tersinggung sedikitpun. Dia bahkan tersenyum samar
namun hangat pada Chan. Kepalanya menoleh sebentar untuk melongok ke dalam laci
yang dia tarik. Detik selanjutnya dia menyerahkan sebuah note yang setengah penuh pada Chan.
“Maafkan..”
Kirana berucap. “Aku pikir sudah menghafal harga menunya.. kalau ada yang salah
hitung.. biar aku ganti..”
Chan
tertegun. Dia membaca semua bill yang
sudah gadis itu tuliskan dan otomatis tercengang. Bahkan Chan sendiri beberapa
kali kelabakan ketika disuruh menghafal daftar harga menu di Kembang Rasa—karenanya
dia selalu melihat daftar itu tiap bertugas jadi kasir. Tapi gadis itu
menuliskan semuanya tanpa kesalahan.
“Oh, well…,” gumam Chan. “Maaf sudah komplain
hal yang nggak perlu.”
Kirana
menanggapinya dengan senyum—lagi-lagi melalui ekspresi yang selalu membuat Chan
bertanya-tanya. Berdehem, Chan pun melanjutkan kerjanya yang lain. Seperginya dia,
karyawan-karyawan lain yang seluruhnya laki-laki langsung menghampiri Kirana
kala Kembang Rasa telah sepi.
“Kirana
tinggal di mana?”
“Sekolah
di mana?”
“Kenapa
kerja di sini?”
Semacam
itu. Namun Chan membiarkan mereka, mengabaikan kegelisahan yang tidak
benar-benar mengganggunya—mulanya.
***
“Chan?
Sudah mau pulang?” tanya Elmo. “Hendra mana? Tan? Cakra?”
“Kenapa?”
tanya Chan heran setelah memasukkan paksa celana jeans-nya ke ransel.
“Kakak
iparku yang nelayan, kemarin dapat tongkol. Panjangnya satu meter. Bantuin motongin
yuk!”
“Serius?”
Chan berbinar senang. Siapa tahu dia diberi beberapa potong dan gratis. “Boleh
deh. Lagian nggak buru-buru pulang.” Laki-laki itu lalu menyerukan nama rekan
kerjanya yang lain. Dia menyadari sesuatu dan buru-buru berkata pada Kirana
yang berdiri mematung di belakangnya. “Kamu di sini saja ya. Jaga toko dulu. Pintunya
boleh sekalian dikunci. Nggak buru-buru pulang kan?”
Kirana
mengangguk sekali. Senyum Chan pun tersungging. Semua orang di toko itupun
beranjak pergi meninggalkan gadis itu sendirian di sana.
Saat
itulah, Chan tidak sengaja menyenggol tas ranselnya yang disampirkan di salah
satu kursi kayu. Karena isinya pakaian, jadi tidak terlalu terdengar oleh
sekumpulan orang yang berisik itu. Ketika mereka telah pergi, Kirana diam-diam
memungutnya. Hampir seluruh isi tas ransel itu berisi pakaian-pakaian lusuh
yang belum dicuci. Perhatiannya Kirana
jatuh pada jeans yang terakhir
dimasukkan Chan ke sana. Banyak jahitan yang berantakan—seperti rusak parah
tapi dipaksakan diperbaiki.
Gadis
itu bangkit berdiri, menggantungkan jeans tadi pada lipatan sikunya sedang dia
menempelkan ponsel ke telinga.
“Aku
mau celana jeans untuk laki-laki.
Ukurannya…” Dia melihat lagi pada jeans tadi,
juga kemudian menyebutkan merk. “Aku mau yang sama persis,” tukasnya.
Kirana
tidak peduli meski Chan menyuruhnya untuk tetap tinggal, karena saat ini ada
hal lain yang perlu dia lakukan. Gadis itu tetap menempelkan layar ponsel ke
telinganya sambil mengunci pintu sekeluarnya dia dari sana. Entah apa yang dia
dengar, yang pasti sesaat kemudian, Kirana kembali mematung.
“Identify.” Dia berkata. “Aku tidak punya
urusan dengan sampah.. berlakulah semestinya.. pastikan aku mendapatkannya
kembali.”
Ponsel
itu langsung dimatikan, sementara pikiran gadis itu berkutat mengingat sebuah
bros yang berkilauan berbentuk mawar.
0 komentar:
Posting Komentar