Sang Pengkhianat

Senin, 01 Juni 2015



Kedua kakinya melangkah lebar keluar dari bagian dalam rumah sakit menuju lobi. Dia tidak melihat ke arah depannya, tidak peduli banyak orang berlalu lalang dengan kemungkinan dia akan menabrak beberapa di antaranya. Perhatiannya tetap tertuju pada layar ponsel sementara jari-jarinya sibuk menekan-nekan tombol di layar sentuh. Berulang kali panggilan yang dia usahakan tidak tersambung. Tapi syukurlah orang yang terakhir dia hubungi mengangkat ponselnya.

“Halo?”

“Apa di sana sibuk?” tanya Helen sewaktu mendorong pintu kaca menggunakan tangan kirinya sementara tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinga.

“Mereka masih menyiapkan bahan untuk presentasi nanti. Kita bisa langsung mulai setengah jam lagi kalau kau bisa langsung datang. Proyek kali ini pasti akan berjalan mulus. Jadi kapan kau sampai?”

“Dengar.” Helen berjalan tergesa menuju mobilnya. “Skemanya ada padaku, tapi aku tidak bisa mempresentasikannya hari ini. Temanku kecelakaan. Ini mendesak sekali. Bisakah kau katakan pada yang lain untuk menundanya sampai besok? Aku yakin Mr. Knowles bisa meyakinkan klien kita. Tapi sejak tadi nomornya tidak bisa kuhubungi.”

“Kulihat tadi dia ada di ruangannya. Entahlah, sepertinya sedang keluar sebentar.”

“Aku minta pertolonganmu kali ini. Hubungi Mr. Knowles. Carilah dia sampai ketemu. Tolong sampaikan juga pada yang lain untuk menunda semuanya dulu. Aku harap kau bisa mengatasinya untuk saat ini.”

“Tentu saja. Aku akan menunggu sampai kau kembali. Serahkan padaku.”

“Terimakasih, Ashley.”

Helen menutup ponselnya kemudian langsung menghidupkan mesin setelah dia masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Mobil biru itu lalu melaju keluar lapangan parkir menuju perumahan tempat orang tua Alena Saulls tinggal. Mobil Alena tertabrak bus yang hilang kendali pagi ini hingga rusak parah. Gadis itu tidak membawa ponselnya, namun untung saja orang yang menyelamatkan dia menemukan kartu nama Helen terselip di sana dan langsung menghubunginya. Helen yang tadinya berangkat tergesa-gesa ke kantor kini harus terjebak dalam situasi yang rumit. Meskipun mengenal baik orang tua Alena, Helen sama sekali tidak tahu bagaimana harus menghubungi Mr. dan Mrs. Saulls selain mendatangi langsung kediaman mereka.

Beberapa menit kemudian mobil biru Helen berhenti di depan gerbang sebuah rumah di kawasan Sandrite. Rumah dan tanah di sana terbilang sangat mahal. Helen selalu iri pada putri tunggal keluarga Saulls—Alena karena mempunyai segala hal yang tidak Helen miliki. Namun rasa iri itu menguar begitu saja setelah kejadian tiba-tiba pagi ini.

“Siapa?” Suara dari interkom dekat dinding gerbang menyambutnya.

“Apa Mr. Saulls di dalam? Ini Helen Raichstat!”

Tidak ada tanggapan langsung. Tapi sesaat kemudian seorang wanita dengan dress putihnya keluar dari rumah dan melangkah ke gerbang untuk mempersilakan Helen masuk.

“Oh, Nak. Kalau kau mencari Alena, dia sedang—..”

“Mrs. Saulls, Alena mengalami kecelakaan! Ikutlah saya sekarang!”

***

Helen tidak beranjak dari tempatnya berdiri dekat dinding mengamati Mrs. Saulls yang masih saja menangis dengan dipeluk suaminya meskipun Mr. Saulls sendiri keadaannya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama sedang melihat Alena yang tengah terbaring tidak berdaya di dalam sebuah kamar di mana orang lain belum diizinkan masuk. Jendela kaca yang jadi perantara supaya mereka bisa melihat kondisi putri mereka satu-satunya itu justru dianggap sebagai penghalang.

Helen sempat melihat sosok Alena yang terbaring. Walau diam, dia tidak bisa membatin apa pun. Bahkan satu kalimat saja untuk mendoakan kesembuhannya. Semuanya terjadi terlalu tiba-tiba. Isakan Mrs. Saulls semakin membuat Helen tidak mampu berpikir. Dia lupa akan kedua kakinya yang mati rasa dan sama sekali tidak terbesit untuk duduk. Dia hanya diam di sana, tetap berkubang dalam kesunyian mengharapkan hal yang tidak sepatutnya.

***

Pukul sebelas malam ketika Helen sampai di apartemennya yang kecil. Dia melepaskan begitu saja sepatu haknya yang tinggi lalu melemparkan tasnya ke atas meja sebelum akhirnya merebahkan tubuh di atas sofa. Dia hanya sempat menyalakan lampu redup tanpa berniat menyalakan lampu lain yang lebih terang. Otaknya kembali memutar apa yang dikatakan dokter sewaktu keluar dari ruang rawat Alena: apabila gadis itu tidak kunjung sadar saat malam ini berakhir, mereka harus siap dengan kemungkinan terburuk.

Helen mendesah keras. Mengapa? Pikirnya. Dia tidak sedikitpun merasakan hal yang seharusnya dia rasakan mengenai Alena, juga pada kedua orang tuanya. Mereka—dia dan Alena—adalah teman baik semenjak kuliah. Alena selalu baik pada Helen. Tidak pernah sekalipun gadis itu mengecewakannya. Tapi mengapa sebagian hati Helen menginginkan Alena menyerah pada hidupnya? Helen berharap gadis itu selamanya tidak membuka mata. Mengapa?

Supaya Helen tidak lagi menjadi bayang-bayang Alena?

Mungkin saja.

Kepalanya mendadak pusing. Helen beranjak dari sofa dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Dia urung beristirahat di kamar ketika melihat tasnya yang masih tergeletak di atas meja depan sofa. Helen mengambil ponselnya, mendapati benda itu mati. Tanpa dia sadari, baterainya pasti habis.

Helen membiarkan ponsel itu mengisi daya beberapa saat sebelum menyalakannya. Matanya melebar mengetahui puluhan panggilan tidak terjawab. Semuanya berasal dari nama yang sama. Helen buru-buru menelepon orang itu.

“Pascal.” Helen langsung menyebut namanya begitu panggilannya diangkat. “Kenapa kau meneleponku?”

“Ke mana saja kau?” tanya laki-laki itu terdengar serak dan lelah.

“Harusnya Ashley sudah memberitahumu. Temanku baru saja kecelakaan dan aku harus menunda presentasinya hari ini,” kata Helen mengernyit.

“Menunda presentasi?” Pascal mengulang. Nada laki-laki itu terdengar heran dan aneh bagi Helen. “Apa maksudmu? Presentasinya tetap diadakan. Semuanya dimulai dan diakhiri dengan sempurna oleh Ashley. Tanpa dirimu.”

Helen tertegun. Apa maksud laki-laki itu dengan menyebut nama Ashley? Tidak mungkin gadis itu mengambil alih perannya semudah itu. Lagipula Helen telah memintanya menunda presentasinya untuk besok. Gadis itu juga telah mengiyakan.

“Pascal, ini tidak lucu.”

“Aku tidak sedang bercanda,” balas Pascal. Helen bisa mendengarnya mendengus keras. “Ashley tidak mengatakan apa-apa. Dia membiarkan Mr. Knowles dan dua klien kita menunggu hampir satu jam menunggumu. Lalu di saat yang tidak menyenangkan itu, dia dengan menyesal mengambil alih peranmu sebagai presentator.”

Helen diam, benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Tunggu. Tidak mungkin Ashley bisa mempresentasikan semuanya di depan Mr. Knowles dan klien. Softfile aslinya hanya dimiliki Helen. Bagaimana mungkin Ashley bisa…?

“Kau membiarkan komputermu tanpa password,” kata Pascal lagi seolah mampu membaca pikiran Helen. “Dia pasti mencurinya dan mempelajari sesingkat yang dia bisa.”

“Dia tidak akan bisa menguasai semuanya!” sahut Helen nyaris berteriak.

“Bukan itu yang seharusnya kau khawatirkan.” Pascal menanggapinya pelan. “Aku khawatir Mr. Knowles akan melakukan sesuatu karena menganggap kau telah lalai.”

***

Hari masih pagi dan belum banyak karyawan yang datang ketika langkah Helen Raichstat berderap cepat menuju ruang kerjanya. Dia menyadari beberapa karyawan lain yang melihatnya langsung berbisik begitu melihatnya. Helen bisa langsung menebak kalau yang mereka bicarakan tidak lain adalah kejadian kemarin. Tepat di depan meja kerja Helen, Ashley Watts sedang berdiri memunggunginya, menata berkas-berkas di mejanya sendiri. Helen langsung tahu itu Ashley karena rambut merahnya tidak ada yang menyamai di seisi kantor itu.

Dalam sekali sentakan, Helen mencengkeram lengan Ashley dan memutar tubuhnya untuk menghadap dirinya.

“Apa maksudnya ini?” tanya Helen tajam disertai tatapan marah. “Kau tidak mengatakan pada mereka untuk menunda presentasinya? Kau juga mencuri skemaku!”

Ashley mengernyit tidak suka dan langsung menyentakkan lengannya dari Helen.

“Mencuri?” ulangnya sinis. “Siapa bilang aku mencurinya? Aku tetap menyebut namamu sebagai pencetus ide. Karena mereka sudah terlalu lama menunggu, kupikir aku harus melakukan sesuatu.”

Helen menggigit bibir.

Tersenyum, Ashley meneruskan kalimatnya, “Bukankah kau seharusnya berterimakasih padaku? Mereka sekarang berpikir aku rekan kerja yang cepat tanggap.”

“Kenapa kau lakukan ini?” tanya Helen akhirnya—masih dengan kemarahan yang meluap-luap.

Ashley terdiam sesaat, menciptakan jeda konflik mereka kali itu.

“Aku tidak pernah ingin jadi bayang-bayang siapa pun,” kata gadis itu akhirnya. Pelan dan dingin. “Kita mengerjakan semuanya dalam waktu berbulan-bulan dalam porsi yang sama. Hanya karena kau bekerja lebih dulu daripada aku, lantas mereka semua hanya melihatmu?”

Helen terdiam. Baru kali ini dia mendengar kata-kata yang terlontar dari Ashley penuh kebencian. Padahal selama ini bagi Helen, Ashley adalah rekan kerja yang baik, selalu mampu mengikuti irama kerja Helen yang spontan dan cepat. Padahal Helen pikir tidak pernah ada masalah di antara mereka.

“Perlakuan baikmu padaku membuatku muak,” kata Ashley dengan rahang yang menekan keras. “Daripada rekan kerja yang imbang, lebih cocok dikatakan atasan pada bawahan.”

Tepat setelahnya, Mr. Knowles tahu-tahu menghampiri mereka kemudian tatapannya mengarah lurus pada Helen.

“Helen, datang ke ruang kerjaku,” perintahnya lalu berbalik pergi.

Helen lantas teringat pada kata-kata Pascal semalam.


“Aku khawatir Mr. Knowles akan melakukan sesuatu karena menganggap kau telah lalai.”


Helen menggigit bibir. Mengabaikan perintah Mr. Knowles, dia berbalik pergi meninggalkan ruang kerjanya bersama Ashley. Dia melangkah cepat tanpa mempedulikan karyawan-karyawan lain yang melihatnya heran karena sekarang matanya memerah dan pipinya basah. Helen bahkan tidak melihat ke arah Pascal sewaktu mereka berpapasan.

Helen terus berjalan—larut dengan kekecewaan serta emosinya yang lain. Sama sekali tidak mendengar seseorang meneriakkan namanya. Dia terus saja berjalan melewati security pos menuju jalan raya.

Sedetik kemudian, sebuah truk melintas kencang dan langsung menghantam tubuhnya hingga tewas seketika.

0 komentar: