Warm Croquettes in the Afternoon: Feeling in A Gift

Kamis, 11 Juni 2015



Setelah membentuk adonan berbentuk bundar lalu membalurnya dengan tepung panir, dia mendekatkan telapak tangannya di atas penggorengan, memastikan apakah minyak gorengnya sudah cukup panas atau tidak. Gadis itu melepaskan sarung tangan plastiknya lalu memasukkan satu per satu kroket ke dalam wajan menggunakan sumpit. Bersenandung sembari membolak-balik kroket itu, dia memandang keluar jendela memperhatikan tanaman-tanaman anggrek yang sebagian sudah mulai mekar.

“Lho, Marta belum pulang?” kata seorang gadis berseragam renda kuning ketika membuka pintu ruangan itu.

Amarta menoleh.

“Hai, Hilda. Kamu juga belum pulang?” Dia membalikkan pertanyaan.

“Aku baru selesai mengumpulkan bahan untuk presentasi besok,” jawab Hilda yang perlahan mendekati Marta. “Wah… sepertinya enak. Apa ini?”

“Kroket kentang daging keju.”

“Ah, aku suka sekali keju! Ah, tapi buat siapa? Kalau untuk praktek, harusnya kan kamu masak waktu pelajaran.”

Amarta tersenyum singkat lalu membalik kroket supaya tidak gosong.

“Oh, lihat! Anggreknya udah pada mekar!” Hilda berdecak kagum sekaligus iri. “Enak ya, jadi kamu. Anak tata boga sekaligus pertamanan. Perabot dapur kamu sama taman kamu juga dekat.”
 
“Kebetulan saja kok. Omong-omong.. bisa tolong ambilkan saus saset di lemari atas?”

Hilda mengangguk lalu melakukan apa yang diminta Amarta. Setelah menggoreng semua kroket, Amarta membungkus tiga di antaranya untuk Hilda disambut senyum mengembang gadis itu. Amarta membereskan sisanya dengan menaruh beberapa pada piring melamin kecil sedangkan sebagian lagi dia bungkus untuk dibawa pulang. Ketika dia menoleh pada jam dinding, waktu menunjukkan pukul tiga kurang tujuh menit.

Dia harus bergegas.

Amarta buru-buru mengenakan kembali jaketnya kemudian merapikan baju dan roknya sambil mematut diri ke cermin. Tersenyum setelah menyampirkan tas selempang ke bahu dengan sepiring kecil kroket di tangan, gadis itupun pergi setelah menutup pintu.

Seperti yang sudah dia duga, di lapangan sore itu telah berkumpul anak-anak klub sepakbola yang sedang mendengarkan arahan dari pelatih mereka. Amarta diam-diam mengintip di ujung dinding sekolah mencari-cari seseorang yang ada di antara barisan remaja laki-laki di sana. Agak sulit membedakan mereka karena menghadap arah yang berlawanan.

Namun sedetik kemudian, laki-laki itu menoleh ke samping—berbicara sesuatu pada anak di sebelahnya.

Amarta tersenyum. Itu dia, batinnya dengan perasaan berbunga-bunga.

Tanpa menunda-nunda lagi gadis itu berjalan mengendap—padahal tidak perlu begitu—seperti pencuri, mendekati meja panjang di mana beberapa tas anggota klub sepakbola diletakkan. Saking sering melakukannya, Amarta bahkan hafal masing-masing nama pemilik tas-tas itu. Sepiring kecil kroket buatannya kemudian dia taruh di dekat sebuah tas hijau gelap yang diletakkan paling pinggir.

Setelah melakukan kegiatan rutinnya seminggu sekali, dia pun berbalik pergi.

Saat itulah sebelum Amarta sampai ke gerbang depan, mata mereka bertemu: gadis itu dan sang Laki-laki jangkung pucat dengan kacamatanya.

***

Nathan tahu dia tidak sedang memperhatikan jalan. Dia juga tahu kalau sewaktu-waktu bisa saja ada sebongkah batu besar di tengah-tengah jalan yang dia telusuri kini dan Nathan mungkin saja akan tersandung atau bahkan terjungkal ke depan. Namun dia tidak peduli. Suasana hatinya sedang sangat jelek hari ini. Dia juga tidak peduli kalau pelatih klub sepakbola akan menceramahinya panjang lebar karena telah datang terlambat.

Ketika akhirnya mengangkat wajahnya setelah melewati gerbang sekolah, Nathan urung menghela napas panjang. Kedua matanya terpaku selama beberapa detik sebelum gadis itu mengangkat wajahnya juga.

Nathan tertegun.

Sepasang mata yang jernih itu seolah tidak pernah membuat Nathan bosan meskipun seringkali bukan dirinya yang jadi objek perhatian gadis itu.

Rambut pendeknya tertata rapi di belakang kepalanya dan terkadang sepasang jepit disematkan di sisi kanan dan kiri untuk mengatur anak-anak rambut. Wajahnya oval dengan rona wajah yang sehat dan bercahaya. Dua bibirnya ranum. Nilainya bertambah ketika gadis itu tersenyum. Dan kenyataannya gadis itu memang selalu menyunggingkan senyum saat bersama siapa pun. Nathan bahkan menyadari kalau tidak sekalipun dia mendapati gadis itu bersedih atau marah—meskipun mungkin gadis itu menutupi segala emosinya dalam ulasan senyum itu. Nilai tambah lainnya ialah, walaupun senyum gadis itu palsu, tidak ada yang bisa menyadarinya.

“Hai, Nathan,” sapa Amarta ramah ditambah lambaian tangan yang rendah dan singkat. “Latihannya sudah dimulai lho. Cepatlah ke sana.”

Nathan diam. Bukan hal mengherankan kalau dia mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat meskipun yang dia inginkan justru melakukan kebalikannya. Dialah yang pertama memutus kontak mata mereka lalu melangkah maju melewati gadis itu. Sesuai dugaannya, ekspresi Amarta seketika berubah keruh. Tetapi kemudian, apa yang dilakukan gadis itu selanjutnya, sama sekali tidak disangka oleh Nathan.

Melangkah menyusun Nathan, Amarta tiba-tiba menepuk bahunya. Alan yang sedikit terkejut langsung menoleh. Sepasang matanya melebar. Amarta tanpa ragu menyodorkan bungkusan kecil berisi beberapa kroket buatannya tadi.

“Buatmu,” katanya pendek dan—seperti biasa—berhiaskan senyuman hangat.

Nathan mengerjap. Meski begitu diterimanya bungkusan tadi. Senyum Amarta pun mengembang senang. Lalu setelah melambai lagi, dia pun berbalik pergi.

Baru ketika sosok gadis itu menghilang, Nathan baru sadar kalau dia lupa mengucapkan terimakasih. Seringnya dia memang terus meyakinkan diri kalau menjadi seorang introvert bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya saja di saat-saat seperti tadi, dia selalu merutuki diri sendiri.

Nathan sedikit meremas bungkusan tadi dan dia merasakan kehangatan. Dari tekstur dan aroma yang berhasil dia cium, sepertinya bungkusan itu berisi makanan.

Nathan tersenyum sekilas kemudian melanjutkan jalan. Dia akan menganggap pemberian tadi sebagai balasan karena sebelumnya dia juga telah melakukan hal yang sama pada gadis itu. Entah Amarta menerimanya dengan baik atau tidak. Nathan hanya berharap perasaan gadis itu akan sama dengannya ketika menerima pemberian seperti tadi.

Benar-benar… karena dia merasa Amarta sungguh bagai anggrek yang mekar di pagi hari.

***

“Tadi aku dimarahi guru,” keluh Amarta setelah menaruh sepiring lemon myrtle soufflé glace di atas meja makan di depan Viola yang sibuk mengunyah pai ayam.

“Kenapa?” tanya Viola walau dengan mulut penuh.

“Aku lupa mengganti buku-buku di tas. Jadinya hari ini aku membawa buku-buku yang tidak perlu, juga tidak membawa buku-buku yang seharusnya kubawa.”

“Lain kali siapkan malam hari sebelumnya.”

“Aku tahu. Cuma lupa saja.”

“Kenapa bisa lupa?”

Amarta terdiam lalu menekan bibirnya ditambah senyuman serupa bocah kecil yang ketahuan tidak menyikat gigi malam sebelum tidur.

“Kalau begitu, aku bereskan sekarang saja bukunya!” putus gadis itu lalu berlari naik tangga menuju kamarnya. Viola pasti akan menyindir habis-habisan kalau sampai dia tahu alasan mengapa Amarta lupa menyiapkan kembali buku-buku sekolahnya adalah karena terlalu asyik dalam fase jatuh cinta.

Buru-buru dia memilah satu per satu buku dalam tasnya untuk menentukan bawaannya besok ketika tiba-tiba dia mendengar bunyi benda kecil yang tidak sengaja jatuh saat dia mengeluarkan buku catatan kecilnya. Amarta mengerutkan kening melihat benda yang berkilauan itu di lantai. Berjongkok, dia pun memungutnya.

Sebuah jepit rambut anggrek berwarna ungu yang masih dibungkus dalam kemasan plastik.
Benaknya dipenuhi tanda tanya. Setahunya, dia tidak ada jepit rambut seperti itu dalam koleksi hiasan-hiasan rambut yang dirinya miliki.

Then it’s a gift?

Kemudian dia pun tersenyum lalu memasang jepit itu di rambutnya di depan cermin.


“Love is not about how much you say ‘I love you’ but how much you prove that its true…”

0 komentar: