Welcome to Disaster Maker Club (12)

Jumat, 10 Juni 2016



Di tengah taman kota, tepat di bawah menara jam Shin menunggu. Meski batinnya diselimuti ketidakpastian, hatinya mendebat meyakini kalau laki-laki itu pasti akan datang. Namun, perasaannya yang berkoar mengenai keyakinan itu perlahan mulai goyah. Orang yang menunggu akan mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi Shin justru berdiri diam dan menunduk. Gadis itu cemas menanti orang yang tidak kunjung datang, di sisi lain dia ketakutan.

Ketika langit di atasnya mulai gelap berkat awan abu-abu, Shin tetap tidak beranjak. Pun sampai akhirnya tetes-tetes air hujan turun, gadis itu mematung.

Shin melihat kembali pada jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan hampir satu jam berlalu sejak dia menghampiri menara jam sore ini.

Mr. Elios tidak akan pernah terlambat. Mr. Elios hanya akan datang lebih awal, atau tidak memenuhi janjinya. Kali ini yang terjadi adalah kemungkinan kedua.

Shin terduduk. Tidak peduli tirai hujan semakin tebal membuat sekujur tubuhnya basah kuyup, gadis itu menangis tanpa suara.

***
“Dia sedang di dalam kamar. Teman-teman tidak melihatnya keluar sedari tadi,” ujar seorang gadis yang sedang membawa payung sambil menempelkan ponsel ke telinga kirinya. “Tidak apa-apa. Guru tidak usah cemas.”

Rambut hitam gadis itu meliuk diterpa angin. Langkahnya terhenti sehabis melewati sebuah pohon rindang tidak jauh dari menara jam taman. Kepalanya meneleng ke samping, menemukan sosok orang yang dia cari. Dia—Shin terlihat meringkuk membenamkan wajahnya sementara ponsel hijaunya terendam genangan air.

“Tadi saya memberitahunya kalau guru tidak akan datang karena ada urusan, tapi hanya di depan pintu karena Shin tidak mau membukanya. Mungkin dia kecewa. Tapi saya yakin dia baik-baik saja.”

Bohong. Agatha tidak pernah melakukannya. Itulah sebabnya Shin ada di sana sekarang, dan gadis itu menangis.

Diam beberapa detik, Agatha berkata lagi pada orang yang tengah tersambung dengannya di telepon.

“Boleh saya bertanya?”

Mr. Elios yang sedang berada di ruang kerjanya membalas, “Ya?”

“Mengapa bukan guru sendiri yang memberi tahu Shin?”

Terdengar suara helaan napas panjang dari Mr. Elios.

“Dia sendiri yang tidak mau mengangkat panggilanku,” jawabnya. “Benar dugaanku.. dia pasti kecewa aku memarahinya kemarin. Apalagi menyuruhnya kembali ke asrama saat itu juga.”

Agatha diam. Gadis itu menambahkan lagi alasan mengapa Shin bersikap dingin dalam hati, hal yang tidak akan pernah Mr. Elios tahu.

“Di saat seperti ini… aku hanya bisa bersyukur dia tidak sendirian,” ujar Mr. Elios penuh arti. “Dia selalu bersikap dewasa dan kuat, padahal akan lebih baik kalau dia jadi dirinya sendiri.”

“Kita mengharapkan hal yang sama,” balas Agatha sembali tersenyum. Dia mendengar Mr. Elios tertawa kecil sekilas. “Kalau itu saya.. kalau saja bukan Shin, tapi saya…”

Di seberang sana, Mr. Elios tertegun.

“Tidak peduli sesakit apa yang saya dapat.. Saya tidak akan pernah balas menyakiti guru.. Tidak akan pernah.”

***
Bunyi bulir air menetes membangunkan Laz. Sekujur badannya kaku dan juga panas. Begitu kesadarannya kembali, semua inderanya mulai mampu mengenali kondisi di sekitarnya. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit berwarna jingga yang penuh dengan ukiran bermotif tidak beraturan. Tempat itu bukan kamarnya.

Terperanjat, Laz menegakkan punggung. Was-was, pandangannya mengedar ke sekeliling. Dia berada di ruang tertutup di mana tidak ada orang selain dirinya di sana. Laz mengerutkan kening, berusaha mengingat alasan mengapa dia ada di tempat itu. Benaknya memutar kembali ingatan saat dia berada di kamarnya sendiri. Laz tersiksa dengan suara-suara yang hanya mampu dia dengar. Saking tersiksanya, tubuhnya otomatis bereaksi sebagai pertahanan diri. Namun justru karena itulah, rasa sakit yang dia alami makin menjadi-jadi.

Come with me..”

Laz teringat dengan suara lain yang terkesan menyingkirkan suara-suara yang mengganggunya. Bisikan yang samar. Laz kurang bisa mengenali orang itu karena seingatnya, pandangannya sedang buram. Tapi yang jelas, iris mata orang itu berwarna merah menyala.

Snare?

Agatha pernah bilang pada Laz kalau iris mata Snare akan berubah merah ketika mendapatkan mangsa. Karenanya gadis itu menekankan padanya kalau Laz harus menjauh saat itu terjadi.

Apa Snare yang membawanya ke sana?

Laz beranjak dari ranjangnya lantas dia berjalan menghampiri cermin di ruangan itu. Dia memeriksa beberapa bagian tubuhnya yang bisa dia lihat, memastikan ada dan tidaknya bekas gigitan. Nihil. Tidak ada tanda-tanda Snare “menyentuhnya”.

“Apa yang dia lakukan di sini?”

Telinga Laz menangkap tuturan bernada sengit dari seorang gadis. Dia mencari-cari asal suara itu kemudian melihat dua orang gadis di halaman melalui jendela kamar. Dua orang gadis itu sepertinya sedang kompak bergunjing mengenai seseorang yang tengah berdiri membelakangi mereka dekat kolam ikan.

“Aku pikir dia diusir lalu dimasukkan ke asrama untuk aneh seperti dia.”

“Mungkin dia mengemis supaya dibolehkan tinggal di sini lagi.”

“Dasar monster penjilat.”

Dahi Laz mengernyit. Meskipun bukan dia yang jadi sasaran gunjingan itu, telinganya panas hanya dengan mendengarnya saja.

Saat dua gadis itu pergi, pandangan Laz beralih pada seseorang yang berdiri dekat kolam. Angin berhembus menerpa rambut merahnya. Gadis itu perlahan bergerak menghadap ke samping hingga Laz bisa mengenali wajahnya.

Eva.

Diakah orang yang membawa Laz ke tempat ini? Sekarang setelah dipikir-pikir, tubuh Laz terasa lebih ringan, dan benaknya menjadi lebih segar dibandingkan kemarin. Apa mungkin Eva sengaja membawa Laz pergi untuk membantunya? Kenapa?

Eva terlihat menghela napas panjang sambil tangannya menyilang. Ketika tidak sengaja wajahnya mendongak ke atas, pandangannya dan Laz bertemu. Gadis itu tersenyum lalu melambai. Dia lantas berlari masuk ke dalam bangunan. Beberapa saat kemudian, Eva bergabung bersama Laz di ruangan yang sama.

“Lumayan,” kata gadis kelebihan energi itu sambil memperhatikan Laz dari ujung kepala sampai kaki. “Sudah kuduga kalau Pipin pasti akan cocok dengan hal semacam ini.”

“Siapa Pipin?” tanya Laz.

“Asisten tabib paling hebat di sini,” jawab Eva. Dia melirik pada cawan lilin di atas meja. Sedetik kemudian, api kecil muncul di ujungnya. “Daripada menyangkut urusan obat-obatan herbal, dia justru lebih cocok disebut paranormal.”

Laz mengalihkan pandangannya ketika Eva menyebutkan kata paranormal. Laki-laki itu berpura-pura meraba lengan dan tubuh depannya, meski dia tidak menyangkal kalau penasaran dengan luka-luka akibat logam tajam yang mencuat dari dalam dirinya.

“Waktu aku tanya pada Pipin apa penyebabnya, dia bilang kalau aku hanya bisa tahu darimu,” ujar Eva. Melihat Laz bungkam, gadis itupun menghela napas panjang. “Tenang saja, aku tidak begitu penasaran. Terserah kau mau memberi tahu atau tidak.”

“Kenapa kau membantuku?” tanya Laz akhirnya. Saat itulah mereka bersitatap lagi.

Eva tertawa. Satu kakinya terangkat, lalu memijak di atas ranjang. Kedua tangannya bertumpuk di atas lutut untuk menopang dagu. Sepasang matanya berubah merah terang dari awalnya yang cokelat.

“Entahlah,” gumamnya tersenyum. “Untuk membayar hutang karena telah menolongmu, tidakkah kita seharusnya jadi kawan?”

***
Saat semua penghuni asrama tertidur, Audin masih menyibukkan diri dengan sebuah buku usang di meja belajarnya. Audin telah sampai pada setengah isi buku tersebut. Matanya menyusuri deret demi deret tulisan tangan seseorang di sana. Huruf di sana bukanlah alphabet yang biasa dia temukan di sini, melainkan karakter-karakter kuno yang jarang ditemukan—bahkan di tempat tinggalnya.

Mulut Audin bergerak, membisikkan kata demi kata yang mampu dia mengerti. Hanya saja ketika jari telunjuknya hendak membalik halaman selanjutnya, mendadak sehelai kertas buku yang dia pegang itu langsung terbakar. Audin terkejut. Matanya melebar dan dia sontak mundur. Mendadak kabut kehitaman muncul di sampingnya. Kabut itu terus bergerak bagai asap yang mengandung jelaga membentuk sosok seseorang.

“Seperti biasa.. kau mengesalkan sekali…,” kata sosok bayangan yang tersenyum tidak jauh dari Audin. “Kau pikir sebodoh apa aku sampai melonggarkan barang milikku sendiri dari pencuri?”

Audin menatapnya tajam sekaligus was-was.

“Kenapa hanya satu halaman kau memberinya mantera?” tanyanya.

“Aku hanya membiarkanmu sedikit bersenang-senang,” balas sang Bidadari kematian. “Bukankah sangat menggairahkan kalau orang yang sedang penasaran berusaha menemukan sesuatu… misalnya.. menemukan alat untuk melenyapkan seseorang?”

Audin diam. Kedua rahangnya menekan kuat, menekan kebencian yang menjadi penopangnya.

“Anggap saja tadi itu sebagai sebuah pertolongan..,” kata Demetrin. “Akan sangat menyedihkan melihatmu putus asa dengan begitu mudahnya.”

“Enyahlah!” hardik Audin tidak tahan berlama-lama melihat bayangan Demetrin dalam kamarnya.

“Untuk salam perpisahan kali ini, biarkan aku memberimu satu peringatan penting.” Demetrin tersenyum kala kabut yang membentuk bayangannya perlahan mulai sirna. “Salah satu penghuni asrama ini sedang mengundang kematian datang…”

Tawa Demetrin menggema. Setelah sosoknya menghilang, Audin langsung terduduk lemas. Benaknya mulai kalut. Apakah gara-gara dirinya, seseorang dalam asrama ini jadi sasaran Demetrin? Kalau iya, dia tidak boleh tinggal diam. Sudah cukup orang-orang di sekelilingnya terluka akibat kecerobohannya. Terlebih karena Demetrin.

Audin pusing. Dia melirik lagi buku usang yang tadi dia baca. Api yang tadi membakar salah satu halamannya tidak sampai membakar seluruh isi buku itu. Sekarang buku itu tergeletak di lantai dengan aroma hangus di sekelilingnya.

Pencuri katanya? Audin benci mengakuinya, namun Demetrin benar. Dia telah mencuri buku harian Demetrin yang gadis itu tinggalkan saat berkhianat dulu.

Menggigit bibir, Audin keluar dari kamarnya. Dia menuruni tangga dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Gadis itu sempat melamun saat melangkah. Saat itulah, tepat ketika sampai di ambang pintu yang terbuka menuju dapur, Audin membeku di tempat. Dia tidak bisa memercayai apa yang matanya lihat sekarang.

***
Kotak obat diletakkan menggantung di dapur, jadi Snare harus ke sana jika ingin mengganti pembalut luka di bahunya. Supaya tidak dilihat yang lain, dia memilih melakukannya larut malam, ketika yang lain terlelap. Saat Snare sedang membalut bahunya, Agatha datang tanpa Snare duga. Mereka bersitatap cukup lama seperti sedang berusaha mengenali satu sama lain. Beberapa saat kemudian, Snare menyadari kalau gadis di depannya bukan orang yang sama dengan gadis yang selalu memakinya.

“Berikan padaku.” Agatha mengulurkan tangannya meminta gulungan pembalut yang ada di tangan Snare.

Snare diam. Meski begitu dia memberikan gulungan pembalut itu pada Agatha.

Snare duduk di atas meja dapur tanpa mengenakan pakaian atas. Ketika laki-laki itu membuka balutan lukanya yang lama, Agatha bisa melihat luka tusukan dekat tulang selangka Snare. Berada di depan tubuh laki-laki itu, Agatha lalu mulai membalut bahu Snare.

“Bukan luka biasa ya.. Biasanya luka apa pun di wajahmu akan langsung sembuh seketika. Lain kasusnya kalau yang melukaimu menciptakan senjata yang tidak kau duga,” ujar Agatha.

Snare memejamkan mata. Tangan kirinya lalu terangkat menyentuh tangan Agatha.

“Ini..” Snare menggumam pelan. “Tangan yang sama dengan yang menikamku.”

“Aku?” Pandangan Agatha menyorot kosong. “Dia yang kau ikuti ke mana-mana?”

“Dia menyiram air ke wajah Lana saat sarapan, juga hampir melukai Zein.”

“Gadis kasar itu..,” gumam Agatha mengerti. “Pantas mereka kelihatan sangat membenciku. Tapi kau langsung mengenaliku. Aku terkesan.”

Snare tersenyum.

“Jangan salah paham,” katanya. “Sama seperti dia, kau juga palsu. Jadi jangan pernah berpikir mereka akan menerimamu semudah itu.”

Agatha tertawa kecil. Dia telah selesai membalut bahu Snare lalu mengembalikan gulungan pembalut tadi ke kotak obat. Snare masih diam di tempat sambil mengusap bahunya. Mendadak Agatha mendekat lagi pada vampir itu. Kali ini sangat dekat hingga Snare bisa mendengar hembusan napasnya.

“Aku suka bagaimana kau selalu mengekornya, bagaimana kau selalu mengawasinya saat dia bukanlah dia. Tapi tetap saja… kami adalah dia. Dan kau tidak punya pilihan selain terantai pada kami,” bisik Agatha dekat telinga Snare.

Gadis itu memeluknya—mendekatkan lehernya yang terbuka pada wajah Snare. Perlahan, mata Snare pun mulai berubah merah menyala. Snare mulai bergerak mengikuti nalurinya. Dia balas memeluk. Bibirnya mengecup, lalu akhirnya taringnya menancap di leher Agatha.

Saat ada sebagian darah yang tidak terhisap oleh Snare mengalir, Agatha melihat Audin yang baru saja datang terkejut. Pandangan mereka bertemu tanpa diketahui Snare yang menghadap arah berlawanan dengan Agatha. Supaya Audin diam, Agatha langsung mengunci bibirnya sendiri dengan telunjuk sebagai isyarat.

Audin tertegun. Gugup, gadis itu langsung berbalik dan pergi.

Agatha tersenyum samar. Pelan, dia berbisik, “Sepertinya.. aku takkan ada di sini lagi besok..”

0 komentar: