Welcome to Disaster Maker Club (13)

Senin, 13 Juni 2016



Shin sengaja bolos. Sebenarnya bukan keinginannya, hanya saja pikirannya terasa sangat berat dan penat. Zein dan Lana sempat beberapa kali mengetuk pintu kamarnya namun tidak digubris. Khas Zein yang selalu bersemangat, gadis itu mengira Shin masih tidur lantas sengaja menggedor-gedor pintu kamar itu lebih keras. Tidak hanya sampai di situ, dia pun berteriak layaknya tarzan. Shin kesal. Akhirnya dia mengirim chat ke ponsel Lana, memberitahu mereka kalau dirinya sedang tidak enak badan. Dua orang itupun kemudian berangkat ke sekolah bersama yang lain tanpa Shin.

Saat hari beranjak siang, Shin yang merasa haus kemudian keluar dari kamar. Dia lega melihat asrama sepi. Tentunya hanya ada dia sendiri dalam tempat itu, jadi yang lain tidak perlu melihat bagaimana kacaunya dia: rambut porak poranda, kantung mata yang besar dan gelap, juga hidung yang memerah dan tersumbat di dalam. Shin bahkan heran dia tidak menjerit sewaktu melihat wajahnya sendiri melalui cermin kamar mandi.

Gadis itu membuka lemari es dan mengambil sebotol minuman dingin. Sedetik kemudian, matanya terarah pada mangkuk yang tertutup rapat menggunakan selembar plastik bening.

Bakso? Shin mengerutkan kening melihat makanan kesukaannya dalam keadaan dingin. Dalam hati dia bertanya-tanya milik siapa semangkuk bakso itu. Tidak mungkin Zein—tentu saja. Bakso dalam kuah yang mengental itu akan jadi lezat jika dihangatkan sebentar. Kalau dipikir-pikir, Shin belum makan sejak semalam. Gadis itu melupakan rasa laparnya berkat kegalauan karena tidak bertemu Mr. Elios.

Shin akhirnya tergoda mengambil mangkuk itu. Saat menariknya keluar dari lemari es, gadis itu menyadari ada secarik kertas yang tertempel di bawah mangkuk. Shin tertegun seketika membaca deretan tulisan di sana.


Aku tahu suasana hatimu buruk karena aku. Maaf. Tapi aku tidak menyesalinya.
Berjaga-jaga kalau kau lapar, aku membuatnya sendiri. Anggap saja Agatha yang membuatnya, bukan aku. Biar bagaimana pun, dia akan melakukan hal yang sama melihat kau yang sedang sedih.

Love, Agana


Kekesalan Shin bangkit lagi. Kasar, gadis itu meletakkan mangkuk yang ada di tangannya ke atas meja. Gigi atasnya menggigit bibir.

Luar biasa. Hanya dua hari gadis itu mampu mengubah Shin yang penyabar menjadi begitu emosional. Berbeda dengan Agatha yang sentimental—yang mana membuat orang lain menjauh darinya—pribadi lain yang dihadapi Shin kali ini benar-benar penjilat juga bermuka dua. Dia mudah disukai karena pembawaan tenang, suka menolong, dan dewasa—Shin akui karakter seperti inilah yang mati-matian dia lakukan sejauh ini supaya Mr. Elios menyukainya. Tapi saat dia muncul, imej yang Shin bangunpun hancur.

Sekarang Shin juga dalam posisi gadis yang jahat dan kasar di mata Mr. Elios. Ini sangat menguntungkan bagi Agana—Shin selalu mengumpat dalam hati saat teringat nama ini—yang mana terlihat sangat jelas juga menyukai Mr. Elios. Alasan lainnya mengapa Shin sangat was-was dengan keberadaan Agana, adalah karena gadis itu tahu kotak pandora yang disembunyikan Shin rapat-rapat. Tidak ada yang tahu isi kotak pandora itu kecuali mereka berdua.

Shin berniat meninggalkan bakso dingin tadi begitu saja ke atas meja, juga berdoa semoga saja makanan itu cepat-cepat membusuk. Namun sialnya saat baru satu langkah kakinya bergerak pergi, perutnya berbunyi.

Rasa lapar tidak berhasil mengalahkan gengsinya. Shin pun kemudian berlalu dan mengunci diri lagi di kamar.

***
“Shin belakangan aneh sekali. Dia jadi pendiam,” ujar Lana saat tujuh penghuni DM yang tumben sekali pulang bersama, menyusuri jalan kembali ke asrama.

“Ada hubungannya saat Shin namp… hmph!!”

Zein tiba-tiba memukul wajah Eero tepat di mulut alih-alih membungkamnya. Eero meronta, tapi Zein yang sigap langsung mengunci tubuhnya dengan gerakan gulat. Tanpa suara, Zein pun berulang-ulang membisikkan kata “diam” pada laki-laki yang dicapnya tidak peka itu.

“Shin kenapa?” tanya Lana penasaran.

“Shin cuma sedih gara-gara les pianonya tidak begitu bagus,” jawab Zein lalu tertawa. Selain dia, Eero dan Mr. Elios, tidak ada yang tahu insiden Shin menampar Agatha sewaktu di belakang gedung sekolah.

“Dia ikut les piano baru-baru ini kan? Kenapa dia ngotot sekali?” sambung Eva sambil mengunyah permen karet.

Setelah yakin Eero akan diam lewat ancaman melalui hujaman tatapan tajam, Zein akhirnya melepas laki-laki itu. Mereka saling melempar pandangan dengan kesal.

“Aku justru lebih penasaran kenapa kalian berdua menghilang bersamaan kemarin,” celetuk Eero bergantian menatap Eva dan Laz.

“Oh ya! Aku baru ingat! Kalian kenapa bolos kemarin?” tanya Lana curiga.

Kali ini gantian Laz yang melemparkan pandangan penuh ancaman pada Eva supaya tidak bercerita. Gadis berambut merah itu tengah meniup permen karetnya membentuk balon seukuran bola tenis. Alisnya terangkat. Saat bola itu pecah, Eva menyilangkan tangan ke belakang kepala lalu menjawab pertanyaan Lana sekenanya.

“Aku menyeret Laz ke game center. Dia macam cowok era sembilan puluhan. It can’t be helped…”

Zein dan Lana saling berpandangan tidak mengerti, sementara Laz menggerutu dalam hati.

Apa hubungannya gaya kuno dan game center?! Batin Laz membentak namun tidak terlampiaskan.

“Omong-omong.. Agatha juga bolos kan? Iblis gila macam dia juga suka bolos ya?” tebak Eva seenaknya.

“Atha hampir tidak pernah bolos. Biar bagaimana pun dia anggota OSIS yang disiplin. Jangan panggil dia iblis gila! Memang salah satunya jahat sekali. Tapi aslinya dia baik,” papar Zein. Saat teringat ikan mas peliharannya hampir mati, gadis itu bergidik.

“Bicaranya juga kasar sekali. Aku sangat ingin menyiramnya dengan seember air,” gerutu Lana yang masih dendam.

Audin diam mendengarkan. Gadis itu sempat melirik pada Snare yang berjalan di sebelahnya. Snare tampak enggan menyimak, dan lebih memilih memandang jalan. Ekspresinya terlihat bosan. Kalau saja Audin tidak melihat apa yang terjadi semalam, mungkin dia tidak akan jadi segugup ini.

“Audin? Kau dengar?” Lana mendadak membuyarkan lamunannya.

“Eh, apa?” Audin balik bertanya dengan kikuk.

“Sandwich kemarin lusa! Kau percaya dia yang membuatnya?” tanya Lana.

“Memang dia yang membuatnya! Itu Atha! Aku lihat sendiri!” Zein membela. “Mungkin dia malu karena berubah jadi Atha jahat karena diberitahu… eerr.. entahlah. Jadi dia lebih suka diam-diam.”

“Jadi dulu devil sekarang angel begitu? Drama sekali,” cibir Eva.

Zein, Lana, dan Eva mendebat lagi.

Audin hanya meringis melihat mereka. Namun sesaat kemudian, perasaan aneh menjalar di tubuhnya. Langkahnya terhenti sehingga gadis itu mulai menjauh dari kelompok enam orang yang lain. Ada segelintir firasat yang membuat Audin mengerutkan kening. Gadis itu menghadap ke belakang, namun tidak melihat ada hal yang mencurigakan. Ragu, Audin berjongkok. Telapak tangan kanannya menyentuh tanah. Nihil. Dia tidak menemukan ada hal yang salah.

“Kita butuh rekreasi!” seru Zein tiba-tiba. Seruan itu menyentakkan Audin dari pikiran keruhnya.

Audin lantas buru-buru berlari menyusul yang lain.

“Kita ke taman bermain saja! How? Aku mau naik roller coaster!” sambung Lana.

Deal!!” seru mereka bersamaan kecuali Snare.
***
Kepalanya terasa berat. Berapa kalipun dia mengubah posisi tidurnya tetap tidak bisa menjadikan pening di kepalanya sirna. Gadis itu akhirnya membuka mata dan mendapati dirinya tengah berada di kamar.

Aneh, pikirnya. Dia merasa seolah telah menjalani tidur panjang. Lagipula perasaan asing apa yang menyelimuti benaknya perlahan? Ada sekelumit rasa bersalah, kekesalan dan juga.. was-was. Ketika akhirnya dia bisa menjalankan fungsi otaknya dengan baik, ingatan yang pertama kali muncul adalah saat Laz berubah menjadi bola baja kemudian menghantamnya.

Agatha berdecap sambil bersumpah kalau dia akan menghajar Laz setelah ini.

Gadis itu bergerak turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai, dia membeku. Matanya melebar mendapati lantai kamarnya penuh dengan kristal es seukuran kelereng. Mulutnya menganga. Kepalanya lalu beralih menghadap pintu kamar. Pintu itu tidak lagi sendirian. Benda itu ditemani korden penuh renda berwarna biru susu.

Sedetik kemudian Agatha menjerit sejadi-jadinya.
***
Sesampainya di asrama, Zein dan Lana langsung naik ke lantai atas untuk mendatangi Shin. Audin, Eva, Laz, dan Eero ke dapur untuk makan atau minum, sedangkan Snare ke ruang tengah dan langsung menyalakan televisi. Eva menemukan semangkuk bakso yang ditinggalkan Shin dan dia tanpa ragu memakannya.

Shin tidak lagi membiarkan penampilannya kacau balau. Dia sudah mandi sejam yang lalu, kemudian memakai pakaian yang telah disetrika. Tidak lupa, dia juga memakai sedikit bedak krim supaya terlihat agak pucat—sebagai bukti kalau dirinya memang sedang tidak enak badan.

“Shin! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?” tanya Zein begitu masuk ke kamar Shin yang mana pintunya tidak terkunci.

“Lumayan,” jawab Shin sembari tersenyum.

“Kau lihat Atha? Kalian kompak tak masuk sekolah hari ini,” kata Zein polos.

Shin terdiam. Tanpa Zein dan Lana tahu, matanya sempat berubah sinis namun hanya dalam hitungan detik, setelah itu dia tersenyum manis.

“Oh ya? Kenapa dia?”

“Mana kutahu? Biarkan saja,” sungut Lana.

Laz mengambil kendi bening dari lemari es lalu menuangkan isinya ke gelas. Tepat saat dia mulai menenggak air itulah, suara jeritan membahana terdengar. Saking kerasnya, Laz yang terkaget langsung menyemburkan air di mulutnya. Dia bahkan tersandung kakinya sendiri kemudian kepalanya membentur kulkas. Eero tertawa terbahak-bahak melihat Laz. Audin dan Eva melongo. Snare mematung. Sementara Shin, Lana, dan Zein refleks menutup telinga.

Who’s that?” tanya Eva berbisik.

Sementara penghuni di lantai bawah saling berpandangan dengan bingung, Shin, Lana dan Zein lantas berlari ke asal suara.

“Ada apa?! Kenapa?! Buka pintunya!” seru Zein menggedor-gedor pintu kamar Agatha.

Suara jeritan tadi tidak hanya berlangsung sekali. Mereka bahkan juga mendengar bunyi benda-benda jatuh, juga bunyi benturan, dilanjutkan dengan suara mengaduh.

“Kau sedang menghancurkan kamarmu sendiri?!” tanya Lana heran.

Shin yang masih tenggelam dalam gengsi hanya berdehem. Selanjutnya dia melihat penghuni DM lainnya mendatangi mereka. Snare berdiri paling belakang. Mulutnya terkunci rapat.

Zein terus-terusan memaksa membuka pintu kamar tersebut tapi sia-sia karena terkunci dari dalam. Saat Eero dan Laz sepakat untuk mendobrak, pintu itu justru terbuka. Mereka pun melongok ke dalam dan sontak terperanjat melihat sosok sadako keluar dari ruangan itu sambil merangkak. Eva bahkan menjerit.

“A-Atha?” panggil Zein ragu. Dia menjulurkan tangan untuk membantu Agatha berdiri. Agatha menyahut uluran tangan itu.

Penampilannya berantakan. Bahkan lebih parah dari Shin tadi pagi. Zein melongo.

“Panggil namaku dengan benar…,” katanya dalam nada yang sedikit bergetar.

Dia habis lihat hantu? Audin mengernyit.

Saat Agatha berdiri, dia menarik kerah Zein.

“Beritahu aku…,” gumamnya pelan dengan tatapan mengerikan. “Siapa yang ada di kamarku sementara aku tidak ada? Si Kasar itu atau… si Jalang?”

“Ha?” Eero berceletuk heran.

“Kau ingat?” tanya Audin hati-hati.

“LANTAI KAMARKU PENUH SAMPAH SAMPAI AKU TERPELESET DI KAMARKU SENDIRI! BARANG-BARANGKU PENUH RENDA!! CELENGANKU BERKURANG SETENGAH!!! HARI INI ADA RAPAT MINGGUAN DAN AKU BARU BANGUN!!!”

Untunglah beberapa menit setelahnya, atmosfer asrama berhasil ditenangkan.

***
Akhirnya setelah dibujuk dan minum segelas penuh air sampai tandas, Agatha bisa sedikit tenang. Dia bahkan duduk terbalik di sofa, berharap semua darahnya akan mengalir ke otak.

Shin secara sukarela menceritakan semua yang terjadi sementara Agatha “tidak ada”. Semakin lama dia bercerita, semakin banyak urat di wajah Agatha yang seolah hendak mencuat keluar. Kemudian saat cerita itu selesai, Agatha membenarkan posisi duduknya lalu berdehem. Yang lain bisa melihat bagaimana salah tingkahnya dia karena terus-terusan menghindari pandangan lawan bicaranya.

“Shin,” ucap Agatha setelah menjambak rambutnya sendiri. “Kau baik-baik saja?”

Otomatis, tatapan mereka langsung beralih pada Shin bernada tanya.

Shin tersenyum—senyuman paksaan lebih tepatnya.

You do know me so well,” balasnya dengan gigi yang menekan rapat.

Agatha memberengut. Shin tidak baik-baik saja. Agana pasti membuatnya kesal setengah mati.

“Dan untuk kalian semua.. aku…” Agatha menggigit bibir. “Aku minta maaf.”

Hening. Situasi canggung berlangsung cukup lama. Agatha bisa melihat tatapan-tatapan mereka menyimpan makna yang membuat batinnya mencelos. Gadis itu menunduk malu. Namun beberapa saat kemudian, dia teringat sesuatu.

“Snare,” panggilnya.

Mata si Vampir melebar ketika menoleh. Melihat tatapan tajam Agatha, laki-laki itu memasang kuda-kuda untuk lari.

“Berapa liter darahku yang kau minum? Sialan kau…” Agatha menggerutu. Dia lagi-lagi menggigit bibir.

Snare mengira Agatha akan melemparkan sesuatu padanya—entah itu sepatu, gelas, atau vas bunga. Nyatanya sambil berwajah keruh, dia berucap, “Terimakasih.”

 

0 komentar: