A Bouquet of Amaryllis Under an Umbrella: It may hurt to let go, but sometimes it hurts more to hold on

Kamis, 18 Juni 2015





Alasan mengapa dirinya mencoba untuk jadi gadis yang seolah bisa terbang ke mana-mana adalah karena dia menyukai seorang laki-laki brengsek. Meskipun sepertinya seluruh dunia tahu, juga meskipun semua orang di sekitarnya meminta dia jangan mendekat, gadis itu punya pikiran berbeda. Dia senang berlama-lama ada dalam ruangan musik serta menghabiskan waktu di dalamnya sembari memainkan beberapa lagu. Walaupun tentu saja, laki-laki itu tidak bisa mendengarnya.

Hujan di bulan Juni kali ini membuat para guru yang pulang paling akhir menggerutu. Sebagian dari mereka tidak membawa payung karena tidak mengira kalau malam ini hujan. Mereka yang tidak mau berlama-lama menunggu dalam gedung les nekat menerobos tirai hujan yang tebal lalu menghentikan taksi di dekat halte. Sementara itu Viola melihat dengan diam salah satu guru pria—orang terakhir dalam gedung itu juga berlari ke arah mobil yang menjemputnya.

Gadis itu memegang payung putihnya, berdiri dekat pintu kaca sambil terus memandang sebuah garasi di seberang jalan kini. Beberapa orang pria yang bekerja di sana selama seharian telah pergi meninggalkan seorang laki-laki muda yang bekerja di situ kurang lebih dua setengah tahun ini. Viola melihat lampu-lampu di sana dipadamkan. Bahkan dari jarak sejauh itu, Viola bisa mendengar bunyi perkakas yang tengah dibereskan. Sosok siluet laki-laki itupun tampak mondar-mandir ke sana kemari, bersiap menutup bengkel.

Viola berbinar. Sudah waktunya, pikir gadis itu. Untung saja jalan raya di depannya sudah cukup lengang sehingga tidak perlu waktu lama baginya untuk menyeberang. Sesampainya dia di sisi jalan bersamaan dengan keluarnya laki-laki itu lalu menutup garasi kemudian menguncinya.

Laki-laki itu tidak memiliki payung ataupun jas hujan untuk menaungi tubuhnya. Dia hanya berjalan tenang menyusuri jalan, tidak peduli pakaian yang dia kenakan basah kuyup. Viola ingin sekali menawarkan berbagi payung dengannya, tapi urung. Gadis itu tidak memiliki keberanian untuk hal-hal seperti itu. Jadilah yang ada dia berjalan di belakang laki-laki itu dengan jarak yang tidak seberapa dekat.

***

“Eh, sudah tahu belum kalau semalam ada kecelakaan di jembatan angker?” 

“Tahu-tahu! Ada tabrakan trus mobilnya terbakar.”

“Nggak heran sih. Di sana kan sering ada balapan liar.”

Viola menoleh ketika sekumpulan gadis yang sama sepertinya, juga les musik di sana menyinggu tentang balapan liar yang akhir-akhir ini marak. Polisi telah berusaha untuk membubarkan kelompok ugal-ugalan itu, namun mereka tidak pernah berhenti berulah. Lagipula pikir Viola, mereka tidak pernah mengadakan balapan seperti itu di pagi atau siang hari, melainkan malam hari—itupun larut. Mereka hanyalah sekumpulan orang-orang yang kebingungan mencari wadah untuk menyalurkan hobi.

Pada akhirnya pun Viola bertanya-tanya apakah laki-laki itu termasuk di antara mereka. Dia senang memperhatikan laki-laki itu begitu serius mengutak-atik mobil yang masuk ke bengkel. Dia juga tahu bengkel di sana merupakan salah satu bengkel terbaik di kota. Tentunya banyak mobil-mobil bagus diperbaiki atau ditata ulang di sana—sebagian mereka ditangani langsung oleh laki-laki itu.

Sejauh ini entah dia harus lega atau sedih. Lega karena laki-laki itu tampak baik-baik saja, juga sedih karena dia tidak berusaha untuk kembali.

Viktor Sua begitu bersinar ketika pertama kalinya dia hadir dalam pesta keluarga Len enam tahun silam. Tidak seperti relasi-relasi ayahnya yang membosankan, laki-laki itu telah berhasil merebut perhatian Viola yang baru berusia sepuluh tahun dengan permainan piano yang memukau. Tidak seperti Meri yang selalu dapat menggandeng tangan ayah mereka, Melisma yang cerdas, Tiara yang jadi pusat perhatian, atau Amarta yang bisa dengan mudah mengundang kasih sayang orang lain, Viola duduk kaku sendirian di atas kursi panjang empuk yang diperuntukkan bagi lima kembar Len.

Viola lahir lebih dulu, namun dia merasa seperti bukan siapa-siapa. Senyumnya kaku pada setiap orang yang menghampirinya dan mengucapkan selamat ulang tahun.

Kemudian Viktor Sua mendatanginya, membawa seuntai benang pita yang tidak sengaja copot dari gaun Viola kecil. Viola yang tersipu malu, membiarkan Viktor yang lalu memasangkan pita itu gaun Viola di bagian belakang. Orang-orang tidak terlalu memperhatikan mereka dan sibuk mengurusi urusan masing-masing.

“Kenapa tak ke tengah-tengah?” tanyanya ketika itu. “Kau akan tampak bersinar hanya dengan tersenyum pada mereka.”

Viktor memakai tuksedo, dan sekuntum bunga disematkan di bagian dada. Tenang, laki-laki itu mengambil bunganya kemudian menyematkannya di sisi samping bando perak Viola. Laki-laki itu kemudian menggandengnya lalu membawanya ke tengah-tengah ruangan sehingga semua orang melihatnya.

Pandangan Viola menerawang. Tidak lama setelah itu, dia tahu kalau Viktor merupakan putra tunggal seorang pianis yang melegenda sampai kini. Bisa dikatakan kalau dialah alasan mengapa Viola begitu senang membiarkan irama-irama indah mengalun berkat jari-jarinya.

Untuk dapat menjadi seorang gadis yang bisa disandingkan dengan laki-laki itu…

Akan tetapi suatu ketika, Viktor membuang musik yang membuatnya bersinar. Laki-laki itu jatuh ke liang yang amat dalam hingga tidak bisa lagi naik ke atas—atau lebih tepatnya tidak mau. Dibandingkan dengan duduk di atas panggung menghadap piano, menjadi pusat perhatian penontonnya, Viktor lebih memilih berkutat dengan mobil-mobil dalam garasi. Tangannya tidak lagi seindah dulu. 

Mengapa ketika Viola beranjak lebih tinggi, dia justru turun ke bawah?

***

Untuk ke sekian kalinya, Viola sengaja pulang paling akhir ketika les piano usai. Menghabiskan sedikit waktu yang tersisa, jari-jarinya memainkan kembali sebuah lagu bersamaan dengan suara rintik gerimis di luar. Dia menoleh ke arah jam dinding lalu beranjak dari sana, membawa juga tas biola di punggung. Saat dia baru saja keluar dari gedung, garasi bengkel seberang jalan telah ditutup. Viktor tidak terlihat. Sepertinya hari ini, bengkel itu selesai lebih awal dari biasanya.

Viola menghela napas kecewa. Dia lalu melangkah pulang sambil membawa payung.

Tidak dia duga, satu jalan yang selalu dia lewati untuk pulang ke rumah sedang dalam perbaikan. Ada sebuah lubang yang besar di sana. Viola tidak bisa lewat. Terpaksa, dia pun mengambil jalan lain yang lebih sempit juga lebih sedikit penerangan. Beberapa menit menyusuri jalan itu, sepasang matanya menangkap segerombol laki-laki seusianya sedang duduk dan tertawa-tawa sambil menghisap rokok. 

Viola benci asap rokok. Dia juga muak melihat tingkah orang-orang itu. Meskipun demikian, kakinya tetap melangkah tanpa takut karena dia selalu bisa menjaga diri selama sebuah tongkat besi tersimpan dalam tas yang dia jinjing.

Gerombolan laki-laki itu melihat Viola dan mereka bangkit berdiri menghadang. Jumlahnya ada tujuh orang. Cukup menjadi penghalang di jalan yang sempit itu.

Salah seorang dari mereka bersiul memandang Viola dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Sendirian?” tanya salah seorang yang lain.
 
Viola mengatupkan bibirnya rapat-rapat lalu melangkah maju hendak melewati mereka tanpa menggubris. Tapi tiba-tiba lengannya ditahan. Refleks, gadis itupun menyentakkannya. Keningnya berkerut marah.

“Tak usah marah begitu. Kami cuma heran ada cewek keluyuran malam-malam begini. Mau diantar?”

“Nggak. Terimakasih,” jawab Viola pendek kemudian berbalik lagi untuk pergi. Namun lagi-lagi salah seorang menyentuh bahunya. Viola pun refleks menepisnya lagi. Melihatnya, gerombolan itu tertawa.

“Kalau dilihat-lihat cantik juga.”

Mata Viola melebar melihat tangan salah satu dari mereka terulur untuk menyentuh wajahnya. Bergerak mundur, payungnya malah jatuh sehingga sekarang wajahnya tampak terlihat jelas di bawah penerangan lampu meskipun agak redup. Orang-orang itu beberapa detik tertegun memandangnya.

Viola bersiap memberi pelajaran pada mereka dengan merogoh tas, mengambil tongkatnya diam-diam ketika tiba-tiba terdengar bunyi kaleng yang ditendang membentur dinding lalu masuk ke tong sampah. Viola membelalak terkejut, sama halnya dengan gerombolan itu. Mereka pun menoleh ke asal suara.

Tampak seorang laki-laki berjalan tenang mendekat. Awalnya wajah laki-laki itu tidak kelihatan jelas. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Viola tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Viktor.

Laki-laki itu menyipit tidak senang pada gerombolan tadi, disambut dengan tingkah kikuk mereka. Viola tidak tahu alasannya, namun sepertinya gerombolan itu takut pada Viktor. Apakah selain jadi mekanik mobil-mobil balap, dia juga jadi anggota geng tertentu? Entahlah.

Pandangan mereka bertemu. Setelah sekian lama Viola hanya memperhatikannya dari kejauhan, kini Viktor benar-benar menatapnya.

Do I know you?” Dia bertanya. Wajahnya datar. Cahaya yang dulu Viola lihat dalam dirinya nyaris tidak nampak lagi.

Bingung dengan apa yang dikatakan Viktor, Viola hanya bisa diam.

“Kau sering mengikutiku pulang,” kata Viktor lagi.

Pipi Viola langsung memanas. Padahal selama ini pikirnya laki-laki itu tidak tahu.

“Apa kau penguntit?” Viktor memiringkan kepala. “Tapi ini aneh. Aku merasa pernah melihatmu sebelumnya.”

Dia ingat, batin Viola senang. Setetes air matanya menitik. Sedetik kemudian dia merasakan kedua kakinya lemas. Badannya merosot jatuh dan akhirnya terduduk di atas jalan yang basah dan kotor.

Viktor langsung menghampirinya karena terkejut.

“Kau baik-baik saja? Apa yang sudah orang-orang sialan itu lakukan padamu?” tanyanya.

“Kenapa kau di sini?” Hanya itu yang dapat dilontarkan Viola.

Viktor tahu gadis itu sering mengikutinya sewaktu pekerjaannya usai di bengkel. Meski awalnya merasa sedikit terganggu, Viktor sebenarnya tidak berpikir kalau gadis itu adalah seorang penguntit. Wajahnya kelihatan tidak asing meskipun dia tidak bisa mengingat dengan jelas kapan sebelumnya mereka bertemu.

“Kau menjatuhkan kalungmu,” kata Viktor mengeluarkan seuntai kalung dengan bandul mutiara di tengah-tengah.

Viola membisu. Tidak tahu harus mengatakan apa karena sekarang benaknya kosong.

Viktor mendengus. Tidak disangka laki-laki itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada Viola sambil tetap berlutut. Viola mengerjap beberapa kali sebelum menyadari kalau laki-laki itu telah memasangkan kalung itu kembali ke lehernya. Setelahnya dia juga menarik lengan Viola untuk membantunya berdiri.

“Aku tak bisa mengantarmu pulang. Di ujung jalan itu ada pos polisi, jadi jangan khawatir,” katanya. Sebelum dia beranjak pergi, Viola menahan lengannya hingga menoleh.

Gadis itu mengambil payungnya yang tadi terjatuh. Dia pun menyodorkannya pada Viktor.

“Aku tak memerlukannya. Kau pakai saja,” tanggap Viktor pendek. Dia akan berbalik lagi, tapi kata-kata Viola membuatnya tertahan lagi.

“Kalau begitu…” Tangan Viola menggenggam erat payungnya. “Apa kau mau mendengarkan permainanku besok?”

“Permainan?”

“Aku seorang komponis,” kata Viola memberitahu. “Aku sering memainkan piano..”

Viktor tertegun. Pikirannya diselimuti kabut abu-abu beberapa saat sebelum menarik diri dan pergi. Viola tidak bisa lagi menahannya. Sosoknya menghilang di ujung jalan meninggalkan Viola yang bergeming.

Gadis itu kemudian menangis. Meninggalkan payungnya di sana, dia pun juga berbalik pergi.

Laki-laki itu telah jatuh ke lubang yang terlalu dalam hingga Viola tidak akan bisa meraihnya.

0 komentar: