Kedua
kakinya melangkah lebar keluar dari bagian dalam rumah sakit menuju lobi. Dia
tidak melihat ke arah depannya, tidak peduli banyak orang berlalu lalang dengan
kemungkinan dia akan menabrak beberapa di antaranya. Perhatiannya tetap tertuju
pada layar ponsel sementara jari-jarinya sibuk menekan-nekan tombol di layar
sentuh. Berulang kali panggilan yang dia usahakan tidak tersambung. Tapi
syukurlah orang yang terakhir dia hubungi mengangkat ponselnya.
“Halo?”
“Apa
di sana sibuk?” tanya Helen sewaktu mendorong pintu kaca menggunakan tangan
kirinya sementara tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinga.
“Mereka
masih menyiapkan bahan untuk presentasi nanti. Kita bisa langsung mulai
setengah jam lagi kalau kau bisa langsung datang. Proyek kali ini pasti akan
berjalan mulus. Jadi kapan kau sampai?”
“Dengar.”
Helen berjalan tergesa menuju mobilnya. “Skemanya ada padaku, tapi aku tidak
bisa mempresentasikannya hari ini. Temanku kecelakaan. Ini mendesak sekali.
Bisakah kau katakan pada yang lain untuk menundanya sampai besok? Aku yakin Mr.
Knowles bisa meyakinkan klien kita. Tapi sejak tadi nomornya tidak bisa
kuhubungi.”
“Kulihat
tadi dia ada di ruangannya. Entahlah, sepertinya sedang keluar sebentar.”
“Aku
minta pertolonganmu kali ini. Hubungi Mr. Knowles. Carilah dia sampai ketemu.
Tolong sampaikan juga pada yang lain untuk menunda semuanya dulu. Aku harap kau
bisa mengatasinya untuk saat ini.”
“Tentu
saja. Aku akan menunggu sampai kau kembali. Serahkan padaku.”
“Terimakasih,
Ashley.”
Helen
menutup ponselnya kemudian langsung menghidupkan mesin setelah dia masuk ke
dalam mobil dan menutup pintunya. Mobil biru itu lalu melaju keluar lapangan
parkir menuju perumahan tempat orang tua Alena Saulls tinggal. Mobil Alena
tertabrak bus yang hilang kendali pagi ini hingga rusak parah. Gadis itu tidak
membawa ponselnya, namun untung saja orang yang menyelamatkan dia menemukan
kartu nama Helen terselip di sana dan langsung menghubunginya. Helen yang
tadinya berangkat tergesa-gesa ke kantor kini harus terjebak dalam situasi yang
rumit. Meskipun mengenal baik orang tua Alena, Helen sama sekali tidak tahu
bagaimana harus menghubungi Mr. dan Mrs. Saulls selain mendatangi langsung
kediaman mereka.
Beberapa
menit kemudian mobil biru Helen berhenti di depan gerbang sebuah rumah di kawasan
Sandrite. Rumah dan tanah di sana terbilang sangat mahal. Helen selalu iri pada
putri tunggal keluarga Saulls—Alena karena mempunyai segala hal yang tidak
Helen miliki. Namun rasa iri itu menguar begitu saja setelah kejadian tiba-tiba
pagi ini.
“Siapa?”
Suara dari interkom dekat dinding gerbang menyambutnya.
“Apa
Mr. Saulls di dalam? Ini Helen Raichstat!”
Tidak
ada tanggapan langsung. Tapi sesaat kemudian seorang wanita dengan dress putihnya keluar dari rumah dan
melangkah ke gerbang untuk mempersilakan Helen masuk.
“Oh,
Nak. Kalau kau mencari Alena, dia sedang—..”
“Mrs.
Saulls, Alena mengalami kecelakaan! Ikutlah saya sekarang!”
***
Helen
tidak beranjak dari tempatnya berdiri dekat dinding mengamati Mrs. Saulls yang
masih saja menangis dengan dipeluk suaminya meskipun Mr. Saulls sendiri
keadaannya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama sedang melihat Alena yang
tengah terbaring tidak berdaya di dalam sebuah kamar di mana orang lain belum
diizinkan masuk. Jendela kaca yang jadi perantara supaya mereka bisa melihat
kondisi putri mereka satu-satunya itu justru dianggap sebagai penghalang.
Helen
sempat melihat sosok Alena yang terbaring. Walau diam, dia tidak bisa membatin
apa pun. Bahkan satu kalimat saja untuk mendoakan kesembuhannya. Semuanya
terjadi terlalu tiba-tiba. Isakan Mrs. Saulls semakin membuat Helen tidak mampu
berpikir. Dia lupa akan kedua kakinya yang mati rasa dan sama sekali tidak
terbesit untuk duduk. Dia hanya diam di sana, tetap berkubang dalam kesunyian
mengharapkan hal yang tidak sepatutnya.
***
Pukul
sebelas malam ketika Helen sampai di apartemennya yang kecil. Dia melepaskan
begitu saja sepatu haknya yang tinggi lalu melemparkan tasnya ke atas meja
sebelum akhirnya merebahkan tubuh di atas sofa. Dia hanya sempat menyalakan
lampu redup tanpa berniat menyalakan lampu lain yang lebih terang. Otaknya
kembali memutar apa yang dikatakan dokter sewaktu keluar dari ruang rawat
Alena: apabila gadis itu tidak kunjung sadar saat malam ini berakhir, mereka harus
siap dengan kemungkinan terburuk.
Helen
mendesah keras. Mengapa? Pikirnya. Dia tidak sedikitpun merasakan hal yang
seharusnya dia rasakan mengenai Alena, juga pada kedua orang tuanya. Mereka—dia
dan Alena—adalah teman baik semenjak kuliah. Alena selalu baik pada Helen.
Tidak pernah sekalipun gadis itu mengecewakannya. Tapi mengapa sebagian hati
Helen menginginkan Alena menyerah pada hidupnya? Helen berharap gadis itu
selamanya tidak membuka mata. Mengapa?
Supaya
Helen tidak lagi menjadi bayang-bayang Alena?
Mungkin
saja.
Kepalanya
mendadak pusing. Helen beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur untuk
mengambil minum. Dia urung beristirahat di kamar ketika melihat tasnya yang
masih tergeletak di atas meja depan sofa. Helen mengambil ponselnya, mendapati
benda itu mati. Tanpa dia sadari, baterainya pasti habis.
Helen
membiarkan ponsel itu mengisi daya beberapa saat sebelum menyalakannya. Matanya
melebar mengetahui puluhan panggilan tidak terjawab. Semuanya berasal dari nama
yang sama. Helen buru-buru menelepon orang itu.
“Pascal.”
Helen langsung menyebut namanya begitu panggilannya diangkat. “Kenapa kau
meneleponku?”
“Ke
mana saja kau?” tanya laki-laki itu terdengar serak dan lelah.
“Harusnya
Ashley sudah memberitahumu. Temanku baru saja kecelakaan dan aku harus menunda
presentasinya hari ini,” kata Helen mengernyit.
“Menunda
presentasi?” Pascal mengulang. Nada laki-laki itu terdengar heran dan aneh bagi
Helen. “Apa maksudmu? Presentasinya tetap diadakan. Semuanya dimulai dan
diakhiri dengan sempurna oleh Ashley. Tanpa
dirimu.”
Helen
tertegun. Apa maksud laki-laki itu dengan menyebut nama Ashley? Tidak mungkin
gadis itu mengambil alih perannya semudah itu. Lagipula Helen telah memintanya
menunda presentasinya untuk besok. Gadis itu juga telah mengiyakan.
“Pascal,
ini tidak lucu.”
“Aku
tidak sedang bercanda,” balas Pascal. Helen bisa mendengarnya mendengus keras.
“Ashley tidak mengatakan apa-apa. Dia membiarkan Mr. Knowles dan dua klien kita
menunggu hampir satu jam menunggumu. Lalu di saat yang tidak menyenangkan itu,
dia dengan menyesal mengambil alih peranmu sebagai presentator.”
Helen
diam, benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Tunggu. Tidak mungkin Ashley
bisa mempresentasikan semuanya di depan Mr. Knowles dan klien. Softfile aslinya hanya dimiliki Helen.
Bagaimana mungkin Ashley bisa…?
“Kau
membiarkan komputermu tanpa password,”
kata Pascal lagi seolah mampu membaca pikiran Helen. “Dia pasti mencurinya dan
mempelajari sesingkat yang dia bisa.”
“Dia
tidak akan bisa menguasai semuanya!” sahut Helen nyaris berteriak.
“Bukan
itu yang seharusnya kau khawatirkan.” Pascal menanggapinya pelan. “Aku khawatir
Mr. Knowles akan melakukan sesuatu karena menganggap kau telah lalai.”
***
Hari
masih pagi dan belum banyak karyawan yang datang ketika langkah Helen Raichstat
berderap cepat menuju ruang kerjanya. Dia menyadari beberapa karyawan lain yang
melihatnya langsung berbisik begitu melihatnya. Helen bisa langsung menebak
kalau yang mereka bicarakan tidak lain adalah kejadian kemarin. Tepat di depan
meja kerja Helen, Ashley Watts sedang berdiri memunggunginya, menata
berkas-berkas di mejanya sendiri. Helen langsung tahu itu Ashley karena rambut
merahnya tidak ada yang menyamai di seisi kantor itu.
Dalam
sekali sentakan, Helen mencengkeram lengan Ashley dan memutar tubuhnya untuk
menghadap dirinya.
“Apa
maksudnya ini?” tanya Helen tajam disertai tatapan marah. “Kau tidak mengatakan
pada mereka untuk menunda presentasinya? Kau juga mencuri skemaku!”
Ashley
mengernyit tidak suka dan langsung menyentakkan lengannya dari Helen.
“Mencuri?”
ulangnya sinis. “Siapa bilang aku mencurinya? Aku tetap menyebut namamu sebagai
pencetus ide. Karena mereka sudah terlalu lama menunggu, kupikir aku harus
melakukan sesuatu.”
Helen
menggigit bibir.
Tersenyum,
Ashley meneruskan kalimatnya, “Bukankah kau seharusnya berterimakasih padaku?
Mereka sekarang berpikir aku rekan kerja yang cepat tanggap.”
“Kenapa
kau lakukan ini?” tanya Helen akhirnya—masih dengan kemarahan yang meluap-luap.
Ashley
terdiam sesaat, menciptakan jeda konflik mereka kali itu.
“Aku
tidak pernah ingin jadi bayang-bayang siapa pun,” kata gadis itu akhirnya.
Pelan dan dingin. “Kita mengerjakan semuanya dalam waktu berbulan-bulan dalam
porsi yang sama. Hanya karena kau bekerja lebih dulu daripada aku, lantas
mereka semua hanya melihatmu?”
Helen
terdiam. Baru kali ini dia mendengar kata-kata yang terlontar dari Ashley penuh
kebencian. Padahal selama ini bagi Helen, Ashley adalah rekan kerja yang baik,
selalu mampu mengikuti irama kerja Helen yang spontan dan cepat. Padahal Helen
pikir tidak pernah ada masalah di antara mereka.
“Perlakuan
baikmu padaku membuatku muak,” kata Ashley dengan rahang yang menekan keras.
“Daripada rekan kerja yang imbang, lebih cocok dikatakan atasan pada bawahan.”
Tepat
setelahnya, Mr. Knowles tahu-tahu menghampiri mereka kemudian tatapannya
mengarah lurus pada Helen.
“Helen,
datang ke ruang kerjaku,” perintahnya lalu berbalik pergi.
Helen
lantas teringat pada kata-kata Pascal semalam.
“Aku khawatir Mr.
Knowles akan melakukan sesuatu karena menganggap kau telah lalai.”
Helen
menggigit bibir. Mengabaikan perintah Mr. Knowles, dia berbalik pergi
meninggalkan ruang kerjanya bersama Ashley. Dia melangkah cepat tanpa
mempedulikan karyawan-karyawan lain yang melihatnya heran karena sekarang
matanya memerah dan pipinya basah. Helen bahkan tidak melihat ke arah Pascal
sewaktu mereka berpapasan.
Helen
terus berjalan—larut dengan kekecewaan serta emosinya yang lain. Sama sekali
tidak mendengar seseorang meneriakkan namanya. Dia terus saja berjalan melewati
security pos menuju jalan raya.
Sedetik
kemudian, sebuah truk melintas kencang dan langsung menghantam tubuhnya hingga
tewas seketika.
0 komentar:
Posting Komentar