Setelah
membentuk adonan berbentuk bundar lalu membalurnya dengan tepung panir, dia
mendekatkan telapak tangannya di atas penggorengan, memastikan apakah minyak
gorengnya sudah cukup panas atau tidak. Gadis itu melepaskan sarung tangan
plastiknya lalu memasukkan satu per satu kroket ke dalam wajan menggunakan
sumpit. Bersenandung sembari membolak-balik kroket itu, dia memandang keluar
jendela memperhatikan tanaman-tanaman anggrek yang sebagian sudah mulai mekar.
“Lho,
Marta belum pulang?” kata seorang gadis berseragam renda kuning ketika membuka
pintu ruangan itu.
Amarta
menoleh.
“Hai,
Hilda. Kamu juga belum pulang?” Dia membalikkan pertanyaan.
“Aku
baru selesai mengumpulkan bahan untuk presentasi besok,” jawab Hilda yang
perlahan mendekati Marta. “Wah… sepertinya enak. Apa ini?”
“Kroket
kentang daging keju.”
“Ah,
aku suka sekali keju! Ah, tapi buat siapa? Kalau untuk praktek, harusnya kan
kamu masak waktu pelajaran.”
Amarta
tersenyum singkat lalu membalik kroket supaya tidak gosong.
“Oh,
lihat! Anggreknya udah pada mekar!” Hilda berdecak kagum sekaligus iri. “Enak
ya, jadi kamu. Anak tata boga sekaligus pertamanan. Perabot dapur kamu sama
taman kamu juga dekat.”
“Kebetulan
saja kok. Omong-omong.. bisa tolong ambilkan saus saset di lemari atas?”
Hilda
mengangguk lalu melakukan apa yang diminta Amarta. Setelah menggoreng semua
kroket, Amarta membungkus tiga di antaranya untuk Hilda disambut senyum
mengembang gadis itu. Amarta membereskan sisanya dengan menaruh beberapa pada
piring melamin kecil sedangkan sebagian lagi dia bungkus untuk dibawa pulang. Ketika
dia menoleh pada jam dinding, waktu menunjukkan pukul tiga kurang tujuh menit.
Dia
harus bergegas.
Amarta
buru-buru mengenakan kembali jaketnya kemudian merapikan baju dan roknya sambil
mematut diri ke cermin. Tersenyum setelah menyampirkan tas selempang ke bahu
dengan sepiring kecil kroket di tangan, gadis itupun pergi setelah menutup
pintu.
Seperti
yang sudah dia duga, di lapangan sore itu telah berkumpul anak-anak klub
sepakbola yang sedang mendengarkan arahan dari pelatih mereka. Amarta diam-diam
mengintip di ujung dinding sekolah mencari-cari seseorang yang ada di antara barisan
remaja laki-laki di sana. Agak sulit membedakan mereka karena menghadap arah
yang berlawanan.
Namun
sedetik kemudian, laki-laki itu menoleh ke samping—berbicara sesuatu pada anak
di sebelahnya.
Amarta
tersenyum. Itu dia, batinnya dengan
perasaan berbunga-bunga.
Tanpa
menunda-nunda lagi gadis itu berjalan mengendap—padahal tidak perlu begitu—seperti
pencuri, mendekati meja panjang di mana beberapa tas anggota klub sepakbola
diletakkan. Saking sering melakukannya, Amarta bahkan hafal masing-masing nama
pemilik tas-tas itu. Sepiring kecil kroket buatannya kemudian dia taruh di
dekat sebuah tas hijau gelap yang diletakkan paling pinggir.
Setelah
melakukan kegiatan rutinnya seminggu sekali, dia pun berbalik pergi.
Saat
itulah sebelum Amarta sampai ke gerbang depan, mata mereka bertemu: gadis itu
dan sang Laki-laki jangkung pucat dengan kacamatanya.
***
Nathan
tahu dia tidak sedang memperhatikan jalan. Dia juga tahu kalau sewaktu-waktu
bisa saja ada sebongkah batu besar di tengah-tengah jalan yang dia telusuri
kini dan Nathan mungkin saja akan tersandung atau bahkan terjungkal ke depan.
Namun dia tidak peduli. Suasana hatinya sedang sangat jelek hari ini. Dia juga
tidak peduli kalau pelatih klub sepakbola akan menceramahinya panjang lebar
karena telah datang terlambat.
Ketika
akhirnya mengangkat wajahnya setelah melewati gerbang sekolah, Nathan urung
menghela napas panjang. Kedua matanya terpaku selama beberapa detik sebelum
gadis itu mengangkat wajahnya juga.
Nathan
tertegun.
Sepasang
mata yang jernih itu seolah tidak pernah membuat Nathan bosan meskipun seringkali
bukan dirinya yang jadi objek perhatian gadis itu.
Rambut
pendeknya tertata rapi di belakang kepalanya dan terkadang sepasang jepit
disematkan di sisi kanan dan kiri untuk mengatur anak-anak rambut. Wajahnya oval
dengan rona wajah yang sehat dan bercahaya. Dua bibirnya ranum. Nilainya bertambah
ketika gadis itu tersenyum. Dan kenyataannya gadis itu memang selalu
menyunggingkan senyum saat bersama siapa pun. Nathan bahkan menyadari kalau
tidak sekalipun dia mendapati gadis itu bersedih atau marah—meskipun mungkin
gadis itu menutupi segala emosinya dalam ulasan senyum itu. Nilai tambah
lainnya ialah, walaupun senyum gadis itu palsu, tidak ada yang bisa
menyadarinya.
“Hai,
Nathan,” sapa Amarta ramah ditambah lambaian tangan yang rendah dan singkat. “Latihannya
sudah dimulai lho. Cepatlah ke sana.”
Nathan
diam. Bukan hal mengherankan kalau dia mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat
meskipun yang dia inginkan justru melakukan kebalikannya. Dialah yang pertama
memutus kontak mata mereka lalu melangkah maju melewati gadis itu. Sesuai dugaannya,
ekspresi Amarta seketika berubah keruh. Tetapi kemudian, apa yang dilakukan
gadis itu selanjutnya, sama sekali tidak disangka oleh Nathan.
Melangkah
menyusun Nathan, Amarta tiba-tiba menepuk bahunya. Alan yang sedikit terkejut
langsung menoleh. Sepasang matanya melebar. Amarta tanpa ragu menyodorkan
bungkusan kecil berisi beberapa kroket buatannya tadi.
“Buatmu,”
katanya pendek dan—seperti biasa—berhiaskan senyuman hangat.
Nathan
mengerjap. Meski begitu diterimanya bungkusan tadi. Senyum Amarta pun
mengembang senang. Lalu setelah melambai lagi, dia pun berbalik pergi.
Baru
ketika sosok gadis itu menghilang, Nathan baru sadar kalau dia lupa mengucapkan
terimakasih. Seringnya dia memang terus meyakinkan diri kalau menjadi seorang introvert bukanlah sesuatu yang buruk. Hanya
saja di saat-saat seperti tadi, dia selalu merutuki diri sendiri.
Nathan
sedikit meremas bungkusan tadi dan dia merasakan kehangatan. Dari tekstur dan
aroma yang berhasil dia cium, sepertinya bungkusan itu berisi makanan.
Nathan
tersenyum sekilas kemudian melanjutkan jalan. Dia akan menganggap pemberian
tadi sebagai balasan karena sebelumnya dia juga telah melakukan hal yang sama
pada gadis itu. Entah Amarta menerimanya dengan baik atau tidak. Nathan hanya
berharap perasaan gadis itu akan sama dengannya ketika menerima pemberian
seperti tadi.
Benar-benar…
karena dia merasa Amarta sungguh bagai anggrek yang mekar di pagi hari.
***
“Tadi
aku dimarahi guru,” keluh Amarta setelah menaruh sepiring lemon myrtle soufflé glace di atas meja makan di depan Viola yang
sibuk mengunyah pai ayam.
“Kenapa?”
tanya Viola walau dengan mulut penuh.
“Aku
lupa mengganti buku-buku di tas. Jadinya hari ini aku membawa buku-buku yang
tidak perlu, juga tidak membawa buku-buku yang seharusnya kubawa.”
“Lain
kali siapkan malam hari sebelumnya.”
“Aku
tahu. Cuma lupa saja.”
“Kenapa
bisa lupa?”
Amarta
terdiam lalu menekan bibirnya ditambah senyuman serupa bocah kecil yang
ketahuan tidak menyikat gigi malam sebelum tidur.
“Kalau
begitu, aku bereskan sekarang saja bukunya!” putus gadis itu lalu berlari naik
tangga menuju kamarnya. Viola pasti akan menyindir habis-habisan kalau sampai
dia tahu alasan mengapa Amarta lupa menyiapkan kembali buku-buku sekolahnya
adalah karena terlalu asyik dalam fase jatuh cinta.
Buru-buru
dia memilah satu per satu buku dalam tasnya untuk menentukan bawaannya besok
ketika tiba-tiba dia mendengar bunyi benda kecil yang tidak sengaja jatuh saat
dia mengeluarkan buku catatan kecilnya. Amarta mengerutkan kening melihat benda
yang berkilauan itu di lantai. Berjongkok, dia pun memungutnya.
Sebuah
jepit rambut anggrek berwarna ungu yang masih dibungkus dalam kemasan plastik.
Benaknya
dipenuhi tanda tanya. Setahunya, dia tidak ada jepit rambut seperti itu dalam
koleksi hiasan-hiasan rambut yang dirinya miliki.
Then it’s a gift?
Kemudian
dia pun tersenyum lalu memasang jepit itu di rambutnya di depan cermin.
“Love is not about how much you say ‘I love you’ but how much
you prove that its true…”
0 komentar:
Posting Komentar