Pada zaman dahulu kala di sebuah
daratan yang tidak banyak orang mengetahui keberadaannya, berdirilah dua
kerajaan yang berdampingan dalam harmoni. Kerajaan yang sedikit lebih luas dari
kerajaan tetangganya dinamakan Brisera. Brisera terkenal keindahannya berkat
tumbuhnya bunga-bunga yang mekar di musim semi, sementara kekayaannya bersumber
dari tumbuh sehatnya ternak juga hasil bumi yang melimpah dari pertanian dan
perkebunan. Negeri yang lebih kecil dinamakan Castamore. Meski tidak dikenal
karena keindahan wilayahnya seperti Brisera, Castamore merupakan kerajaan yang
amat kaya berkat hasil tambang, seperti emas dan berlian.
Meski berdiri berdampingan dan akur
selama beratus-ratus tahun, bukan berarti dua kerajaan itu tidak memiliki masalah. Tentunya
bukan masalah soal hubungan internasional, melainkan masalah internal dalam
kerajaan masing-masing.
Raja dan Permaisuri Brisera memiliki
seorang putra—yang artinya pewaris satu-satunya tahta kerajaan itu. Sang Pangeran
sangat menyukai kesibukannya berkuda, berburu, dan berpedang. Dia laki-laki
yang selalu menuntut kesempurnaan. Baik rupa, status, dan kemampuannya, tentu
saja dia digilai oleh seluruh gadis di negerinya. Raja dan Permaisuri mulai
khawatir saat putra mereka sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada
salah satu gadispun yang dijodohkan dengannya. Menurut sang Pangeran,
gadis-gadis itu nantinya akan menjadi batu sandungannya, mengingat tidak ada
yang istimewa dari mereka, termasuk putri-putri bangsawan yang hanya punya
kelebihan paras dan status.
Meski begitu, sang Pangeran yang tidak
ingin membuat orang tuanya khawatir kemudian berkata, “Temukanlah gadis seperti
ibundaku, barulah aku akan punya seorang permaisuri.”
Sementara itu di Castamore, Raja dan
Permaisuri di kerajaan itu tidak memiliki keturunan. Untunglah sebagai pewaris
tahta, mereka punya dua orang keponakan: satu keponakan laki-laki yang bergelar
pangeran bangsawan, dan seorang gadis bergelar putri bangsawan. Castamore tidak
pernah dipimpin oleh seorang Ratu, maka dari itu para menteri mengajukan
keponakan laki-laki Raja untuk menjadi pewaris.
Pangeran Castamore berkarakter manis
sekali di luarnya. Dia berlaku baik pada Raja dan Permaisuri, juga tentunya
para menteri yang mendukungnya. Namun di balik topeng indahnya itu, sang
Pangeran ternyata sering memainkan pajak tanah milik keluarganya yang didiami
rakyat. Dia pun senang memamerkan status dan kekayaannya di hadapan
rakyat-rakyat pinggiran, serta mengklaim bahwa tahta Castamore akan jatuh ke
tangannya kelak.
Sementara itu Putri Castamore masih
berusia delapan belas tahun. Meski begitu para cendekia di sana mengakui
kecerdasannya. Raja dan Permaisuri bahkan menyayanginya seperti anak mereka
sendiri dibanding keponakan laki-laki. Konon katanya meskipun sang Putri jarang
menunjukkan dirinya terang-terangan ke khalayak ramai, dia sebenarnya sering
berkeliaran di pasar—tempat rakyat seringkali berkumpul dan berinteraksi di
sana. Pernah suatu ketika ada seorang pria tua yang menangis saat diusir kasar
oleh seorang penjual roti karena telah memunguti potongan roti yang sudah
berjamur, sang Putri meminta pelayannya mengantar pria tua itu ke rumah lalu
mengirimkan sebungkus roti yang masih baru. Tidak hanya itu, sang Putri juga
memberikan seekor sapi dan sepetak tanah—yang meskipun tidak begitu luas, pria
tua tadi setidaknya bisa bercocok tanam dan hidup dari hasilnya. Hal seperti
itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, namun berkali-kali, sehingga meskipun
tidak tahu seperti apa rupanya, rakyat mencintai Putri Castamore dengan sepenuh
hati.
Namun meskipun berbudi luhur, sang
Putri rupanya tidak berbakat bersikap manis—terutama pada orang-orang yang dia
benci. Dia memang mampu berlaku baik pada Raja dan Permaisuri, juga pada
orang-orang yang juga dia kenal baik. Perangai buruknya tidak bisa ditahan
ketika bertemu dengan menteri-menteri yang licik dan korup, apalagi terhadap
sepupunya, Pangeran Castamore. Seringkali bahkan orang salah paham ketika
melihat Putri berkata seenaknya pada Pangeran yang bertingkah santun. Sang Putri
dinilai arogan, sedangkan Pangeran memberikan kesan sebaliknya.
Sang Putri tidak terlalu memedulikan
penilaian orang terhadap dirinya, toh dia tidak begitu tertarik pada tahta. Hanya
saja ketika status kepala negara itu menjadi penentu nasib rakyat, dia pun
tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Di suatu kesempatan, sang Putri
berencana untuk mengunjungi kerajaan kelahiran mendiang ibunya: Brisera, karena
ibu kandung sang Putri dulunya adalah bangsawan di sana. Rencana ini kemudian
terdengar oleh kroni-kroni sepupunya yang jahat. Setelahnya, mereka pun sepakat
untuk melenyapkan sang Putri ketika berada di Brisera supaya tidak ada lagi
orang yang menghalangi keponakan laki-laki Raja untuk naik tahta—dengan kata
lain, membunuh sang Putri.
0 komentar:
Posting Komentar