Welcome to Disaster Maker Club (9)

Jumat, 13 Mei 2016



Shin duduk gelisah di kursi anyaman dalam kamar Eero. Pandangannya tidak lepas dari laki-laki itu. Dia meninggalkan kristal perpindahan yang tergeletak tidak berguna di lantai dan beralih memutar-mutar tombol salah satu radio miliknya. Shin menyilangkan tangan, tidak habis pikir bagaimana anak dari keluarga penyihir yang kaku dan kuno seperti Eero punya inisiatif brilian membuat sambungan telepati via radio. Padahal dia dan Lana bisa saja berkomunikasi lewat ponsel.

Saat ini Shin hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Eero yang duduk lesehan menyamping sehingga Shin bisa melihat sebagian wajahnya. Ekspresi Eero tampak sangat serius sejak dimulainya penyelamatan mereka malam itu, namun mendadak air mukanya berubah bingung.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Shin.

Eero menoleh.

“Apa Mr. Elios pernah memberitahumu apa pun tentang Eva?” tanyanya.

Shin menggeleng. “Kenapa dia?”

“Kita beruntung dia dimasukkan ke misi kali ini,” jawab Eero kemudian beralih kembali pada radionya. “Api yang dia punya bisa menghabisi siapa pun. Termasuk iblis yang mendatangkan masalah kita kali ini. Hanya saja.. selain Eva, mereka semua harus keluar dari sarang itu sekarang kalau tidak ingin tubuh mereka jadi abu.”

***

Di tengah-tengah asap yang mengepul setelah api memusnahkan hampir sebagian besar rambut di sana, Eva melangkah tenang dan tersenyum. Sekali dia menyentuh rambut yang berserakan, saat itu juga api merembet menghanguskan sarang. Yang lain tahu tindakannya berbahaya, namun tidak bisa menghentikan Eva karena sekarang mereka tidak punya pilihan selain mengandalkan kekuatannya. Manusia biasa macam dua anak yang diculik tidak akan bertahan dalam asap yang terlalu tebal. Wajah Audin dan yang lain bahkan penuh dengan bedak jelaga. Audin dan Zein kompak menutupi wajah dua anak yang diculik itu menggunakan serbet basah.

“Eva, berhenti. Ini sudah cukup,” kata Laz melihat begitu banyaknya rambut yang menjadi abu.

“Belum.” Eva menoleh dan tersenyum.

Laz tertegun melihat kobaran api lewat manik matanya. Gadis itu tampak sangat bersemangat tanpa peduli keadaan di sekitarnya.

“Misi kita adalah penyelamatan. Sebaiknya kita langsung pergi setelah menemukan mereka,” kata Laz lagi mengingatkan.

“Dan membiarkan iblis sialan itu tidak mendapatkan apa-apa? Bagaimana kalau dia menculik anak lagi nantinya? Lebih baik langsung kubunuh saja dia,” balas Eva.

“Tidak kalau kami masih ada di sini.” Kali ini Audin bicara lalu terbatuk-batuk. “Kita semua akan mati kalau api yang kamu buat tidak juga padam. Apimu juga menutup jalan masuk!”

“Tidak akan seru kalau aku memadamkannya begitu saja,” tanggap Eva tanpa rasa bersalah. “Aku tetap akan menunggu iblis itu keluar. Berhenti mengoceh padaku. Cari saja jalan keluar lain sendiri.”

Gadis api itu langsung beranjak pergi membiarkan api yang berkobar di sekelilingnya.

“Eva keras kepala…,” gumam Zein yang mulai batuk-batuk hebat.

“Mana Agatha? Harusnya dia bisa menghentikannya,” kata Audin. Mendadak gadis itu teringat sesuatu kemudian berseru. “Kristal perpindahan! Siapa yang bawa kristalnya?!”

Cahaya biru berkilauan muncul menyelimuti tubuh Agatha yang membawa kristal. Tubuhnya perlahan memudar, mulai dari ujung kaki dan bergerak ke atas. Matanya dan Audin bertemu.

“Jangan bilang kalau…” Laz menggumam tidak percaya.

“Oh, maaf,” kata Agatha dengan polosnya. “Aku pikir kalian punya masing-masing satu.”

Zein dan Audin bengong. Kalaupun mereka berlari sekuat tenaga ke Agatha sekarang, tidak akan sempat. Agatha akan berpindah hanya dalam hitungan detik tanpa membawa serta yang lain. Tingkahnya sekarang, tidak jauh berbeda dengan Eva.

“Jangan lihat aku seperti itu,” kata Agatha lagi dengan ekspresi menyebalkan. “Salahkan Eero. Kita ada banyak. Kenapa membuatnya cuma satu?”

Dan dia menghilang.

***
Ketika sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah tirai, Audin mengerang sebentar sebelum akhirnya membuka mata. Begitu sadar, dia mendapati langit-langit yang biasa dia lihat di DM. Gadis itu lalu menegakkan punggung dan melihat Zein tidur tertelungkup di pahanya. Audin menoleh dan melihat Laz dan Eero tertidur di atas tikar, sementara para gadis tidur di sofa. Tidak jauh dari mereka, Lana pun masih tidur di atas kursi goyang. Badannya tertekuk menjadi mirip bola.

Alis Audin terangkat menyadari wajah mereka semua kotor kecuali Lana dan Eero.

Ah, tentu saja. Siapa yang mau repot-repot membersihkan wajah mereka? Masih untung saat api berkobar dalam sarang siluman semalam, Mr. Elios berusaha menyelamatkan mereka dibantu Eero dan Shin. Sepertinya dalam keadaan tidak sadar juga, mereka dibawa kembali ke asrama lalu ditaruh sembarangan di ruang tengah seperti ini.

Omong-omong di mana Agatha dan Eva? Dua orang itu juga jadi sumber masalah baru mereka semalam.

Zein mengerang.

“Duh, punggungku…,” keluhnya lalu bangun. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya masih bau asap. “Oh, Audin.. pagi.”

“Pagi,” balas Audin.

Sama dengan Audin tadi, Zein pun memandang sekitar dan dia tidak terkejut.

“Aku mau mandi.” Audin beranjak pergi. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan Zein. Dalam hati dia berniat akan mengomeli Eva dan Agatha nanti.

***
Sarapan pagi ini hening. Shin hanya memasak seadanya seperti telur mata sapi, sosis, roti panggang dan susu hangat, sementara untuk Zein, dia hanya mencampurkan selada, tomat dan zaitun. Eva, Agatha dan Snare telah bergabung. Khusus untuk Eva dan Agatha, mereka memasang tampang tanpa rasa bersalah.

“Bagaimana Gael dan temannya semalam?” tanya Audin mencairkan suasana tanpa menghilangkan tatapan tajamnya pada Eva dan Agatha.

“Mereka sudah kembali ke rumah masing-masing. Mr. Elios juga sudah menghilangkan ingatan keduanya,” jawab Shin.

“Kalian tidak ingin berkata sesuatu?” Kali ini melemparkan pertanyaan pada Agatha dan Eva.

“Iblis itu kabur sebelum aku sempat menghabisinya,” balas Eva lalu memasukkan sepotong sosis ke mulut.

Audin membalasnya sembari tersenyum sinis tidak habis pikir. Dia lalu beralih pada Agatha.

“Kau—.. apa kau tahu apa yang kau lakukan semalam?”

Mendadak Zein memegang pergelangan tangan Audin. Saat mereka berdua saling bersitatap, Zein memberi isyarat supaya Audin diam. Audin yang masih tidak paham, tidak menggubris saran itu.

Agatha selesai menenggak habis segelas susu, barulah dia meladeni pandangan menuntut dari Audin.

Annoying,” katanya kemudian membuat mata Audin melebar. Gadis itu menoleh pada Zein. “Siapa si Cebol ini? Wajahnya membuatku ingin muntah saja.”

“Ap—..!”

Sekali lagi, Zein menahan Audin supaya tidak meledak. Sebenarnya bukan cuma Audin yang kaget. Eva dan Lana pun demikian. Lainnya berwajah keruh.

“Dan juga Shin.” Agatha kembali berceletuk seenaknya. “Kau bisa pindahkan vas bunga air di kamarku. Airnya menjijikkan. Aku tidak tahu kenapa orang-orang suka teratai. Bukannya mereka sering tumbuh di selokan?”

“Hei.” Lana angkat bicara. Alisnya bertaut pertanda tidak senang. “Aku tidak tahu apa masalahmu, bisa jaga sedikit kata-katamu? Yang tadi itu keterlaluan.”

“Anak baru semuanya sama ya? Musti diingatkan berulang kali bagaimana cara menjilat yang benar.” Agatha meraih gelas air milik Eva di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menyiramkan air itu ke wajah Lana. Semuanya sontak terpaku.

“Dia benar-benar…” Audin nyaris melakukan hal yang sama pada Agatha namun Zein juga dengan cepat menahannya. Shin pun bahkan tidak tahu harus berbuat apa.

Snare bangkit berdiri melemparkan serbetnya ke atas piring. Dia menghampiri Agatha untuk menarik gadis itu untuk pergi, tapi Agatha menyentaknya.

“Aku memang sudah mau pergi,” hardik Agatha tidak membiarkan Snare menarik lengannya. Sebelum berlalu, Agatha menoleh lagi ke arah Audin. “Sekarang aku tahu kenapa dia ada di sini. Untuk membantu Shin jadi tukang kebun rupanya.”

Seperginya Agatha dan Snare, atmosfer ruang makan menjadi sedikit lega. Hanya saja mereka tidak bisa menghilangkan kekesalan meski bukan target racauan Agatha kali ini. Shin dan Zein buru-buru mengeringkan rambut dan wajah Lana yang basah. Di tengah kebingungan Audin yang gagal paham mengartikan tingkah Agatha, Eva mendadak tertawa.

“Dia menyebalkan sekali,” katanya. “Benar-benar menyebalkan.”

***
Shin memandangi kumpulan bunga dalam keranjang di latar sebuah toko bunga. Meski tidak lagi berakar karena telah dipotong, Shin bisa membuatnya menunda layu. Gadis itu biasa melakukannya sepulang sekolah. Hanya saja kali ini dia melakukannya untuk mengusir penat. Keadaan dalam asrama membuatnya pusing. Bahkan Zein sama sekali tidak membantu. Audin dan Lana yang sedang kesal juga tidak bisa diandalkan.

“Shin?”

Gadis itu menelengkan kepala ke arah sumber suara yang memanggilnya. Dia tersenyum melihat pria tampan itu. Beberapa saat kemudian mereka berjalan beriringan sambil mengobrol.

“Begitu ya…,” ujar Mr. Elios setelah mendengar cerita Shin.

“Kata Zein, Laz tidak sengaja menghantamnya. Well.. dia menyesal sekali sampai minta maaf padaku, Lana, dan Audin.”

Mr. Elios menoleh, mendapati Shin menunduk murung. Tangannya kemudian terangkat menyentuh ujung kepala Shin lalu mendekatkannya ke dada. Tak ayal, wajah Shin memerah karena terkejut. Meski begitu dia tidak berniat melepaskan diri.

“Bersabarlah sebentar lagi. Tapi jangan coba membentur kepalanya hanya supaya dia kembali seperti semula,” kata Mr. Elios.

Shin tersenyum geli.

Untunglah hari ini sekolah libur sehingga Shin tidak mengenakan baju seragam. Tidak ada yang tahu kalau mereka adalah guru dan murid.

“Oh ya, ini soal Gael,” kata Mr. Elios kemudian begitu mengingat sesuatu. “Eva harus meminta maaf padanya. Hanya itu hukuman yang bisa kupikirkan saat ini.”

***
Zein pergi ke kamar mandi dan membiarkan pintu kamarnya terbuka ketika Agatha kembali ke asrama. Agatha melewati kamar Zein, dan dari sudut matanya, dia bisa melihat akuarium bola berisi dua ikan mas di atas meja belajar Zein. Agatha bergeming memperhatikan sepasang ikan itu. Ketika kemudian salah satu ikan bergerak cepat hingga membuat kotoran di dasar akuarium beterbangan di air, kening Agatha berkerut.

Sedetik kemudian akuarium itu pecah dan melemparkan dua ikan tadi ke lantai bersama dengan pecahan kaca akuarium yang tajam.


3 komentar:

Nona Shin mengatakan...

Hm ... another soul of agatha ...
Hihi
Pen nabok rasanya ...
Eh eh atha ... emang gak boleh ya guru sama murid pacaran ...
*o*

Nona Shin mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Unknown mengatakan...

@Shin bukannya gak boleh :v tabu aja. wkwkwk