In The Land of Flower (Prolog)

Senin, 10 Agustus 2015




Pada zaman dahulu kala di sebuah daratan yang tidak banyak orang mengetahui keberadaannya, berdirilah dua kerajaan yang berdampingan dalam harmoni. Kerajaan yang sedikit lebih luas dari kerajaan tetangganya dinamakan Brisera. Brisera terkenal keindahannya berkat tumbuhnya bunga-bunga yang mekar di musim semi, sementara kekayaannya bersumber dari tumbuh sehatnya ternak juga hasil bumi yang melimpah dari pertanian dan perkebunan. Negeri yang lebih kecil dinamakan Castamore. Meski tidak dikenal karena keindahan wilayahnya seperti Brisera, Castamore merupakan kerajaan yang amat kaya berkat hasil tambang, seperti emas dan berlian.

Meski berdiri berdampingan dan akur selama beratus-ratus tahun, bukan berarti dua kerajaan itu tidak memiliki masalah. Tentunya bukan masalah soal hubungan internasional, melainkan masalah internal dalam kerajaan masing-masing.

Raja dan Permaisuri Brisera memiliki seorang putra—yang artinya pewaris satu-satunya tahta kerajaan itu. Sang Pangeran sangat menyukai kesibukannya berkuda, berburu, dan berpedang. Dia laki-laki yang selalu menuntut kesempurnaan. Baik rupa, status, dan kemampuannya, tentu saja dia digilai oleh seluruh gadis di negerinya. Raja dan Permaisuri mulai khawatir saat putra mereka sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada salah satu gadispun yang dijodohkan dengannya. Menurut sang Pangeran, gadis-gadis itu nantinya akan menjadi batu sandungannya, mengingat tidak ada yang istimewa dari mereka, termasuk putri-putri bangsawan yang hanya punya kelebihan paras dan status.

Meski begitu, sang Pangeran yang tidak ingin membuat orang tuanya khawatir kemudian berkata, “Temukanlah gadis seperti ibundaku, barulah aku akan punya seorang permaisuri.”

Sementara itu di Castamore, Raja dan Permaisuri di kerajaan itu tidak memiliki keturunan. Untunglah sebagai pewaris tahta, mereka punya dua orang keponakan: satu keponakan laki-laki yang bergelar pangeran bangsawan, dan seorang gadis bergelar putri bangsawan. Castamore tidak pernah dipimpin oleh seorang Ratu, maka dari itu para menteri mengajukan keponakan laki-laki Raja untuk menjadi pewaris.

Pangeran Castamore berkarakter manis sekali di luarnya. Dia berlaku baik pada Raja dan Permaisuri, juga tentunya para menteri yang mendukungnya. Namun di balik topeng indahnya itu, sang Pangeran ternyata sering memainkan pajak tanah milik keluarganya yang didiami rakyat. Dia pun senang memamerkan status dan kekayaannya di hadapan rakyat-rakyat pinggiran, serta mengklaim bahwa tahta Castamore akan jatuh ke tangannya kelak.

Sementara itu Putri Castamore masih berusia delapan belas tahun. Meski begitu para cendekia di sana mengakui kecerdasannya. Raja dan Permaisuri bahkan menyayanginya seperti anak mereka sendiri dibanding keponakan laki-laki. Konon katanya meskipun sang Putri jarang menunjukkan dirinya terang-terangan ke khalayak ramai, dia sebenarnya sering berkeliaran di pasar—tempat rakyat seringkali berkumpul dan berinteraksi di sana. Pernah suatu ketika ada seorang pria tua yang menangis saat diusir kasar oleh seorang penjual roti karena telah memunguti potongan roti yang sudah berjamur, sang Putri meminta pelayannya mengantar pria tua itu ke rumah lalu mengirimkan sebungkus roti yang masih baru. Tidak hanya itu, sang Putri juga memberikan seekor sapi dan sepetak tanah—yang meskipun tidak begitu luas, pria tua tadi setidaknya bisa bercocok tanam dan hidup dari hasilnya. Hal seperti itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, namun berkali-kali, sehingga meskipun tidak tahu seperti apa rupanya, rakyat mencintai Putri Castamore dengan sepenuh hati.

Namun meskipun berbudi luhur, sang Putri rupanya tidak berbakat bersikap manis—terutama pada orang-orang yang dia benci. Dia memang mampu berlaku baik pada Raja dan Permaisuri, juga pada orang-orang yang juga dia kenal baik. Perangai buruknya tidak bisa ditahan ketika bertemu dengan menteri-menteri yang licik dan korup, apalagi terhadap sepupunya, Pangeran Castamore. Seringkali bahkan orang salah paham ketika melihat Putri berkata seenaknya pada Pangeran yang bertingkah santun. Sang Putri dinilai arogan, sedangkan Pangeran memberikan kesan sebaliknya. 

Sang Putri tidak terlalu memedulikan penilaian orang terhadap dirinya, toh dia tidak begitu tertarik pada tahta. Hanya saja ketika status kepala negara itu menjadi penentu nasib rakyat, dia pun tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Di suatu kesempatan, sang Putri berencana untuk mengunjungi kerajaan kelahiran mendiang ibunya: Brisera, karena ibu kandung sang Putri dulunya adalah bangsawan di sana. Rencana ini kemudian terdengar oleh kroni-kroni sepupunya yang jahat. Setelahnya, mereka pun sepakat untuk melenyapkan sang Putri ketika berada di Brisera supaya tidak ada lagi orang yang menghalangi keponakan laki-laki Raja untuk naik tahta—dengan kata lain, membunuh sang Putri.

0 komentar: