Setelah hampir lima jam duduk dalam
kereta kuda, gadis yang tidak mau ditemani siapa pun selain sang Kusir akhirnya
bisa melihat hamparan bunga yang tumbuh liar di sisi kanan dan kiri jalan.
Bunga-bunga itu memiliki warna yang berbeda-beda dan tidak ada pengaturan untuk
menggolongkan mereka. Si Gadis yang tidak bosan memandang melalui jendela pun
tersenyum. Kakinya lurus ke depan dengan tubuh yang dibalut gaun renda merah
yang mewah, serta tidak lupa topi lebar berhias bunga di kepalanya. Penat yang
mendera gadis itu pun perlahan-lahan memudar lalu menguap entah ke mana.
Tidak lama kemudian, rute yang kereta
kuda itu lalui bukan lagi jalan yang rata, melainkan jalan yang berbatu hingga
berkali-kali timbul guncangan yang membuat gadis tadi tidak nyaman. Dia sempat bergidik
ngeri mendapati jurang di samping jalan mereka meskipun tempat itu tetap indah
oleh tumbuhnya bunga.
Samar-samar telinga gadis itu menangkap
suara derap kuda—yang mana dia yakin itu bukan suara langkah kuda yang menarik
keretanya. Bukan hanya satu ekor kuda, mungkin setidaknya ada dua kuda di
belakang mereka.
Si Gadis awalnya tidak memiliki firasat
apa pun. Dia membuka tirai jendela di samping kanan untuk melihat pengendara
kuda yang sebentar lagi akan menyusulnya. Saat itulah ketika kereta dan si Pengendara
kuda berjalan bersisian, mata gadis itu sontak melebar melihat satu ujung panah
yang siap ditembakkan mengarah padanya.
Terkesiap dan refleks, gadis itu mampu
menghindar dari tembakan pertama. Kereta lagi-lagi berguncang. Saking kerasnya
hingga dia memekik. Hanya dalam beberapa detik, kereta itu tiba-tiba ambruk. Si
Pengendara kuda yang menyerang mereka tidak memperhitungkan jurang di sisi kiri
jalan hingga akhirnya kereta itu terguling keras menuruni tanah yang curam.
Kusir kereta itu telah terbunuh oleh panah yang menembus lehernya. Tinggal sang
Gadis yang lalu terjatuh dalam kereta yang terguling, bersama dengan kuda
malang yang telah mengantarnya begitu jauh.
***
Kepalanya terluka hingga darah mengalir
dari pelipis melewati pipi sampai membasahi leher. Gadis itu—Forsythia akhirnya
membuka mata setelah beberapa saat lamanya tidak sadarkan diri. Kejadian tadi
rupanya bukan mimpi, dia membatin. Ada orang yang ingin membunuhnya sehingga
dikirimlah dua orang suruhan tadi. Forsythia menatap sekelilingnya, menyadari
kalau dia masih berada dalam kereta yang kini dalam posisi yang tidak
seharusnya.
Walau diserang pusing yang hebat, gadis
itu lalu memukul-mukul pintu kereta di atasnya yang tertutup. Pegangan pintu
itu rusak akibat benturan hingga susah sekali dibuka. Beruntung akhirnya
Forsythia bisa keluar dari sana meskipun ujung-ujungnya salah satu dinding besi
yang koyak telah merobek gaun indah gadis itu. Dia mendecap kesal. Dicopotnya
topi dengan hiasan bunga di kepalanya lalu dibuang begitu saja.
Melihat keadaan di sekelilingnya
sekarang, Forsythia lalu berinisiatif melepaskan sepatu haknya. Bahkan tanpa
sepatu itupun, dia pasti akan kesulitan beranjak dari sana—setidaknya dia harus
mencari pemukiman penduduk terdekat untuk meminta pertolongan. Tapi baru saja
bergerak selangkah, gadis itu meringis lalu roboh. Ketika dia melihat kaki
kanannya, ternyata ada serpihan kayu tertancap di sana. Menghela napas panjang,
Forsythia pun mencabut serpihan itu tanpa menundanya.
Tepat saat itu juga dia mendengar ringkikan
kuda. Napasnya memburu. Hatinya mencelos begitu melihat kuda yang tadi menarik
keretanya sedang sekarat. Forsythia menitikkan air mata mengetahui kaki-kaki
kuda itu sepertinya patah. Sekujur tubuhnya pun penuh luka.
Menahan tangisnya, gadis itu kemudian
mencari-cari sebilah pedang yang tersimpan di tempat duduk kusir.
“Maaf, Altos.. maafkan aku…,” isak
Forsythia menyebut nama kudanya. Ujung pedang itu kemudian menghujam leher
kuda, membuatnya tidak lagi merasakan sakit. Gadis itu lalu tersungkur dan menangis
tersedu-sedu.
Tanah basah yang ada di sekelilingnya
membuat baju, badan, serta wajah Forsythia menjadi kotor. Hari memang masih
siang, tapi apabila tidak cepat-cepat, gadis itu bisa-bisa tersesat sendirian
saat langit terlanjur gelap.
***
Di tempat lain, namun tidak begitu
jauh, seorang laki-laki tengah mengendarai kudanya diikuti beberapa orang pria
yang mengawalnya. Sejauh perburuan yang diadakan sejak pagi tadi, laki-laki itu
telah berhasil memanah tiga ekor rusa, dan sepasang burung merpati.
Saat dia mulai terlihat lelah, salah
satu pengawalnya lalu memberikan saran, “Bagaimana kalau kita beristirahat
sebentar, Tuanku?”
“Tentu.” Sang Pangeran—Orion mengiyakan.
“Aku akan jalan-jalan sebentar. Nanti aku kembali.”
“Ah, biar saya temani..”
“Tidak,” potong Orion. “Kau di sini
saja.”
“Ya, Tuanku.”
Kuda hitam yang ditunggangi Orion lalu
berjalan ke arah utara. Laki-laki itu mengikuti nalurinya yang merasa mendengar
bunyi air yang mengalir. Kalau dugaannya benar, pastilah ada sungai yang berada
tidak jauh dari sana. Kuda hitam itu kemudian menyusuri jalan setapak yang
berbatu, namun di beberapa bagian penuh sekali dengan batu-batu besar yang
mengganggu. Berkatnya, Orion harus lebih berhati-hati supaya kudanya tidak
tersandung.
Di kanan dan kiri jalan yang Orion
susuri saat itu tampak selingan forsythia liar yang bermekaran. Batangnya lurus
panjang dengan bunga-bunga kuning yang kecil, melekat di rantingnya. Selain itu
pula bunga lainpun bersamaan mekar, menciptakan pemandangan indah yang umum
terlihat di Brisera.
Orion memandang bagian bawah ketika
tidak sengaja mendapati potongan-potongan kain berserakan. Dahinya berkerut. Potongan-potongan
kain itu ada di sepanjang jalan yang dia telusuri, hendak memandunya pada
sesuatu atau seseorang di ujung jalan. Orion tadinya memiliki firasat kalau
potongan kain itu aslinya berwarna putih, tapi akhirnya jadi merah karena
darah. Dia lalu turun dari kudanya untuk memastikan hal itu. Untunglah dugaannya
meleset, karena kain itu memang berwarna merah. Dilihat dari bentuknya, kain
merah itu bukanlah pita. Orion menebak kalau potongan itu berasal dari pakaian
seseorang. Dia berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya menemukan potongan
renda yang berwarna putih. Bercak-bercak merah di renda putih itulah yang
kemudian membuat Orion bertambah curiga.
Sang Pangeran terus berjalan dan tidak
berapa lama sampai dekat sungai. Potongan-potongan kain merah yang dia temukan
tidak lagi menuntunnya, karena benda-benda itu menghilang dekat sungai. Orion
mengedarkan pandangan ke sekeliling namun tidak menemukan ada hal yang aneh. Baru
ketika hendak berbalik kembali pada kudanya, laki-laki itu tersentak menemukan
satu sosok di balik batu besar yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Penasaran,
Orion pelan-pelan memberanikan diri siapa orang yang tengah duduk di balik batu
itu. Matanya lalu melebar.
Seorang gadis sedang duduk tertidur. Sepasang
kakinya terjulur telanjang ke tepian sungai. Pakaiannya kumal. Gaun perempuan
Brisera seharusnya panjang menutupi kaki, namun rok gadis itu hanya sampai di
lutut.
Orion mengerutkan kening saat menyadari
kalau rok itu seharusnya tidak sebegitu pendek. Dia melihat lagi potongan kain
merah yang ada di tangannya. Pastilah sobekan itu berasal dari rok si Gadis.
Tapi mengapa gadis itu sengaja merobek roknya? Orion pun tanpa sadar terus
mendekati gadis itu dan menemukan jika kepalanya dibalut kain merah yang
panjang.
Dia terluka? Batin Orion bertanya. Apa dia
tinggal di dekat sini? Mungkin saja.
Meskipun wajahnya agak kotor, Orion
nampaknya harus mengakui kalau gadis itu cukup cantik. Kalau debu di wajah
gadis itu dibersihkan, pastilah yang terlihat kulit seputih pualam yang tanpa
cacat. Bulu kelopak matanya panjang dan lentik, melengkung indah ke atas. Bibir
gadis itu merekah penuh berwarna merah muda. Hal yang paling mencuri perhatian
Orion adalah rambut hitam gadis itu. Tidak seperti rambut-rambut berwarna
terang gadis-gadis di Brisera yang seringkali dia temui, gadis itu memiliki
rambut hitam legam yang indah.
Sekilas terbesit keinginan Orion untuk
menyentuh sedikit saja rambut indah itu. Tangannya tanpa sadar terangkat
kemudian mendekat ke anak-anak rambut yang menutupi pipi sang Gadis. Tapi sebelum
jari Orion menyentuhnya, gadis itu tiba-tiba terbangun.
Orion tidak bisa mencegah diri untuk
tidak lagi terpaku. Berkat kelopak gadis itu yang sekarang membuka, Orion bisa
melihat sepasang mata jernihnya dengan iris yang juga berwarna hitam yang
lembut. Sama dengan keterkejutannya karena orang di depannya mendadak
terbangun, gadis itu juga terkejut mendapati Orion berada tepat di hadapannya—berjongkok,
bahkan tangan kanannya terangkat seperti akan menyentuhnya.
***
“Siapa kau?” tanya Forsythia setelah
bergerak mundur hingga punggungnya menekan kuat pada batu sandarannya tadi. Ekspresi
gadis itu jelas-jelas penuh curiga dan kewaspadaan. Wajar saja mengingat
kejadian buruk yang menimpanya tadi.
“Sepertinya aku lebih berhak memberikan
pertanyaan yang sama padamu,” kata laki-laki itu begitu menarik kembali
tangannya. “Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?”
Hening. Forsythia menatap laki-laki itu
lekat dengan air muka yang heran. Bukannya memberikan jawaban, dia justru
membalikkan pertanyaan dan bersikap hal itu merupakan sesuatu yang sudah
seharusnya. Kenapa laki-laki itu begitu lancang menanyakan namanya padahal
Forsythia tidak sedikitpun peduli siapa dia?
“Kasar sekali,” komentar Forsythia lalu
memaksakan diri untuk berdiri meski kakinya masih sakit. “Kau tidak tahu
etikanya, sebelum menanyakan siapa lawan bicaramu, kau harus memperkenalkan
diri terlebih dulu?”
Orion tersenyum sinis kemudian bangkit
berdiri juga. “Kau seharusnya menjawab pertanyaan itu sendiri, Nona,” katanya.
Forsythia tersinggung. “Lantas apa yang
seharusnya kukatakan waktu aku terbangun tadi dan tiba-tiba kau ada di depanku
seperti itu? ‘Oh, astaga!’, seperti itu?”
Orion sempat melongo, tapi lantas dia
tertawa geli. Sungguh, dia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti itu
apalagi oleh seorang gadis—ditambah lagi dia adalah gadis dengan penampilan
paling berantakan yang pernah Orion lihat. Dilihat sekilas, baginya Forsythia
nampak seperti gadis desa yang amat sederhana. Namun melihat sikapnya, Orion
harus akui kalau dia adalah gadis desa yang punya harga diri yang amat tinggi. Aneh,
padahal gadis mana pun akan salah tingkah saat bertemu laki-laki seperti Orion.
Nyatanya hal itu justru tidak berlaku pada Forsythia.
“Aku tidak sengaja menemukan
potongan-potongan kain rokmu sewaktu berkuda ke sini,” papar Orion. “Sepertinya
kau terluka. Tadi aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja.”
Forsythia tertegun. Dia menatap laki-laki
itu lagi setelah sempat memalingkan muka. Orion tersenyum padanya—senyum yang
ramah juga lembut dengan sinar mata yang jujur. Forsythia kemudian membatin
pada diri sendiri kalau sepertinya laki-laki itu bukanlah orang jahat. Mungkin dia
hanyalah seseorang yang kebetulan sedang lewat dan menemukan potongan gaunnya. Forsythia
memang berkali-kali merobek gaun rendanya yang indah untuk membalut lukanya,
tapi tadi dia terus-terusan mendapatkan potongan pendek yang tidak berguna. Saat
gadis itu mengamati penampilan Orion baik-baik, sepertinya laki-laki itu bukan
orang biasa. Mungkin saja dia seorang bangsawan yang tengah berburu.
“Aku baik-baik saja,” kata Forsythia
berbohong. “Terimakasih telah memperhatikanku. Aku hanya… tidak sengaja
terjatuh.”
Hati Orion dipenuhi perasaan
menyenangkan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Gadis itu melembutkan
nada suaranya saat menanggapi Orion. Dia tidak lagi berkata ketus dan sinis
seperti tadi. Apa mungkin gadis itu mulai percaya kalau Orion bukanlah orang
jahat?
“Kalau kau mau, aku bisa mengantarmu ke
tempat di mana kau tinggal,” kata Orion menawarkan. “Aku yakin saat mengetahui
kau terluka seperti ini, keluargamu pasti khawatir.”
Forsythia terdiam. Kalimat Orion
terdengar sangat wajar, namun gadis itu menilai alamat kata-kata itu keliru. Keluarganya
tidak akan tahu, benar-benar tidak boleh tahu. Bisa gawat kalau paman dan
bibinya—Raja dan Permaisuri Castamore mengetahui Forsythia terluka sewaktu
berada di Brisera. Bisa jadi akan terjadi ketegangan antara dua kerajaan. Karena
sepertinya Orion adalah laki-laki bangsawan yang berada, Forsythia tidak bisa begitu
saja memintanya untuk tutup mulut.
“Kau bisa memberitahuku di mana
pemukiman penduduk terdekat..,” kata gadis itu. “Aku lebih baik ke sana
sendiri.”
“Jangan-jangan kau tersesat?” tebak
Orion.
Forsythia tersenyum. “Anggap saja aku
sedang melarikan diri dan bersembunyi.”
“Dari apa?”
“Aku tidak bisa memberitahumu.”
Mereka saling berpandangan beberapa
saat di mana masing-masing merasakan semburat perasaan aneh yang perlahan-lahan
menjalar.
“Jadi arah mana pemukiman penduduk yang
terdekat?” tanya Forsythia yang mulai salah tingkah.
“Kau harus mengambil jalan memutar yang
agak jauh,” jawab Orion. “Sungguh, aku bisa mengantarmu. Setelahnya aku akan
segera kembali pada rombonganku yang berada tidak jauh dari sini.”
Melihat Forsythia masih bimbang
menimbang tawarannya, Orion segera menambahkan.
“Kau bisa percaya padaku.”
***
Sesuai janji, Orion mengantarkan
Forsythia ke pemukiman penduduk terdekat. Menurunkan gadis itu dari kudanya,
Orion agaknya khawatir apakah dia akan baik-baik saja.
“Terimakasih,” ucap Forsythia.
Sebelum gadis itu berbalik pergi, Orion
berkata, “Kuharap kita akan bertemu lagi, Nona.”
“Semoga.” Forsythia mengangguk lalu
tersenyum.
Orion lalu mengarahkan kudanya untuk
pergi meski enggan diikuti pandangan menerawang dari Forsythia.
Gadis itu sebenarnya bingung memikirkan
apa yang akan dia lakukan di sana. Untunglah di roknya terselip sekantung uang,
yang meskipun tidak banyak, setidaknya akan cukup membuatnya bertahan
setidaknya selama dua hari.
Beberapa saat mengitari pemukiman untuk
mencari penginapan, Forsythia mendadak merasakan pandangannya buram dan
berputar. Tubuh gadis itu lemas dan akhirnya terjatuh juga. Untunglah, sepasang
suami istri petani miskin yang baik hati segera menolongnya, dan membawa gadis
itu ke gubuk mereka.
0 komentar:
Posting Komentar