Alkisah
seribu tahun yang lalu, terdapat sebuah negeri yang dipimpin seorang Raja yang
sangat ambisius dan kejam. Dia dididik begitu keras oleh raja terdahulu
sehingga hatinya beku bagai bongkah es abadi. Setiap hari yang dia lakukan
adalah menciptakan strategi-strategi yang cerdik supaya prajuritnya dapat
menyerang negeri-negeri tetangga lalu pulang membawa kemenangan.
Layaknya
seorang penguasa yang ambisius, sang Raja kemudian menikahi seorang Putri dari
negeri lain untuk dijadikan permaisuri meskipun tidak ada cinta. Namun karena
terlalu tertekan, Permaisuri pun akhirnya meninggal karena terlalu sering
sakit-sakitan. Tidak peduli dengan kematian istrinya, Raja seringkali
bergonta-ganti wanita. Satu malam, untuk satu orang gadis. Dan suatu ketika
adalah seorang gadis biasa yang dijual kepadanya. Dia gadis yang amat cantik,
tapi tentunya tidak semudah itu untuk mengambil hati Raja.
Si
Gadis rupanya punya harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin menjadi perempuan
satu malam yang kemudian melahirkan bayi tanpa identitas. Gadis-gadis seperti
itu tidak lebih dari sepatu tua yang tidak berharga, tidak punya pilihan selain
dibuang atau dimusnahkan sekalian. Karenanya setiap dibawa ke kamar Raja, si
Gadis selalu mengancam akan bunuh diri apabila Raja sampai menyentuhnya.
Kekuatan dalam tubuh lemahnya membuat sang Raja terkesan. Raja lalu bertanya
apa yang diinginkan gadis itu untuk bisa menerimanya. Satu permintaan gadis itu
pun dikabulkan.
Hari
berikutnya, si Gadis diberikan kedudukan yang layak bahkan diangkat menjadi
selir Raja. Namun, bukannya diberikan kebahagiaan, pasangan itu pun melewati
hari-hari mereka dengan begitu banyak pertengkaran oleh sebab sang Raja yang
amat kejam, juga sang Selir yang keras kepala. Meski begitu, Raja tidak bisa
begitu saja membuang Selir—karena sekarang dia telah menjadi istri sahnya, yang
mana hal ini telah diperhitungkan sebelumnya oleh si Gadis yang mengajukan
permintaan pada Raja.
Beberapa
waktu kemudian, Selir tidak sadar kalau dirinya mengandung. Dia sibuk berkuda
ke sana kemari hingga akhirnya keguguran, dan akibatnya Raja murka. Raja
bahkan memerintahkan semua dayang Selirnya dihukum mati dengan cara dipenggal.
Rupanya kejadian itu tidak cukup terjadi sekali, Selir beberapa kali hamil,
namun sayangnya selalu berakhir dengan keguguran. Selalu dirundung kesedihan,
Selir pun tidak bisa berbuat apa-apa mengetahui kebiasaan buruk Raja kembali,
yaitu sering berganti-ganti perempuan tiap malam.
Ketika
usia Selir telah menginjak awal tiga puluhan—yang mana pada zaman tersebut
seorang wanita dianggap telah berumur dan tidak berharga lagi apabila belum
menikah, dia mengandung lagi untuk yang ke lima kalinya. Sang Selir yang tidak
ingin keguguran, menjaga baik-baik janin dalam rahimnya. Selangkah pun dia
tidak ingin keluar dari kamarnya untuk menjaga si Bayi. Memang, janin itu tetap
aman hingga perutnya membesar hingga masuk ke kehamilan tua. Namun akibatnya,
tubuh Selir lemah karena dia jarang bergerak.
Raja yang
tahu Selir sedang mengandung, seringkali datang berkunjung. Meskipun sifat yang
ditampakkannya tetap dingin, dia sebenarnya peduli pada kesehatan Selir. Raja
bahkan merindukan pertengkaran-pertengkaran mereka dulu, karena Selir yang
lemah, nyaris tidak punya tenaga untuk berdebat. Sebagai gantinya, Selir lebih
banyak tersenyum—senyuman kebahagiaan, karena sebentar lagi dia bisa melihat
wajah anak yang dikandungnya. Hangatnya senyuman itu lalu meluluhkan sifat
dingin dan kejam yang ada pada Raja. Perlahan-lahan Raja pun menyadari dia begitu
mencintai sang Selir.
Waktu
kelahiran pun tiba. Selir melahirkan bayi yang dikandungnya dengan susah payah.
Tabib memberitahu Raja kalau baik Selir dan bayi mereka dalam situasi yang amat
berbahaya. Jika pilihan jatuh pada keselamatan Selir, maka bayi itu akan gugur.
Sebaliknya, jika sang Bayi yang dipilih, maka nyawa Selir akan jadi taruhannya.
Raja yang tidak ingin Selir yang dicintainya meninggal, lebih memilih bayi itu
tiada. Namun Selir dalam kesakitannya, menentang. Dia merasa lebih baik mati
daripada keguguran lagi. Raja pun menyadari jika saat itulah, untuk terakhir
kalinya dia bisa berdebat dengan istrinya.
Tangisan
bayi akhirnya terdengar di seluruh penjuru istana. Sayangnya, napas kehidupan
yang diterima sang Bayi harus ditukar dengan kematian ibunya.
***
Roma, 30 April 2015.
Salah
satu ruang panggung dalam gedung pertunjukkan klasik yang kosong, seseorang
duduk di deretan kursi paling belakang, diam mendengarkan dentingan piano. Gymnopedie dilagukan tenang oleh seorang
gadis yang menguncir tinggi rambut cokelatnya di belakang kepala dan berhias
pita putih. Dia memainkannya tanpa tahu ada orang selain dia dalam ruangan
teater malam itu.
Seorang
yang jadi pendengar tadi kemudian menyelinap keluar diam-diam sewaktu lagu
kedua hendak dimainkan. Bukan orang itu tidak ingin mendengarnya, dia hanya
telah selesai memastikan gadis pianis tadi baik-baik saja. Kebetulan saja dia
berada di sana dan meyakinkan diri untuk menyempatkan sedikit waktunya untuk
melihat gadis itu. Ini bukan waktu yang baik untuk bertemu. Belum.
Sesampainya
di luar gedung, dia disambut beberapa orang pria yang berbalut jas hitam yang
mengitari dua mobil. Salah satunya membukakan pintu lalu orang tadi masuk ke
dalamnya. Tidak menunggu lagi, mereka pun beranjak secepatnya ke bandara karena
pesawat yang hendak orang itu tumpangi akan berangkat sebentar lagi.
Wajah
pucat gadis itu memandang keluar melalui kaca jendela mobil. Lampu-lampu jalan
dan pertokoan selalu menyilaukan matanya pada malam hari, terlebih di kota-kota
besar. Pemandangan yang umum, tapi gadis itu tidak pernah terbiasa. Dia masih
begitu muda, namun hidupnya begitu membosankan meski setiap hari bertemu dengan
macam-macam orang dengan latar belakang dan sifat yang berbeda. Satu haripun berlalu
begitu lambat kali ini.
***
“Selamat
datang,” sambut seorang florist saat
lonceng yang berada di samping pintu kayu tokonya berbunyi nyaring.
Masuk
seorang gadis memakai dress abu-abu
selutut membawa tas tangan serat. Mata gadis itu mengedar memperhatikan puluhan
jenis bunga yang terhampar di depannya.
“Anda
datang pagi sekali,” komentar sang Florist
ramah. Wanita paruh baya yang begitu ceria itu sedang menyemprotkan air ke
beberapa bunga yang masih tinggal dama pot-pot kecil. “Silakan dipilih dulu.”
“Tolong
bungkuskan mawar..,” kata gadis itu.
“Tentu.
Mau yang warna apa?”
“Merah..
Saya mau semua yang ada di keranjang itu..” Dia menunjuk pada sekeranjang penuh
mawar merah di pinggir ruangan toko, tapi dengan posisi yang lebih tinggi satu tingkat
dari bunga-bunga lain di atas lantai.
Florist tadi meletakkan botol
penyemprotnya lalu berjalan mengambil keranjang bunga yang gadis itu maksudkan.
Hati-hati, dia mengeluarkan semua mawar itu dari keranjang. Detik berikutnya
badannya berbalik menghadap si Pelanggan.
“Mau
ditata sekalian dalam buket?” tanyanya.
“Bungkus
kertas saja.”
Mawar-mawar
tadi kemudian ditata rapi dalam balutan kertas putih dan cokelat. Supaya rekat,
sang Florist menambahkan juga seuntai
pita yang kemudian ditalikan. Dia pun memberikannya pada gadis tadi setelah
dibayar menggunakan beberapa lembar uang merah. Senyum sang Florist makin mengembang ketika gadis
itu menolak kembalian uangnya, dua kali dia mengucapkan kata terimakasih.
Sekeluarnya
dari toko bunga, gadis itu melangkah menyusuri jalan kecil tempatnya berada
kini. Sepatu kayunya mengetuk-ngetuk aspal. Hari masih pagi dan belum banyak
orang-orang yang memulai aktivitas sehingga bunyi sandalnya menggema. Kakinya belum
juga berhenti melangkah sampai akhirnya matahari bersinar terik. Debu dan asap
kendaraan mulai bertebaran di mana-mana. Gadis itu mulai merasakan pusing,
wajah dan tubuhnya pun timbul titik-titik keringat. Matanya beralih lagi ke
kantong kertas mawar yang dia bawa. Tentu saja, bunga itu mulai layu.
Paru-parunya
menghela dalam-dalam. Berada di negara tropis memang sedikit melelahkan. Tubuhnya
terlalu sering diterpa dingin hingga untuk beberapa waktu lamanya, dia tertegun
dengan hawa panas yang menjalar. Sekarang barulah dia benar-benar mengerti
kenapa orang-orang sangat menyukai teh yang dimasukkan beberapa balok kecil es
batu.
Hidungnya
samar-samar menghirup aroma daging yang dimasak di atas bara api. Gadis itu
berhenti melangkah dan agaknya mulai kebingungan pada benaknya yang mendebat. Orang
yang melihatnya akan menyangka gadis itu sedang melamun. Kesempatan itu
dimanfaatkan baik-baik oleh seorang laki-laki yang sedang memperhatikannya dari
jauh.
Mengambil
arah yang berlawanan dari si Gadis, laki-laki itu tiba-tiba berlari berbalik
arah. Tas yang disampirkan di siku langsung direbut paksa. Mata gadis itu pun
membelalak terkejut. Badannya bahkan tertarik ke depan hingga lututnya
menghujam aspal. Seorang wanita paruh baya melihat kejadian itu dan langsung
berteriak keras.
“COPET!!!”
Dia menunjuk ke arah laki-laki tadi berlari.
Teriakan
itu tentu saja mengundang perhatian orang-orang di sana. Beberapa pria bahkan
langsung berlari mengejar. Wanita yang berteriak itu lalu beralih menghampiri
si Gadis yang tampak mematung—dia mengerjap beberapa kali mendapati mawar merah
yang dibelinya tumpah dan berserakan kotor bersamanya di atas aspal.
“Kau
tak apa-apa, Nak?” tanya wanita tadi. Dia lalu membantu gadis itu berdiri.
Si
Gadis hanya mengangguk sekali—tampak tidak sedikit pun tidak cemas pada tasnya
yang dicuri. Kalau soal uang dan kartu-kartu di dalam dompet, dia tidak peduli.
Hanya saja ada sebuah bros berlian berbentuk mawar yang amat berharga di dalam
sana.
“Ada
apa? Kenapa di luar berisik sekali?” Suara seseorang bertanya terdengar tidak
jauh dari posisi gadis itu sekarang.
“Sepertinya
nona ini kecopetan,” jawab suara dari orang lain lagi.
Gadis
itu menoleh ke samping, menyadari kalau dia berdiri tepat di depan sebuah rumah
makan bernuansa merah beludru. Dua orang laki-laki yang sepertinya pegawai di
rumah makan tersebut menempelkan tubuh mereka ke kaca jendela. Pandangan mereka
terarah ke kerumunan yang ramai.
Saat itulah
sepasang mata si Gadis terpaku dan badannya membeku. Bahkan sebelum hatinya
bertanya-tanya apakah sosok di depannya nyata atau tidak, sebulir air matanya
lebih dulu jatuh. Lagu lama yang tersimpan terlalu lama akhirnya dibuka
kembali.
Dan apabila aku bermimpi… jangan biarkan
aku terbangun.. selamanya..
0 komentar:
Posting Komentar