Welcome to Disaster Maker Club (10)

Selasa, 24 Mei 2016



Bunyi berisik datang dari belakang asrama, tepatnya di dekat kebun bunga Shin dan kandang milik Zein. Untunglah bunyi berisik itu tidak akan sampai ke dalam asrama sehingga Laz tidak perlu khawatir apa yang dia lakukan akan mengganggu teman-temannya yang lain. Laki-laki itu sedang mengasah sebilah belati. Logam yang membentuk belati itu bersih mengkilap, hanya saja pegangannya sedikit kotor. Laz mengangkat belati itu ke udara, mengarahkan cahaya bulan supaya menyinarinya. Lagi-lagi dia tersenyum mendapati ukiran di sana.

“Apa yang kau lakukan?”

“HUAA!!!” Laz memekik kaget. Sesosok tubuh mendadak berkelebat tepat di depannya sampai-sampai cahaya bulan terhalang.

Di situlah Snare; bergelantungan dengan posisi kepala di bawah. Kedua kakinya menahan tubuhnya supaya tidak jatuh. Rambut keemasan yang dia miliki mencolok sekali, memantulkan sinar bulan.

Snare tersenyum.

“Kau tahu, aku penasaran mengenai apa yang selalu mereka katakan tentangmu,” katanya. “Misterius? Poker face? Ekspresimu terlihat jelas sekarang.”

“Jadi kau belajar meniru Eero?” gumam Laz setelah berusaha mati-matian melenyapkan warna merah padam di wajahnya.

“Supaya kau tahu saja. Aku tidak berniat mengagetkanmu. Aku enggan turun makanya muncul di depanmu seperti ini.”

Laz terduduk dan diam. Dia kembali mengusap-usap belatinya. Memastikan benda itu sudah sepenuhnya bersih, Laz lalu memasukkannya ke dalam sarung kulit yang dibuat khusus.

“Mereka tidak saling bicara,” ujar Laz tanpa melihat Snare.

Snare tahu apa yang laki-laki itu maksud namun tidak langsung berkomentar.

“Bahkan Shin yang biasa jadi penengah pun diam.”

Snare tersenyum. Vampir itu akhirnya turun dari dahan pohon. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Langkahnya menghampiri Laz lalu duduk persis di sebelahnya sambil menopang dagu.

“Shin diam karena tidak akan ada gunanya meski dia melakukan berbagai cara. Ini bukan pertama kalinya kau bertemu dengan si Pencipta masalah itu kan? Waktu itupun Shin memilih membiarkannya saja meski Agatha membakar habis pohon persik yang sudah susah payah dia rawat,” papar Snare. “Mr. Elios pun takkan melakukan apa pun.”

What a troublesome princess..,” gumam Laz memandang bangunan asrama di depan mereka. “Dia akan menghancurkan apa pun di sekelilingnya.”

***
Agatha selesai menaiki anak tangga ketika tanpa diduga dia berpapasan dengan Zein. Mata mereka bertemu dan langkah keduanya terhenti. Kelopak mata Zein berkedut seperti sedang mencoba mengatakan sesuatu, biar begitu tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Pandangan Agatha tidaklah ramah. Keinginan Zein terlalu muluk apabila dia berharap Agatha menyapanya, biarpun ketus seperti biasa, misalnya mengingatkan gadis itu untuk makan malam.

Agatha bergerak maju, berniat mengabaikan Zein. Tapi sebelum gadis itu melewatinya, Zein akhirnya bersuara.

“Kejadian kemarin…”

Langkah Agatha berhenti.

“Tolong jangan lakukan itu lagi.”

Zein mengepalkan tangannya erat-erat. Gigi atasnya menekan bibir bawah kuat-kuat seperti sedang berusaha menahan emosi yang bergolak dalam hati. Matanya bahkan sedikit memerah, dan jelas dia mati-matian menghindari pandangan Agatha yang menganggapnya hama.

“Kenapa?” tanya Agatha membuat Zein tertegun. “Apa mereka ada bedanya dengan fish and chips yang kumakan hari ini?”

Sedetik, Zein merasa ada jarum yang sengaja diselipkan di rongga dadanya. Tidak tahan lagi, kali ini gadis itu menatap Agatha lurus-lurus tanpa lagi menyembunyikan amarah. Perlahan bayangan serigala hitam muncul di samping Zein.

“Kau mengancamku?” Dahi Agatha berkerut tak suka.

Saat mendadak serigala hitam itu hendak menyerangnya, bongkahan es yang panjang dan panjang tiba-tiba muncul dari belakang Zein. Zein refleks menoleh saat tongkat es itu mengarah cepat untuk mengenai wajahnya. Bersamaan ketika Zein lengah, serigala hitam tadi lenyap. Tongkat es menghantam Zein hingga gadis itu terpental dan langsung membentur dinding.

Bunyi keras yang terdengar langsung menarik perhatian dua orang yang juga ada di lantai dua.

“Zein? Zein!” Lana yang terkejut langsung menghampiri Zein yang meringis kesakitan. Pandangannya langsung mengarah pada Agatha yang masih bergeming pada tempatnya. “Kau lagi?”

Eva hadir tidak lama kemudian, mendapati genangan air di lantai sekeliling mereka yang berasal dari es yang meleleh.

“Hei.” Eva bicara pada Agatha. “Bukankah dilarang memakai kekuatan sebagai senjata pada teman sendiri?”

“Teman?” balas Agatha tersenyum samar. “You will see other’s true colors when you are no longer beneficial to their life.”

Eva hendak mendebat gadis itu, namun Agatha tidak memberinya kesempatan dengan berbalik pergi. Tiga langkah dia bergerak, tiba-tiba saja jendela yang berada di ujung lorong terbuka. Angin yang masuk sangat kencang hingga mereka harus menjadikan tangan sebagai tameng. Agatha terbelalak saat melihat Snare muncul tepat di tengah-tengah lubang jendela. Matanya berkilat merah.

Berdecap, Agatha berbalik. Sontak dia berlari. Eva dan Lana pun tercengang melihat gadis itu mencoba kabur.

Snare tidak membiarkannya. Dengan kekuatan yang dia punya, hawa di sekeliling mereka memaksa Agatha supaya terseret mundur ke arah Snare berada. Mencoba melepaskan diri, sisa-sisa air yang menggenang di lantai, digunakan Agatha untuk menyerang Snare. Air itu membentu serpihan-serpihan tajam dan langsung mengarah pada Snare. Beberapa bahkan melukai vampir itu di bagian wajah dan bahu.

Snare tidak peduli pada perlawanan Agatha. Mata merahnya tetap menyorot tanpa memberi tanda-tanda akan berhenti meski Eva, Lana dan Zein mulai merasakan pernapasan mereka terganggu.

“Aku tidak akan membiarkan kau memakai tubuh itu lebih lama lagi,” kata Snare lalu menambah kekuatan hawa penariknya.

Agatha memekik. Kakinya tidak lagi kuat menahan tubuhnya sendiri. Dia pun terlempar keluar jendela di mana Snare menunggunya. Tarikan itu berhasil, namun Snare tidak menduga kalau gadis itu menyimpan segenggam air di tangannya. Mereka bertubrukan. Bola air itu berubah menjadi pisau dan menikam bahu Snare. Mereka langsung terjun ke bawah dari lantai dua.

***
Shin berlari menyusuri trotoar meski udara di luar sangat dingin dan lembab. Napas yang keluar dari hidung dan mulutnya bahkan menciptakan uap. Dia berlari lima belas menit lamanya sebelum akhirnya sampai di depan pintu sebuah rumah mungil yang dikelilingi pagar tanaman yang penuh kerlap-kerlip cahaya. Cahaya-cahaya itu tidak bisa dilihat manusia biasa.

Berjongkok sebentar untuk menstabilkan napasnya, Shin lalu memencet bel pintu berulang-ulang. Biarpun berlalu dua detik tidak ada jawaban, Shin langsung memencet bel lagi dengan menggebu-gebu. Bunyi berisik itu langsung membawa Elios ke lantai bawah untuk melihat siapa yang datang.

“Shin?” Laki-laki itu mengerutkan kening begitu mengenali orang yang meneror rumahnya malam-malam begini.

“Guru, tolong! Zein terbentur dan memar, Agatha dan Snare jatuh dari lantai dua, Agatha menusuk bahu Snare!”

***
“Aduduh… aduh!” Zein meringis kesakitan saat Lana mengusapkan kain yang basah dengan air dingin di pelipis dan bahunya.

Tidak jauh dari mereka, Eero berulang kali mengganti perban Snare karena darah yang merembes tidak juga kunjung berhenti. Semua penghuni DM kecuali Shin berkumpul di ruang tengah begitu mendengar keributan yang semestinya tidak terjadi. Mereka juga beberapa kali melirik pada Agatha yang berbaring tidak sadar di atas sofa, sementara Snare menjadikan kedua pahanya sebagai bantalan gadis itu.

“Ini bukan salahnya,” kata Zein kemudian, membuat semua perhatian beralih pada gadis itu. “Akulah yang sudah membuatnya marah hingga jadi seperti ini. Agatha cuma membela diri saat aku.. tanpa sadar akan menyerangnya.”

“Aku akan melakukan hal yang sama jika menjadi kau,” balas Eva yang sejak tadi merasa terganggu. “Baru kali ini aku kenal orang yang menjengkelkan seperti dia.”

Lana, Laz, dan Eero mendadak memandang Eva bermakna memojokkan. Eva pun berdehem.

“Oke, aku pun menjengkelkan. Kadang,” akunya. Tiga orang tadi langsung mengangguk-angguk setuju. “Hanya saja tidak menjengkelkan seperti dia.”

“Tidak. Ini memang salahku,” kata Zein lagi. Sebelum yang lain memrotesnya kembali, Zein buru-buru memperjelas semuanya. “Aku tahu tidak ada gunanya meladeni Atha, apalagi dia seperti itu..”

Hening. Semua yang ada di sana, kecuali tiga orang yang punya label sebagai anak baru jelas tidak puas dengan teka-teki di sekeliling mereka.

“Ada yang merasa keberatan memberi penjelasan soal ini pada kami yang murid pindahan?” tanya Audin yang beberapa hari ini lebih senang membisu. “Awalnya, aku memang agak terganggu dengan sikap Agatha yang keras. Tapi, aku tidak berpikir dia akan melakukan sampai sejauh ini.”

Mereka, kecuali Lana dan Eva saling berpandangan.

“Rasa bersalah.”

Kata-kata yang berasal dari seseorang yang baru datang langsung mengalihkan perhatian mereka. Mr. Elios hadir, bersama dengan Shin yang mengikutinya dari belakang,

“Dia tidak memilikinya,” kata Mr. Elios lagi lalu mendekat dan melihat Agatha dari dekat. “Dia bisa jadi sangat jahat sewaktu-waktu. Tapi bukan itu saja masalahnya. Dia bahkan bisa berbalik melukai diri. Seperti kali ini—menjadikan orang yang mulanya teman, menjadi musuh yang bisa menyerangnya kapan saja.”

Zein menunduk.

“Aku pikir kamu tidak melupakannya, Zein.”

“Maafkan saya..,” ucap Zein menyesal.

“Memang tidak bijak membiarkan dia seenaknya. Tapi sangat terlarang memancing emosinya lebih jauh,” kata Mr. Elios lalu menghela napas panjang. Laki-laki itu berjongkok sekilas untuk mengusap wajah Agatha yang sedikit kotor akibat terjatuh tadi.

“Ini semacam personality disorder atau apa?” celetuk Eva.

Mr. Elios tersenyum.

“Kau cerdas,” pujinya. Lana dan Audin tertegun. Mr. Elios lalu beralih memandang Snare. “Apa yang kau coba lakukan tadi?”

“Memberinya pelajaran,” jawab Snare pendek.

Shin tersenyum masam. Snare yang biasanya menurut pada Agatha pun bahkan sampai berani memakai kekerasan pada gadis itu.

“Kejadian kali ini, jangan sampai terulang lagi,” pesan Mr. Elios. “Kalian harus akur satu sama lain. Kalian harus paham kalau kalian bukan remaja biasa. Pertengkaran kecil saja akan ada beberapa yang jadi korban. Asrama ini khusus diciptakan untuk mewujudkan harmoni itu.”

Atmosfer mereka hening dan kaku.

“Kalian akan berangkat sekolah seperti biasa besok. Masalah kali ini, tidak boleh dibawa ke sekolah, apalagi sampai terdengar guru yang lain. Mengerti?”

“Ya, guru,” sahut yang lain pelan namun kompak.

Ketika Mr. Elios berbalik hendak pergi diikuti Shin, pertanyaan Eva menghentikan langkahnya.

“Jadi ada berapa?”

Mr. Elios dan Shin bersamaan menoleh.

Mereka ada berapa?” Eva memperjelas tanyanya.

Shin menggantikan Mr. Elios untuk menjawab pertanyaan itu; hanya dengan satu kata. “Tiga.”

***
Tubuh itu sebenarnya sudah terbangun beberapa saat yang lalu. Dia memahami kekakuan di sekelilingnya sekarang dan tidak berniat membuka mata supaya terhindar dari tatapan aneh orang-orang di dekatnya kini.

“Kalian akan berangkat sekolah seperti biasa besok. Masalah kali ini, tidak boleh dibawa ke sekolah, apalagi sampai terdengar guru yang lain. Mengerti?”

Dia bisa mendengar dengan jelas suara guru pria yang amat dikenalnya. Suara yang indah. Wajah tampan itu akan sulit terlupakan.

“Jadi ada berapa?”

Pertanyaan itu keluar dari seorang gadis yang suaranya terdengar asing.

Mereka ada berapa?” Gadis itu mengulang lagi pertanyaannya sekaligus memperjelas maksudnya.

Bukan Mr. Elios yang kemudian menjawab pertanyaan itu, melainkan seorang gadis yang dia kenal selalu diselimuti aroma harum bunga.

“Tiga.”

Dan satu jawaban itu, membuat si Gadis air menyeringai dalam hati.

***
“Kau tidak perlu mengantarku. Udaranya sangat membekukan di luar,” kata Mr. Elios setelah Shin menutup pintu ketika mereka ada di luar.

“Saya temani sampai di ujung jalan,” balas Shin pura-pura tidak mendengar.

Sesaat, suasana berubah canggung ketika mereka berjalan bersisian. Mr. Elios tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Shin kemudian tersenyum masam.

“Maafkan, saya lengah,” ucap Shin. “Guru sudah minta saya supaya mengawasinya..”

Mr. Elios diam. Ketika dilihatnya pipi Shin merona karena kedinginan, pria itu mendadak meraih tangannya dan memasukkannya ke saku jaket.

“Gu-guru..” Shin kaget dan gugup.

“Sudah kubilang udaranya dingin,” kata Mr. Elios datar. “Dan juga.. aku lega kau tidak terluka.”


0 komentar: