In The Land of Flower (1/3)

Rabu, 12 Agustus 2015





Setelah hampir lima jam duduk dalam kereta kuda, gadis yang tidak mau ditemani siapa pun selain sang Kusir akhirnya bisa melihat hamparan bunga yang tumbuh liar di sisi kanan dan kiri jalan. Bunga-bunga itu memiliki warna yang berbeda-beda dan tidak ada pengaturan untuk menggolongkan mereka. Si Gadis yang tidak bosan memandang melalui jendela pun tersenyum. Kakinya lurus ke depan dengan tubuh yang dibalut gaun renda merah yang mewah, serta tidak lupa topi lebar berhias bunga di kepalanya. Penat yang mendera gadis itu pun perlahan-lahan memudar lalu menguap entah ke mana.

Tidak lama kemudian, rute yang kereta kuda itu lalui bukan lagi jalan yang rata, melainkan jalan yang berbatu hingga berkali-kali timbul guncangan yang membuat gadis tadi tidak nyaman. Dia sempat bergidik ngeri mendapati jurang di samping jalan mereka meskipun tempat itu tetap indah oleh tumbuhnya bunga.

Samar-samar telinga gadis itu menangkap suara derap kuda—yang mana dia yakin itu bukan suara langkah kuda yang menarik keretanya. Bukan hanya satu ekor kuda, mungkin setidaknya ada dua kuda di belakang mereka.

Si Gadis awalnya tidak memiliki firasat apa pun. Dia membuka tirai jendela di samping kanan untuk melihat pengendara kuda yang sebentar lagi akan menyusulnya. Saat itulah ketika kereta dan si Pengendara kuda berjalan bersisian, mata gadis itu sontak melebar melihat satu ujung panah yang siap ditembakkan mengarah padanya.

Terkesiap dan refleks, gadis itu mampu menghindar dari tembakan pertama. Kereta lagi-lagi berguncang. Saking kerasnya hingga dia memekik. Hanya dalam beberapa detik, kereta itu tiba-tiba ambruk. Si Pengendara kuda yang menyerang mereka tidak memperhitungkan jurang di sisi kiri jalan hingga akhirnya kereta itu terguling keras menuruni tanah yang curam. Kusir kereta itu telah terbunuh oleh panah yang menembus lehernya. Tinggal sang Gadis yang lalu terjatuh dalam kereta yang terguling, bersama dengan kuda malang yang telah mengantarnya begitu jauh.

***

Kepalanya terluka hingga darah mengalir dari pelipis melewati pipi sampai membasahi leher. Gadis itu—Forsythia akhirnya membuka mata setelah beberapa saat lamanya tidak sadarkan diri. Kejadian tadi rupanya bukan mimpi, dia membatin. Ada orang yang ingin membunuhnya sehingga dikirimlah dua orang suruhan tadi. Forsythia menatap sekelilingnya, menyadari kalau dia masih berada dalam kereta yang kini dalam posisi yang tidak seharusnya.

Walau diserang pusing yang hebat, gadis itu lalu memukul-mukul pintu kereta di atasnya yang tertutup. Pegangan pintu itu rusak akibat benturan hingga susah sekali dibuka. Beruntung akhirnya Forsythia bisa keluar dari sana meskipun ujung-ujungnya salah satu dinding besi yang koyak telah merobek gaun indah gadis itu. Dia mendecap kesal. Dicopotnya topi dengan hiasan bunga di kepalanya lalu dibuang begitu saja.

Melihat keadaan di sekelilingnya sekarang, Forsythia lalu berinisiatif melepaskan sepatu haknya. Bahkan tanpa sepatu itupun, dia pasti akan kesulitan beranjak dari sana—setidaknya dia harus mencari pemukiman penduduk terdekat untuk meminta pertolongan. Tapi baru saja bergerak selangkah, gadis itu meringis lalu roboh. Ketika dia melihat kaki kanannya, ternyata ada serpihan kayu tertancap di sana. Menghela napas panjang, Forsythia pun mencabut serpihan itu tanpa menundanya.

Tepat saat itu juga dia mendengar ringkikan kuda. Napasnya memburu. Hatinya mencelos begitu melihat kuda yang tadi menarik keretanya sedang sekarat. Forsythia menitikkan air mata mengetahui kaki-kaki kuda itu sepertinya patah. Sekujur tubuhnya pun penuh luka.

Menahan tangisnya, gadis itu kemudian mencari-cari sebilah pedang yang tersimpan di tempat duduk kusir.

“Maaf, Altos.. maafkan aku…,” isak Forsythia menyebut nama kudanya. Ujung pedang itu kemudian menghujam leher kuda, membuatnya tidak lagi merasakan sakit. Gadis itu lalu tersungkur dan menangis tersedu-sedu.

Tanah basah yang ada di sekelilingnya membuat baju, badan, serta wajah Forsythia menjadi kotor. Hari memang masih siang, tapi apabila tidak cepat-cepat, gadis itu bisa-bisa tersesat sendirian saat langit terlanjur gelap.

***

Di tempat lain, namun tidak begitu jauh, seorang laki-laki tengah mengendarai kudanya diikuti beberapa orang pria yang mengawalnya. Sejauh perburuan yang diadakan sejak pagi tadi, laki-laki itu telah berhasil memanah tiga ekor rusa, dan sepasang burung merpati.

Saat dia mulai terlihat lelah, salah satu pengawalnya lalu memberikan saran, “Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar, Tuanku?”

“Tentu.” Sang Pangeran—Orion mengiyakan. “Aku akan jalan-jalan sebentar. Nanti aku kembali.”

“Ah, biar saya temani..”

“Tidak,” potong Orion. “Kau di sini saja.”

“Ya, Tuanku.”

Kuda hitam yang ditunggangi Orion lalu berjalan ke arah utara. Laki-laki itu mengikuti nalurinya yang merasa mendengar bunyi air yang mengalir. Kalau dugaannya benar, pastilah ada sungai yang berada tidak jauh dari sana. Kuda hitam itu kemudian menyusuri jalan setapak yang berbatu, namun di beberapa bagian penuh sekali dengan batu-batu besar yang mengganggu. Berkatnya, Orion harus lebih berhati-hati supaya kudanya tidak tersandung.

Di kanan dan kiri jalan yang Orion susuri saat itu tampak selingan forsythia liar yang bermekaran. Batangnya lurus panjang dengan bunga-bunga kuning yang kecil, melekat di rantingnya. Selain itu pula bunga lainpun bersamaan mekar, menciptakan pemandangan indah yang umum terlihat di Brisera.

Orion memandang bagian bawah ketika tidak sengaja mendapati potongan-potongan kain berserakan. Dahinya berkerut. Potongan-potongan kain itu ada di sepanjang jalan yang dia telusuri, hendak memandunya pada sesuatu atau seseorang di ujung jalan. Orion tadinya memiliki firasat kalau potongan kain itu aslinya berwarna putih, tapi akhirnya jadi merah karena darah. Dia lalu turun dari kudanya untuk memastikan hal itu. Untunglah dugaannya meleset, karena kain itu memang berwarna merah. Dilihat dari bentuknya, kain merah itu bukanlah pita. Orion menebak kalau potongan itu berasal dari pakaian seseorang. Dia berjalan beberapa langkah sebelum akhirnya menemukan potongan renda yang berwarna putih. Bercak-bercak merah di renda putih itulah yang kemudian membuat Orion bertambah curiga.

Sang Pangeran terus berjalan dan tidak berapa lama sampai dekat sungai. Potongan-potongan kain merah yang dia temukan tidak lagi menuntunnya, karena benda-benda itu menghilang dekat sungai. Orion mengedarkan pandangan ke sekeliling namun tidak menemukan ada hal yang aneh. Baru ketika hendak berbalik kembali pada kudanya, laki-laki itu tersentak menemukan satu sosok di balik batu besar yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Penasaran, Orion pelan-pelan memberanikan diri siapa orang yang tengah duduk di balik batu itu. Matanya lalu melebar.

Seorang gadis sedang duduk tertidur. Sepasang kakinya terjulur telanjang ke tepian sungai. Pakaiannya kumal. Gaun perempuan Brisera seharusnya panjang menutupi kaki, namun rok gadis itu hanya sampai di lutut.

Orion mengerutkan kening saat menyadari kalau rok itu seharusnya tidak sebegitu pendek. Dia melihat lagi potongan kain merah yang ada di tangannya. Pastilah sobekan itu berasal dari rok si Gadis. Tapi mengapa gadis itu sengaja merobek roknya? Orion pun tanpa sadar terus mendekati gadis itu dan menemukan jika kepalanya dibalut kain merah yang panjang.
Dia terluka? Batin Orion bertanya. Apa dia tinggal di dekat sini? Mungkin saja.

Meskipun wajahnya agak kotor, Orion nampaknya harus mengakui kalau gadis itu cukup cantik. Kalau debu di wajah gadis itu dibersihkan, pastilah yang terlihat kulit seputih pualam yang tanpa cacat. Bulu kelopak matanya panjang dan lentik, melengkung indah ke atas. Bibir gadis itu merekah penuh berwarna merah muda. Hal yang paling mencuri perhatian Orion adalah rambut hitam gadis itu. Tidak seperti rambut-rambut berwarna terang gadis-gadis di Brisera yang seringkali dia temui, gadis itu memiliki rambut hitam legam yang indah.

Sekilas terbesit keinginan Orion untuk menyentuh sedikit saja rambut indah itu. Tangannya tanpa sadar terangkat kemudian mendekat ke anak-anak rambut yang menutupi pipi sang Gadis. Tapi sebelum jari Orion menyentuhnya, gadis itu tiba-tiba terbangun.

Orion tidak bisa mencegah diri untuk tidak lagi terpaku. Berkat kelopak gadis itu yang sekarang membuka, Orion bisa melihat sepasang mata jernihnya dengan iris yang juga berwarna hitam yang lembut. Sama dengan keterkejutannya karena orang di depannya mendadak terbangun, gadis itu juga terkejut mendapati Orion berada tepat di hadapannya—berjongkok, bahkan tangan kanannya terangkat seperti akan menyentuhnya.

***

“Siapa kau?” tanya Forsythia setelah bergerak mundur hingga punggungnya menekan kuat pada batu sandarannya tadi. Ekspresi gadis itu jelas-jelas penuh curiga dan kewaspadaan. Wajar saja mengingat kejadian buruk yang menimpanya tadi.

“Sepertinya aku lebih berhak memberikan pertanyaan yang sama padamu,” kata laki-laki itu begitu menarik kembali tangannya. “Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?”

Hening. Forsythia menatap laki-laki itu lekat dengan air muka yang heran. Bukannya memberikan jawaban, dia justru membalikkan pertanyaan dan bersikap hal itu merupakan sesuatu yang sudah seharusnya. Kenapa laki-laki itu begitu lancang menanyakan namanya padahal Forsythia tidak sedikitpun peduli siapa dia?

“Kasar sekali,” komentar Forsythia lalu memaksakan diri untuk berdiri meski kakinya masih sakit. “Kau tidak tahu etikanya, sebelum menanyakan siapa lawan bicaramu, kau harus memperkenalkan diri terlebih dulu?”

Orion tersenyum sinis kemudian bangkit berdiri juga. “Kau seharusnya menjawab pertanyaan itu sendiri, Nona,” katanya.

Forsythia tersinggung. “Lantas apa yang seharusnya kukatakan waktu aku terbangun tadi dan tiba-tiba kau ada di depanku seperti itu? ‘Oh, astaga!’, seperti itu?”

Orion sempat melongo, tapi lantas dia tertawa geli. Sungguh, dia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti itu apalagi oleh seorang gadis—ditambah lagi dia adalah gadis dengan penampilan paling berantakan yang pernah Orion lihat. Dilihat sekilas, baginya Forsythia nampak seperti gadis desa yang amat sederhana. Namun melihat sikapnya, Orion harus akui kalau dia adalah gadis desa yang punya harga diri yang amat tinggi. Aneh, padahal gadis mana pun akan salah tingkah saat bertemu laki-laki seperti Orion. Nyatanya hal itu justru tidak berlaku pada Forsythia.

“Aku tidak sengaja menemukan potongan-potongan kain rokmu sewaktu berkuda ke sini,” papar Orion. “Sepertinya kau terluka. Tadi aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik saja.”

Forsythia tertegun. Dia menatap laki-laki itu lagi setelah sempat memalingkan muka. Orion tersenyum padanya—senyum yang ramah juga lembut dengan sinar mata yang jujur. Forsythia kemudian membatin pada diri sendiri kalau sepertinya laki-laki itu bukanlah orang jahat. Mungkin dia hanyalah seseorang yang kebetulan sedang lewat dan menemukan potongan gaunnya. Forsythia memang berkali-kali merobek gaun rendanya yang indah untuk membalut lukanya, tapi tadi dia terus-terusan mendapatkan potongan pendek yang tidak berguna. Saat gadis itu mengamati penampilan Orion baik-baik, sepertinya laki-laki itu bukan orang biasa. Mungkin saja dia seorang bangsawan yang tengah berburu.

“Aku baik-baik saja,” kata Forsythia berbohong. “Terimakasih telah memperhatikanku. Aku hanya… tidak sengaja terjatuh.”

Hati Orion dipenuhi perasaan menyenangkan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Gadis itu melembutkan nada suaranya saat menanggapi Orion. Dia tidak lagi berkata ketus dan sinis seperti tadi. Apa mungkin gadis itu mulai percaya kalau Orion bukanlah orang jahat?

“Kalau kau mau, aku bisa mengantarmu ke tempat di mana kau tinggal,” kata Orion menawarkan. “Aku yakin saat mengetahui kau terluka seperti ini, keluargamu pasti khawatir.”

Forsythia terdiam. Kalimat Orion terdengar sangat wajar, namun gadis itu menilai alamat kata-kata itu keliru. Keluarganya tidak akan tahu, benar-benar tidak boleh tahu. Bisa gawat kalau paman dan bibinya—Raja dan Permaisuri Castamore mengetahui Forsythia terluka sewaktu berada di Brisera. Bisa jadi akan terjadi ketegangan antara dua kerajaan. Karena sepertinya Orion adalah laki-laki bangsawan yang berada, Forsythia tidak bisa begitu saja memintanya untuk tutup mulut.

“Kau bisa memberitahuku di mana pemukiman penduduk terdekat..,” kata gadis itu. “Aku lebih baik ke sana sendiri.”

“Jangan-jangan kau tersesat?” tebak Orion.

Forsythia tersenyum. “Anggap saja aku sedang melarikan diri dan bersembunyi.”

“Dari apa?”

“Aku tidak bisa memberitahumu.”

Mereka saling berpandangan beberapa saat di mana masing-masing merasakan semburat perasaan aneh yang perlahan-lahan menjalar.

“Jadi arah mana pemukiman penduduk yang terdekat?” tanya Forsythia yang mulai salah tingkah.

“Kau harus mengambil jalan memutar yang agak jauh,” jawab Orion. “Sungguh, aku bisa mengantarmu. Setelahnya aku akan segera kembali pada rombonganku yang berada tidak jauh dari sini.”

Melihat Forsythia masih bimbang menimbang tawarannya, Orion segera menambahkan.

“Kau bisa percaya padaku.”

***

Sesuai janji, Orion mengantarkan Forsythia ke pemukiman penduduk terdekat. Menurunkan gadis itu dari kudanya, Orion agaknya khawatir apakah dia akan baik-baik saja.

“Terimakasih,” ucap Forsythia.

Sebelum gadis itu berbalik pergi, Orion berkata, “Kuharap kita akan bertemu lagi, Nona.”
“Semoga.” Forsythia mengangguk lalu tersenyum. 

Orion lalu mengarahkan kudanya untuk pergi meski enggan diikuti pandangan menerawang dari Forsythia.

Gadis itu sebenarnya bingung memikirkan apa yang akan dia lakukan di sana. Untunglah di roknya terselip sekantung uang, yang meskipun tidak banyak, setidaknya akan cukup membuatnya bertahan setidaknya selama dua hari.

Beberapa saat mengitari pemukiman untuk mencari penginapan, Forsythia mendadak merasakan pandangannya buram dan berputar. Tubuh gadis itu lemas dan akhirnya terjatuh juga. Untunglah, sepasang suami istri petani miskin yang baik hati segera menolongnya, dan membawa gadis itu ke gubuk mereka.

0 komentar: