A Bowl of Milk Pudding: Sometimes it’s not the butterflies that tell you you’re in love, but the pain

Minggu, 07 Juni 2015





Sebuah mobil Audi hitam berhenti tepat di depan stasiun kemudian dari pintu pengendara, seorang pria berlari kecil membuka bagasi mengeluarkan sebuah koper kecil berwarna kuning. Beberapa saat keluarlah seorang gadis ber-coat kuning dengan sepasang wedges tinggi yang langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling mendapati banyak orang berlalu lalang sibuk. Pria tadi menghampirinya menyerahkan koper gadis itu lalu menunduk sekilas. Setelah mengatakan sesuatu, gadis itu pun melangkah masuk stasiun tanpa menoleh kembali.

Melewati akses masuk dan setibanya di dalam, pandangannya berkeliling lagi namun dia tidak menemukan orang yang dicari. Menghela napas, gadis itu menyeret kopernya menuju ke tempat duduk yang kosong. Saat melihat jam tangan kecilnya, dia maklum karena telah datang dua belas menit lebih awal dari yang dijanjikan.

Seorang pria beraroma rokok yang menyengat berjalan lewat di depannya lalu duduk tidak jauh dari gadis itu. Dia menyembunyikan kedua tangannya pada saku jaket. Diam-diam dia pun melirik ke samping memperhatikan gadis tadi yang sekarang tampak sedang melamun karena matanya menyorot lurus ke depan tanpa beralih ke arah lain.

Coat kuning gadis itu terlihat begitu mencolok karena kuning bersih tanpa cela. Tudungnya berhias serat-serat yang lembut bagai bulu domba. Kebalikan dari warna kuning itu, rambut hitam kelamnya terjalin rapi di samping kanan. Walau hanya dilihat dari samping, semua orang pasti berpendapat sama dengan si Pria—dia gadis yang amat cantik. Ketika perhatian pria itu beralih, dia mengerutkan kening begitu menyadari orang-orang di sekelilingnya juga tanpa malu memperhatikan gadis tadi. Kasarnya, menjadikan dia barang tontonan.

Si Pria pelan-pelan mendekat lalu bertanya, “Mau ke mana, Non?”

Gadis itu menoleh. Tapi ekspresinya sama sekali tidak diharapkan oleh si Pria. Matanya menyorot tajam dan alisnya bertaut menunjukkan rasa tidak suka karena telah terusik. Menerima respon seperti itu, pria tadi pun mengurungkan niatnya untuk sok akrab.

Untunglah tidak lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu datang.

Seorang remaja laki-laki jangkung berjaket hitam dengan ranselnya berjalan cepat menghampiri sang Gadis yang menunggu.

“Aku sudah berusaha datang lebih awal, tapi selalu kamu yang datang lebih dulu,” kata laki-laki itu kemudian duduk di dekatnya dengan napas yang agak memburu.

“Kau lari?” Melisma—gadis itu menoleh dan tersenyum. Sikapnya seratus delapan puluh derajat berbeda dengan yang tadi.

“Taksiku terjebak macet. Aku terpaksa lari ke sini karena seperti yang sudah kubilang tadi: aku berusaha sampai di sini lebih awal,” jawab Alan sebal.

“Kenapa kau begitu terobsesi sekali datang lebih dulu daripada aku?”

“Aku-tidak-terobsesi,” jawab Alan menekan nada pada satu per satu kata, khususnya pada kata terakhir.

Melisma tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.

Satu kereta datang, berhenti sejenak untuk menunggu semua penumpangnya masuk menimbulkan jeda obrolan yang panjang di antara mereka berdua. Sebagian besar orang di sana membawa tas atau koper yang besar dan berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing, sementara sebagian lainnya hanya duduk dan menunggu—seperti yang Melisma dan Alan lakukan—sambil berkutat dengan gadget.

“Kenapa kamu milih naik kereta? Padahal akan lebih cepat dengan pesawat,” ujar Alan memasukkan kedua tangannya di saku jaket.
 
Gadis itu menekan bibirnya lalu menyilangkan tangan meskipun tersembunyi dalam balutan coat.

“Ibuku suka sekali mengajak kami berlima naik kereta api,” katanya kemudian. Matanya menerawang lurus mengingat saat-saat kecilnya yang indah. Tentunya jauh lebih indah ketika wanita yang bagaikan terus bermandikan cahaya itu masih menghembuskan napas. “Meskipun ujung-ujungnya kami hanya mendatangi tempat-tempat yang sebenarnya tidak perlu.. atau juga meski kami hanya berkeliling… Dia suka menggantungkan tangannya pada pegangan dalam kereta api yang sedikit berguncang..”

Alan terdiam. Mendengar Melisma begitu merindukan ibunya, dia langsung teringat pada sosok ibunya sendiri. Seorang wanita yang ceroboh. Bahkan karena satu kecerobohan yang dia perbuat, Alan kehilangan seseorang yang amat berharga. Karenanya untuk waktu yang lama, mereka seperti dipisahkan sebuah jurang yang lebar dan tinggi. Alan marah padanya. Namun sedikit demi sedikit, berkat bentakan Melisma suatu hari lalu, Alan sadar kalau dialah yang membuat senyum cerah yang dulu selalu menghias wajah ibunya telah memudar hingga sekarang nyaris tidak tampak sama sekali.

“Kuharap Mrs. Lusi tidak keberatan aku mengganggumu,” kata Melisma.

“Tentu aja nggak,” jawab Alan sembari menggeleng. “Dia justru tampak senang. Kamu mengingatkannya pada Allen.”

Melisma mengerutkan kening. “Allen—adikmu laki-laki.”

“Orang sering mengiranya anak perempuan karena dia sangat manis.”

“Jadi menurutmu apa aku juga sangat manis?”

Alan langsung berdehem beberapa kali lalu melihat jam tangannya. Mereka cukup menunggu beberapa menit lagi sebelum akhirnya kereta yang akan membawa mereka datang.

***

Jam-jam yang terlewat di kereta begitu melelahkan. Melisma menyeret kopernya keluar bersama Alan yang menggendong ransel di punggung. Keduanya sampai di kota tujuan saat hari menjelang sore, namun suasana dalam stasiun masih cukup padat.

“Kamu lapar? Kita naik taksi dan cari makan, atau kita check in dulu ke hotel?” tanya Alan memandang ke sekelilingnya, mengabaikan supir taksi, angkot, atau bahkan tukang ojek yang menawarkan dengan gigih jasa mereka.

“Aku mau mandi…,” gumam Melisma pelan menyadari segaris kecokelatan di bagian siku coat-nya.

“Kita ke hotel dulu kalau begitu,” putus Alan yang tiba-tiba merebut pegangan koper Melisma lalu menyeretnya ke arah satu taksi yang sedang diparkir di luar. Laki-laki itu mengatakan sesuatu pada supirnya lalu mereka menghampiri bagasi untuk menaruh barang.

Alan sepertinya tidak sadar kalau Melisma tidak langsung mengikutinya. Gadis itu masih berdiri mematung di tempat sambil memperhatikan Alan dari kejauhan. Ketika kemudian Alan bingung karena Melisma tidak ada di sekitarnya, barulah gadis itu melangkah setelah menghela napas panjang. Tapi baru saja dua langkah dia bergerak, seorang pria tiba-tiba menubruk keras badannya, kemudian Melisma oleng ke samping dan bahunya membentur dinding pilar.

Pria tadi panik lalu buru-buru menolong Melisma. Hanya ada sebagian kecil orang yang melihat—itupun mereka tidak terlalu mempedulikannya karena tubrukan tadi terkesan tidak sengaja.

“Mbak nggak apa-apa? Maaf, saya buru-buru,” kata pria itu setelah melepaskan tangannya dari lengan Melisma.

Gadis itu mengerutkan kening.

Tepat saat pria tadi berbalik hendak pergi, Melisma langsung mencengkeram kerahnya. Aksinya itulah yang kemudian mengundang perhatian orang-orang di sekeliling mereka.

“Yang namanya sampah tetap saja sampah,” ujar Melisma menatap tajam pada pria itu.

“Mbak, saya buru-buru nih!” elak pria itu yang sepertinya mulai panik dan menutupinya dengan ekspresi kesal.

Emosi Melisma langsung terpancing. Dengan sekali hentakan dia membanting tubuh pria itu ke depan. Saking kerasnya bunyi benturan yang dihasilkan, orang-orang di sana pun mulai heboh. Pria tadi berusaha keras untuk melepaskan diri, tapi yang ada, Melisma mencengkeram pergelangan tangan kirinya lebih keras dan kasar. Berikutnya bahkan tangan kanan pria itu berada dalam injakan sepatu wedges Melisma.

Pria itu mengerang kesakitan sementara Melisma merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan sebuah kantung kecil kuning yang berhias manik-manik berkilauan dengan ditutup tali pita. Setelah memastikan isi kantung itu masih berada pada tempatnya, Melisma melepas cengkeraman tangan dan injakannya tapi menendang tubuh pria itu sehingga berbalik menghadap atas. Mulut pria itu kaku ditatap tajam oleh Melisma.

You’re lucky I didn’t kill you after trying to steal my precious brooch,” kata gadis itu marah.

Tiba-tiba saja pria tadi mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya yang lain. Melisma tersentak namun terlambat menghindar. Ujung pisau kecil yang tajam itu melukai kakinya dan membuat luka yang memanjang. Tidak butuh waktu lama, darahpun merembes membasahi kaus kakinya.

Masih kalut dalam kepanikan karena tertangkap basah mencuri sekaligus ditambah tidak sengaja melukai Melisma, pria tadi langsung berlari kabur. Tapi sialnya, seseorang memukul leher belakangnya hingga pria itu langsung jatuh pingsan. Dua orang sekuriti yang datang langsung mengamankan pria tadi.

Melisma terduduk, meskipun di atas lantai kotor yang amat dibencinya. Kakinya terasa perih sekaligus lemas.

Alan—orang yang ternyata berhasil melumpuhkan pencuri tadi berjalan menghampiri Melisma lalu berjongkok memunggungi gadis itu.

“Naik,” katanya. “Taksinya di sana.”

Melisma menggigit bibir dan kedua alisnya bertaut. Biar begitu Alan tidak dibuatnya menunggu lama. Gadis itu perlahan-lahan merangkul Alan melewati kedua bahunya. Alan kemudian beranjak berdiri sambil menggendong Melisma di punggungnya tanpa berkata apa-apa lagi karena baik dia ataupun gadis itu tahu bagaimana persisnya melihat orang yang mereka sayangi terluka.

***

“Kamu nggak seharusnya pergi keluar lagi jadi aku pesan makanan hotel. Nanti diantar ke sini,” kata Alan sambil membereskan obat luar, kapas, dan pembalut dalam plastik setelah membebat kaki Melisma yang kini duduk di ujung ranjang. Laki-laki itu menghela napas panjang lalu berdiri hendak beranjak pergi. “Aku ke kamarku dulu.”

“Ah, anu…,” ucap Melisma kemudian menghentikan langkah Alan sebelum berlalu. “Kita pergi besok, tapi.. aku tidak mau bosan di dalam kamar saja. Bagaimana kalau menonton film sama-sama?”

Alan terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Kalau makanannya sudah diantar, kasih tahu aku.” Dan setelah mengatakannya dia pergi.

Apa dia marah? Melisma bertanya-tanya dalam hati lalu memeluk kedua kakinya sendiri yang ditekuk di atas ranjang.

Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya diketuk. Datang seorang laki-laki pegawai hotel yang berseragam rapi membawa troli makan malamnya. Melisma mempersilakan dia masuk untuk menaruh makanan itu di meja tengah kamarnya di depan televisi. Setelahnya, pegawai itupun pergi.

Melisma mengambil ponselnya untuk memberitahu Alan, namun niatnya urung. Detik selanjutnya yang dia hubungi justru kembar pertama.

“Halo, Snow White. Kenapa kau meneleponku?” respon suara jauh di seberang sana. “Kau sudah makan malam? Tidak ada segelas susu di mejamu?”

“Memang tidak ada susu.” Melisma menggerutu menatap meja makan malamnya yang penuh makanan. Tapi kemudian keningnya berkerut melihat semangkuk puding di sana.
Puding susu.

“Kupikir aku sedang dihukum. Ternyata tidak.” Dia tersenyum. Saat kembarannya bingung mengartikan ucapannya, Melisma justru memutus sambungan. Setelahnya tanpa ragu dia mengetikkan obrolan di Line pada Alan.

***

Film komedi. Mereka menontonnya sambil menyantap makan malam dengan duduk bersila menghadap meja yang rendah. Alan menyendokkan nasi ke mulutnya sedangkan Melisma memotong puding susunya menjadi dua bagian lalu meletakkan salah satunya di piring kecil untuk Alan.

“Kenapa? Buatmu saja. Bukannya kamu suka susu?”  tanya Alan.

“Sudahlah. Anggap saja kita impas,” balas Melisma lalu menambahkan potongan tumis daging ke nasinya. “Makan itu nanti sebelum aku memaksamu menelannya.”

Mereka lalu saling diam setelahnya kemudian tertawa bersamaan melihat adegan seorang gadis yang menghajar perampoknya dalam film.


Sometimes it’s not the butterflies that tell you you’re in love, but the pain..

0 komentar: