Shin
duduk gelisah di kursi anyaman dalam kamar Eero. Pandangannya tidak lepas dari
laki-laki itu. Dia meninggalkan kristal perpindahan yang tergeletak tidak
berguna di lantai dan beralih memutar-mutar tombol salah satu radio miliknya.
Shin menyilangkan tangan, tidak habis pikir bagaimana anak dari keluarga
penyihir yang kaku dan kuno seperti Eero punya inisiatif brilian membuat
sambungan telepati via radio. Padahal dia dan Lana bisa saja berkomunikasi
lewat ponsel.
Saat
ini Shin hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Matanya tidak bisa lepas dari
sosok Eero yang duduk lesehan menyamping sehingga Shin bisa melihat sebagian
wajahnya. Ekspresi Eero tampak sangat serius sejak dimulainya penyelamatan
mereka malam itu, namun mendadak air mukanya berubah bingung.
“Kenapa?
Ada apa?” tanya Shin.
Eero
menoleh.
“Apa
Mr. Elios pernah memberitahumu apa pun tentang Eva?” tanyanya.
Shin
menggeleng. “Kenapa dia?”
“Kita
beruntung dia dimasukkan ke misi kali ini,” jawab Eero kemudian beralih kembali
pada radionya. “Api yang dia punya bisa menghabisi siapa pun. Termasuk iblis
yang mendatangkan masalah kita kali ini. Hanya saja.. selain Eva, mereka semua
harus keluar dari sarang itu sekarang kalau tidak ingin tubuh mereka jadi abu.”
***
Di tengah-tengah
asap yang mengepul setelah api memusnahkan hampir sebagian besar rambut di
sana, Eva melangkah tenang dan tersenyum. Sekali dia menyentuh rambut yang
berserakan, saat itu juga api merembet menghanguskan sarang. Yang lain tahu
tindakannya berbahaya, namun tidak bisa menghentikan Eva karena sekarang mereka
tidak punya pilihan selain mengandalkan kekuatannya. Manusia biasa macam dua
anak yang diculik tidak akan bertahan dalam asap yang terlalu tebal. Wajah
Audin dan yang lain bahkan penuh dengan bedak jelaga. Audin dan Zein kompak
menutupi wajah dua anak yang diculik itu menggunakan serbet basah.
“Eva,
berhenti. Ini sudah cukup,” kata Laz melihat begitu banyaknya rambut yang
menjadi abu.
“Belum.”
Eva menoleh dan tersenyum.
Laz
tertegun melihat kobaran api lewat manik matanya. Gadis itu tampak sangat
bersemangat tanpa peduli keadaan di sekitarnya.
“Misi
kita adalah penyelamatan. Sebaiknya kita langsung pergi setelah menemukan
mereka,” kata Laz lagi mengingatkan.
“Dan
membiarkan iblis sialan itu tidak mendapatkan apa-apa? Bagaimana kalau dia
menculik anak lagi nantinya? Lebih baik langsung kubunuh saja dia,” balas Eva.
“Tidak
kalau kami masih ada di sini.” Kali ini Audin bicara lalu terbatuk-batuk. “Kita
semua akan mati kalau api yang kamu buat tidak juga padam. Apimu juga menutup
jalan masuk!”
“Tidak
akan seru kalau aku memadamkannya begitu saja,” tanggap Eva tanpa rasa
bersalah. “Aku tetap akan menunggu iblis itu keluar. Berhenti mengoceh padaku.
Cari saja jalan keluar lain sendiri.”
Gadis
api itu langsung beranjak pergi membiarkan api yang berkobar di sekelilingnya.
“Eva
keras kepala…,” gumam Zein yang mulai batuk-batuk hebat.
“Mana
Agatha? Harusnya dia bisa menghentikannya,” kata Audin. Mendadak gadis itu
teringat sesuatu kemudian berseru. “Kristal perpindahan! Siapa yang bawa
kristalnya?!”
Cahaya
biru berkilauan muncul menyelimuti tubuh Agatha yang membawa kristal. Tubuhnya
perlahan memudar, mulai dari ujung kaki dan bergerak ke atas. Matanya dan Audin
bertemu.
“Jangan
bilang kalau…” Laz menggumam tidak percaya.
“Oh,
maaf,” kata Agatha dengan polosnya. “Aku pikir kalian punya masing-masing
satu.”
Zein
dan Audin bengong. Kalaupun mereka berlari sekuat tenaga ke Agatha sekarang,
tidak akan sempat. Agatha akan berpindah hanya dalam hitungan detik tanpa
membawa serta yang lain. Tingkahnya sekarang, tidak jauh berbeda dengan Eva.
“Jangan
lihat aku seperti itu,” kata Agatha lagi dengan ekspresi menyebalkan. “Salahkan
Eero. Kita ada banyak. Kenapa membuatnya cuma satu?”
Dan dia
menghilang.
***
Ketika
sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah tirai, Audin mengerang
sebentar sebelum akhirnya membuka mata. Begitu sadar, dia mendapati
langit-langit yang biasa dia lihat di DM. Gadis itu lalu menegakkan punggung
dan melihat Zein tidur tertelungkup di pahanya. Audin menoleh dan melihat Laz
dan Eero tertidur di atas tikar, sementara para gadis tidur di sofa. Tidak jauh
dari mereka, Lana pun masih tidur di atas kursi goyang. Badannya tertekuk
menjadi mirip bola.
Alis
Audin terangkat menyadari wajah mereka semua kotor kecuali Lana dan Eero.
Ah, tentu saja. Siapa
yang mau repot-repot membersihkan wajah mereka? Masih untung saat api berkobar
dalam sarang siluman semalam, Mr. Elios berusaha menyelamatkan mereka dibantu
Eero dan Shin. Sepertinya dalam keadaan tidak sadar juga, mereka dibawa kembali
ke asrama lalu ditaruh sembarangan di ruang tengah seperti ini.
Omong-omong
di mana Agatha dan Eva? Dua orang itu juga jadi sumber masalah baru mereka
semalam.
Zein
mengerang.
“Duh,
punggungku…,” keluhnya lalu bangun. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya masih
bau asap. “Oh, Audin.. pagi.”
“Pagi,”
balas Audin.
Sama dengan
Audin tadi, Zein pun memandang sekitar dan dia tidak terkejut.
“Aku
mau mandi.” Audin beranjak pergi. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan Zein.
Dalam hati dia berniat akan mengomeli Eva dan Agatha nanti.
***
Sarapan
pagi ini hening. Shin hanya memasak seadanya seperti telur mata sapi, sosis,
roti panggang dan susu hangat, sementara untuk Zein, dia hanya mencampurkan
selada, tomat dan zaitun. Eva, Agatha dan Snare telah bergabung. Khusus untuk
Eva dan Agatha, mereka memasang tampang tanpa rasa bersalah.
“Bagaimana
Gael dan temannya semalam?” tanya Audin mencairkan suasana tanpa menghilangkan
tatapan tajamnya pada Eva dan Agatha.
“Mereka
sudah kembali ke rumah masing-masing. Mr. Elios juga sudah menghilangkan
ingatan keduanya,” jawab Shin.
“Kalian
tidak ingin berkata sesuatu?” Kali ini melemparkan pertanyaan pada Agatha dan
Eva.
“Iblis
itu kabur sebelum aku sempat menghabisinya,” balas Eva lalu memasukkan sepotong
sosis ke mulut.
Audin
membalasnya sembari tersenyum sinis tidak habis pikir. Dia lalu beralih pada
Agatha.
“Kau—..
apa kau tahu apa yang kau lakukan semalam?”
Mendadak
Zein memegang pergelangan tangan Audin. Saat mereka berdua saling bersitatap,
Zein memberi isyarat supaya Audin diam. Audin yang masih tidak paham, tidak
menggubris saran itu.
Agatha
selesai menenggak habis segelas susu, barulah dia meladeni pandangan menuntut
dari Audin.
“Annoying,” katanya kemudian membuat mata
Audin melebar. Gadis itu menoleh pada Zein. “Siapa si Cebol ini? Wajahnya membuatku
ingin muntah saja.”
“Ap—..!”
Sekali
lagi, Zein menahan Audin supaya tidak meledak. Sebenarnya bukan cuma Audin yang
kaget. Eva dan Lana pun demikian. Lainnya berwajah keruh.
“Dan
juga Shin.” Agatha kembali berceletuk seenaknya. “Kau bisa pindahkan vas bunga
air di kamarku. Airnya menjijikkan. Aku tidak tahu kenapa orang-orang suka
teratai. Bukannya mereka sering tumbuh di selokan?”
“Hei.”
Lana angkat bicara. Alisnya bertaut pertanda tidak senang. “Aku tidak tahu apa
masalahmu, bisa jaga sedikit kata-katamu? Yang tadi itu keterlaluan.”
“Anak
baru semuanya sama ya? Musti diingatkan berulang kali bagaimana cara menjilat
yang benar.” Agatha meraih gelas air milik Eva di sebelahnya. Tanpa berpikir
panjang, dia langsung menyiramkan air itu ke wajah Lana. Semuanya sontak
terpaku.
“Dia
benar-benar…” Audin nyaris melakukan hal yang sama pada Agatha namun Zein juga
dengan cepat menahannya. Shin pun bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
Snare
bangkit berdiri melemparkan serbetnya ke atas piring. Dia menghampiri Agatha
untuk menarik gadis itu untuk pergi, tapi Agatha menyentaknya.
“Aku
memang sudah mau pergi,” hardik Agatha tidak membiarkan Snare menarik
lengannya. Sebelum berlalu, Agatha menoleh lagi ke arah Audin. “Sekarang aku
tahu kenapa dia ada di sini. Untuk membantu Shin jadi tukang kebun rupanya.”
Seperginya
Agatha dan Snare, atmosfer ruang makan menjadi sedikit lega. Hanya saja mereka
tidak bisa menghilangkan kekesalan meski bukan target racauan Agatha kali ini.
Shin dan Zein buru-buru mengeringkan rambut dan wajah Lana yang basah. Di tengah
kebingungan Audin yang gagal paham mengartikan tingkah Agatha, Eva mendadak
tertawa.
“Dia
menyebalkan sekali,” katanya. “Benar-benar
menyebalkan.”
***
Shin
memandangi kumpulan bunga dalam keranjang di latar sebuah toko bunga. Meski tidak
lagi berakar karena telah dipotong, Shin bisa membuatnya menunda layu. Gadis itu
biasa melakukannya sepulang sekolah. Hanya saja kali ini dia melakukannya untuk
mengusir penat. Keadaan dalam asrama membuatnya pusing. Bahkan Zein sama sekali
tidak membantu. Audin dan Lana yang sedang kesal juga tidak bisa diandalkan.
“Shin?”
Gadis itu
menelengkan kepala ke arah sumber suara yang memanggilnya. Dia tersenyum
melihat pria tampan itu. Beberapa saat kemudian mereka berjalan beriringan
sambil mengobrol.
“Begitu
ya…,” ujar Mr. Elios setelah mendengar cerita Shin.
“Kata
Zein, Laz tidak sengaja menghantamnya. Well..
dia menyesal sekali sampai minta maaf padaku, Lana, dan Audin.”
Mr.
Elios menoleh, mendapati Shin menunduk murung. Tangannya kemudian terangkat
menyentuh ujung kepala Shin lalu mendekatkannya ke dada. Tak ayal, wajah Shin
memerah karena terkejut. Meski begitu dia tidak berniat melepaskan diri.
“Bersabarlah
sebentar lagi. Tapi jangan coba membentur kepalanya hanya supaya dia kembali
seperti semula,” kata Mr. Elios.
Shin
tersenyum geli.
Untunglah
hari ini sekolah libur sehingga Shin tidak mengenakan baju seragam. Tidak ada
yang tahu kalau mereka adalah guru dan murid.
“Oh ya,
ini soal Gael,” kata Mr. Elios kemudian begitu mengingat sesuatu. “Eva harus
meminta maaf padanya. Hanya itu hukuman yang bisa kupikirkan saat ini.”
***
Zein
pergi ke kamar mandi dan membiarkan pintu kamarnya terbuka ketika Agatha
kembali ke asrama. Agatha melewati kamar Zein, dan dari sudut matanya, dia bisa
melihat akuarium bola berisi dua ikan mas di atas meja belajar Zein. Agatha
bergeming memperhatikan sepasang ikan itu. Ketika kemudian salah satu ikan
bergerak cepat hingga membuat kotoran di dasar akuarium beterbangan di air,
kening Agatha berkerut.
Sedetik
kemudian akuarium itu pecah dan melemparkan dua ikan tadi ke lantai bersama
dengan pecahan kaca akuarium yang tajam.
3 komentar:
Hm ... another soul of agatha ...
Hihi
Pen nabok rasanya ...
Eh eh atha ... emang gak boleh ya guru sama murid pacaran ...
*o*
@Shin bukannya gak boleh :v tabu aja. wkwkwk
Posting Komentar