That White Rose is Red by Blood

Jumat, 03 Juli 2015



“Panggillah dia,” kata seorang pria di balik laptopnya di dalam ruangan yang begitu dingin.

Aku yang baru bekerja untuknya selama kurang dari sebulan kemudian mengerjap lalu menoleh—tentu saja dengan tenang karena pria itu sama sekali tidak menyukai ekspresi orang kebanyakan yang mengedipkan matanya dengan cepat, pertanda dia bingung. Semua yang pria itu miliki, segala hal yang terlibat dengan sosoknya di dunia ini, aku harus menghafalnya hingga paham kata demi kata yang dia ucapkan meskipun nyaris tidak ada petunjuk di sana.

Mata pria itu menyorot lurus ke layar laptop. Beberapa detik setelahnya dia tersenyum samar kemudian melepaskan kacamatanya.

“Vrtnica.” Dia menyebutkan satu nama.

Aku pun mengangguk sekali kemudian berbalik pergi mematuhi apa yang dia perintahkan. Tidak ada bedanya dengan boneka kayu yang bergerak sesuai keinginan sang Dalang. Aku menemui seseorang yang berada tidak jauh dari ruang kerja tadi kemudian mengatakan kepadanya apa yang diinginkan Tuan Besar.

Orang itu mengangguk lalu menekan beberapa tombol di ponselnya sebelum menempelkan benda itu ke telinga.

***

“Kudengar Gennady makin lemah,” kata Miron—salah satu penjaga di kediaman sang Tuan memberitahuku.

Aku yang baru saja menyesap kopi panaspun menoleh ke arahnya.

Gennady memang sudah cukup tua. Dia adalah orang kepercayaan sang Tuan sebelum aku menggantikannya. Dia telah bekerja untuk keluarga itu selama tiga generasi. Badannya tampak kurus kering ketika terakhir kali aku menjenguknya. Berkat orang itu, aku kemudian direkomendasikan menjadi tangan kanan sang Tuan.

“Sepertinya tidak akan bertahan lama.” Miron menambahkan lalu mendesah.

Aku terdiam. Kutatap pantulan wajahku sendiri di atas permukaan kopi.

“Kudengar orang itu memanggil seseorang ke sini. Siapa? Aku harap dia bukan orang brengsek yang di tangannya penuh cincin berlian seperti tiga hari yang lalu.”

Miron menatap ke arahku, menunggu jawaban meskipun dia sebenarnya tahu aku enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang adalah urusan majikan kami. Bahkan ketika melihat sekilas pandangannya dari sudut mataku, laki-laki itu jelas sungguh-sungguh ingin memastikan sesuatu, apakah tebakan yang ada di batinnya benar atau tidak.

“Dia memanggil putrinya,” jawabku pendek.

Senyum Miron langsung mengembang.

“Ini harus dirayakan.” Dia tertawa.

Tentu saja aku mengernyit. Aku sama sekali tidak paham apa maksud laki-laki itu menganggap undangan sang Tuan pada salah satu putrinya dengan nama mewakili mawar adalah hal yang menggembirakan. Sebelum aku bekerja di sana, Gennady memberitahuku semua hal yang dia tahu. Dan sama sekali tidak ada alasan pekerja di rumah bagai kastil itu senang akan datangnya sang Tuan Putri.

Sebabnya? Karena sejak awal tidak ada yang beres dengan keluarga itu.

“Sudah berapa lama? Ah, sembilan tahun! Aku bertanya-tanya jadi secantik apa dia sekarang,” ujar Miron. “Tentulah dia cantik seperti ibunya, dan hebat jadi seperti ayahnya. Benar-benar beruntung sekali putri tunggal itu. Sekaligus kasihan mengetahuinya menyandang beban sendirian.”

Keningku berkerut. Apa katanya? Putri tunggal?

“Apa maksudmu putri tunggal?” tanyaku.

Miron meresponku dengan wajah bingung.

“Dia hanya punya satu orang anak saja, Vrtnica itu. Kau tidak tahu? Kupikir kau tahu.”

Dia tidak tahu? Aku membalikkan pertanyaan tadi namun dalam hati. Bagaimana mungkin pada semua orang yang bekerja di rumahnya yang bagai mahligai dia secara tidak langsung hanya mengakui satu orang saja dari lima kembar putrinya? Gennady pernah memberitahu kalau dari kelima anak itu, Tuan Besar paling menyayangi anak yang lahir kedua. Namun tetap saja aku tidak mengerti bahkan Miron—kepala pelayan yang kupikir tahu hampir segalanya dalam keluarga itu berkata kalau Vrtnica adalah putri satu-satunya.

“Ah…” Miron menghela napas panjang. “Anak itu bisa membuat rumah es ini jadi hangat dengan tawanya. Dia dulu suka berlarian di taman depan, mengejar kelinci.”

Tawa hangat? Putri kedua? Sekali lagi aku tidak paham apa yang Miron maksud. Meski begitu raut wajahku tetap kubuat tenang tanpa perubahan rona sama sekali.

“Dari lima anak itu, Vrtnicalah yang punya pola pikir seperti Tuan. Hanya saja.. ketika Tuan menunjukkan kegelapan melalui senyumnya, anak itu bercahaya meskipun dalam kesedihan..”

Kata-kata Gennady kembali terngiang. Sejak awal aku tahu ingatanku sangat baik. Karenanya aku sama sekali tidak meragukan pemutaran ulang rekaman suara itu dalam benakku. Dari yang kuingat dari paparan Gennady, anak itu tampak sepenuhnya menjadi boneka sang Tuan. Sama sekali tidak ada obrolan mereka mengenai tawa hangat yang dimaksud Miron.

“Di satu sisi dia sangat baik.. tapi di sisi lain dia bisa sangat kejam.”

Aku membisu teringat komentar Gennady mengenai anak itu. Jujur saja, kebingunganku wajar karena belum pernah sekalipun aku bertemu salah satu dari lima kembar. Untuk sekarang memang tidak ada salahnya menanti gadis itu datang sembari menebak apakah dia seorang tabib atau justru pembunuh.

***

Dua hari kemudian gadis itu hadir mengenakan loli dress biru terang juga sepatu berpita dengan warna yang sama serta berhak tinggi. Aku tertegun ketika menyambutnya di depan pintu utama setelah keluar dari mobil.

Gadis itu punya kecantikan yang tidak seharusnya dimiliki manusia. Rona kulitnya sepucat mayat dan sorot matanya kosong juga sendu. Walaupun mengenakan pakaian yang manis, dia tidak sedikitpun tampak ingin memberikan kesan manis.

Aku menunduk sekilas menyambut namun dia tidak menggubris. Mungkin dia pikir aku hanyalah angin lalu yang lewat begitu saja tanpa perlu dipikir lebih jauh.

Tugasku kemudian mengikutinya sampai ke ruangan tempat Tuan Besar berada. Pintu itu dibuka dan kami pun masuk. Setelah berada cukup dekat dengan meja ayahnya, gadis itu berhenti melangkah. Dia tidak memberi salam. Hanya berdiri di sana dan diam. Seperti boneka yang menunggu dimainkan.

“Lelah?” Ayahnya bertanya dengan Bahasa Indonesia yang sangat jarang dia ucapkan. “Istirahatlah dulu.” Dia menyarankan hangat dalam senyuman—yang kutahu berfungsi layaknya bulu domba yang menyelimuti serigala.

What is it?” tanya si Gadis pelan namun aku masih bisa mendengarnya.

“Buat apa pertanyaan itu?”

I thought you know…”

Air muka pria itu berubah. Senyumnya menguap.

Bahkan dengan posisi gadis itu membelakangiku, aku tahu mereka bertatapan lurus. Sebenarnya tidak mengherankan melihat mereka seperti ini karena sedari awal aku tahu ada yang aneh dengan keluarga ini. Namun melihatnya secara langsung, mau tidak mau aku penasaran apa alasannya mereka berlaku seperti itu.

Merubah kekakuan, menenangkan air yang beriak, pria itu kembali menampakkan senyumnya.

“Istirahatlah.” Dia mengulang. “Iver akan mengantarmu.”

Aku mengangkat wajah begitu namaku disebut.

Gadis itu bergeming. Butuh waktu beberapa saat sebelum dia membalikkan badan untuk keluar ruangan. Aku ada tepat di hadapannya namun pandangan mata kami tidak bertemu. Kakinya melangkah pelan namun pasti, seolah tidak ingin menunda waktu untuk segera menjauh. Aku mengikutinya—tentu saja.

***

Dragon pearl tea aku tuangkan dari teko ke cangkir di atas meja depan Vrtnica. Entah mengapa ayah gadis itu menyuruhku menjadi butlernya selama dia tinggal di kastil ini.

Vrtnica menyukai segala macam teh. Kesukaannya mirip dengan mendiang kakeknya, kata Gennady dulu. Maid yang selalu mengikutinya ke mana-mana memberitahuku kalau dia rutin minum teh pagi dan sore hari.  Sekarang giliran teh sorenya dan dia belum sekali pun mengatakan sesuatu padaku.

Sampai ketika malam hari setelah ayah dan anak itu menyelesaikan acara makan mereka, ketegangan mulai terjadi.

***

Ruangan musik yang terletak di lantai tiga terisi penuh dengan suara dentingan piano yang dimainkan dalam tempo cepat. Saat melangkah masuk ke dalam, aku tidak bisa menahan keterkejutanku melihat Vrtnica meringkuk, menekan punggungnya yang gemetaran pada dinding rak buku di belakangnya. Gadis itu berusaha meredam suara yang ada dengan mencoba menutup rapat-rapat kedua telinganya namun sia-sia. Rambutnya acak-acakan dengan gaun tidur yang terlanjur kusut. Dia bahkan bertelanjang kaki padahal suhu di sana amat dingin.

Aku membayangkan Vrtnica ingin memekik, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Sementara itu Ernest Radian Len—ayahnya dengan tenang memainkan piano seperti tanpa sadar apa yang sedang terjadi: putri yang kata Gennady paling dia sayangi dibanding saudaranya yang lain sedang meringkuk ketakutan seperti anjing yang sadar hendak dibunuh.

Aku tanpa sadar melangkah mendekatinya tanpa dia sadar. Coba kalau aku bisa menghentikannya saat itu juga. Kalaupun aku menegurnya, mungkin pria itu tidak akan mendengar karena suara piano begitu nyaring, mengalun cepat seolah sengaja memancing emosi bergolak. Aku sendiri menekan kuat kedua rahangku, ingin sekali mencengkeram kerahnya. Namun dengan benak yang keruh seperti itu, aku tetap berhasil mengontrol diri.

“Tuan besar,” panggilku. Dugaan awal kalau pria itu tidak akan mendengar, meleset. Dia langsung menghentikan gerakan jari-jarinya kemudian menoleh menatapku.

“Aku harus tidur sekarang?” Dia bertanya dan mengerjap.

Aku mengangguk sekali.

Pria itu lalu beranjak dari kursinya lalu pergi tanpa memprotes. Setelah bunyi pintu ditutup terdengar, aku menghampiri Vrtnica. Posisinya masih sama seperti tadi, hanya saja badannya tidak gemetaran hebat seperti tadi. Meski begitu melihat bahunya yang naik turun, aku yakin dia masih belum sepenuhnya tenang.

Aku bersimpuh menghadapnya, lalu dengan suara yang pelan dan lembut aku menawarkan, “Nona mau saya bantu kembali ke kamar? Saya bisa panggil maid nona ke sini kalau nona mau.”

Vrtnica menggeleng. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena tersembunyi di balik tirai rambutnya yang berantakan.

“Nona bisa kedinginan nanti,” kataku lagi. “Saya bisa menggendong nona kalau nona tidak keberatan.”

Tidak lama kemudian tangannya beringsut ke bawah, tidak lagi meremas rambutnya yang dibiarkan tergerai. Ketika dia mengangkat wajahnya, aku bisa melihat mata sembab gadis itu. Wajahnya pun dipenuhi keringat dingin. Dia mengulurkan kedua tangannya ke bahuku lalu melingkari leher. Aku pun meresponnya dengan mengangkat tubuh ringannya perlahan-lahan. Tubuhnya gemetaran. Bukan karena takut, namun karena merasakan dingin.

Maid Vrtnica tampak menyambut kami cemas saat keluar ruangan. Aku memandangnya sekilas untuk mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja—hanya saja tidak sepenuhnya. Wanita itu kemudian mengangguk sekilas lalu mengikutiku menuruni tangga menuju kamar Vrtnica. Setelah selimutnya disibakkan, aku pun menurunkannya di atas ranjangnya. Gadis itu langsung menutup mata tanpa berkata apa-apa sedangkan maid tadi menarik kembali selimut hingga menutupi nyaris seluruh tubuhnya.

Kemudian tanpa ada orang lainpun tahu, dengan tangan terkepal begitu kuat aku beranjak pergi.
 
***

Pagi harinya aku menyajikan high grown tea untuk Vrtnica yang tengah memperhatikan tanaman mawar yang menjelma menjadi dinding di taman samping. Aku sendiri lalu berdiri di belakangnya di samping maid gadis itu—menunggu walaupun tidak tahu apa yang kami tunggu.

“Ambilkan setangkai untukku…”

Suaranya pelan, meski begitu tetap terdengar baik olehku ataupun maid-nya. Menurut tanpa memberikan tanggapan tidak berguna, aku lalu meninggalkannya sebentar menuju ke arah salah satu mawar yang mekar penuh. Sambil melangkah, aku mengeluarkan sebuah pisau lipat yang selalu kubawa ke mana-mana dan seringkali berguna pada saat-saat tertentu. Kali ini bukan untuk sang Tuan pisau yang diwariskan keluargaku turun-temurun itu dipakai, melainkan untuk sang Putri yang tampak begitu lemah seperti cahaya yang perlahan memudar.

Kelopak mawar merah itu tampak berembun saat aku membawanya pada Vrtnica. Gadis itu mengambilnya dengan tangan tangan lalu tersenyum samar. Saking samarnya hingga orang akan bertanya-tanya apakah dia benar-benar tersenyum atau tidak. Aku sendiri merasa beban yang ada di pundaknya terlalu berat sampai-sampai dia tidak tahu bagaimana caranya tersenyum yang benar—jelas bukan seperti ayahnya.

Tidak lama kemudian Miron datang membawa nampan dengan Mc Toast Shoko berpotongan besar. Laki-laki itu tersenyum sembari menaruh piringnya di meja Vrtnica. Aku sendiri melihat gadis itu menoleh. Entah apakah dia akan memberikan senyuman hangat yang dulu pernah dilihat Miron.

“Kau tidak terlihat begitu sehat, Nona. Sarapanlah lebih banyak dari yang biasanya,” kata Miron.

I will..” Vrtnica membalasnya. “Kau tampak berseri-seri hari ini.”

Mendengarnya, Miron langsung tersenyum senang.

“Ini berkat nona. Saya senang sekali waktu tahu Tuan Besar meminta nona datang ke sini.”
Vrtnica mengalihkan perhatiannya pada meja di depannya lalu menyesap teh yang masih hangat. Miron pun pergi setelah melemparkan pandangan penuh perhatiannya pada gadis itu.

“Tolong ambilkan coat dan sarung tanganku, Sonya..” Dia berkata tanpa menoleh pada maid-nya sehingga kemudian hanya ada gadis itu dan aku di taman samping. “Berdirilah di depan supaya aku bisa melihat wajahmu.”

Mataku mengerjap. Karena di sana tidak ada orang selain kami yang bisa mendengar perintahnya yang begitu pelan, aku menyimpulkan kata-kata tadi dia tunjukkan padaku. Kakiku bergerak beberapa langkah lalu berhenti di depan meja sarapannya. Vrtnica mengangkat wajah, namun mataku menyorot ke bawah.

“Kau menggantikan Gennady,” ujar gadis itu mendekatkan mawar ke wajahnya yang pucat. “Apa kau tahu kenapa dia malah menjadikanmu butler-ku?”

No, Miss.” Aku menjawab jujur.

“Kau baik sekali padaku semalam,” komentar Vrtnica lalu menyesap kembali tehnya. “Biasanya tidak ada tipe orang seperti itu yang menjadi kaki tangannya.”

Aku yang tidak paham mengerutkan kening.

“Tapi bukan itu masalahnya..” Vrtnica menatapku lurus. Dan inilah untuk pertama kalinya pandangan kami bertemu, tidak hanya sekilas namun gadis itu memperhatikanku dengan seksama.

Iris mata yang cokelat gelap itu terasa aneh bagiku. Pandangannya jelas tidak sama dengan kesehariannya yang terkesan enggan semenjak dia menginjakkan kakinya dalam kediaman utama ayahnya. Aku tidak bisa mengartikan perasaan yang perlahan-lahan merambat, baik di sekujur tubuhku bahkan sampai ke dalam ruang batin. Dia tidak berkata apa-apa, juga tidak melakukan apa pun, namun sorot mata itu menunjukkan hal sebaliknya. Seolah-olah dengan pengamatan yang Vrtnica lakukan, dia hendak menelanjangi semua hal dalam diriku—baik apa yang telah aku perbuat, maupun apa yang akan aku lakukan.

Sekilas, aku bertanya pada diriku, gadis macam apa dia?

Seolah menyadari air mukaku berubah, Vrtnica tersenyum seolah menemukan sesuatu.

Sebagian hatiku menyadari naluri kewaspadaan.

Maid gadis itu kemudian datang membawakan coat dan sarung tangan sesuai permintaannya. Vrtnica ingin berpergian dan dia ingin aku menyertainya. Mobil kami sampai di sebuah bangunan tua yang sudah tidak ditinggali, mungkin bertahun-tahun. Kami masuk makin ke dalam dengan penerangan yang tidak seberapa dari cahaya langit siang yang abu-abu melalui jendela yang berdebu.

Beberapa menit kemudian langkah Vrtnica berhenti di depan satu pintu yang sepertinya di balik papan kayu itu adalah tempat tujuan sebenarnya dia. Gadis itu hanya membukanya dengan sekali dorong. Mataku melebar mendapati enam orang pria ada di sana seolah menunggu kami sejak tadi. Ekspresi mereka sama sekali tidak ramah bahkan bisa dibilang mengancam.

“Apa yang akan anda lakukan di sini?” Aku bertanya pada Vrtnica setelah berdiri di depannya sebagai perisai pelindung. Kewaspadaanku meningkat ketika salah satu dari orang-orang itu berjalan mendekati kami.

“Kau tetap jadi bocah kurang ajar seperti biasa, Nona.” Orang itu terkekeh pada Vrtnica.

Gadis itu diam saja.

Orang tadi hendak akan menyentuh Vrtnica dan aku refleks menahan tangannya yang lancing. Tidak dapat dihindari, mereka yang terpancing emosinya langsung menghajarku bersamaan. Tapi berkat kemampuan beladiri yang kupelajari selama lima belas tahun, aku membereskan mereka tanpa luka yang berarti. Napasku memburu, kemudian aku kembali menghampiri Vrtnica yang diam bagaikan patung di tempatnya semula. Namun sebelum aku mengucapkan pertanyaan apakah dia baik-baik saja, sebilah pedang menembus tubuhku dari depan.

Aku terlalu terkejut sampai tidak sanggup mengeluarkan suara dari tenggorokanku yang terlanjur tercekat.

Pedang bermata dua yang menembus tubuhku tiba-tiba ditarik kembali tanpa ragu-ragu hingga darahku memercik ke wajah pucat Vrtnica.

Kakiku melangkah mundur satu kali. Saat menyentuh bagian perut, aku sadar darah telah merembes terlalu banyak. Lalu ketika larut dalam kekalutanku, orang-orang yang tadi berhasil terkapar karena kuhajar telah bangkit berdiri dan mengelilingiku. Vrtnica sendiri bergeming di luar lingkaran mereka.

Seseorang menendangku dari samping dan aku pun roboh. Sedikit demi sedikit pandanganku menjadi buram. Tapi saat itu juga wajahku ditangkup sepasang tangan yang pucat dan lembut—hangat sekaligus dingin. Kali ini Vrtnica yang mendekatkan wajahnya ke wajahku. Hal yang tidak bisa kupercayai saat ini adalah mengetahui dia duduk tepat di atas tempat tusukan pedangnya.

I can see you’re a good person…” Dia berbisik. “Tapi ayahku jauh lebih mementingkan kesetiaan… Sementara hal itu tidak ada padamu..”

Mulutku membuka sedikit karena mendadak sebagian darah menyeruak keluar melalui tenggorokanku.

“Kau tidak tahu? Aku bisa melihat dendam yang ada dalam matamu tadi.” Vrtnica berkata lagi. Meskipun pandanganku mulai kabur, aku bisa melihat sesuatu mengerling, turun dari matanya lalu membasahi pipi. “Kau jelas membencinya ketika menghentikan permainan piano yang memuakkan itu semalam.. Dan jika dugaanku benar.. kau sedang menunggu waktu untuk menghabisinya…”

Ketegangan dalam tubuhku seketika meningkat.

“Kau perlu tahu satu hal, Iver..” Dia menyebut namaku. “Aku juga membencinya, tapi aku tidak akan menunjukkan taring padanya… Karena seperti apa pun dia tetaplah masih sebagai figur ayah.. bukan bagiku, tapi bagi saudara-saudaraku. Sebagai ganti supaya mereka hidup normal tanpa tekanan yang kualami selama tujuh tahun.. akulah yang jadi alter ego orang itu.. Setiap dia mendapat gangguan sekecil apa pun, akulah yang harus membersihkannya tanpa tersisa. Termasuk kau..

“Dia memberikanmu padaku dua hari ini adalah untuk mengujimu… memastikan apakah kau layak atau tidak. Nyatanya—sayang sekali.. kau ciptaan Gennady yang gagal..”

“Ke—kenapa..” Aku susah payah menuntut penjelasan lebih.

“Aku melihat begitu banyak macam orang di dunia ini,” jawab Vrtnica yang entah dari mana tahu arah pertanyaanku meski tidak sanggup kuselesaikan. “Berkat tekanan yang terus aku terima, perasaanku jauh lebih peka dari orang kebanyakan.. Ayahku tahu dan tidak menyia-nyiakan hal itu. Dia memanfaatku sebagai ganti membiarkan saudara-saudaraku tumbuh dalam kasih sayang… meski palsu..”

Vrtnica mengarahkan kembali ujung pedangnya padaku, kali ini ke leherku.

“Pergilah dalam damai, Iver… seperti yang sudah kulakukan pada ibuku karena dendamnya pada orang itu…” Dia tersenyum. “Never regret anything.. because at one time it was exactly what you wanted..

Aku tidak tahu seberapa nanar wajahku sekarang, namun gadis itu jelas tahu. Sangat tahu hingga aku merasa perlu berterimakasih padanya. Jauh sebelum aku masuk ke dalam mahligai yang gelap itu, cahayu telah padam berkat dendam yang semakin berat pada marga Len yang jahat.

Sedetik sebelum ujung pedang itu menghujam, aku menutup mata dan membatin.

Gadis ini menunjukkan cahaya walaupun dalam dirinya bersarang kegelapan yang menyedihkan. Dia seorang pembunuh, namun juga seorang tabib.

0 komentar: