Di
tengah taman kota, tepat di bawah menara jam Shin menunggu. Meski batinnya
diselimuti ketidakpastian, hatinya mendebat meyakini kalau laki-laki itu pasti
akan datang. Namun, perasaannya yang berkoar mengenai keyakinan itu perlahan
mulai goyah. Orang yang menunggu akan mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi
Shin justru berdiri diam dan menunduk. Gadis itu cemas menanti orang yang tidak
kunjung datang, di sisi lain dia ketakutan.
Ketika
langit di atasnya mulai gelap berkat awan abu-abu, Shin tetap tidak beranjak.
Pun sampai akhirnya tetes-tetes air hujan turun, gadis itu mematung.
Shin
melihat kembali pada jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan hampir satu jam
berlalu sejak dia menghampiri menara jam sore ini.
Mr.
Elios tidak akan pernah terlambat. Mr. Elios hanya akan datang lebih awal, atau
tidak memenuhi janjinya. Kali ini yang terjadi adalah kemungkinan kedua.
Shin
terduduk. Tidak peduli tirai hujan semakin tebal membuat sekujur tubuhnya basah
kuyup, gadis itu menangis tanpa suara.
***
“Dia
sedang di dalam kamar. Teman-teman tidak melihatnya keluar sedari tadi,” ujar
seorang gadis yang sedang membawa payung sambil menempelkan ponsel ke telinga
kirinya. “Tidak apa-apa. Guru tidak usah cemas.”
Rambut
hitam gadis itu meliuk diterpa angin. Langkahnya terhenti sehabis melewati
sebuah pohon rindang tidak jauh dari menara jam taman. Kepalanya meneleng ke
samping, menemukan sosok orang yang dia cari. Dia—Shin terlihat meringkuk
membenamkan wajahnya sementara ponsel hijaunya terendam genangan air.
“Tadi
saya memberitahunya kalau guru tidak akan datang karena ada urusan, tapi hanya
di depan pintu karena Shin tidak mau membukanya. Mungkin dia kecewa. Tapi saya
yakin dia baik-baik saja.”
Bohong.
Agatha tidak pernah melakukannya. Itulah sebabnya Shin ada di sana sekarang,
dan gadis itu menangis.
Diam
beberapa detik, Agatha berkata lagi pada orang yang tengah tersambung dengannya
di telepon.
“Boleh
saya bertanya?”
Mr.
Elios yang sedang berada di ruang kerjanya membalas, “Ya?”
“Mengapa
bukan guru sendiri yang memberi tahu Shin?”
Terdengar
suara helaan napas panjang dari Mr. Elios.
“Dia
sendiri yang tidak mau mengangkat panggilanku,” jawabnya. “Benar dugaanku.. dia
pasti kecewa aku memarahinya kemarin. Apalagi menyuruhnya kembali ke asrama
saat itu juga.”
Agatha
diam. Gadis itu menambahkan lagi alasan mengapa Shin bersikap dingin dalam
hati, hal yang tidak akan pernah Mr. Elios tahu.
“Di
saat seperti ini… aku hanya bisa bersyukur dia tidak sendirian,” ujar Mr. Elios
penuh arti. “Dia selalu bersikap dewasa dan kuat, padahal akan lebih baik kalau
dia jadi dirinya sendiri.”
“Kita
mengharapkan hal yang sama,” balas Agatha sembali tersenyum. Dia mendengar Mr.
Elios tertawa kecil sekilas. “Kalau itu saya.. kalau saja bukan Shin, tapi
saya…”
Di
seberang sana, Mr. Elios tertegun.
“Tidak
peduli sesakit apa yang saya dapat.. Saya tidak akan pernah balas menyakiti
guru.. Tidak akan pernah.”
***
Bunyi
bulir air menetes membangunkan Laz. Sekujur badannya kaku dan juga panas.
Begitu kesadarannya kembali, semua inderanya mulai mampu mengenali kondisi di
sekitarnya. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit berwarna
jingga yang penuh dengan ukiran bermotif tidak beraturan. Tempat itu bukan
kamarnya.
Terperanjat,
Laz menegakkan punggung. Was-was, pandangannya mengedar ke sekeliling. Dia
berada di ruang tertutup di mana tidak ada orang selain dirinya di sana. Laz
mengerutkan kening, berusaha mengingat alasan mengapa dia ada di tempat itu.
Benaknya memutar kembali ingatan saat dia berada di kamarnya sendiri. Laz
tersiksa dengan suara-suara yang hanya mampu dia dengar. Saking tersiksanya,
tubuhnya otomatis bereaksi sebagai pertahanan diri. Namun justru karena itulah,
rasa sakit yang dia alami makin menjadi-jadi.
“Come with me..”
Laz
teringat dengan suara lain yang terkesan menyingkirkan suara-suara yang
mengganggunya. Bisikan yang samar. Laz kurang bisa mengenali orang itu karena
seingatnya, pandangannya sedang buram. Tapi yang jelas, iris mata orang itu
berwarna merah menyala.
Snare?
Agatha
pernah bilang pada Laz kalau iris mata Snare akan berubah merah ketika
mendapatkan mangsa. Karenanya gadis itu menekankan padanya kalau Laz harus
menjauh saat itu terjadi.
Apa
Snare yang membawanya ke sana?
Laz
beranjak dari ranjangnya lantas dia berjalan menghampiri cermin di ruangan itu.
Dia memeriksa beberapa bagian tubuhnya yang bisa dia lihat, memastikan ada dan
tidaknya bekas gigitan. Nihil. Tidak ada tanda-tanda Snare “menyentuhnya”.
“Apa
yang dia lakukan di sini?”
Telinga
Laz menangkap tuturan bernada sengit dari seorang gadis. Dia mencari-cari asal
suara itu kemudian melihat dua orang gadis di halaman melalui jendela kamar. Dua
orang gadis itu sepertinya sedang kompak bergunjing mengenai seseorang yang
tengah berdiri membelakangi mereka dekat kolam ikan.
“Aku
pikir dia diusir lalu dimasukkan ke asrama untuk aneh seperti dia.”
“Mungkin
dia mengemis supaya dibolehkan tinggal di sini lagi.”
“Dasar
monster penjilat.”
Dahi
Laz mengernyit. Meskipun bukan dia yang jadi sasaran gunjingan itu, telinganya
panas hanya dengan mendengarnya saja.
Saat dua
gadis itu pergi, pandangan Laz beralih pada seseorang yang berdiri dekat kolam.
Angin berhembus menerpa rambut merahnya. Gadis itu perlahan bergerak menghadap
ke samping hingga Laz bisa mengenali wajahnya.
Eva.
Diakah
orang yang membawa Laz ke tempat ini? Sekarang setelah dipikir-pikir, tubuh Laz
terasa lebih ringan, dan benaknya menjadi lebih segar dibandingkan kemarin. Apa
mungkin Eva sengaja membawa Laz pergi untuk membantunya? Kenapa?
Eva
terlihat menghela napas panjang sambil tangannya menyilang. Ketika tidak
sengaja wajahnya mendongak ke atas, pandangannya dan Laz bertemu. Gadis itu
tersenyum lalu melambai. Dia lantas berlari masuk ke dalam bangunan. Beberapa saat
kemudian, Eva bergabung bersama Laz di ruangan yang sama.
“Lumayan,”
kata gadis kelebihan energi itu sambil memperhatikan Laz dari ujung kepala
sampai kaki. “Sudah kuduga kalau Pipin pasti akan cocok dengan hal semacam ini.”
“Siapa
Pipin?” tanya Laz.
“Asisten
tabib paling hebat di sini,” jawab Eva. Dia melirik pada cawan lilin di atas
meja. Sedetik kemudian, api kecil muncul di ujungnya. “Daripada menyangkut
urusan obat-obatan herbal, dia justru lebih cocok disebut paranormal.”
Laz
mengalihkan pandangannya ketika Eva menyebutkan kata paranormal. Laki-laki itu
berpura-pura meraba lengan dan tubuh depannya, meski dia tidak menyangkal kalau
penasaran dengan luka-luka akibat logam tajam yang mencuat dari dalam dirinya.
“Waktu
aku tanya pada Pipin apa penyebabnya, dia bilang kalau aku hanya bisa tahu
darimu,” ujar Eva. Melihat Laz bungkam, gadis itupun menghela napas panjang. “Tenang
saja, aku tidak begitu penasaran. Terserah kau mau memberi tahu atau tidak.”
“Kenapa
kau membantuku?” tanya Laz akhirnya. Saat itulah mereka bersitatap lagi.
Eva
tertawa. Satu kakinya terangkat, lalu memijak di atas ranjang. Kedua tangannya
bertumpuk di atas lutut untuk menopang dagu. Sepasang matanya berubah merah
terang dari awalnya yang cokelat.
“Entahlah,”
gumamnya tersenyum. “Untuk membayar hutang karena telah menolongmu, tidakkah
kita seharusnya jadi kawan?”
***
Saat
semua penghuni asrama tertidur, Audin masih menyibukkan diri dengan sebuah buku
usang di meja belajarnya. Audin telah sampai pada setengah isi buku tersebut. Matanya
menyusuri deret demi deret tulisan tangan seseorang di sana. Huruf di sana bukanlah
alphabet yang biasa dia temukan di sini, melainkan karakter-karakter kuno yang
jarang ditemukan—bahkan di tempat tinggalnya.
Mulut
Audin bergerak, membisikkan kata demi kata yang mampu dia mengerti. Hanya saja
ketika jari telunjuknya hendak membalik halaman selanjutnya, mendadak sehelai
kertas buku yang dia pegang itu langsung terbakar. Audin terkejut. Matanya melebar
dan dia sontak mundur. Mendadak kabut kehitaman muncul di sampingnya. Kabut itu
terus bergerak bagai asap yang mengandung jelaga membentuk sosok seseorang.
“Seperti
biasa.. kau mengesalkan sekali…,” kata sosok bayangan yang tersenyum tidak jauh
dari Audin. “Kau pikir sebodoh apa aku sampai melonggarkan barang milikku
sendiri dari pencuri?”
Audin
menatapnya tajam sekaligus was-was.
“Kenapa
hanya satu halaman kau memberinya mantera?” tanyanya.
“Aku
hanya membiarkanmu sedikit bersenang-senang,” balas sang Bidadari kematian. “Bukankah
sangat menggairahkan kalau orang yang sedang penasaran berusaha menemukan
sesuatu… misalnya.. menemukan alat untuk melenyapkan seseorang?”
Audin
diam. Kedua rahangnya menekan kuat, menekan kebencian yang menjadi penopangnya.
“Anggap
saja tadi itu sebagai sebuah pertolongan..,” kata Demetrin. “Akan sangat
menyedihkan melihatmu putus asa dengan begitu mudahnya.”
“Enyahlah!”
hardik Audin tidak tahan berlama-lama melihat bayangan Demetrin dalam kamarnya.
“Untuk
salam perpisahan kali ini, biarkan aku memberimu satu peringatan penting.”
Demetrin tersenyum kala kabut yang membentuk bayangannya perlahan mulai sirna. “Salah
satu penghuni asrama ini sedang mengundang kematian datang…”
Tawa
Demetrin menggema. Setelah sosoknya menghilang, Audin langsung terduduk lemas. Benaknya
mulai kalut. Apakah gara-gara dirinya, seseorang dalam asrama ini jadi sasaran
Demetrin? Kalau iya, dia tidak boleh tinggal diam. Sudah cukup orang-orang di
sekelilingnya terluka akibat kecerobohannya. Terlebih karena Demetrin.
Audin
pusing. Dia melirik lagi buku usang yang tadi dia baca. Api yang tadi membakar
salah satu halamannya tidak sampai membakar seluruh isi buku itu. Sekarang buku
itu tergeletak di lantai dengan aroma hangus di sekelilingnya.
Pencuri
katanya? Audin benci mengakuinya, namun Demetrin benar. Dia telah mencuri buku
harian Demetrin yang gadis itu tinggalkan saat berkhianat dulu.
Menggigit
bibir, Audin keluar dari kamarnya. Dia menuruni tangga dan berjalan menuju
dapur untuk mengambil minum. Gadis itu sempat melamun saat melangkah. Saat itulah,
tepat ketika sampai di ambang pintu yang terbuka menuju dapur, Audin membeku di
tempat. Dia tidak bisa memercayai apa yang matanya lihat sekarang.
***
Kotak
obat diletakkan menggantung di dapur, jadi Snare harus ke sana jika ingin
mengganti pembalut luka di bahunya. Supaya tidak dilihat yang lain, dia memilih
melakukannya larut malam, ketika yang lain terlelap. Saat Snare sedang membalut
bahunya, Agatha datang tanpa Snare duga. Mereka bersitatap cukup lama seperti
sedang berusaha mengenali satu sama lain. Beberapa saat kemudian, Snare
menyadari kalau gadis di depannya bukan orang yang sama dengan gadis yang
selalu memakinya.
“Berikan
padaku.” Agatha mengulurkan tangannya meminta gulungan pembalut yang ada di
tangan Snare.
Snare
diam. Meski begitu dia memberikan gulungan pembalut itu pada Agatha.
Snare
duduk di atas meja dapur tanpa mengenakan pakaian atas. Ketika laki-laki itu
membuka balutan lukanya yang lama, Agatha bisa melihat luka tusukan dekat
tulang selangka Snare. Berada di depan tubuh laki-laki itu, Agatha lalu mulai
membalut bahu Snare.
“Bukan
luka biasa ya.. Biasanya luka apa pun di wajahmu akan langsung sembuh seketika.
Lain kasusnya kalau yang melukaimu menciptakan senjata yang tidak kau duga,”
ujar Agatha.
Snare
memejamkan mata. Tangan kirinya lalu terangkat menyentuh tangan Agatha.
“Ini..”
Snare menggumam pelan. “Tangan yang sama dengan yang menikamku.”
“Aku?”
Pandangan Agatha menyorot kosong. “Dia yang kau ikuti ke mana-mana?”
“Dia
menyiram air ke wajah Lana saat sarapan, juga hampir melukai Zein.”
“Gadis
kasar itu..,” gumam Agatha mengerti. “Pantas mereka kelihatan sangat membenciku.
Tapi kau langsung mengenaliku. Aku terkesan.”
Snare
tersenyum.
“Jangan
salah paham,” katanya. “Sama seperti dia, kau juga palsu. Jadi jangan pernah
berpikir mereka akan menerimamu semudah itu.”
Agatha
tertawa kecil. Dia telah selesai membalut bahu Snare lalu mengembalikan
gulungan pembalut tadi ke kotak obat. Snare masih diam di tempat sambil
mengusap bahunya. Mendadak Agatha mendekat lagi pada vampir itu. Kali ini
sangat dekat hingga Snare bisa mendengar hembusan napasnya.
“Aku
suka bagaimana kau selalu mengekornya, bagaimana kau selalu mengawasinya saat dia bukanlah dia. Tapi tetap saja… kami adalah dia. Dan kau tidak punya
pilihan selain terantai pada kami,”
bisik Agatha dekat telinga Snare.
Gadis
itu memeluknya—mendekatkan lehernya yang terbuka pada wajah Snare. Perlahan,
mata Snare pun mulai berubah merah menyala. Snare mulai bergerak mengikuti
nalurinya. Dia balas memeluk. Bibirnya mengecup, lalu akhirnya taringnya
menancap di leher Agatha.
Saat
ada sebagian darah yang tidak terhisap oleh Snare mengalir, Agatha melihat
Audin yang baru saja datang terkejut. Pandangan mereka bertemu tanpa diketahui
Snare yang menghadap arah berlawanan dengan Agatha. Supaya Audin diam, Agatha
langsung mengunci bibirnya sendiri dengan telunjuk sebagai isyarat.
Audin
tertegun. Gugup, gadis itu langsung berbalik dan pergi.
Agatha
tersenyum samar. Pelan, dia berbisik, “Sepertinya.. aku takkan ada di sini lagi
besok..”
0 komentar:
Posting Komentar