Welcome to Disaster Maker Club (1)

Selasa, 17 November 2015



Entahlah. Asrama itu tampak biasa sekali. Rumornya anak-anak yang tinggal di dalamnya adalah pembuat bencana. Mungkin memang itu kepanjangannya dari huruf DM beserta angka 9 yang turut terpampang di papan yang miring dekat gerbang: Disaster Maker. Audin sendiri langsung begidik ketika menatap bangunan yang sekilas terlihat seperti rumah pada umumnya. Sejauh ini, rumor-rumor itu sukses membuatnya menilai kalau asrama DM angker.

Audin masih mendebat dalam diri apakah dia akan langsung masuk atau tidak ketika seseorang melangkah tepat di belakangnya. Seorang gadis memakai jaket jingga bertudung, juga jeans hitam, lalu dari lutut sampai ujung kaki tertutup sepasang boots hitam berhak. Audin baru menyadari kehadirannya saat gadis itu hanya beberapa senti jaraknya dari bahu kiri.

“Apa ini asrama DM?” tanyanya pada Audin.

Audin mengangguk. “Ya. Kalau aku tidak salah alamat—tentu saja.”

Gadis tadi memiringkan mata menatap Audin. Bukan hanya mata, namun dari ujung kepala sampai ujung kaki gadis itu. Bukan pandangan meremehkan, hanya saja sorot penuh menyelidik itu cukup membuat Audin merasa tidak nyaman.

“Siswa baru juga? Atau pindahan?” tanya si Gadis berjaket jingga.

“Pindahan,” jawab Audin pendek.

Gadis itu mengangguk-angguk setelah merasa selesai meneliti tiap sudut sosok Audin di depannya. Caranya berpakaian santai sekali seperti orang yang sedang berjalan mencari angin di sore hari. Pakaian yang melekat di tubuhnya hanya kaus biru lengan panjang, juga jeans pendek selutut berwarna abu-abu. Di punggungnya terdapat ransel berukuran sedang yang tampak tidak terlalu bervolume. Mungkin isinya hanya beberapa helai baju.

“Sama,” kata si Gadis kemudian setelah lebih dulu menyingkirkan tudung yang menutup kepalanya. “Aku Eva. Kau siapa?”

“Audin.”

“Bagaimana kalau kita masuk sekarang? Aku lapar.. mereka seharusnya sudah menyiapkan makan malam.”

Audin mengangguk sembari mengelus perutnya.

***

“Zein,” panggil seorang gadis bercelemek yang sedang berjongkok menghadap rak lemari es yang terbuka.

Bukannya menyahut, orang yang gadis itu panggil justru mulai menyanyikan lirik lagu yang dia dengar menggunakan headset. Tidak cukup sampai di situ, dia beranjak dari kursinya lalu mulai menari ala-ala gadis Hawai.

Si Gadis bercelemek menoleh ke belakang melihat tingkah gadis yang dia panggil Zein tadi. Sesaat dia terbengong, selanjutnya paru-parunya mengembang, menghela napas sebanyak-banyaknya.

“ZEIN ADA TIKUS KEJEPIT DI JEBAKAN!!!”

Teriakan tadi sontak membuat Zein terperanjat juga langsung mencopot headset yang menyumpal telinganya. Sesuai perkiraan gadis iseng tadi, Zein panik mencari jebakan yang dimaksud ke sana kemari. Idiotnya dia sampai merayap di dinding demi melongok keluar lewat lubang ventilasi.

“Penyihir sialan itu…,” gerutu Zein dengan mata melotot menyebut seorang wanita yang jadi penghuni rumah di samping tempat tinggal mereka. “Benar-benar tidak menghargai nilai hidup seekor makhluk!”

“Ya ya ya.” Gadis di dekat kulkas menanggapi. “Kemari kau!”

“Aku harus menyelamatkan tikus malang itu!” protes Zein. “Eh, tapi… kenapa rumah penyihir itu gelap?”

“Karena dia sedang pergi menjenguk ibunya. Kalau kau tidak ke sini juga, entah berapa jam lagi makan malam akan siap.”

Zein menoleh. Matanya menyipit. Beberapa saat mencerna, barulah dia paham kalau gadis itu—Shin telah mengerjainya lagi. Mulut Zein komat-kamit mengumpat Shin. Meski begitu dia menurut. Kakinya yang berada satu meter di atas lantai sesaat kemudian beringsut.

“Kau mau masak apa? Aku kepingin terong balado,” kata Zein tak tahu malu sambil mengusap-usap perut.

“Bagaimana ya…?” Shin menggumam. “Aku mau masak lobster.”

Zein memekik tertahan. Cuek, Shin langsung menutup kulkas setelah mengambil lobster beku dan plastik berisi dua terong ungu. Menaruh lobster beku tadi dalam baskom lalu merendamnya di air, Shin mendengar bel rumah mereka dibunyikan.

“Buka pintunya,” pinta Shin direspon anggukan Zein.

Gadis yang sepertinya selalu punya kelebihan energi itupun berlari kecil untuk membukakan pintu. Rambut ikal hitamnya diikat tinggi-tinggi di belakang kepala sedang poni serta anak-anak rambut Zein berantakan. Dia memakai kaus santai kuning tanpa lengan serta celana pendek. Ketika membuka pintu itu dan melihat siapa yang datang, meskipun tidak kenal siapa mereka, Zein tersenyum lebar memamerkan gigi.

“Selamat sore! Mau bertemu siapa? Masuk-masuk!” sambut gadis itu bernada ceria.

“Ah, anu..,” balas tamu yang berkaus biru. “Kami siswa pindahan…”

“Oh ya? Wah! Kupikir kalian baru datang besok!” Zein tertawa. “Masuklah! Shin sedang masak. Mau aku bikinkan teh?”

Yes, please.” Kali ini gadis yang berjaket jingga menyahut tanpa sungkan.

Mereka bertiga lalu masuk ke dalam, tapi bukan berhenti di ruang tamu. Zein mengarahkan mereka supaya duduk di ruang makan sekaligus dapur. Audin dan Eva melihat seorang gadis lagi tengah memunggungi mereka ditemani suara gemericik air. Barulah setelah dua penghuni pindahan tadi duduk, gadis bercelemek itupun menoleh. Matanya mengerjap mendapati dua orang berwajah asing ada di sana.

“Mereka anak pindahan,” kata Zein sebelum Shin bertanya.

“Hai!” sapa Audin melambai rendah. “Aku Audin.”

“Aku Eva,” sambung yang lain.

“Ah… Mrs. Ruth memberitahuku akan ada tiga murid pindahan ke sini. Tapi kenapa baru ada dua?” tanya Shin. “Di mana yang satu lagi?”

Audin dan Eva saling berpandangan. Mereka kemudian menatap lagi Shin lalu mengangkat bahu.

“Kami bahkan tidak tahu ada satu lagi murid pindahan. Kami bahkan baru berkenalan di depan gerbang tadi,” kata Audin.

Shin mengangguk-angguk lalu melanjutkan kerjanya memasak makan malam.

Zein menarik kursi lalu duduk menghadap Audin dan Eva. Dari sorot matanya, jelas sekali kalau gadis itu sedang dalam suasana hati yang antusias.

“Sebelumnya kalian pasti sudah tahu, anak-anak yang ditempatkan di sini bukan anak-anak biasa,” jelas Zein. “Karena pengurus asrama ini mendirikannya dengan alasan mendasar seperti itu, kalian tak perlu sungkan. Apa kalian bidadari? Penyihir? Vampir? Atau… pengendali salah satu elemen?”

“Ah, aku…”

“Tunggu dulu!” Zein langsung memotong perkataan Audin. “Daripada langsung menjawabnya seperti itu, lebih baik kalian menunjukkan lebih dulu apa yang kalian miliki.”

Sedetik setelahnya, lilin di atas cawan yang diletakkan di atas meja tidak jauh dari sana mendadak menyala. Zein memperhatikan api kecil di lilin itu dengan perasaan takjub. Cahaya kecil yang indah, pikirnya.

“Siapa yang menyalakannya?”

“Aku,” jawab Eva.

“Wah! Kau pengendali api! Luar biasa sekali!” Zein bertepuk tangan. Dia lalu menoleh pada Audin. “Dan kau?”

“Aku…”

Jawaban Audin mendadak terpotong saat Zein tiba-tiba terkesiap melihat seorang gadis yang melayang di luar jendela.

“HANTU!!” Dia memekik.

Baik Audin, Eva, maupun Shin menoleh. Ketiganya sama-sama membelalak terkejut melihat penampakan gadis bergaun terusan putih melayang sambil tangan kanannya mengetuk-ngetuk kaca jendela, mengisyaratkan pada mereka untuk membuka jendela itu. Zein menoleh pada Shin. Dengan kedipan mata—ditambah pelototan galak, Shin memaksa Zein membukanya.

Akhirnya masuklah gadis itu—gadis yang nampak seringan bulu dengan rambut ikal berwarna cokelat terang dengan gaun terusan putih selutut. Kedua kakinya telanjang menyentuh lantai. Bibirnya pun menyunggingkan senyum sapa pada masing-masing orang di sana.

“Aku Lana,” katanya memperkenalkan diri.

“Ah.. murid pindahan juga?” tanya Shin. Gadis itu pun menangguk.

“Lengkap sudah ya,” ujar Eva sambil menekan-nekan layar ponsel.

“Kamar mandi di mana ya?” tanya Lana.

Zein menunjuk ke satu arah tempat kamar mandi berada dan gadis itu langsung enyah.

Anti-mainstream sekali dia. Sepertinya,” gumam Zein menggaruk-garuk belakang kepala. “Sepertinya dia bidadari. Melayang seperti itu biarpun tanpa sayap.”

“Kau belum memperkenalkan diri, omong-omong,” kata Eva menatap pada Zein.

“Aku Zein,” tanggap gadis itu sembari tersenyum. “Dia Shin. Kami juga pengendali. Tapi bukan elemen benda mati.”

“Kalian bisa tahu dengan melihat ada kandang di belakang asrama. Juga kebun bunga dan buah,” tambah Shin.

“Itu bukan kandang!” Zein protes keras.

Whatever.” Shin cuek. Selesai membumbui lobster, dia lalu memasukkannya ke dalam oven.

“Jadi..” Eva mengalihkan topik. “Ada berapa orang yang tinggal di sini?”

“Ditambah kalian bertiga, totalnya ada sembilan orang,” jawab Zein. “Siap-siap saja selama kalian tinggal di sini.” Dia tersenyum penuh arti.

Audin dan Eva pun saling berpandangan, masing-masing dipenuhi perasaan aneh.

0 komentar: