Wounds Heal, Scar Left

Sabtu, 29 Agustus 2015



Alkisah seribu tahun yang lalu, terdapat sebuah negeri yang dipimpin seorang Raja yang sangat ambisius dan kejam. Dia dididik begitu keras oleh raja terdahulu sehingga hatinya beku bagai bongkah es abadi. Setiap hari yang dia lakukan adalah menciptakan strategi-strategi yang cerdik supaya prajuritnya dapat menyerang negeri-negeri tetangga lalu pulang membawa kemenangan.

Layaknya seorang penguasa yang ambisius, sang Raja kemudian menikahi seorang Putri dari negeri lain untuk dijadikan permaisuri meskipun tidak ada cinta. Namun karena terlalu tertekan, Permaisuri pun akhirnya meninggal karena terlalu sering sakit-sakitan. Tidak peduli dengan kematian istrinya, Raja seringkali bergonta-ganti wanita. Satu malam, untuk satu orang gadis. Dan suatu ketika adalah seorang gadis biasa yang dijual kepadanya. Dia gadis yang amat cantik, tapi tentunya tidak semudah itu untuk mengambil hati Raja.

Si Gadis rupanya punya harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin menjadi perempuan satu malam yang kemudian melahirkan bayi tanpa identitas. Gadis-gadis seperti itu tidak lebih dari sepatu tua yang tidak berharga, tidak punya pilihan selain dibuang atau dimusnahkan sekalian. Karenanya setiap dibawa ke kamar Raja, si Gadis selalu mengancam akan bunuh diri apabila Raja sampai menyentuhnya. Kekuatan dalam tubuh lemahnya membuat sang Raja terkesan. Raja lalu bertanya apa yang diinginkan gadis itu untuk bisa menerimanya. Satu permintaan gadis itu pun dikabulkan.

Hari berikutnya, si Gadis diberikan kedudukan yang layak bahkan diangkat menjadi selir Raja. Namun, bukannya diberikan kebahagiaan, pasangan itu pun melewati hari-hari mereka dengan begitu banyak pertengkaran oleh sebab sang Raja yang amat kejam, juga sang Selir yang keras kepala. Meski begitu, Raja tidak bisa begitu saja membuang Selir—karena sekarang dia telah menjadi istri sahnya, yang mana hal ini telah diperhitungkan sebelumnya oleh si Gadis yang mengajukan permintaan pada Raja.

Beberapa waktu kemudian, Selir tidak sadar kalau dirinya mengandung. Dia sibuk berkuda ke sana kemari hingga akhirnya keguguran, dan akibatnya Raja murka. Raja bahkan memerintahkan semua dayang Selirnya dihukum mati dengan cara dipenggal. Rupanya kejadian itu tidak cukup terjadi sekali, Selir beberapa kali hamil, namun sayangnya selalu berakhir dengan keguguran. Selalu dirundung kesedihan, Selir pun tidak bisa berbuat apa-apa mengetahui kebiasaan buruk Raja kembali, yaitu sering berganti-ganti perempuan tiap malam.

Ketika usia Selir telah menginjak awal tiga puluhan—yang mana pada zaman tersebut seorang wanita dianggap telah berumur dan tidak berharga lagi apabila belum menikah, dia mengandung lagi untuk yang ke lima kalinya. Sang Selir yang tidak ingin keguguran, menjaga baik-baik janin dalam rahimnya. Selangkah pun dia tidak ingin keluar dari kamarnya untuk menjaga si Bayi. Memang, janin itu tetap aman hingga perutnya membesar hingga masuk ke kehamilan tua. Namun akibatnya, tubuh Selir lemah karena dia jarang bergerak.

Raja yang tahu Selir sedang mengandung, seringkali datang berkunjung. Meskipun sifat yang ditampakkannya tetap dingin, dia sebenarnya peduli pada kesehatan Selir. Raja bahkan merindukan pertengkaran-pertengkaran mereka dulu, karena Selir yang lemah, nyaris tidak punya tenaga untuk berdebat. Sebagai gantinya, Selir lebih banyak tersenyum—senyuman kebahagiaan, karena sebentar lagi dia bisa melihat wajah anak yang dikandungnya. Hangatnya senyuman itu lalu meluluhkan sifat dingin dan kejam yang ada pada Raja. Perlahan-lahan Raja pun menyadari dia begitu mencintai sang Selir.

Waktu kelahiran pun tiba. Selir melahirkan bayi yang dikandungnya dengan susah payah. Tabib memberitahu Raja kalau baik Selir dan bayi mereka dalam situasi yang amat berbahaya. Jika pilihan jatuh pada keselamatan Selir, maka bayi itu akan gugur. Sebaliknya, jika sang Bayi yang dipilih, maka nyawa Selir akan jadi taruhannya. Raja yang tidak ingin Selir yang dicintainya meninggal, lebih memilih bayi itu tiada. Namun Selir dalam kesakitannya, menentang. Dia merasa lebih baik mati daripada keguguran lagi. Raja pun menyadari jika saat itulah, untuk terakhir kalinya dia bisa berdebat dengan istrinya.

Tangisan bayi akhirnya terdengar di seluruh penjuru istana. Sayangnya, napas kehidupan yang diterima sang Bayi harus ditukar dengan kematian ibunya.

***

Roma, 30 April 2015.

Salah satu ruang panggung dalam gedung pertunjukkan klasik yang kosong, seseorang duduk di deretan kursi paling belakang, diam mendengarkan dentingan piano. Gymnopedie dilagukan tenang oleh seorang gadis yang menguncir tinggi rambut cokelatnya di belakang kepala dan berhias pita putih. Dia memainkannya tanpa tahu ada orang selain dia dalam ruangan teater malam itu.

Seorang yang jadi pendengar tadi kemudian menyelinap keluar diam-diam sewaktu lagu kedua hendak dimainkan. Bukan orang itu tidak ingin mendengarnya, dia hanya telah selesai memastikan gadis pianis tadi baik-baik saja. Kebetulan saja dia berada di sana dan meyakinkan diri untuk menyempatkan sedikit waktunya untuk melihat gadis itu. Ini bukan waktu yang baik untuk bertemu. Belum.

Sesampainya di luar gedung, dia disambut beberapa orang pria yang berbalut jas hitam yang mengitari dua mobil. Salah satunya membukakan pintu lalu orang tadi masuk ke dalamnya. Tidak menunggu lagi, mereka pun beranjak secepatnya ke bandara karena pesawat yang hendak orang itu tumpangi akan berangkat sebentar lagi.

Wajah pucat gadis itu memandang keluar melalui kaca jendela mobil. Lampu-lampu jalan dan pertokoan selalu menyilaukan matanya pada malam hari, terlebih di kota-kota besar. Pemandangan yang umum, tapi gadis itu tidak pernah terbiasa. Dia masih begitu muda, namun hidupnya begitu membosankan meski setiap hari bertemu dengan macam-macam orang dengan latar belakang dan sifat yang berbeda. Satu haripun berlalu begitu lambat kali ini.

***
“Selamat datang,” sambut seorang florist saat lonceng yang berada di samping pintu kayu tokonya berbunyi nyaring.

Masuk seorang gadis memakai dress abu-abu selutut membawa tas tangan serat. Mata gadis itu mengedar memperhatikan puluhan jenis bunga yang terhampar di depannya.

“Anda datang pagi sekali,” komentar sang Florist ramah. Wanita paruh baya yang begitu ceria itu sedang menyemprotkan air ke beberapa bunga yang masih tinggal dama pot-pot kecil. “Silakan dipilih dulu.”

“Tolong bungkuskan mawar..,” kata gadis itu.

“Tentu. Mau yang warna apa?”

“Merah.. Saya mau semua yang ada di keranjang itu..” Dia menunjuk pada sekeranjang penuh mawar merah di pinggir ruangan toko, tapi dengan posisi yang lebih tinggi satu tingkat dari bunga-bunga lain di atas lantai.

Florist tadi meletakkan botol penyemprotnya lalu berjalan mengambil keranjang bunga yang gadis itu maksudkan. Hati-hati, dia mengeluarkan semua mawar itu dari keranjang. Detik berikutnya badannya berbalik menghadap si Pelanggan.

“Mau ditata sekalian dalam buket?” tanyanya.

“Bungkus kertas saja.”

Mawar-mawar tadi kemudian ditata rapi dalam balutan kertas putih dan cokelat. Supaya rekat, sang Florist menambahkan juga seuntai pita yang kemudian ditalikan. Dia pun memberikannya pada gadis tadi setelah dibayar menggunakan beberapa lembar uang merah. Senyum sang Florist makin mengembang ketika gadis itu menolak kembalian uangnya, dua kali dia mengucapkan kata terimakasih.

Sekeluarnya dari toko bunga, gadis itu melangkah menyusuri jalan kecil tempatnya berada kini. Sepatu kayunya mengetuk-ngetuk aspal. Hari masih pagi dan belum banyak orang-orang yang memulai aktivitas sehingga bunyi sandalnya menggema. Kakinya belum juga berhenti melangkah sampai akhirnya matahari bersinar terik. Debu dan asap kendaraan mulai bertebaran di mana-mana. Gadis itu mulai merasakan pusing, wajah dan tubuhnya pun timbul titik-titik keringat. Matanya beralih lagi ke kantong kertas mawar yang dia bawa. Tentu saja, bunga itu mulai layu.

Paru-parunya menghela dalam-dalam. Berada di negara tropis memang sedikit melelahkan. Tubuhnya terlalu sering diterpa dingin hingga untuk beberapa waktu lamanya, dia tertegun dengan hawa panas yang menjalar. Sekarang barulah dia benar-benar mengerti kenapa orang-orang sangat menyukai teh yang dimasukkan beberapa balok kecil es batu.

Hidungnya samar-samar menghirup aroma daging yang dimasak di atas bara api. Gadis itu berhenti melangkah dan agaknya mulai kebingungan pada benaknya yang mendebat. Orang yang melihatnya akan menyangka gadis itu sedang melamun. Kesempatan itu dimanfaatkan baik-baik oleh seorang laki-laki yang sedang memperhatikannya dari jauh.

Mengambil arah yang berlawanan dari si Gadis, laki-laki itu tiba-tiba berlari berbalik arah. Tas yang disampirkan di siku langsung direbut paksa. Mata gadis itu pun membelalak terkejut. Badannya bahkan tertarik ke depan hingga lututnya menghujam aspal. Seorang wanita paruh baya melihat kejadian itu dan langsung berteriak keras.

“COPET!!!” Dia menunjuk ke arah laki-laki tadi berlari.

Teriakan itu tentu saja mengundang perhatian orang-orang di sana. Beberapa pria bahkan langsung berlari mengejar. Wanita yang berteriak itu lalu beralih menghampiri si Gadis yang tampak mematung—dia mengerjap beberapa kali mendapati mawar merah yang dibelinya tumpah dan berserakan kotor bersamanya di atas aspal.

“Kau tak apa-apa, Nak?” tanya wanita tadi. Dia lalu membantu gadis itu berdiri.

Si Gadis hanya mengangguk sekali—tampak tidak sedikit pun tidak cemas pada tasnya yang dicuri. Kalau soal uang dan kartu-kartu di dalam dompet, dia tidak peduli. Hanya saja ada sebuah bros berlian berbentuk mawar yang amat berharga di dalam sana.

“Ada apa? Kenapa di luar berisik sekali?” Suara seseorang bertanya terdengar tidak jauh dari posisi gadis itu sekarang.

“Sepertinya nona ini kecopetan,” jawab suara dari orang lain lagi.

Gadis itu menoleh ke samping, menyadari kalau dia berdiri tepat di depan sebuah rumah makan bernuansa merah beludru. Dua orang laki-laki yang sepertinya pegawai di rumah makan tersebut menempelkan tubuh mereka ke kaca jendela. Pandangan mereka terarah ke kerumunan yang ramai.

Saat itulah sepasang mata si Gadis terpaku dan badannya membeku. Bahkan sebelum hatinya bertanya-tanya apakah sosok di depannya nyata atau tidak, sebulir air matanya lebih dulu jatuh. Lagu lama yang tersimpan terlalu lama akhirnya dibuka kembali.

Dan apabila aku bermimpi… jangan biarkan aku terbangun.. selamanya..

0 komentar: