Audin
sebenarnya malu saat pertengahan jam pelajaran, dia izin ke toilet. Panggilan alam
yang diterimanya tidak tertahankan lagi. Dia berusaha terlihat tenang ketika
melangkah keluar kelas melewati bangku teman-teman sekelasnya. Saat deretan
jendela kelas itu telah habis dia lalui sambil berjalan wajar, barulah dia
berlari secepat kilat. Naas sesampainya dia di toilet, tiga ruang di dalamnya
telah terisi penuh. Alhasil, dia terpaksa harus menahan lagi hasratnya sambil
menunggu.
Keringat
dingin muncul membasahi wajah Audin. Wajah itu juga memucat, bahkan mulai
berubah sedikit membiru. Tangannya pun tidak bisa diam meremas-remas rok. Puncaknya,
dia mengguncang-guncangkan tubuhnya sambil menatap langit-langit.
Agatha
masuk ke sana sesaat kemudian. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi Audin
buru-buru memutus kontak mata duluan. Dari sudut matanya, dia bisa mengetahui
salah satu teman satu asramanya itu menghampiri wastafel untuk cuci tangan.
Air
keran dimatikan, namun tidak seperti yang diharapkan Audin, Agatha tidak
kunjung pergi. Entah apa yang dilakukannya, karena dia—untuk beberapa detik—bergeming.
Audin pun menutup mata dan menggigiti bibir, menebak kalau gadis itu pasti
sedang menertawainya dalam hati. Batinnya mengutuk Agatha, bersumpah dia akan
terus menambah sumpah serapahnya kalau gadis jahat itu tidak cepat-cepat pergi.
Agatha
akhirnya bergerak. Namun bukan keluar toilet seperti yang diinginkan Audin. Gadis
itu mengetuk satu per satu pintu kamar mandi.
“Ada
yang bisa lebih cepat sedikit? Ada yang sedang antri di luar,” katanya.
“Oh,
maaf! Sebentar lagi ya!”
“Aku
mau selesai!”
“Maaf,
aku masih lama!”
Tiga
orang di dalam kemudian bergantian menyahut. Tidak lama, salah satunya bahkan
langsung keluar dari kamar mandi. Dia tampak sedang membawa sebuah majalah di
pelukannya. Melihat Agatha, gadis itu meringis. Seperginya dia, Agatha menoleh
pada Audin. Pandangan mereka bertemu lagi.
Audin
sempat tertegun. Tatapan yang diterimanya seperti sebuah isyarat. Tidak mengatakan apa-apa, Agatha lalu
beranjak pergi.
Audin
langsung berlari masuk ke kamar mandi yang kosong. Meski heran dan lega, dia
tidak percaya gadis jahat itu baru saja menolongnya. Tidak sedikit pun.
***
Laz
lapar. Sepulangnya dari sekolah, dia sempat ke dapur namun tidak menemukan
makanan siap makan di sana. Yang ada hanyalah bahan-bahan mentah yang mungkin
cocok untuk Zein, bukan untuk karnivora macam dirinya yang lebih suka makanan
hewani.
Laz
menyerah. Dia harus puas mengganjal perut dengan sebotol air mineral. Laki-laki
itu lalu masuk ke kamar dan melemparkan tasnya begitu saja ke lantai. Tepat saat
itulah, rasa pusing yang hebat menderanya. Laz sampai meringis. Dia pun
terduduk di lantai sambil menekan-nekan kuat kepalanya dengan kedua tangan.
Wajahnya
memucat. Tubuhnya diselimuti hawa dingin. Napasnya juga tersengal-tersengal.
Suara-suara
itu mendadak kembali. Mereka kembali
menghantuinya.
“Laz?”
Eero mendadak masuk ke kamar itu tanpa mengetuk pintu lebih dulu—seperti yang
biasa dia lakukan. Laz sering menegurnya karena kesal, namun teguran itu tidak
pernah benar-benar didengar Eero. Namun kali ini, tindakan Eero justru berguna.
Melihat
Laz meringkuk dan merintih menahan denyut di kepalanya, Eero buru-buru
menghampiri laki-laki itu. Eero menaruh tangan kanannya di kening Laz lalu
mengucapkan kata-kata mantra. Kata-kata itu mengandung sihir yang mengundang
cahaya redup keluar dari tangannya. Ketika Eero berhenti mengucapkan mantra,
Laz bisa mengambil napas lega.
“Jangan
bersandar. Sepertinya kau harus tidur tertelungkup malam ini,” kata Eero.
Laz
diam. Eero juga melihat beberapa keping logam yang runcing keluar dari bahunya.
“Menarik
sekali,” ujar Eero lagi setelah bangkit berdiri. “Aku tak pernah melihatmu
seperti itu sejak terakhir kita masuk ke DM.”
Laz
masih bungkam. Kepalanya telah berhenti berdenyut, namun pandangannya masih
agak buram.
“Aku
harap kau masih bisa mengontrolnya. Beritahu aku lagi kalau suara-suara itu
datang lagi. Jika bertambah buruk, bukan hanya kesadaranmu yang akan hilang,
bisa-bisa yang lain pun terluka.”
“Aku
tahu..,” balas Laz lirih. “Tinggalkan aku sendiri dulu.”
Eero
hanya bisa menghela napas. Dia lalu keluar dari kamar itu dan tidak lupa
menutup pintu. Laki-laki itu tidak menyadari kalau Eva yang barusan datang,
tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
***
Zein
pulang membawa seekor anak kucing yang dia pungut dari pinggir jalan. Gadis itu
menaruhnya di atas kursi dapur lalu mencari-cari susu formula bubuk di tempat
penyimpanan bahan minuman. Dia mengisi panci kecil dengan air lalu memasaknya
di atas kompor. Sementara dia menunggu, air itu panas, Zein yang lapar pun
membuka kulkas. Kebanyakan isinya bahan-bahan mentah yang tidak tahu harus
diapakan untuk memakannya. Zein suka terong, tapi dia enggan memakan terong
mentah.
Pada
akhirnya gadis itu hanya mengambil sebutir tomat lalu memakannya.
“Kau
mau lihat kamarku? Ayo kita ke kamar,” kata Zein pada anak kucing yang dia
bawa. Hewan kecil itupun dia gendong ke lantai atas.
Sungguh.
Dia lupa total pada air yang tengah dimasak.
Air di
dalam panci itu menyusut perlahan sampai-sampai hilang sama sekali. Bau hangus
pelan-pelan tercium. Sisi bawahnya bahkan mulai menghitam.
Agatha
datang karena dia mencium aroma terbakar. Matanya mengerjap berulang kali
mendapati panci kecil di atas kompor dijilat dengan api besar. Tidak perlu
melihat ke dalam panci itu untuk tahu kalau tidak ada air di sana. Gadis itu
terdiam cukup lama melihat api di kompor itu makin bertambah besar.
“Gawat!
Gawat!!” Zein datang dan menjerit-jerit. Dia baru ingat pada air yang direbus
setelah beberapa saat tertidur. Bau gosong membuatnya makin panik. Zein kaget
melihat Agatha juga ada di dapur. Tambah kaget lagi saat melihat api di kompor
membesar dan tampak mengerikan.
Zein
menganga. Perhatiannya terpaku pada api. Bunyi air yang mengalir dari keran
tidak didengarnya. Agatha membasahi sehelai handuk lalu melemparkan benda itu
dalam bentuk lebar ke arah panci setelah mematikan kompor. Api itu langsung
padam seketika.
“Maaf!
Maaf! Aku benar-benar tidak sengaja!” Zein tanpa sadar berteriak. Dia meringkuk
dan menutup mata saking takut kalau sebentar lagi, tongkat es akan menghantam
kepalanya.
Hening.
Zein menunggu kalimat-kalimat makian dari Agatha. Kalaupun bukan makian, pasti
cemoohan yang akan keluar.
Tapi
nyatanya. Gadis itu diam seperti tidak pernah mendengar apa pun.
Zein
tetap meringkuk bagai batu. Dia bertekad tetap akan seperti itu sampai Agatha
pergi. Pengendali air di DM benar-benar jelmaan iblis sekarang. Zein sempat
berpikir akan melawannya dulu, tapi tindakan itu tidak akan berakhir baik untuk
hewan-hewan temannya. Jadi dia akan lebih memilih mengalah.
Kruk…
Zein
terbelalak. Mata Agatha melebar.
Suara
perut Zein.
Agatha
bergerak membuka kulkas lalu memeriksa isinya. Zein hanya bisa berkutat dengan
pikiran aneh-aneh karena dirinya menolak mengangkat wajah juga membuka mata. Dia
mendengar bunyi berisik plastik, gesekan peralatan makan, dan suara piring yang
diletakkan di atas meja. Setelah beberapa saat lamanya mendengar bunyi-bunyi
beraturan yang biasanya dihasilkan Shin ketika memasak, Zein yang penasaran pun
akhirnya melihat apa yang dilakukan Agatha.
Gadis
itu memegang pisau dan dia sedang mengiris kiwi, apel dan pisang. Tidak lama
kemudian, sandwich yang dia buat
terhidang. Tidak hanya satu, jumlahnya ada delapan.
“Darimana
kau.. dapat roti tawar dan.. buah..?” tanya Zein takut-takut karena seingatnya
hanya ada sayur dan beberapa botol air mineral di kulkas tadi.
Agatha
memasukkan kulit kiwi dan pisang sisa ke dalam plastik belanjaan. Dia jadi
tidak perlu menjawab pertanyaan Zein karena jawabannya ada di tas plastik yang
sekarang dia ikat. Agatha pulang terlambat untuk berbelanja.
Tidak
mengucapkan apa-apa, Agatha beranjak pergi setelah menjinjing lagi tasnya ke
lantai atas, membiarkan Zein yang diam dan sedikit bingung.
Bagaimana aku tahu dia siapa kalau dia diam
seperti itu? Gumam Zein dalam hati.
***
Kubangan
air di sisi jalan tidak dipedulikan oleh Shin yang berlari sambil menenteng
plastik belanjaan. Dia berulang kali melihat jam tangannya, mengetahui kalau
saat ini sudah lewat waktunya makan malam. Les musik yang dia ikuti kurang
lebih dua bulan ini sedikit lebih lama dari seharusnya karena Shin membuat
banyak kesalahan. Sepulangnya dari sana, Shin buru-buru berbelanja karena
seingatnya kulkas di asrama nyaris kosong. Teman-temannya pasti sedang
kelaparan menunggunya jadi dia harus bergegas.
Saat hampir
melewati sebuah taman bermain, langkah Shin berubah pelan. Sepasang matanya
menangkap sosok laki-laki yang tidak asing. Rambut hitam panjangnya yang diikat
di bahu samping begitu indah diterpa sinar bulan. Laki-laki itu tampak
tersenyum. Dia berdiri berhadapan dengan seseorang.
Hati Shin
mencelos.
Tidak mungkin itu dia,
batinnya. Shin mencegah benaknya berpikir lebih jauh, jadi dia langsung
berjalan menjauh—berpura-pura tidak melihat apa pun.
***
Lana,
Zein, dan Audin sedang asyik bermain kartu di ruang tamu ketika Shin pulang.
Zein langsung menyerbu belanjaan Shin untuk mengetahui apa saja yang dibeli
gadis itu. Dia sumringah melihat beberapa buah dan sayur, namun begidik begitu
melihat daging dan ikan.
“Kau
belanja sampai jam segini?” Lana mengerutkan kening setelah melihat ke arah jam
dinding.
“Aku
ada les tadi,” jawab Shin memaksakan senyum. “Maaf, aku masak sekarang deh ya. Kalian
pasti lapar toh?”
“Kami
sudah makan,” kata Audin.
Shin
yang terkejut, menatap mereka satu per satu.
“Mm.
Kami makan sandwich buah. Tapi aku
takkan menolak kentang goreng,” racau Zein lalu tertawa.
Tertegun,
Shin terdiam cukup lama karena benaknya mulai diselimuti bayangan-bayangan yang
membuatnya cemas.
“Kau
baik-baik saja? Wajahmu pucat, Shin,” kata Lana.
“Siapa..”
Shin tidak mengacuhkan Lana. “Siapa yang membuat sandwich?”
Audin
dan Zein saling berpandangan.
“Kalau
aku kasih tahu, kau pasti tidak akan percaya,” ujar Lana sambil menopang dagu. Nadanya
terdengar seperti orang yang sedang sebal. “Aku sangat lapar tadi, kau tahu? Aku
akan langsung pingsan kalau tidak langsung makan.”
“Yang
membuatnya tadi…” Kata-kata Audin langsung terputus begitu Shin berlari setelah
melepaskan plastik belanjaannya begitu saja.
Shin
naik ke lantai dua dengan langkah yang cepat. Batinnya mencelos was-was. Sesampainya
dia di depan pintu sebuah kamar, gadis itu mengetuk lebih dulu. Tidak ada
tanggapan dari dalam, dia pun tidak ragu membukanya. Begitu papan pintu itu
melayang mundur, Shin langsung membeku melihat apa yang ada dalam kamar
tersebut. Lantainya penuh dengan bola-bola es yang tidak mencair seukuran
kelereng.
Apa
yang dia lihat kali ini telah cukup memberitahunya.
Shin
menunduk. Dia kembali menutup pintu itu. Badannya seketika lemas dan dia pun
jatuh terduduk.
Beberapa
saat kemudian, Snare menghampirinya. Laki-laki itu berdiri tepat di depan Shin.
Shin mengangkat wajahnya dan pandangan mereka bertemu.
“Apa
ini hanya perasaanku saja?” gumam Snare. Iris matanya perlahan berubah merah
menyala. “Kau sepertinya ingin seseorang ditendang keluar malam ini juga.”
***
Laz
terbangun lewat tengah malam dalam keadaan napas yang labil. Kepalanya lagi-lagi
berputar-putar dan dia mendengar suara-suara aneh. Kali ini lebih keras seperti
berusaha merobek gendang telinganya.
Laki-laki
itu berguling lalu jatuh dari ranjang. Sekujur tubuhnya gemetaran. Keringat dingin
mengucur. Pandangannya buram. Pita suaranya tidak berfungsi.
Perlahan
dan mengerikan, serpihan logam mulai mencuat dari lengan kanannya. Tak ayal,
darah pun mengalir deras. Karpet yang awalnya berwarna abu-abu terangpun
berubah menjadi genangan merah pekat.
Laz
meremas tubuhnya sendiri, berharap hal itu akan mengurangi rasa sakitnya namun
sia-sia. Napasnya pun mulai terputus-putus.
Di tengah
pandangannya yang diselimuti kabut bayangan kematian itulah, seseorang menghancurkan
jendela kamarnya. Orang itu masuk dengan rambutnya yang merah menyala meliuk
diterpa angin. Wajahnya mendekat dan Laz bisa melihat kilau sepasang ruby.
“Come with me..” bisik orang itu. Lalu
bara api yang besar, melalap mereka berdua.
***
“Kalian
lihat Eva pagi ini? Aku tidak melihatnya dari kemarin,” ujar Lana.
“Bukannya
dia sering menghilang? Kenapa musti heran?” tanggap Audin.
Mereka
berjalan berempat saat berangkat ke sekolah pagi ini ditambah Zein dan Shin. Zein
bertanya-tanya menyadari raut muka yang murung dari Shin sejak kemarin. Dia sempat
berpikir untuk bertanya langsung, namun sepertinya Shin pun terang-terangan
menghindari tatapan orang yang khawatir padanya.
Shin
mengangkat wajahnya dan langkah gadis itu terhenti begitu melihat seseorang
yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka.
Lana
tampak kesal. Dia langsung menarik Audin untuk cepat-cepat enyah dari pandangan
orang itu.
Agatha.
Matanya tampak sayu.
“Bisa
bicara sebentar?” kata Shin pada gadis itu sebelum akhirnya meninggalkan Zein
sendirian.
***
Eero
keluar dari kantin sambil menyedot susu kotak ketika jam istirahat. Saat dia
berbelok masuk ke gedung sekolah, mendadak Zein mengagetkannya.
“EERO!!”
Dan
seruan itu sontak membuat Eero menyemburkan susu di mulutnya pada Zein.
“Gross…,” gerutu Zein kesal.
“Salah
sendiri. Buat kaget saja!” semprot Eero lagi. “Kenapa pula pakai panik begitu
sih?”
Zein
langsung memegang kedua bahu Eero dan memasang wajah serius.
“Kau
lihat Shin? Atau Agatha? Mereka bolos tahu! Aku harus tahu mereka ada di mana
sekarang!”
“Ah..
mereka..” Eero menyilangkan tangan. “Aku melihat mereka dekat lab biologi tadi.”
Zein
tiba-tiba menarik lengan Eero dan menyeret laki-laki itu ke tempat yang dia
beritahukan. Begitu melihat dua orang yang Zein cari, mereka pun bersembunyi di
balik semak-semak.
“Apa
yang mereka bicarakan? Kenapa wajah Shin jadi begitu suram?” Zein
bertanya-tanya.
“Kenapa
kau menyeretku juga sih?” protes Eero.
“Supaya
aku bisa langsung menghajarmu kalau berbohong,” jawab Zein pura-pura polos.
“Mereka
ketemu kan? Aku mau ke kelas dulu.” Eero bangkit berdiri. Dia kaget saat Zein
langsung menariknya untuk jongkok lagi.
“Mereka
akan melihatmu! Aku tak mau ketahuan!”
“Tidak
baik menguping pembicaraan orang tahu!”
“Aku
harus tahu kalau mereka ada masalah! Jangan cerewet!”
Sementara
dua orang itu bertengkar, Shin memandang Agatha dengan tegang. Kedua gadis itu
tidak bisa menyembunyikan atmosfer kaku di sekeliling mereka. Shin kenal dengan
orang yang di hadapannya kini dan dia tidak bisa tenang sebelum memastikan
kecemasannya. Namun baru saja pembicaraan mereka berlanjut ke inti masalah,
Agatha berucap sebelum Shin menyelesaikan kalimatnya.
“Mundur,
Shin,” katanya.
Shin
mematung.
“Kalau
tidak bisa melepas, lebih baik tidak usah memiliki sedari awal..”
Sedetik
kemudian, satu tamparan melayang dan mendarat keras di pipi Agatha.
Eero
dan Zein tercengang. Terlebih ketika Mr. Elios tidak sengaja melihat dari
balkon.
“Shin..”
Mr. Elios menyebut nama itu.
Shin
mendongak ke atas. Gadis itu terkesiap keras.
Pria itu akan membencinya. Mr. Elios akan
meninggalkannya jika tahu. Shin tidak akan pernah menggandeng tangannya dengan
cara yang sama lagi.
0 komentar:
Posting Komentar