Entahlah.
Asrama itu tampak biasa sekali. Rumornya anak-anak yang tinggal di dalamnya
adalah pembuat bencana. Mungkin memang itu kepanjangannya dari huruf DM beserta
angka 9 yang turut terpampang di papan yang miring dekat gerbang: Disaster Maker. Audin sendiri langsung
begidik ketika menatap bangunan yang sekilas terlihat seperti rumah pada
umumnya. Sejauh ini, rumor-rumor itu sukses membuatnya menilai kalau asrama DM
angker.
Audin
masih mendebat dalam diri apakah dia akan langsung masuk atau tidak ketika
seseorang melangkah tepat di belakangnya. Seorang gadis memakai jaket jingga
bertudung, juga jeans hitam, lalu
dari lutut sampai ujung kaki tertutup sepasang boots hitam berhak. Audin baru menyadari kehadirannya saat gadis
itu hanya beberapa senti jaraknya dari bahu kiri.
“Apa
ini asrama DM?” tanyanya pada Audin.
Audin
mengangguk. “Ya. Kalau aku tidak salah alamat—tentu saja.”
Gadis
tadi memiringkan mata menatap Audin. Bukan hanya mata, namun dari ujung kepala
sampai ujung kaki gadis itu. Bukan pandangan meremehkan, hanya saja sorot penuh
menyelidik itu cukup membuat Audin merasa tidak nyaman.
“Siswa
baru juga? Atau pindahan?” tanya si Gadis berjaket jingga.
“Pindahan,”
jawab Audin pendek.
Gadis
itu mengangguk-angguk setelah merasa selesai meneliti tiap sudut sosok Audin di
depannya. Caranya berpakaian santai sekali seperti orang yang sedang berjalan
mencari angin di sore hari. Pakaian yang melekat di tubuhnya hanya kaus biru
lengan panjang, juga jeans pendek
selutut berwarna abu-abu. Di punggungnya terdapat ransel berukuran sedang yang
tampak tidak terlalu bervolume. Mungkin isinya hanya beberapa helai baju.
“Sama,”
kata si Gadis kemudian setelah lebih dulu menyingkirkan tudung yang menutup
kepalanya. “Aku Eva. Kau siapa?”
“Audin.”
“Bagaimana
kalau kita masuk sekarang? Aku lapar.. mereka seharusnya sudah menyiapkan makan
malam.”
Audin
mengangguk sembari mengelus perutnya.
***
“Zein,”
panggil seorang gadis bercelemek yang sedang berjongkok menghadap rak lemari es
yang terbuka.
Bukannya
menyahut, orang yang gadis itu panggil justru mulai menyanyikan lirik lagu yang
dia dengar menggunakan headset. Tidak
cukup sampai di situ, dia beranjak dari kursinya lalu mulai menari ala-ala
gadis Hawai.
Si
Gadis bercelemek menoleh ke belakang melihat tingkah gadis yang dia panggil
Zein tadi. Sesaat dia terbengong, selanjutnya paru-parunya mengembang, menghela
napas sebanyak-banyaknya.
“ZEIN
ADA TIKUS KEJEPIT DI JEBAKAN!!!”
Teriakan
tadi sontak membuat Zein terperanjat juga langsung mencopot headset yang menyumpal telinganya.
Sesuai perkiraan gadis iseng tadi, Zein panik mencari jebakan yang dimaksud ke
sana kemari. Idiotnya dia sampai merayap di dinding demi melongok keluar lewat
lubang ventilasi.
“Penyihir
sialan itu…,” gerutu Zein dengan mata melotot menyebut seorang wanita yang jadi
penghuni rumah di samping tempat tinggal mereka. “Benar-benar tidak menghargai
nilai hidup seekor makhluk!”
“Ya ya
ya.” Gadis di dekat kulkas menanggapi. “Kemari kau!”
“Aku
harus menyelamatkan tikus malang itu!” protes Zein. “Eh, tapi… kenapa rumah
penyihir itu gelap?”
“Karena
dia sedang pergi menjenguk ibunya. Kalau kau tidak ke sini juga, entah berapa
jam lagi makan malam akan siap.”
Zein
menoleh. Matanya menyipit. Beberapa saat mencerna, barulah dia paham kalau
gadis itu—Shin telah mengerjainya lagi. Mulut Zein komat-kamit mengumpat Shin.
Meski begitu dia menurut. Kakinya yang berada satu meter di atas lantai sesaat
kemudian beringsut.
“Kau
mau masak apa? Aku kepingin terong balado,” kata Zein tak tahu malu sambil
mengusap-usap perut.
“Bagaimana
ya…?” Shin menggumam. “Aku mau masak lobster.”
Zein
memekik tertahan. Cuek, Shin langsung menutup kulkas setelah mengambil lobster
beku dan plastik berisi dua terong ungu. Menaruh lobster beku tadi dalam baskom
lalu merendamnya di air, Shin mendengar bel rumah mereka dibunyikan.
“Buka
pintunya,” pinta Shin direspon anggukan Zein.
Gadis
yang sepertinya selalu punya kelebihan energi itupun berlari kecil untuk
membukakan pintu. Rambut ikal hitamnya diikat tinggi-tinggi di belakang kepala
sedang poni serta anak-anak rambut Zein berantakan. Dia memakai kaus santai
kuning tanpa lengan serta celana pendek. Ketika membuka pintu itu dan melihat
siapa yang datang, meskipun tidak kenal siapa mereka, Zein tersenyum lebar
memamerkan gigi.
“Selamat
sore! Mau bertemu siapa? Masuk-masuk!” sambut gadis itu bernada ceria.
“Ah,
anu..,” balas tamu yang berkaus biru. “Kami siswa pindahan…”
“Oh ya?
Wah! Kupikir kalian baru datang besok!” Zein tertawa. “Masuklah! Shin sedang
masak. Mau aku bikinkan teh?”
“Yes, please.” Kali ini gadis yang
berjaket jingga menyahut tanpa sungkan.
Mereka
bertiga lalu masuk ke dalam, tapi bukan berhenti di ruang tamu. Zein
mengarahkan mereka supaya duduk di ruang makan sekaligus dapur. Audin dan Eva
melihat seorang gadis lagi tengah memunggungi mereka ditemani suara gemericik
air. Barulah setelah dua penghuni pindahan tadi duduk, gadis bercelemek itupun
menoleh. Matanya mengerjap mendapati dua orang berwajah asing ada di sana.
“Mereka
anak pindahan,” kata Zein sebelum Shin bertanya.
“Hai!”
sapa Audin melambai rendah. “Aku Audin.”
“Aku
Eva,” sambung yang lain.
“Ah…
Mrs. Ruth memberitahuku akan ada tiga murid pindahan ke sini. Tapi kenapa baru
ada dua?” tanya Shin. “Di mana yang satu lagi?”
Audin
dan Eva saling berpandangan. Mereka kemudian menatap lagi Shin lalu mengangkat
bahu.
“Kami
bahkan tidak tahu ada satu lagi murid pindahan. Kami bahkan baru berkenalan di
depan gerbang tadi,” kata Audin.
Shin
mengangguk-angguk lalu melanjutkan kerjanya memasak makan malam.
Zein
menarik kursi lalu duduk menghadap Audin dan Eva. Dari sorot matanya, jelas
sekali kalau gadis itu sedang dalam suasana hati yang antusias.
“Sebelumnya
kalian pasti sudah tahu, anak-anak yang ditempatkan di sini bukan anak-anak
biasa,” jelas Zein. “Karena pengurus asrama ini mendirikannya dengan alasan
mendasar seperti itu, kalian tak perlu sungkan. Apa kalian bidadari? Penyihir?
Vampir? Atau… pengendali salah satu elemen?”
“Ah,
aku…”
“Tunggu
dulu!” Zein langsung memotong perkataan Audin. “Daripada langsung menjawabnya
seperti itu, lebih baik kalian menunjukkan lebih dulu apa yang kalian miliki.”
Sedetik
setelahnya, lilin di atas cawan yang diletakkan di atas meja tidak jauh dari
sana mendadak menyala. Zein memperhatikan api kecil di lilin itu dengan
perasaan takjub. Cahaya kecil yang indah, pikirnya.
“Siapa
yang menyalakannya?”
“Aku,”
jawab Eva.
“Wah!
Kau pengendali api! Luar biasa sekali!” Zein bertepuk tangan. Dia lalu menoleh
pada Audin. “Dan kau?”
“Aku…”
Jawaban
Audin mendadak terpotong saat Zein tiba-tiba terkesiap melihat seorang gadis
yang melayang di luar jendela.
“HANTU!!”
Dia memekik.
Baik
Audin, Eva, maupun Shin menoleh. Ketiganya sama-sama membelalak terkejut
melihat penampakan gadis bergaun terusan putih melayang sambil tangan kanannya
mengetuk-ngetuk kaca jendela, mengisyaratkan pada mereka untuk membuka jendela
itu. Zein menoleh pada Shin. Dengan kedipan mata—ditambah pelototan galak, Shin
memaksa Zein membukanya.
Akhirnya
masuklah gadis itu—gadis yang nampak seringan bulu dengan rambut ikal berwarna
cokelat terang dengan gaun terusan putih selutut. Kedua kakinya telanjang
menyentuh lantai. Bibirnya pun menyunggingkan senyum sapa pada masing-masing
orang di sana.
“Aku
Lana,” katanya memperkenalkan diri.
“Ah..
murid pindahan juga?” tanya Shin. Gadis itu pun menangguk.
“Lengkap
sudah ya,” ujar Eva sambil menekan-nekan layar ponsel.
“Kamar
mandi di mana ya?” tanya Lana.
Zein
menunjuk ke satu arah tempat kamar mandi berada dan gadis itu langsung enyah.
“Anti-mainstream sekali dia. Sepertinya,”
gumam Zein menggaruk-garuk belakang kepala. “Sepertinya dia bidadari. Melayang
seperti itu biarpun tanpa sayap.”
“Kau
belum memperkenalkan diri, omong-omong,” kata Eva menatap pada Zein.
“Aku
Zein,” tanggap gadis itu sembari tersenyum. “Dia Shin. Kami juga pengendali.
Tapi bukan elemen benda mati.”
“Kalian
bisa tahu dengan melihat ada kandang di belakang asrama. Juga kebun bunga dan
buah,” tambah Shin.
“Itu
bukan kandang!” Zein protes keras.
“Whatever.” Shin cuek. Selesai membumbui
lobster, dia lalu memasukkannya ke dalam oven.
“Jadi..”
Eva mengalihkan topik. “Ada berapa orang yang tinggal di sini?”
“Ditambah
kalian bertiga, totalnya ada sembilan orang,” jawab Zein. “Siap-siap saja
selama kalian tinggal di sini.” Dia tersenyum penuh arti.
Audin
dan Eva pun saling berpandangan, masing-masing dipenuhi perasaan aneh.
0 komentar:
Posting Komentar