Wounds Heal, Scar Left (3)

Jumat, 09 Oktober 2015



Pukul enam pagi saat Chan membawa dua bungkus plastik penuh belanjaan bersama motor tuanya ke Kembang Rasa—nama rumah makan itu. Dia masuk tanpa memperhatikan ada siapa di balik dinding kaca, karena memang biasanya tidak ada karyawan yang datang lebih pagi darinya. Begitu membuka pintu menggunakan kunci duplikat yang dia punya, Chan pun membukanya dengan dorongan punggung. Saat itulah dia terperanjat mendapati seorang gadis bergaun terusan putih selutut tanpa lengan sedang mengelap kaca.

Kirana

Melihat Chan yang membelalak serta rongga dadanya yang kembang kempis, gadis yang sepertinya sepantaran anak-anak SMA itu tersenyum. Tangannya yang terangkat tinggi untuk mengelap pun beringsut ke bawah, lalu badan yang mungil dan ramping itupun menghadap ke arah Chan.

“Selamat pagi,” sapa Kirana. Nadanya begitu halus sampai getaran-getaran aneh menjalar di batin Chan.

Chan kemudian tersenyum mengangguk membalas gadis itu. Namun sedetik selanjutnya, dahi laki-laki itu berkerut menyadari ada yang salah. Saat akhirnya Chan mampu mencerna keadaan sekelilingnya dengan baik, barulah dia mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana adalah gadis itu—Kirana.

“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Chan bingung.

Mulut Kirana tetap terkatup sedangkan senyum tipis gadis itu tetap menghiasi wajahnya. Gantinya, kelopak mata gadis itu bergerak-gerak sedih ke bawah seolah kecewa dengan pertanyaan Chan barusan.

“Ma-maksudku… aku hanya penasaran bagaimana kau masuk ke sini padahal pintunya tadi belum dibuka,” kata Chan kelabakan. “Dan.. rumah makan ini belum buka, jadi..” Kalimat laki-laki itu terpotong melihat kain lap kotor yang dibawa Kirana. “Kau membersihkan kaca?”

Kirana tersenyum—seolah yang dilakukannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Chan. Gadis itu lalu mengalihkan perhatiannya lagi ke kaca untuk selanjutnya meneruskan mengelap.

Sesaat kemudian, Elmo—pemilik Kembang Rasa yang tinggal di rumah yang bangunannya berdiri tidak jauh dari sana, datang sambil menguap. Dia melihat Chan yang menenteng belanjaan dan hanya mengerutkan kening melihat laki-laki itu tidak kunjung beranjak dari tempatnya berdiri. Sebelum Elmo menegurnya, Chan lebih dulu menyapa pria berumur akhir tiga puluhan yang sudah memiliki dua anak laki-laki itu.

“Mr. Mo, aku sudah membeli mentega yang kau minta,” kata Chan.

Elmo mengangguk.

“Taruh saja dalam kulkas,” katanya.

Chan menurut. Pandangannya belum juga berpindah dari Kirana sampai sosoknya benar-benar terhalang dinding dapur. Elmo sendiri memperhatikan tingkah salah satu karyawannya itu dengan kalem seolah tidak ada yang aneh. Dia pun menoleh juga, melihat gadis yang mengaku bernama Kirana itu sedang mengelap lagi—kali ini meja kayu yang mengkilap. Elmo membatin kalau dia sebenarnya juga merasa aneh membiarkan gadis itu bekerja.

Pertama kali melihatnya, Elmo tidak merasa kalau sosok gadis itu serupa dengan remaja seumurannya yang membutuhkan pekerjaan sambilan. Kulit yang pucat namun juga sebening kristal itu mengajukan permintaan bernada halus untuknya: yaitu dengan membiarkannya bekerja apabila Chan juga bekerja. Tentunya Elmo tidak akan semudah itu percaya kalau saja ayahnya tidak meneleponnya tiba-tiba—langsung dari Brazil, memintanya untuk membantu gadis itu. Elmo merasa agak janggal karena meski tahu gadis itu meminta sesuatu darinya, namun ayahnya merasa enggan menyebut namanya.

Elmo menghela napas panjang. Laki-laki itu menggaruk lehernya lalu kembali ke ruangan dalam. Dia masih mengantuk.

***

Kembang Rasa ramai saat makan siang tiba. Pengunjung yang rata-rata karyawan yang berkantor tidak jauh dari sana datang untuk mengisi perut. Memang tidak ada masalah. Chan hanya tertegun mendapati pandangan orang itu beberapa kali bahkan selalu melirik pada Kirana yang duduk manis di meja kasir. Gadis itu tidak terlihat sedang melamun, tapi Chan tahu matanya tidak menyorot ke mana pun.

Chan juga mengamati tiap tamu yang selesai makan lalu membayar makanan yang telah mereka habiskan. Kirana tidak mencatatnya—dia mencatat saat semua makanan dihidangkan pada tamu. Gadis itu juga tidak memanfaatkan kalkulator. Jadi sejak kapan dia menghitung?

Chan yang merasa tidak benar membiarkannya seperti itu lalu mendatangi Kirana selagi tamu mereka sudah cukup berkurang siang itu.

“Oh, Kirana… apa kamu sudah catat bill mereka tadi? Kamu memang sudah catat waktu mereka datang, tapi nggak ada salahnya kalau mengecek daftar harga, soalnya kamu kan baru di sini.”

Gadis serupa manekin itu tidak tersinggung sedikitpun. Dia bahkan tersenyum samar namun hangat pada Chan. Kepalanya menoleh sebentar untuk melongok ke dalam laci yang dia tarik. Detik selanjutnya dia menyerahkan sebuah note yang setengah penuh pada Chan.

“Maafkan..” Kirana berucap. “Aku pikir sudah menghafal harga menunya.. kalau ada yang salah hitung.. biar aku ganti..”

Chan tertegun. Dia membaca semua bill yang sudah gadis itu tuliskan dan otomatis tercengang. Bahkan Chan sendiri beberapa kali kelabakan ketika disuruh menghafal daftar harga menu di Kembang Rasa—karenanya dia selalu melihat daftar itu tiap bertugas jadi kasir. Tapi gadis itu menuliskan semuanya tanpa kesalahan.

“Oh, well…,” gumam Chan. “Maaf sudah komplain hal yang nggak perlu.”

Kirana menanggapinya dengan senyum—lagi-lagi melalui ekspresi yang selalu membuat Chan bertanya-tanya. Berdehem, Chan pun melanjutkan kerjanya yang lain. Seperginya dia, karyawan-karyawan lain yang seluruhnya laki-laki langsung menghampiri Kirana kala Kembang Rasa telah sepi.

“Kirana tinggal di mana?”

“Sekolah di mana?”

“Kenapa kerja di sini?”

Semacam itu. Namun Chan membiarkan mereka, mengabaikan kegelisahan yang tidak benar-benar mengganggunya—mulanya.

***

“Chan? Sudah mau pulang?” tanya Elmo. “Hendra mana? Tan? Cakra?”

“Kenapa?” tanya Chan heran setelah memasukkan paksa celana jeans-nya ke ransel.

“Kakak iparku yang nelayan, kemarin dapat tongkol. Panjangnya satu meter. Bantuin motongin yuk!”

“Serius?” Chan berbinar senang. Siapa tahu dia diberi beberapa potong dan gratis. “Boleh deh. Lagian nggak buru-buru pulang.” Laki-laki itu lalu menyerukan nama rekan kerjanya yang lain. Dia menyadari sesuatu dan buru-buru berkata pada Kirana yang berdiri mematung di belakangnya. “Kamu di sini saja ya. Jaga toko dulu. Pintunya boleh sekalian dikunci. Nggak buru-buru pulang kan?”

Kirana mengangguk sekali. Senyum Chan pun tersungging. Semua orang di toko itupun beranjak pergi meninggalkan gadis itu sendirian di sana.

Saat itulah, Chan tidak sengaja menyenggol tas ranselnya yang disampirkan di salah satu kursi kayu. Karena isinya pakaian, jadi tidak terlalu terdengar oleh sekumpulan orang yang berisik itu. Ketika mereka telah pergi, Kirana diam-diam memungutnya. Hampir seluruh isi tas ransel itu berisi pakaian-pakaian lusuh yang belum dicuci.  Perhatiannya Kirana jatuh pada jeans yang terakhir dimasukkan Chan ke sana. Banyak jahitan yang berantakan—seperti rusak parah tapi dipaksakan diperbaiki.

Gadis itu bangkit berdiri, menggantungkan jeans tadi pada lipatan sikunya sedang dia menempelkan ponsel ke telinga.

“Aku mau celana jeans untuk laki-laki. Ukurannya…” Dia melihat lagi pada jeans tadi, juga kemudian menyebutkan merk. “Aku mau yang sama persis,” tukasnya.

Kirana tidak peduli meski Chan menyuruhnya untuk tetap tinggal, karena saat ini ada hal lain yang perlu dia lakukan. Gadis itu tetap menempelkan layar ponsel ke telinganya sambil mengunci pintu sekeluarnya dia dari sana. Entah apa yang dia dengar, yang pasti sesaat kemudian, Kirana kembali mematung.

Identify.” Dia berkata. “Aku tidak punya urusan dengan sampah.. berlakulah semestinya.. pastikan aku mendapatkannya kembali.”

Ponsel itu langsung dimatikan, sementara pikiran gadis itu berkutat mengingat sebuah bros yang berkilauan berbentuk mawar.


0 komentar: