Shin
sengaja bolos. Sebenarnya bukan keinginannya, hanya saja pikirannya terasa
sangat berat dan penat. Zein dan Lana sempat beberapa kali mengetuk pintu
kamarnya namun tidak digubris. Khas Zein yang selalu bersemangat, gadis itu
mengira Shin masih tidur lantas sengaja menggedor-gedor pintu kamar itu lebih
keras. Tidak hanya sampai di situ, dia pun berteriak layaknya tarzan. Shin
kesal. Akhirnya dia mengirim chat ke ponsel Lana, memberitahu mereka kalau
dirinya sedang tidak enak badan. Dua orang itupun kemudian berangkat ke sekolah
bersama yang lain tanpa Shin.
Saat
hari beranjak siang, Shin yang merasa haus kemudian keluar dari kamar. Dia lega
melihat asrama sepi. Tentunya hanya ada dia sendiri dalam tempat itu, jadi yang
lain tidak perlu melihat bagaimana kacaunya dia: rambut porak poranda, kantung
mata yang besar dan gelap, juga hidung yang memerah dan tersumbat di dalam.
Shin bahkan heran dia tidak menjerit sewaktu melihat wajahnya sendiri melalui
cermin kamar mandi.
Gadis
itu membuka lemari es dan mengambil sebotol minuman dingin. Sedetik kemudian,
matanya terarah pada mangkuk yang tertutup rapat menggunakan selembar plastik
bening.
Bakso? Shin mengerutkan kening
melihat makanan kesukaannya dalam keadaan dingin. Dalam hati dia bertanya-tanya
milik siapa semangkuk bakso itu. Tidak mungkin Zein—tentu saja. Bakso dalam
kuah yang mengental itu akan jadi lezat jika dihangatkan sebentar. Kalau
dipikir-pikir, Shin belum makan sejak semalam. Gadis itu melupakan rasa
laparnya berkat kegalauan karena tidak bertemu Mr. Elios.
Shin
akhirnya tergoda mengambil mangkuk itu. Saat menariknya keluar dari lemari es,
gadis itu menyadari ada secarik kertas yang tertempel di bawah mangkuk. Shin
tertegun seketika membaca deretan tulisan di sana.
Aku tahu
suasana hatimu buruk karena aku. Maaf. Tapi aku tidak menyesalinya.
Berjaga-jaga
kalau kau lapar, aku membuatnya sendiri. Anggap saja Agatha yang membuatnya,
bukan aku. Biar bagaimana pun, dia akan melakukan hal yang sama melihat kau
yang sedang sedih.
Love, Agana
Kekesalan Shin bangkit lagi. Kasar,
gadis itu meletakkan mangkuk yang ada di tangannya ke atas meja. Gigi atasnya
menggigit bibir.
Luar biasa. Hanya dua hari gadis itu
mampu mengubah Shin yang penyabar menjadi begitu emosional. Berbeda dengan
Agatha yang sentimental—yang mana membuat orang lain menjauh darinya—pribadi lain
yang dihadapi Shin kali ini benar-benar penjilat juga bermuka dua. Dia mudah
disukai karena pembawaan tenang, suka menolong, dan dewasa—Shin akui karakter
seperti inilah yang mati-matian dia lakukan sejauh ini supaya Mr. Elios
menyukainya. Tapi saat dia muncul, imej yang Shin bangunpun hancur.
Sekarang Shin juga dalam posisi gadis
yang jahat dan kasar di mata Mr. Elios. Ini sangat menguntungkan bagi Agana—Shin
selalu mengumpat dalam hati saat teringat nama ini—yang mana terlihat sangat
jelas juga menyukai Mr. Elios. Alasan lainnya mengapa Shin sangat was-was
dengan keberadaan Agana, adalah karena gadis itu tahu kotak pandora yang
disembunyikan Shin rapat-rapat. Tidak ada yang tahu isi kotak pandora itu
kecuali mereka berdua.
Shin berniat meninggalkan bakso dingin
tadi begitu saja ke atas meja, juga berdoa semoga saja makanan itu cepat-cepat
membusuk. Namun sialnya saat baru satu langkah kakinya bergerak pergi, perutnya
berbunyi.
Rasa lapar tidak berhasil mengalahkan
gengsinya. Shin pun kemudian berlalu dan mengunci diri lagi di kamar.
***
“Shin belakangan aneh sekali. Dia jadi
pendiam,” ujar Lana saat tujuh penghuni DM yang tumben sekali pulang bersama,
menyusuri jalan kembali ke asrama.
“Ada hubungannya saat Shin namp… hmph!!”
Zein tiba-tiba memukul wajah Eero tepat
di mulut alih-alih membungkamnya. Eero meronta, tapi Zein yang sigap langsung
mengunci tubuhnya dengan gerakan gulat. Tanpa suara, Zein pun berulang-ulang
membisikkan kata “diam” pada laki-laki yang dicapnya tidak peka itu.
“Shin kenapa?” tanya Lana penasaran.
“Shin cuma sedih gara-gara les pianonya
tidak begitu bagus,” jawab Zein lalu tertawa. Selain dia, Eero dan Mr. Elios,
tidak ada yang tahu insiden Shin menampar Agatha sewaktu di belakang gedung
sekolah.
“Dia ikut les piano baru-baru ini kan? Kenapa
dia ngotot sekali?” sambung Eva sambil mengunyah permen karet.
Setelah yakin Eero akan diam lewat
ancaman melalui hujaman tatapan tajam, Zein akhirnya melepas laki-laki itu. Mereka
saling melempar pandangan dengan kesal.
“Aku justru lebih penasaran kenapa
kalian berdua menghilang bersamaan kemarin,” celetuk Eero bergantian menatap
Eva dan Laz.
“Oh ya! Aku baru ingat! Kalian kenapa
bolos kemarin?” tanya Lana curiga.
Kali ini gantian Laz yang melemparkan
pandangan penuh ancaman pada Eva supaya tidak bercerita. Gadis berambut merah
itu tengah meniup permen karetnya membentuk balon seukuran bola tenis. Alisnya
terangkat. Saat bola itu pecah, Eva menyilangkan tangan ke belakang kepala lalu
menjawab pertanyaan Lana sekenanya.
“Aku menyeret Laz ke game center. Dia macam cowok era
sembilan puluhan. It can’t be helped…”
Zein dan Lana saling berpandangan tidak
mengerti, sementara Laz menggerutu dalam hati.
Apa
hubungannya gaya kuno dan game
center?! Batin Laz membentak namun
tidak terlampiaskan.
“Omong-omong.. Agatha juga bolos kan? Iblis
gila macam dia juga suka bolos ya?” tebak Eva seenaknya.
“Atha hampir tidak pernah bolos. Biar bagaimana
pun dia anggota OSIS yang disiplin. Jangan panggil dia iblis gila! Memang salah
satunya jahat sekali. Tapi aslinya dia baik,” papar Zein. Saat teringat ikan
mas peliharannya hampir mati, gadis itu bergidik.
“Bicaranya juga kasar sekali. Aku
sangat ingin menyiramnya dengan seember air,” gerutu Lana yang masih dendam.
Audin diam mendengarkan. Gadis itu
sempat melirik pada Snare yang berjalan di sebelahnya. Snare tampak enggan
menyimak, dan lebih memilih memandang jalan. Ekspresinya terlihat bosan. Kalau saja
Audin tidak melihat apa yang terjadi semalam, mungkin dia tidak akan jadi
segugup ini.
“Audin? Kau dengar?” Lana mendadak
membuyarkan lamunannya.
“Eh, apa?” Audin balik bertanya dengan
kikuk.
“Sandwich kemarin lusa! Kau percaya dia
yang membuatnya?” tanya Lana.
“Memang dia yang membuatnya! Itu Atha! Aku
lihat sendiri!” Zein membela. “Mungkin dia malu karena berubah jadi Atha jahat
karena diberitahu… eerr.. entahlah. Jadi dia lebih suka diam-diam.”
“Jadi dulu devil sekarang angel
begitu? Drama sekali,” cibir Eva.
Zein, Lana, dan Eva mendebat lagi.
Audin hanya meringis melihat mereka.
Namun sesaat kemudian, perasaan aneh menjalar di tubuhnya. Langkahnya terhenti
sehingga gadis itu mulai menjauh dari kelompok enam orang yang lain. Ada
segelintir firasat yang membuat Audin mengerutkan kening. Gadis itu menghadap
ke belakang, namun tidak melihat ada hal yang mencurigakan. Ragu, Audin
berjongkok. Telapak tangan kanannya menyentuh tanah. Nihil. Dia tidak menemukan
ada hal yang salah.
“Kita butuh rekreasi!” seru Zein
tiba-tiba. Seruan itu menyentakkan Audin dari pikiran keruhnya.
Audin lantas buru-buru berlari menyusul
yang lain.
“Kita ke taman bermain saja! How? Aku mau naik roller coaster!” sambung Lana.
“Deal!!”
seru mereka bersamaan kecuali Snare.
***
Kepalanya terasa berat. Berapa kalipun
dia mengubah posisi tidurnya tetap tidak bisa menjadikan pening di kepalanya
sirna. Gadis itu akhirnya membuka mata dan mendapati dirinya tengah berada di
kamar.
Aneh, pikirnya. Dia merasa seolah telah
menjalani tidur panjang. Lagipula perasaan asing apa yang menyelimuti benaknya
perlahan? Ada sekelumit rasa bersalah, kekesalan dan juga.. was-was. Ketika akhirnya
dia bisa menjalankan fungsi otaknya dengan baik, ingatan yang pertama kali
muncul adalah saat Laz berubah menjadi bola baja kemudian menghantamnya.
Agatha berdecap sambil bersumpah kalau
dia akan menghajar Laz setelah ini.
Gadis itu bergerak turun dari ranjang. Saat
kakinya menyentuh lantai, dia membeku. Matanya melebar mendapati lantai
kamarnya penuh dengan kristal es seukuran kelereng. Mulutnya menganga. Kepalanya
lalu beralih menghadap pintu kamar. Pintu itu tidak lagi sendirian. Benda itu
ditemani korden penuh renda berwarna biru susu.
Sedetik kemudian Agatha menjerit
sejadi-jadinya.
***
Sesampainya di asrama, Zein dan Lana
langsung naik ke lantai atas untuk mendatangi Shin. Audin, Eva, Laz, dan Eero
ke dapur untuk makan atau minum, sedangkan Snare ke ruang tengah dan langsung
menyalakan televisi. Eva menemukan semangkuk bakso yang ditinggalkan Shin dan
dia tanpa ragu memakannya.
Shin tidak lagi membiarkan
penampilannya kacau balau. Dia sudah mandi sejam yang lalu, kemudian memakai
pakaian yang telah disetrika. Tidak lupa, dia juga memakai sedikit bedak krim
supaya terlihat agak pucat—sebagai bukti kalau dirinya memang sedang tidak enak
badan.
“Shin! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?”
tanya Zein begitu masuk ke kamar Shin yang mana pintunya tidak terkunci.
“Lumayan,” jawab Shin sembari
tersenyum.
“Kau lihat Atha? Kalian kompak tak
masuk sekolah hari ini,” kata Zein polos.
Shin terdiam. Tanpa Zein dan Lana tahu,
matanya sempat berubah sinis namun hanya dalam hitungan detik, setelah itu dia
tersenyum manis.
“Oh ya? Kenapa dia?”
“Mana kutahu? Biarkan saja,” sungut
Lana.
Laz mengambil kendi bening dari lemari
es lalu menuangkan isinya ke gelas. Tepat saat dia mulai menenggak air itulah,
suara jeritan membahana terdengar. Saking kerasnya, Laz yang terkaget langsung
menyemburkan air di mulutnya. Dia bahkan tersandung kakinya sendiri kemudian
kepalanya membentur kulkas. Eero tertawa terbahak-bahak melihat Laz. Audin dan
Eva melongo. Snare mematung. Sementara Shin, Lana, dan Zein refleks menutup
telinga.
“Who’s
that?” tanya Eva berbisik.
Sementara penghuni di lantai bawah
saling berpandangan dengan bingung, Shin, Lana dan Zein lantas berlari ke asal
suara.
“Ada apa?! Kenapa?! Buka pintunya!”
seru Zein menggedor-gedor pintu kamar Agatha.
Suara jeritan tadi tidak hanya
berlangsung sekali. Mereka bahkan juga mendengar bunyi benda-benda jatuh, juga
bunyi benturan, dilanjutkan dengan suara mengaduh.
“Kau sedang menghancurkan kamarmu
sendiri?!” tanya Lana heran.
Shin yang masih tenggelam dalam gengsi
hanya berdehem. Selanjutnya dia melihat penghuni DM lainnya mendatangi mereka.
Snare berdiri paling belakang. Mulutnya terkunci rapat.
Zein terus-terusan memaksa membuka
pintu kamar tersebut tapi sia-sia karena terkunci dari dalam. Saat Eero dan Laz
sepakat untuk mendobrak, pintu itu justru terbuka. Mereka pun melongok ke dalam
dan sontak terperanjat melihat sosok sadako keluar dari ruangan itu sambil
merangkak. Eva bahkan menjerit.
“A-Atha?” panggil Zein ragu. Dia menjulurkan
tangan untuk membantu Agatha berdiri. Agatha menyahut uluran tangan itu.
Penampilannya berantakan. Bahkan lebih
parah dari Shin tadi pagi. Zein melongo.
“Panggil namaku dengan benar…,” katanya
dalam nada yang sedikit bergetar.
Dia
habis lihat hantu? Audin
mengernyit.
Saat Agatha berdiri, dia menarik kerah
Zein.
“Beritahu aku…,” gumamnya pelan dengan
tatapan mengerikan. “Siapa yang ada di kamarku sementara aku tidak ada? Si Kasar
itu atau… si Jalang?”
“Ha?” Eero berceletuk heran.
“Kau ingat?” tanya Audin hati-hati.
“LANTAI KAMARKU PENUH SAMPAH SAMPAI AKU
TERPELESET DI KAMARKU SENDIRI! BARANG-BARANGKU PENUH RENDA!! CELENGANKU
BERKURANG SETENGAH!!! HARI INI ADA RAPAT MINGGUAN DAN AKU BARU BANGUN!!!”
Untunglah beberapa menit setelahnya,
atmosfer asrama berhasil ditenangkan.
***
Akhirnya setelah dibujuk dan minum
segelas penuh air sampai tandas, Agatha bisa sedikit tenang. Dia bahkan duduk
terbalik di sofa, berharap semua darahnya akan mengalir ke otak.
Shin secara sukarela menceritakan semua
yang terjadi sementara Agatha “tidak ada”. Semakin lama dia bercerita, semakin
banyak urat di wajah Agatha yang seolah hendak mencuat keluar. Kemudian saat
cerita itu selesai, Agatha membenarkan posisi duduknya lalu berdehem. Yang lain
bisa melihat bagaimana salah tingkahnya dia karena terus-terusan menghindari
pandangan lawan bicaranya.
“Shin,” ucap Agatha setelah menjambak
rambutnya sendiri. “Kau baik-baik saja?”
Otomatis, tatapan mereka langsung beralih
pada Shin bernada tanya.
Shin tersenyum—senyuman paksaan lebih
tepatnya.
“You
do know me so well,” balasnya dengan gigi yang menekan rapat.
Agatha memberengut. Shin tidak
baik-baik saja. Agana pasti membuatnya kesal setengah mati.
“Dan untuk kalian semua.. aku…” Agatha
menggigit bibir. “Aku minta maaf.”
Hening. Situasi canggung berlangsung
cukup lama. Agatha bisa melihat tatapan-tatapan mereka menyimpan makna yang
membuat batinnya mencelos. Gadis itu menunduk malu. Namun beberapa saat
kemudian, dia teringat sesuatu.
“Snare,” panggilnya.
Mata si Vampir melebar ketika menoleh. Melihat
tatapan tajam Agatha, laki-laki itu memasang kuda-kuda untuk lari.
“Berapa liter darahku yang kau minum? Sialan
kau…” Agatha menggerutu. Dia lagi-lagi menggigit bibir.
Snare mengira Agatha akan melemparkan
sesuatu padanya—entah itu sepatu, gelas, atau vas bunga. Nyatanya sambil
berwajah keruh, dia berucap, “Terimakasih.”
0 komentar:
Posting Komentar