Welcome to Disaster Maker Club (11)

Rabu, 01 Juni 2016



Audin sebenarnya malu saat pertengahan jam pelajaran, dia izin ke toilet. Panggilan alam yang diterimanya tidak tertahankan lagi. Dia berusaha terlihat tenang ketika melangkah keluar kelas melewati bangku teman-teman sekelasnya. Saat deretan jendela kelas itu telah habis dia lalui sambil berjalan wajar, barulah dia berlari secepat kilat. Naas sesampainya dia di toilet, tiga ruang di dalamnya telah terisi penuh. Alhasil, dia terpaksa harus menahan lagi hasratnya sambil menunggu.

Keringat dingin muncul membasahi wajah Audin. Wajah itu juga memucat, bahkan mulai berubah sedikit membiru. Tangannya pun tidak bisa diam meremas-remas rok. Puncaknya, dia mengguncang-guncangkan tubuhnya sambil menatap langit-langit.

Agatha masuk ke sana sesaat kemudian. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi Audin buru-buru memutus kontak mata duluan. Dari sudut matanya, dia bisa mengetahui salah satu teman satu asramanya itu menghampiri wastafel untuk cuci tangan.

Air keran dimatikan, namun tidak seperti yang diharapkan Audin, Agatha tidak kunjung pergi. Entah apa yang dilakukannya, karena dia—untuk beberapa detik—bergeming. Audin pun menutup mata dan menggigiti bibir, menebak kalau gadis itu pasti sedang menertawainya dalam hati. Batinnya mengutuk Agatha, bersumpah dia akan terus menambah sumpah serapahnya kalau gadis jahat itu tidak cepat-cepat pergi.

Agatha akhirnya bergerak. Namun bukan keluar toilet seperti yang diinginkan Audin. Gadis itu mengetuk satu per satu pintu kamar mandi.

“Ada yang bisa lebih cepat sedikit? Ada yang sedang antri di luar,” katanya.

“Oh, maaf! Sebentar lagi ya!”

“Aku mau selesai!”

“Maaf, aku masih lama!”

Tiga orang di dalam kemudian bergantian menyahut. Tidak lama, salah satunya bahkan langsung keluar dari kamar mandi. Dia tampak sedang membawa sebuah majalah di pelukannya. Melihat Agatha, gadis itu meringis. Seperginya dia, Agatha menoleh pada Audin. Pandangan mereka bertemu lagi.

Audin sempat tertegun. Tatapan yang diterimanya seperti sebuah isyarat.  Tidak mengatakan apa-apa, Agatha lalu beranjak pergi.

Audin langsung berlari masuk ke kamar mandi yang kosong. Meski heran dan lega, dia tidak percaya gadis jahat itu baru saja menolongnya. Tidak sedikit pun.

***
Laz lapar. Sepulangnya dari sekolah, dia sempat ke dapur namun tidak menemukan makanan siap makan di sana. Yang ada hanyalah bahan-bahan mentah yang mungkin cocok untuk Zein, bukan untuk karnivora macam dirinya yang lebih suka makanan hewani.

Laz menyerah. Dia harus puas mengganjal perut dengan sebotol air mineral. Laki-laki itu lalu masuk ke kamar dan melemparkan tasnya begitu saja ke lantai. Tepat saat itulah, rasa pusing yang hebat menderanya. Laz sampai meringis. Dia pun terduduk di lantai sambil menekan-nekan kuat kepalanya dengan kedua tangan.

Wajahnya memucat. Tubuhnya diselimuti hawa dingin. Napasnya juga tersengal-tersengal.

Suara-suara itu mendadak kembali. Mereka kembali menghantuinya.

“Laz?” Eero mendadak masuk ke kamar itu tanpa mengetuk pintu lebih dulu—seperti yang biasa dia lakukan. Laz sering menegurnya karena kesal, namun teguran itu tidak pernah benar-benar didengar Eero. Namun kali ini, tindakan Eero justru berguna.

Melihat Laz meringkuk dan merintih menahan denyut di kepalanya, Eero buru-buru menghampiri laki-laki itu. Eero menaruh tangan kanannya di kening Laz lalu mengucapkan kata-kata mantra. Kata-kata itu mengandung sihir yang mengundang cahaya redup keluar dari tangannya. Ketika Eero berhenti mengucapkan mantra, Laz bisa mengambil napas lega.

“Jangan bersandar. Sepertinya kau harus tidur tertelungkup malam ini,” kata Eero.

Laz diam. Eero juga melihat beberapa keping logam yang runcing keluar dari bahunya.

“Menarik sekali,” ujar Eero lagi setelah bangkit berdiri. “Aku tak pernah melihatmu seperti itu sejak terakhir kita masuk ke DM.”

Laz masih bungkam. Kepalanya telah berhenti berdenyut, namun pandangannya masih agak buram.

“Aku harap kau masih bisa mengontrolnya. Beritahu aku lagi kalau suara-suara itu datang lagi. Jika bertambah buruk, bukan hanya kesadaranmu yang akan hilang, bisa-bisa yang lain pun terluka.”

“Aku tahu..,” balas Laz lirih. “Tinggalkan aku sendiri dulu.”

Eero hanya bisa menghela napas. Dia lalu keluar dari kamar itu dan tidak lupa menutup pintu. Laki-laki itu tidak menyadari kalau Eva yang barusan datang, tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.

***
Zein pulang membawa seekor anak kucing yang dia pungut dari pinggir jalan. Gadis itu menaruhnya di atas kursi dapur lalu mencari-cari susu formula bubuk di tempat penyimpanan bahan minuman. Dia mengisi panci kecil dengan air lalu memasaknya di atas kompor. Sementara dia menunggu, air itu panas, Zein yang lapar pun membuka kulkas. Kebanyakan isinya bahan-bahan mentah yang tidak tahu harus diapakan untuk memakannya. Zein suka terong, tapi dia enggan memakan terong mentah.

Pada akhirnya gadis itu hanya mengambil sebutir tomat lalu memakannya.

“Kau mau lihat kamarku? Ayo kita ke kamar,” kata Zein pada anak kucing yang dia bawa. Hewan kecil itupun dia gendong ke lantai atas.

Sungguh. Dia lupa total pada air yang tengah dimasak.

Air di dalam panci itu menyusut perlahan sampai-sampai hilang sama sekali. Bau hangus pelan-pelan tercium. Sisi bawahnya bahkan mulai menghitam.

Agatha datang karena dia mencium aroma terbakar. Matanya mengerjap berulang kali mendapati panci kecil di atas kompor dijilat dengan api besar. Tidak perlu melihat ke dalam panci itu untuk tahu kalau tidak ada air di sana. Gadis itu terdiam cukup lama melihat api di kompor itu makin bertambah besar.

“Gawat! Gawat!!” Zein datang dan menjerit-jerit. Dia baru ingat pada air yang direbus setelah beberapa saat tertidur. Bau gosong membuatnya makin panik. Zein kaget melihat Agatha juga ada di dapur. Tambah kaget lagi saat melihat api di kompor membesar dan tampak mengerikan.

Zein menganga. Perhatiannya terpaku pada api. Bunyi air yang mengalir dari keran tidak didengarnya. Agatha membasahi sehelai handuk lalu melemparkan benda itu dalam bentuk lebar ke arah panci setelah mematikan kompor. Api itu langsung padam seketika.

“Maaf! Maaf! Aku benar-benar tidak sengaja!” Zein tanpa sadar berteriak. Dia meringkuk dan menutup mata saking takut kalau sebentar lagi, tongkat es akan menghantam kepalanya.

Hening. Zein menunggu kalimat-kalimat makian dari Agatha. Kalaupun bukan makian, pasti cemoohan yang akan keluar.

Tapi nyatanya. Gadis itu diam seperti tidak pernah mendengar apa pun.

Zein tetap meringkuk bagai batu. Dia bertekad tetap akan seperti itu sampai Agatha pergi. Pengendali air di DM benar-benar jelmaan iblis sekarang. Zein sempat berpikir akan melawannya dulu, tapi tindakan itu tidak akan berakhir baik untuk hewan-hewan temannya. Jadi dia akan lebih memilih mengalah.

Kruk…

Zein terbelalak. Mata Agatha melebar.

Suara perut Zein.

Agatha bergerak membuka kulkas lalu memeriksa isinya. Zein hanya bisa berkutat dengan pikiran aneh-aneh karena dirinya menolak mengangkat wajah juga membuka mata. Dia mendengar bunyi berisik plastik, gesekan peralatan makan, dan suara piring yang diletakkan di atas meja. Setelah beberapa saat lamanya mendengar bunyi-bunyi beraturan yang biasanya dihasilkan Shin ketika memasak, Zein yang penasaran pun akhirnya melihat apa yang dilakukan Agatha.

Gadis itu memegang pisau dan dia sedang mengiris kiwi, apel dan pisang. Tidak lama kemudian, sandwich yang dia buat terhidang. Tidak hanya satu, jumlahnya ada delapan.

“Darimana kau.. dapat roti tawar dan.. buah..?” tanya Zein takut-takut karena seingatnya hanya ada sayur dan beberapa botol air mineral di kulkas tadi.

Agatha memasukkan kulit kiwi dan pisang sisa ke dalam plastik belanjaan. Dia jadi tidak perlu menjawab pertanyaan Zein karena jawabannya ada di tas plastik yang sekarang dia ikat. Agatha pulang terlambat untuk berbelanja.

Tidak mengucapkan apa-apa, Agatha beranjak pergi setelah menjinjing lagi tasnya ke lantai atas, membiarkan Zein yang diam dan sedikit bingung.

Bagaimana aku tahu dia siapa kalau dia diam seperti itu? Gumam Zein dalam hati.

***
Kubangan air di sisi jalan tidak dipedulikan oleh Shin yang berlari sambil menenteng plastik belanjaan. Dia berulang kali melihat jam tangannya, mengetahui kalau saat ini sudah lewat waktunya makan malam. Les musik yang dia ikuti kurang lebih dua bulan ini sedikit lebih lama dari seharusnya karena Shin membuat banyak kesalahan. Sepulangnya dari sana, Shin buru-buru berbelanja karena seingatnya kulkas di asrama nyaris kosong. Teman-temannya pasti sedang kelaparan menunggunya jadi dia harus bergegas.

Saat hampir melewati sebuah taman bermain, langkah Shin berubah pelan. Sepasang matanya menangkap sosok laki-laki yang tidak asing. Rambut hitam panjangnya yang diikat di bahu samping begitu indah diterpa sinar bulan. Laki-laki itu tampak tersenyum. Dia berdiri berhadapan dengan seseorang.

Hati Shin mencelos.

Tidak mungkin itu dia, batinnya. Shin mencegah benaknya berpikir lebih jauh, jadi dia langsung berjalan menjauh—berpura-pura tidak melihat apa pun.

***
Lana, Zein, dan Audin sedang asyik bermain kartu di ruang tamu ketika Shin pulang. Zein langsung menyerbu belanjaan Shin untuk mengetahui apa saja yang dibeli gadis itu. Dia sumringah melihat beberapa buah dan sayur, namun begidik begitu melihat daging dan ikan.

“Kau belanja sampai jam segini?” Lana mengerutkan kening setelah melihat ke arah jam dinding.

“Aku ada les tadi,” jawab Shin memaksakan senyum. “Maaf, aku masak sekarang deh ya. Kalian pasti lapar toh?”

“Kami sudah makan,” kata Audin.

Shin yang terkejut, menatap mereka satu per satu.

“Mm. Kami makan sandwich buah. Tapi aku takkan menolak kentang goreng,” racau Zein lalu tertawa.

Tertegun, Shin terdiam cukup lama karena benaknya mulai diselimuti bayangan-bayangan yang membuatnya cemas.

“Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat, Shin,” kata Lana.

“Siapa..” Shin tidak mengacuhkan Lana. “Siapa yang membuat sandwich?”

Audin dan Zein saling berpandangan.

“Kalau aku kasih tahu, kau pasti tidak akan percaya,” ujar Lana sambil menopang dagu. Nadanya terdengar seperti orang yang sedang sebal. “Aku sangat lapar tadi, kau tahu? Aku akan langsung pingsan kalau tidak langsung makan.”

“Yang membuatnya tadi…” Kata-kata Audin langsung terputus begitu Shin berlari setelah melepaskan plastik belanjaannya begitu saja.

Shin naik ke lantai dua dengan langkah yang cepat. Batinnya mencelos was-was. Sesampainya dia di depan pintu sebuah kamar, gadis itu mengetuk lebih dulu. Tidak ada tanggapan dari dalam, dia pun tidak ragu membukanya. Begitu papan pintu itu melayang mundur, Shin langsung membeku melihat apa yang ada dalam kamar tersebut. Lantainya penuh dengan bola-bola es yang tidak mencair seukuran kelereng.

Apa yang dia lihat kali ini telah cukup memberitahunya.

Shin menunduk. Dia kembali menutup pintu itu. Badannya seketika lemas dan dia pun jatuh terduduk.

Beberapa saat kemudian, Snare menghampirinya. Laki-laki itu berdiri tepat di depan Shin. Shin mengangkat wajahnya dan pandangan mereka bertemu.

“Apa ini hanya perasaanku saja?” gumam Snare. Iris matanya perlahan berubah merah menyala. “Kau sepertinya ingin seseorang ditendang keluar malam ini juga.”

***
Laz terbangun lewat tengah malam dalam keadaan napas yang labil. Kepalanya lagi-lagi berputar-putar dan dia mendengar suara-suara aneh. Kali ini lebih keras seperti berusaha merobek gendang telinganya.

Laki-laki itu berguling lalu jatuh dari ranjang. Sekujur tubuhnya gemetaran. Keringat dingin mengucur. Pandangannya buram. Pita suaranya tidak berfungsi.

Perlahan dan mengerikan, serpihan logam mulai mencuat dari lengan kanannya. Tak ayal, darah pun mengalir deras. Karpet yang awalnya berwarna abu-abu terangpun berubah menjadi genangan merah pekat.

Laz meremas tubuhnya sendiri, berharap hal itu akan mengurangi rasa sakitnya namun sia-sia. Napasnya pun mulai terputus-putus.

Di tengah pandangannya yang diselimuti kabut bayangan kematian itulah, seseorang menghancurkan jendela kamarnya. Orang itu masuk dengan rambutnya yang merah menyala meliuk diterpa angin. Wajahnya mendekat dan Laz bisa melihat kilau sepasang ruby.

Come with me..” bisik orang itu. Lalu bara api yang besar, melalap mereka berdua.

***

“Kalian lihat Eva pagi ini? Aku tidak melihatnya dari kemarin,” ujar Lana.

“Bukannya dia sering menghilang? Kenapa musti heran?” tanggap Audin.

Mereka berjalan berempat saat berangkat ke sekolah pagi ini ditambah Zein dan Shin. Zein bertanya-tanya menyadari raut muka yang murung dari Shin sejak kemarin. Dia sempat berpikir untuk bertanya langsung, namun sepertinya Shin pun terang-terangan menghindari tatapan orang yang khawatir padanya.

Shin mengangkat wajahnya dan langkah gadis itu terhenti begitu melihat seseorang yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka.

Lana tampak kesal. Dia langsung menarik Audin untuk cepat-cepat enyah dari pandangan orang itu.

Agatha. Matanya tampak sayu.

“Bisa bicara sebentar?” kata Shin pada gadis itu sebelum akhirnya meninggalkan Zein sendirian.
***

Eero keluar dari kantin sambil menyedot susu kotak ketika jam istirahat. Saat dia berbelok masuk ke gedung sekolah, mendadak Zein mengagetkannya.

“EERO!!”

Dan seruan itu sontak membuat Eero menyemburkan susu di mulutnya pada Zein.

Gross…,” gerutu Zein kesal.

“Salah sendiri. Buat kaget saja!” semprot Eero lagi. “Kenapa pula pakai panik begitu sih?”

Zein langsung memegang kedua bahu Eero dan memasang wajah serius.

“Kau lihat Shin? Atau Agatha? Mereka bolos tahu! Aku harus tahu mereka ada di mana sekarang!”

“Ah.. mereka..” Eero menyilangkan tangan. “Aku melihat mereka dekat lab biologi tadi.”

Zein tiba-tiba menarik lengan Eero dan menyeret laki-laki itu ke tempat yang dia beritahukan. Begitu melihat dua orang yang Zein cari, mereka pun bersembunyi di balik semak-semak.

“Apa yang mereka bicarakan? Kenapa wajah Shin jadi begitu suram?” Zein bertanya-tanya.

“Kenapa kau menyeretku juga sih?” protes Eero.

“Supaya aku bisa langsung menghajarmu kalau berbohong,” jawab Zein pura-pura polos.

“Mereka ketemu kan? Aku mau ke kelas dulu.” Eero bangkit berdiri. Dia kaget saat Zein langsung menariknya untuk jongkok lagi.

“Mereka akan melihatmu! Aku tak mau ketahuan!”

“Tidak baik menguping pembicaraan orang tahu!”

“Aku harus tahu kalau mereka ada masalah! Jangan cerewet!”

Sementara dua orang itu bertengkar, Shin memandang Agatha dengan tegang. Kedua gadis itu tidak bisa menyembunyikan atmosfer kaku di sekeliling mereka. Shin kenal dengan orang yang di hadapannya kini dan dia tidak bisa tenang sebelum memastikan kecemasannya. Namun baru saja pembicaraan mereka berlanjut ke inti masalah, Agatha berucap sebelum Shin menyelesaikan kalimatnya.

“Mundur, Shin,” katanya.

Shin mematung.

“Kalau tidak bisa melepas, lebih baik tidak usah memiliki sedari awal..”

Sedetik kemudian, satu tamparan melayang dan mendarat keras di pipi Agatha.

Eero dan Zein tercengang. Terlebih ketika Mr. Elios tidak sengaja melihat dari balkon.

“Shin..” Mr. Elios menyebut nama itu.

Shin mendongak ke atas. Gadis itu terkesiap keras.
 
Pria itu akan membencinya. Mr. Elios akan meninggalkannya jika tahu. Shin tidak akan pernah menggandeng tangannya dengan cara yang sama lagi.


0 komentar: