Feeling for The Angel (Orientation)

Senin, 30 November 2015



Cewek itu pulang dalam keadaan penuh keringat. Dia sebenarnya masih memakai dogi yang lengkap, tapi berkat jaket hitamnya yang besar, celana putih yang dia pakai tampak biasa saja. Tidak banyak barang yang dia bawa. Hanya satu tas kecil, berbentuk seperti dompet untuk uang receh. Di dalamnya cuma ada sebuah botol minuman yang telah tandas, juga sehelai handuk.

Ketika keluar dari gedung olahraga tempat dia biasa latihan, cewek itu sempat terbengong mendapati suasana yang telah gelap. Dia lupa waktu. Benaknya sedikit penat akhir-akhir ini hingga dia terlalu asyik melampiaskan apa yang dia rasakan pada lawan mainnya, ditambah satu samsak tinju. Tapi, segelintir hatinya masih belum membaik. Dia tidak melihat orang yang harusnya ada di sana: cowok sialan itu.

Sesampainya di kamar kosnya setelah pindah dekat pusat kota untuk lanjut kuliah, dia melihat adiknya sedang menatap layar laptop—menonton film misteri sambil mengupas apel.

“Kak Yos, tumben lama banget olahraganya,” sambut Adam yang langsung menoleh ke belakang ketika pintu kamar mereka dibuka.

“Jangan tanya,” balas Yosi setengah menggumam—lebih tepat dikatakan menggerutu. “Krannya hidup kan?”

“Mm. Tapi kecil. Tenang aja, embernya udah kuisi.”

Yosi menguap.

Thank you,” ucap cewek itu lalu melemparkan tasnya sembarangan dan langsung mengunci diri ke dalam kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan diri, tidak peduli rambutnya yang pendek sebahu dan bergelombang masih basah, Yosi merebahkan badannya ke atas tempat tidur lalu seperti meringkuk memeluk bantalnya.

Apa… Suara-suara dalam hatinya berbisik mengucapkan kata tanya yang mengusiknya. Apa yang dia lakukan?

Pelukan Yosi mengerat. Gadis itu lalu memutuskan memejamkan matanya rapat-rapat sembari membatin. Dia harus mengenyahkan semua pikiran-pikiran yang mengganggu itu. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk terganggu. Sama sekali tidak ada. Sosok cowok itu tetap sama seperti dulu. Dia tidak berubah. Semoga seperti itu.

***

“Apa ini?” Yosi sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya ketika Rosy—teman yang dikenalnya sejak pertama kali masuk kuliah—memberikannya secarik kertas yang dilipat semacam surat undangan.

“Iuran untuk bazar,” jawab Rosy sambil nyengir.

Pertama kali melihat Rosy, jujur, Yosi mengira kalau dia anak salah satu dosen di kampusnya melihat tubuhnya begitu kurus dan mungil. Dia suka sekali mengenakan kemeja berwarna lembut yang berenda, lalu rambutnya yang bergelombang seperti Yosi diikat di belakang kepala. Berkat penampilannya itu, pertama kali melihat dia, orang lain akan berpikir kalau dia anak SMP—meski Yosi mengingat Adam tidak seimut itu sewaktu SMP dulu. Teman-teman mereka yang lainpun sering berceletuk mereka kakak beradik karena akhiran nama mereka yang sama ketika diucapkan.

“Iuran aja musti pake surat,” gumam Yosi sambil membuka lipatan surat itu.

“Yah.. buat ngehindarin gerutuan yang lain soal dana ini. Aku mau masukin kamu ke yang jaga stan. Gimana? Tenang aja. Giliran kok.”

“Asal nggak tabrakan sama latihan karate gue. Oh, dan Voli. Tenis juga.”

Rosy berdecap dan geleng-geleng.

“Kegiatanmu makin banyak aja,” komentarnya. “Kalau kamu segitunya suka olahraga, kenapa dulu nggak ngambil jurusan olahraga?”

Yosi tersenyum sekilas. Pertanyaan itu sering dia dapat dari teman-temannya SMA dulu. Mereka terkejut karena Yosi ternyata mengambil jurusan bisnis, bukannya olahraga atau lebih cocok ke akademi kepolisian. Sebab berkat beberapa kejadian yang dia alami tiga tahun yang lalu, membuat gadis itu suka sekali menghajar orang-orang jahat yang kerjanya menindas yang lemah. Alih-alih mendapat penghargaan, Yosi lebih sering mendapat teguran. Namun banyak orang-orang yang dia tolong selalu mengingatnya ke mana pun gadis itu pergi.

Listen, Sis.” Dia berkata. “Kuliah nggak ada gunanya kalau lo nggak bisa ngehasilin uang banyak nantinya. Gue nggak mau tabungan orangtua gue habis sebelum Adam jadi sarjana nanti. Lo sendiri tahu gue kerja sambilan buat bayar kuliah.”

“Ah…” Rosy mengangguk-angguk mengerti. “Apa kabarnya si Adam?”

Gadis itu rupanya lupa agenda selanjutnya untuk pergi rapat. Binar matanya bertambah kala mengingat wajah Adam sewaktu Yosi memperkenalkannya dulu pada Rosy. Cowok itu masih SMA, tapi badannya lumayan jangkung seperti kakaknya. Wajahnya juga selalu enak dilihat karena dia ramah dan baik sekali.

“Biasa aja,” jawab Yosi sekenanya.

“Heh… masa’ kakaknya nggak tau adiknya punya gebetan atau nggak?”

“Gue kakaknya, bukan pacarnya. Gue bakal dengerin kalau dia cerita, bukannya maksa dia cerita.”

Mendengarnya, seperti biasa Rosy mencibir gantinya menggerutu. Gadis itu menopang dagu dan menggumam pelan.

“Andai nanti aku punya pacar kayak Adam…”

Yosi mematung sekilas. Raut wajahnya sedikit berubah tanpa Rosy sadari. Mengulum bibir, gadis itupun bersikap seolah tidak mendengar apa-apa.

***

Hujan deras mendadak mengguyur tepat ketika Yosi akan keluar kampus. Air yang tumpah benar-benar tidak main-main. Ada di bawah langit terbuka satu detik saja, orang pasti akan basah kuyup sampai ke pakaian dalam juga. Karenanya mahasiswa lain terpaksa berdiam di dalam kampus biarpun mereka duduk di lantai.

Yosi melihat ke arah jam tangannya. Padahal setengah jam lagi waktunya dia mulai kerja sambilan. Gadis itu lalu memutuskan untuk ikut duduk di lantai, bersebelahan dengan seorang cowok yang sedang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop. Dia mengeluarkan ponselnya dari tas dan membuka line. Ada beberapa chat masuk di sana, namun pandangan Yosi terpaku pada salah satu chat yang sepi kurang lebih seminggu ini.

Rian alias cowok sialan yang membuatnya tidak tenang akhir-akhir ini.

Cowok itu memang tidak melakukan hal yang salah. Dia juga tidak lagi sengaja mengerjai Yosi seperti yang biasa dia lakukan—karena Yosi pikir itu hobinya. Sudah seminggu Rian tidak mengontaknya. Cowok itupun tidak lagi terlihat di gedung olahraga tempat mereka biasa berlatih. Tapi sebenarnya meskipun Yosi tidak mau akui, ada hal selain itu yang membuat benaknya makin runyam.

“Lo tau nggak kalau Rian mungkin punya pacar?”

Deni tiba-tiba mengangkat topik mengejutkan itu ketika dia dan Yosi saling sapa via facebook tiga hari yang lalu. Yosi membalasnya dengan enggan, menjawab kalau dia tidak tahu—ironi padahal mereka sering latihan bersama. Deni lalu bercerita soal temannya yang berada satu fakultas dengan Rian. Katanya, Rian sering terlihat bersama seorang cewek yang kurang lebih populer di sana. Mereka juga kadang datang ke kampus bebarengan karena cewek itu membonceng Rian.

Memangnya kenapa? Batin Yosi sebal. Dia kesal bukan berarti dia memiliki perasaan istimewa ke cowok sialan itu. Lebih kepada tingkah Rian yang seperti berlaku layaknya ada perang dingin antara mereka berdua. Ini bukan apa-apa—Yosi meyakinkan diri. Gadis itu bersumpah akan membuat tubuh Rian terbanting keras nantinya apabila mereka berlatih bersama nanti.

***

Yosi sampai di kafe es krim tempatnya bekerja sambilan, lewat lima menit dari jam yang ditentukan kapan dia mulai bekerja. Untung saja manajer merangkap kasir di sana maklum karena di luar barusan hujan deras. Lagipula kafe itu sedang sepi. Siapa pula yang mau makan es krim saat udara dingin?

Tidak ada pelanggan yang datang, Yosi lalu mengambil senampan peralatan makan es krim kemudian mengelapnya satu per satu sementara rekan kerjanya yang lain mengelap dinding kaca dan meja. Saat itulah, lonceng di pintu masuk kafe berbunyi kala seseorang masuk.

“Selamat datang!” sambut Yosi, bersamaan dengan waitress yang lain. Namun ketika melihat wajahnya, ekspresi Yosi berubah terkejut. Dia pun mematung dekat etalase es krim.

Tamu yang datang ketika di luar masih gerimis itu adalah seorang gadis yang memakai dress loli selutut berwarna merah muda emas. Rambutnya panjang kecoklatan serta sedikit bergelombang. Nada make up-nya manis sekali. Dengan wajah yang cantik itu, dia tersenyum pada Yosi.

“Minta satu banana split ditambah almond ya,” pesan gadis itu tanpa melihat ke arah daftar menu yang dipajang.

Gadis itu menunduk memperhatikan wadah-wadah es krim dalam etalase, tidak menyadari ekspresi tertegun yang ditampakkan Yosi.

Tiga tahun terlewat, namun Yosi tidak akan pernah lupa wajah orang-orang itu. Orang yang menabraknya hingga motornya hancur, orang yang pernah mengacungkan ujung tongkat kendo padanya, juga orang yang selalu tampak bersahabat pada Yosi dan tidak pernah main-main menganggapnya teman.

Menyadari pelayan kafe di hadapannya tidak juga bergerak, gadis tamu itu mengangkat kepalanya, mengerjap pada Yosi. Melihat air muka Yosi masih sama dengan tadi, gadis itu lalu tersenyum seolah mampu membaca pikirannya.

“Kita…” Gadis itu berkata. “Pernah bertemu sebelum ini kan?”


0 komentar: