“Panggillah
dia,” kata seorang pria di balik laptopnya di dalam ruangan yang begitu dingin.
Aku
yang baru bekerja untuknya selama kurang dari sebulan kemudian mengerjap lalu
menoleh—tentu saja dengan tenang karena pria itu sama sekali tidak menyukai
ekspresi orang kebanyakan yang mengedipkan matanya dengan cepat, pertanda dia
bingung. Semua yang pria itu miliki, segala hal yang terlibat dengan sosoknya
di dunia ini, aku harus menghafalnya hingga paham kata demi kata yang dia
ucapkan meskipun nyaris tidak ada petunjuk di sana.
Mata
pria itu menyorot lurus ke layar laptop. Beberapa detik setelahnya dia
tersenyum samar kemudian melepaskan kacamatanya.
“Vrtnica.”
Dia menyebutkan satu nama.
Aku pun
mengangguk sekali kemudian berbalik pergi mematuhi apa yang dia perintahkan.
Tidak ada bedanya dengan boneka kayu yang bergerak sesuai keinginan sang
Dalang. Aku menemui seseorang yang berada tidak jauh dari ruang kerja tadi
kemudian mengatakan kepadanya apa yang diinginkan Tuan Besar.
Orang
itu mengangguk lalu menekan beberapa tombol di ponselnya sebelum menempelkan
benda itu ke telinga.
***
“Kudengar
Gennady makin lemah,” kata Miron—salah satu penjaga di kediaman sang Tuan
memberitahuku.
Aku
yang baru saja menyesap kopi panaspun menoleh ke arahnya.
Gennady
memang sudah cukup tua. Dia adalah orang kepercayaan sang Tuan sebelum aku menggantikannya.
Dia telah bekerja untuk keluarga itu selama tiga generasi. Badannya tampak
kurus kering ketika terakhir kali aku menjenguknya. Berkat orang itu, aku
kemudian direkomendasikan menjadi tangan kanan sang Tuan.
“Sepertinya
tidak akan bertahan lama.” Miron menambahkan lalu mendesah.
Aku
terdiam. Kutatap pantulan wajahku sendiri di atas permukaan kopi.
“Kudengar
orang itu memanggil seseorang ke sini. Siapa? Aku harap dia bukan orang
brengsek yang di tangannya penuh cincin berlian seperti tiga hari yang lalu.”
Miron
menatap ke arahku, menunggu jawaban meskipun dia sebenarnya tahu aku enggan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang adalah urusan majikan kami. Bahkan ketika
melihat sekilas pandangannya dari sudut mataku, laki-laki itu jelas
sungguh-sungguh ingin memastikan sesuatu, apakah tebakan yang ada di batinnya
benar atau tidak.
“Dia
memanggil putrinya,” jawabku pendek.
Senyum
Miron langsung mengembang.
“Ini
harus dirayakan.” Dia tertawa.
Tentu
saja aku mengernyit. Aku sama sekali tidak paham apa maksud laki-laki itu
menganggap undangan sang Tuan pada salah satu putrinya dengan nama mewakili
mawar adalah hal yang menggembirakan. Sebelum aku bekerja di sana, Gennady
memberitahuku semua hal yang dia tahu. Dan sama sekali tidak ada alasan pekerja
di rumah bagai kastil itu senang akan datangnya sang Tuan Putri.
Sebabnya?
Karena sejak awal tidak ada yang beres dengan keluarga itu.
“Sudah
berapa lama? Ah, sembilan tahun! Aku bertanya-tanya jadi secantik apa dia
sekarang,” ujar Miron. “Tentulah dia cantik seperti ibunya, dan hebat jadi
seperti ayahnya. Benar-benar beruntung sekali putri tunggal itu. Sekaligus
kasihan mengetahuinya menyandang beban sendirian.”
Keningku
berkerut. Apa katanya? Putri tunggal?
“Apa
maksudmu putri tunggal?” tanyaku.
Miron
meresponku dengan wajah bingung.
“Dia
hanya punya satu orang anak saja, Vrtnica itu. Kau tidak tahu? Kupikir kau
tahu.”
Dia
tidak tahu? Aku membalikkan pertanyaan tadi namun dalam hati. Bagaimana mungkin
pada semua orang yang bekerja di rumahnya yang bagai mahligai dia secara tidak
langsung hanya mengakui satu orang saja dari lima kembar putrinya? Gennady
pernah memberitahu kalau dari kelima anak itu, Tuan Besar paling menyayangi
anak yang lahir kedua. Namun tetap saja aku tidak mengerti bahkan Miron—kepala
pelayan yang kupikir tahu hampir segalanya dalam keluarga itu berkata kalau
Vrtnica adalah putri satu-satunya.
“Ah…”
Miron menghela napas panjang. “Anak itu bisa membuat rumah es ini jadi hangat
dengan tawanya. Dia dulu suka berlarian di taman depan, mengejar kelinci.”
Tawa
hangat? Putri kedua? Sekali lagi aku tidak paham apa yang Miron maksud. Meski
begitu raut wajahku tetap kubuat tenang tanpa perubahan rona sama sekali.
“Dari lima anak itu, Vrtnicalah yang punya
pola pikir seperti Tuan. Hanya saja.. ketika Tuan menunjukkan kegelapan melalui
senyumnya, anak itu bercahaya meskipun dalam kesedihan..”
Kata-kata
Gennady kembali terngiang. Sejak awal aku tahu ingatanku sangat baik. Karenanya
aku sama sekali tidak meragukan pemutaran ulang rekaman suara itu dalam
benakku. Dari yang kuingat dari paparan Gennady, anak itu tampak sepenuhnya
menjadi boneka sang Tuan. Sama sekali tidak ada obrolan mereka mengenai tawa
hangat yang dimaksud Miron.
“Di satu sisi dia sangat baik.. tapi di
sisi lain dia bisa sangat kejam.”
Aku
membisu teringat komentar Gennady mengenai anak itu. Jujur saja, kebingunganku
wajar karena belum pernah sekalipun aku bertemu salah satu dari lima kembar.
Untuk sekarang memang tidak ada salahnya menanti gadis itu datang sembari
menebak apakah dia seorang tabib atau justru pembunuh.
***
Dua
hari kemudian gadis itu hadir mengenakan loli
dress biru terang juga sepatu berpita dengan warna yang sama serta berhak
tinggi. Aku tertegun ketika menyambutnya di depan pintu utama setelah keluar
dari mobil.
Gadis
itu punya kecantikan yang tidak seharusnya dimiliki manusia. Rona kulitnya
sepucat mayat dan sorot matanya kosong juga sendu. Walaupun mengenakan pakaian
yang manis, dia tidak sedikitpun tampak ingin memberikan kesan manis.
Aku
menunduk sekilas menyambut namun dia tidak menggubris. Mungkin dia pikir aku
hanyalah angin lalu yang lewat begitu saja tanpa perlu dipikir lebih jauh.
Tugasku
kemudian mengikutinya sampai ke ruangan tempat Tuan Besar berada. Pintu itu
dibuka dan kami pun masuk. Setelah berada cukup dekat dengan meja ayahnya,
gadis itu berhenti melangkah. Dia tidak memberi salam. Hanya berdiri di sana
dan diam. Seperti boneka yang menunggu dimainkan.
“Lelah?”
Ayahnya bertanya dengan Bahasa Indonesia yang sangat jarang dia ucapkan.
“Istirahatlah dulu.” Dia menyarankan hangat dalam senyuman—yang kutahu
berfungsi layaknya bulu domba yang menyelimuti serigala.
“What is it?” tanya si Gadis pelan namun
aku masih bisa mendengarnya.
“Buat
apa pertanyaan itu?”
“I thought you know…”
Air
muka pria itu berubah. Senyumnya menguap.
Bahkan
dengan posisi gadis itu membelakangiku, aku tahu mereka bertatapan lurus.
Sebenarnya tidak mengherankan melihat mereka seperti ini karena sedari awal aku
tahu ada yang aneh dengan keluarga ini. Namun melihatnya secara langsung, mau
tidak mau aku penasaran apa alasannya mereka berlaku seperti itu.
Merubah
kekakuan, menenangkan air yang beriak, pria itu kembali menampakkan senyumnya.
“Istirahatlah.”
Dia mengulang. “Iver akan mengantarmu.”
Aku
mengangkat wajah begitu namaku disebut.
Gadis
itu bergeming. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia membalikkan badan untuk
keluar ruangan. Aku ada tepat di hadapannya namun pandangan mata kami tidak
bertemu. Kakinya melangkah pelan namun pasti, seolah tidak ingin menunda waktu
untuk segera menjauh. Aku mengikutinya—tentu saja.
***
Dragon pearl tea aku
tuangkan dari teko ke cangkir di atas meja depan Vrtnica. Entah mengapa ayah
gadis itu menyuruhku menjadi butlernya selama dia tinggal di kastil ini.
Vrtnica
menyukai segala macam teh. Kesukaannya mirip dengan mendiang kakeknya, kata
Gennady dulu. Maid yang selalu
mengikutinya ke mana-mana memberitahuku kalau dia rutin minum teh pagi dan sore
hari. Sekarang giliran teh sorenya dan
dia belum sekali pun mengatakan sesuatu padaku.
Sampai
ketika malam hari setelah ayah dan anak itu menyelesaikan acara makan mereka,
ketegangan mulai terjadi.
***
Ruangan
musik yang terletak di lantai tiga terisi penuh dengan suara dentingan piano
yang dimainkan dalam tempo cepat. Saat melangkah masuk ke dalam, aku tidak bisa
menahan keterkejutanku melihat Vrtnica meringkuk, menekan punggungnya yang
gemetaran pada dinding rak buku di belakangnya. Gadis itu berusaha meredam
suara yang ada dengan mencoba menutup rapat-rapat kedua telinganya namun
sia-sia. Rambutnya acak-acakan dengan gaun tidur yang terlanjur kusut. Dia
bahkan bertelanjang kaki padahal suhu di sana amat dingin.
Aku
membayangkan Vrtnica ingin memekik, tapi tidak ada suara yang keluar dari
mulutnya.
Sementara
itu Ernest Radian Len—ayahnya dengan tenang memainkan piano seperti tanpa sadar
apa yang sedang terjadi: putri yang kata Gennady paling dia sayangi dibanding
saudaranya yang lain sedang meringkuk ketakutan seperti anjing yang sadar
hendak dibunuh.
Aku
tanpa sadar melangkah mendekatinya tanpa dia sadar. Coba kalau aku bisa
menghentikannya saat itu juga. Kalaupun aku menegurnya, mungkin pria itu tidak
akan mendengar karena suara piano begitu nyaring, mengalun cepat seolah sengaja
memancing emosi bergolak. Aku sendiri menekan kuat kedua rahangku, ingin sekali
mencengkeram kerahnya. Namun dengan benak yang keruh seperti itu, aku tetap
berhasil mengontrol diri.
“Tuan
besar,” panggilku. Dugaan awal kalau pria itu tidak akan mendengar, meleset.
Dia langsung menghentikan gerakan jari-jarinya kemudian menoleh menatapku.
“Aku
harus tidur sekarang?” Dia bertanya dan mengerjap.
Aku
mengangguk sekali.
Pria
itu lalu beranjak dari kursinya lalu pergi tanpa memprotes. Setelah bunyi pintu
ditutup terdengar, aku menghampiri Vrtnica. Posisinya masih sama seperti tadi,
hanya saja badannya tidak gemetaran hebat seperti tadi. Meski begitu melihat
bahunya yang naik turun, aku yakin dia masih belum sepenuhnya tenang.
Aku
bersimpuh menghadapnya, lalu dengan suara yang pelan dan lembut aku menawarkan,
“Nona mau saya bantu kembali ke kamar? Saya bisa panggil maid nona ke sini kalau nona mau.”
Vrtnica
menggeleng. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena tersembunyi di balik tirai
rambutnya yang berantakan.
“Nona
bisa kedinginan nanti,” kataku lagi. “Saya bisa menggendong nona kalau nona
tidak keberatan.”
Tidak
lama kemudian tangannya beringsut ke bawah, tidak lagi meremas rambutnya yang
dibiarkan tergerai. Ketika dia mengangkat wajahnya, aku bisa melihat mata
sembab gadis itu. Wajahnya pun dipenuhi keringat dingin. Dia mengulurkan kedua
tangannya ke bahuku lalu melingkari leher. Aku pun meresponnya dengan
mengangkat tubuh ringannya perlahan-lahan. Tubuhnya gemetaran. Bukan karena
takut, namun karena merasakan dingin.
Maid Vrtnica tampak menyambut kami
cemas saat keluar ruangan. Aku memandangnya sekilas untuk mengisyaratkan kalau
dia baik-baik saja—hanya saja tidak sepenuhnya. Wanita itu kemudian mengangguk
sekilas lalu mengikutiku menuruni tangga menuju kamar Vrtnica. Setelah
selimutnya disibakkan, aku pun menurunkannya di atas ranjangnya. Gadis itu
langsung menutup mata tanpa berkata apa-apa sedangkan maid tadi menarik kembali selimut hingga menutupi nyaris seluruh
tubuhnya.
Kemudian
tanpa ada orang lainpun tahu, dengan tangan terkepal begitu kuat aku beranjak
pergi.
***
Pagi
harinya aku menyajikan high grown tea
untuk Vrtnica yang tengah memperhatikan tanaman mawar yang menjelma menjadi
dinding di taman samping. Aku sendiri lalu berdiri di belakangnya di samping maid gadis itu—menunggu walaupun tidak
tahu apa yang kami tunggu.
“Ambilkan
setangkai untukku…”
Suaranya
pelan, meski begitu tetap terdengar baik olehku ataupun maid-nya. Menurut tanpa memberikan tanggapan tidak berguna, aku
lalu meninggalkannya sebentar menuju ke arah salah satu mawar yang mekar penuh.
Sambil melangkah, aku mengeluarkan sebuah pisau lipat yang selalu kubawa ke
mana-mana dan seringkali berguna pada saat-saat tertentu. Kali ini bukan untuk
sang Tuan pisau yang diwariskan keluargaku turun-temurun itu dipakai, melainkan
untuk sang Putri yang tampak begitu lemah seperti cahaya yang perlahan memudar.
Kelopak
mawar merah itu tampak berembun saat aku membawanya pada Vrtnica. Gadis itu
mengambilnya dengan tangan tangan lalu tersenyum samar. Saking samarnya hingga
orang akan bertanya-tanya apakah dia benar-benar tersenyum atau tidak. Aku
sendiri merasa beban yang ada di pundaknya terlalu berat sampai-sampai dia
tidak tahu bagaimana caranya tersenyum yang benar—jelas bukan seperti ayahnya.
Tidak
lama kemudian Miron datang membawa nampan dengan Mc Toast Shoko berpotongan besar. Laki-laki itu tersenyum sembari
menaruh piringnya di meja Vrtnica. Aku sendiri melihat gadis itu menoleh. Entah
apakah dia akan memberikan senyuman hangat yang dulu pernah dilihat Miron.
“Kau
tidak terlihat begitu sehat, Nona. Sarapanlah lebih banyak dari yang biasanya,”
kata Miron.
“I will..” Vrtnica membalasnya. “Kau
tampak berseri-seri hari ini.”
Mendengarnya,
Miron langsung tersenyum senang.
“Ini
berkat nona. Saya senang sekali waktu tahu Tuan Besar meminta nona datang ke
sini.”
Vrtnica
mengalihkan perhatiannya pada meja di depannya lalu menyesap teh yang masih
hangat. Miron pun pergi setelah melemparkan pandangan penuh perhatiannya pada
gadis itu.
“Tolong
ambilkan coat dan sarung tanganku,
Sonya..” Dia berkata tanpa menoleh pada maid-nya
sehingga kemudian hanya ada gadis itu dan aku di taman samping. “Berdirilah di
depan supaya aku bisa melihat wajahmu.”
Mataku
mengerjap. Karena di sana tidak ada orang selain kami yang bisa mendengar
perintahnya yang begitu pelan, aku menyimpulkan kata-kata tadi dia tunjukkan
padaku. Kakiku bergerak beberapa langkah lalu berhenti di depan meja
sarapannya. Vrtnica mengangkat wajah, namun mataku menyorot ke bawah.
“Kau
menggantikan Gennady,” ujar gadis itu mendekatkan mawar ke wajahnya yang pucat.
“Apa kau tahu kenapa dia malah menjadikanmu butler-ku?”
“No, Miss.” Aku menjawab jujur.
“Kau
baik sekali padaku semalam,” komentar Vrtnica lalu menyesap kembali tehnya. “Biasanya
tidak ada tipe orang seperti itu yang menjadi kaki tangannya.”
Aku
yang tidak paham mengerutkan kening.
“Tapi
bukan itu masalahnya..” Vrtnica menatapku lurus. Dan inilah untuk pertama
kalinya pandangan kami bertemu, tidak hanya sekilas namun gadis itu
memperhatikanku dengan seksama.
Iris
mata yang cokelat gelap itu terasa aneh bagiku. Pandangannya jelas tidak sama
dengan kesehariannya yang terkesan enggan semenjak dia menginjakkan kakinya
dalam kediaman utama ayahnya. Aku tidak bisa mengartikan perasaan yang
perlahan-lahan merambat, baik di sekujur tubuhku bahkan sampai ke dalam ruang
batin. Dia tidak berkata apa-apa, juga tidak melakukan apa pun, namun sorot
mata itu menunjukkan hal sebaliknya. Seolah-olah dengan pengamatan yang Vrtnica
lakukan, dia hendak menelanjangi semua hal dalam diriku—baik apa yang telah aku
perbuat, maupun apa yang akan aku lakukan.
Sekilas,
aku bertanya pada diriku, gadis macam apa dia?
Seolah
menyadari air mukaku berubah, Vrtnica tersenyum seolah menemukan sesuatu.
Sebagian
hatiku menyadari naluri kewaspadaan.
Maid gadis itu kemudian datang
membawakan coat dan sarung tangan sesuai
permintaannya. Vrtnica ingin berpergian dan dia ingin aku menyertainya. Mobil kami
sampai di sebuah bangunan tua yang sudah tidak ditinggali, mungkin
bertahun-tahun. Kami masuk makin ke dalam dengan penerangan yang tidak seberapa
dari cahaya langit siang yang abu-abu melalui jendela yang berdebu.
Beberapa
menit kemudian langkah Vrtnica berhenti di depan satu pintu yang sepertinya di
balik papan kayu itu adalah tempat tujuan sebenarnya dia. Gadis itu hanya
membukanya dengan sekali dorong. Mataku melebar mendapati enam orang pria ada
di sana seolah menunggu kami sejak tadi. Ekspresi mereka sama sekali tidak
ramah bahkan bisa dibilang mengancam.
“Apa
yang akan anda lakukan di sini?” Aku bertanya pada Vrtnica setelah berdiri di
depannya sebagai perisai pelindung. Kewaspadaanku meningkat ketika salah satu
dari orang-orang itu berjalan mendekati kami.
“Kau
tetap jadi bocah kurang ajar seperti biasa, Nona.” Orang itu terkekeh pada
Vrtnica.
Gadis
itu diam saja.
Orang tadi
hendak akan menyentuh Vrtnica dan aku refleks menahan tangannya yang lancing.
Tidak dapat dihindari, mereka yang terpancing emosinya langsung menghajarku
bersamaan. Tapi berkat kemampuan beladiri yang kupelajari selama lima belas
tahun, aku membereskan mereka tanpa luka yang berarti. Napasku memburu,
kemudian aku kembali menghampiri Vrtnica yang diam bagaikan patung di tempatnya
semula. Namun sebelum aku mengucapkan pertanyaan apakah dia baik-baik saja,
sebilah pedang menembus tubuhku dari depan.
Aku
terlalu terkejut sampai tidak sanggup mengeluarkan suara dari tenggorokanku
yang terlanjur tercekat.
Pedang
bermata dua yang menembus tubuhku tiba-tiba ditarik kembali tanpa ragu-ragu hingga
darahku memercik ke wajah pucat Vrtnica.
Kakiku
melangkah mundur satu kali. Saat menyentuh bagian perut, aku sadar darah telah
merembes terlalu banyak. Lalu ketika larut dalam kekalutanku, orang-orang yang
tadi berhasil terkapar karena kuhajar telah bangkit berdiri dan mengelilingiku.
Vrtnica sendiri bergeming di luar lingkaran mereka.
Seseorang
menendangku dari samping dan aku pun roboh. Sedikit demi sedikit pandanganku
menjadi buram. Tapi saat itu juga wajahku ditangkup sepasang tangan yang pucat
dan lembut—hangat sekaligus dingin. Kali ini Vrtnica yang mendekatkan wajahnya
ke wajahku. Hal yang tidak bisa kupercayai saat ini adalah mengetahui dia duduk
tepat di atas tempat tusukan pedangnya.
“I can see you’re a good person…” Dia
berbisik. “Tapi ayahku jauh lebih mementingkan kesetiaan… Sementara hal itu
tidak ada padamu..”
Mulutku
membuka sedikit karena mendadak sebagian darah menyeruak keluar melalui
tenggorokanku.
“Kau
tidak tahu? Aku bisa melihat dendam yang ada dalam matamu tadi.” Vrtnica
berkata lagi. Meskipun pandanganku mulai kabur, aku bisa melihat sesuatu
mengerling, turun dari matanya lalu membasahi pipi. “Kau jelas membencinya
ketika menghentikan permainan piano yang memuakkan itu semalam.. Dan jika
dugaanku benar.. kau sedang menunggu waktu untuk menghabisinya…”
Ketegangan
dalam tubuhku seketika meningkat.
“Kau
perlu tahu satu hal, Iver..” Dia menyebut namaku. “Aku juga membencinya, tapi
aku tidak akan menunjukkan taring padanya… Karena seperti apa pun dia tetaplah
masih sebagai figur ayah.. bukan bagiku, tapi bagi saudara-saudaraku. Sebagai
ganti supaya mereka hidup normal tanpa tekanan yang kualami selama tujuh
tahun.. akulah yang jadi alter ego orang itu.. Setiap dia mendapat gangguan
sekecil apa pun, akulah yang harus membersihkannya tanpa tersisa. Termasuk kau..
“Dia
memberikanmu padaku dua hari ini adalah untuk mengujimu… memastikan apakah kau
layak atau tidak. Nyatanya—sayang sekali.. kau ciptaan Gennady yang gagal..”
“Ke—kenapa..”
Aku susah payah menuntut penjelasan lebih.
“Aku
melihat begitu banyak macam orang di dunia ini,” jawab Vrtnica yang entah dari
mana tahu arah pertanyaanku meski tidak sanggup kuselesaikan. “Berkat tekanan
yang terus aku terima, perasaanku jauh lebih peka dari orang kebanyakan.. Ayahku
tahu dan tidak menyia-nyiakan hal itu. Dia memanfaatku sebagai ganti membiarkan
saudara-saudaraku tumbuh dalam kasih sayang… meski palsu..”
Vrtnica
mengarahkan kembali ujung pedangnya padaku, kali ini ke leherku.
“Pergilah
dalam damai, Iver… seperti yang sudah kulakukan pada ibuku karena dendamnya
pada orang itu…” Dia tersenyum. “Never
regret anything.. because at one time it was exactly what you wanted..”
Aku
tidak tahu seberapa nanar wajahku sekarang, namun gadis itu jelas tahu. Sangat
tahu hingga aku merasa perlu berterimakasih padanya. Jauh sebelum aku masuk ke
dalam mahligai yang gelap itu, cahayu telah padam berkat dendam yang semakin
berat pada marga Len yang jahat.
Sedetik
sebelum ujung pedang itu menghujam, aku menutup mata dan membatin.
Gadis ini menunjukkan cahaya walaupun dalam
dirinya bersarang kegelapan yang menyedihkan. Dia seorang pembunuh, namun juga
seorang tabib.
0 komentar:
Posting Komentar