In The Land of Flower (2/3)

Sabtu, 15 Agustus 2015



Pelan-pelan saat membuka mata, Forsythia disambut cahaya yang redup, bersumber dari api kecil di atas piring perunggu berisi minyak. Kepalanya masih pusing, meski tidak sehebat tadi. Dia membayangkan kejadian yang dialaminya sepanjang hari ini hanyalah mimpi karena sekarang tubuhnya merasa hangat dan nyaman. Tubuhnya tertutup selimut dan kepalanya bersandar pada bantal yang empuk. Semua pakaian yang dia kenakan pun beraroma matahari. Forsythia mengira dirinya ada di rumah, namun yang dia lihat sekarang adalah kebalikannya.

Bertanya-tanya dalam hati, gadis itu lalu menegakkan punggung sambil pandangannya berkeliling.

Forsythia tidak yakin ruangan itu pantas disebut sebagai kamar. Karena ada kasur lipat tempat dia berbaring kini, katakanlah dia memang berada di sebuah kamar. Dinding yang membentuk kamar itu terbuat dari kayu yang punya lubang di beberapa bagian. Daun jendelanya sendiri agak bengkok dan terlihat sedikit bergoyang saat diterpa angin.

Rumah siapa itu masih menjadi misteri. Seingatnya, Forsythia tadi pingsan di tengah jalan. Seseorang jelas membawanya ke sini—mungkin rumahnya.

Gadis itu lalu melihat tangannya sendiri, mendapati tubuhnya terbalut baju tidur putih yang lusuh. Saat menyibakkan selimut, pergelangan kakinya yang luka telah dibebat sehelai kain. Forsythia juga mengecek dahinya yang terluka, ternyata mendapat perlakuan yang sama.
Untunglah dia bertemu orang yang baik, batinnya. Hanya saja dia penasaran pada satu hal: yang mengganti bajunya seorang laki-laki atau perempuan?

Forsythia kaget saat tiba-tiba pintu kayu yang tua di sana dibuka dari luar, menimbulkan bunyi berderit yang menyeramkan. Sontak gadis itu menoleh ke samping dengan mata melebar. Dia melihat seorang pria berwajah keriput melongokkan kepala ke dalam lalu tersenyum sumringah ketika melihat Forsythia.

“Akhirnya kau bangun…,” kata kakek itu yang masuk membawakan segelas teh yang masih mengepul.

Forsythia sedikit gugup kala orang itu mendekat. Dia melihat kakek itu menaruh gelas teh di depannya dan duduk bersila.

“Aku dan istriku membawamu ke rumah kami,” ucap kakek itu dengan bibirnya yang kering. “Makan malam sudah lewat, tapi… istriku membuat sup kentang untuk kau makan.. tapi sekarang.. minumlah itu dulu..”

Forsythia ragu-ragu mengangguk. Dia menuruti saran kakek itu dengan menyesap teh yang dia bawa. Rasanya manis dan begitu menghangatkan.

“Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya… apa kau perantau?”

“Saya.. datang dari Castamore,” jawab Forsythia.

“Jauh sekali!” komentar si Kakek. “Memangnya kau akan ke mana?”

“Mengunjungi makam ibu saya.”

“Oh… begitu ya?” si Kakek mengangguk. “Apa kau kecelakaan waktu di perjalanan? Istriku mengomel.. katanya tidak seharusnya seorang gadis punya luka dekat wajahnya.” Lalu dia tertawa.

Seulas senyum tersungging di bibir Forsythia. Tampaknya kakek itu sedang berusaha menghiburnya.

“Terimakasih,” ucap gadis itu. “Karena telah merawat saya di rumah kakek..”

Si Kakek mengangguk-angguk.

“Ke mana tujuanmu?” tanyanya. “Kalau bisa, aku akan mengantarmu ke sana..”

Forsythia terdiam. Mengingat pembunuh bayaran yang dikirim untuk melenyapkannya, tidak mungkin kalau komplotan itu tidak mengawasi kediamannya di Brisera. Terlalu berbahaya jika Forsythia memaksakan diri ke sana. Mungkin juga jika dia memutuskan untuk kembali, pembunuh-pembunuh itu akan mencegatnya.

“Saya.. tidak tahu harus ke mana..”
***

Orion berusaha untuk memusatkan pikiran pada buku yang sedang dia baca namun berkali-kali gagal. Padahal sekelilingnya sedang sangat tenang—seperti yang Orion inginkan tiap laki-laki itu sedang belajar. Tidak ada sedikitpun bunyi yang akan mengganggunya. Hanya saja batin Orion tidak bisa tenang.

Laki-laki itu akhirnya menyerah kemudian meletakkan bukunya lagi ke atas meja. Punggungnya bersandar pasrah di atas kursi, mengarahkan pandangan Orion ke langit-langit ruangannya yang luas.




Pertemuannya dengan seorang gadis berambut hitam legam membuat hatinya terusik. Memang wajahnya kotor dan pakaiannya kumal, namun gadis itu punya caranya sendiri untuk membuat sosoknya begitu cantik—khususnya dalam ingatan Orion. Siapakah dia? Siapa namanya? Sudah tidak terhitung berapa kali Orion merutuki diri sendiri karena lupa menanyakan nama gadis itu saat mereka akhirnya berpisah.

Masih berkutat dengan perdebatannya sendiri, Orion tidak menyadari seseorang masuk ke ruangannya. Dia seorang wanita yang cantik meski telah berumur.

“Penat setelah membaca buku?” tanya Permaisuri Brisera, membuat sang Pangeran terhenyak dari lamunannya.

Orion yang salah tingkah buru-buru beranjak dari tempat duduknya lalu menunduk sekilas—memberi salam pada ibunya.

“Kau seperti ayahmu.” Permaisuri tertawa kecil. “Kadang terlalu larut dengan apa yang dia pikirkan sampai-sampai tidak menyadari orang-orang di sekelilingnya.”

Orion menanggapi hanya dengan seulas senyum yang hambar.

“Kau tidak lupa kan mengenai pesta lusa besok?” Permaisuri mengerling.

“Bagaimana aku bisa lupa kalau Ibunda selalu menyinggungnya tiap kita sarapan dan makan malam bersama?” Orion memutar bola mata—sebal.

“Cerdas sekali, Anak Muda. Asal kau tahu, meskipun itu pesta untuk merayakan ulang tahunku, sebenarnya pesta ini diadakan untuk kau manfaatkan sebaik-baiknya.”

Orion mengangkat kedua tangannya. “Aku takkan mendebatmu lagi, Ibunda. Tidak peduli beribu-ribu kali aku mengatakan padamu kalau aku belum membutuhkan permaisuri, Ibunda tidak pernah menyerah, ya kan?”

“Tentu saja. Tapi ingatlah, Ibundamu ini tidak melakukannya semata-mata karena politik, tapi sungguh… kau membutuhkan sosok wanita untuk merubah kebiasaan jelekmu yang arogan.”

“Ya-ya,” balas Orion sembari mengangguk-angguk berpura-pura pasrah. “Jadi kalian sudah menemukan gadis yang mirip sepertimu, Ibunda?”

Permaisuri mengerutkan kening. “Tidak ada satupun gadis yang akan menyamaiku, kau tahu? Lebih baik kau tentukan kriteriamu sendiri.”

“Lihat-lihat. Bahkan Ibunda pun mendoakanku untuk tidak memiliki istri seumur hidupku.”

“Apa?”

“Aku hanya akan menikahi gadis yang mirip dengan Ibunda—itu sudah kesepakatan kita. Ibunda bilang tidak akan ada gadis yang menyamai Ibunda, jadi dengan kata lain Ibunda tidak ingin memberikan putra satu-satumu ini pada seorang gadis, ya kan?”

Permaisuri melongo, tapi sesaat kemudian dia tertawa.

“Jangan mengalihkan topik, Putraku,” katanya. “Asal kau tahu saja, aku telah mengundang salah Menteri Castamore kemari. Dia akan datang bersama putrinya. Aku sudah membayar informan untuk mencari tahu karakter gadis itu, dan dia adalah gadis bangsawan yang terpelajar dan juga rendah hati. Kau harus datang ke tempatku kalau ingin melihat lukisan wajahnya.”

“Tidak, terimakasih,” ucap Orion cepat. Sedetik kemudian, dia teringat sesuatu yang amat penting. “Omong-omong, Ibunda. Apa undangan untuk datang ke pesta lusa terbatas?”

***

Forsythia melihat kakek penolongnya sedang mengaduk-aduk tanah pekarangan untuk ditanami herbal. Gadis itu lalu memakai sandal kayu kemudian membantu pekerjaannya. Saat itulah matanya berbinar memandang hamparan bunga-bunga peony mekar dengan masih bermandikan embun pagi. Forsythia ingin sekali merangkai bunga-bunga itu ke dalam sebuah vas yang cantik, seperti yang biasa dia lakukan kalau di Castamore—hobinya, karena bunga-bungaan yang indah jarang sekali tumbuh di Castamore. Sekarang begitu Forsythia melihat sendiri bunga-bunga itu masih melekat pada daun-daunnya, gadis itu mengurungkan niat untuk memetik.

“Cantik ya?” komentar si Kakek yang tahu ke mana arah pandangan Forsythia.

“Ya..” Forsythia mengangguk. “Kakek dan nenek pasti merawat mereka dengan sepenuh hati.”

“Kami merawatnya seperti putri kami sendiri. Kau juga bisa melihat ada krisan, anggrek, mawar, dan lili di samping kanan dan kiri gubuk. Mereka juga tidak kalah cantiknya.”

Forsythia tersenyum sembari tangannya terus mengaduk-aduk tanah.

“Forsythia juga amat cantik meski mahkotanya tidak begitu mencolok seperti peony,” kata si Kakek, membuat Forsythia mengangkat wajah—memandangnya. Orang itu tahu nama gadis yang dia tolong karena dia bertanya dan Forsythia menjawab. “Kau mungkin pernah melihatnya sewaktu di pasar.. banyak orang menjual hiasan rambut yang indah,” ujar si Kakek dengan sorot mata menerawang. “Kami dulu punya seorang putri. Sebelum meninggal karena sakit, mungkin dia seumuran denganmu..”

Cerita si Kakek membuat Forsythia tertegun. Jadi itulah mengapa mereka hanya tinggal berdua di dalam gubuk—karena putri mereka satu-satunya telah meninggal.

“Dia pasti secantik bunga-bunga yang telah kakek rawat,” tanggap Forsythia.

Si Kakek mengangguk membenarkan lalu meneruskan ceritanya. “Dia gadis yang elok rupa maupun karakternya.. Dulu aku seorang pedagang yang berkecukupan, namun ketika segelintir bangsawan memonopoli hasil dagang kami, keluarga ini jatuh miskin.. bersamaan dengan itu dia jatuh sakit..

“Anak yang malang.. dia sakit dan orang tuanya jatuh miskin saat dirinya berulang tahun.. Aku dan istriku lalu mengumpulkan sedikit uang yang kami punya untuk membelikan dia hadiah. Kami pergi ke pasar dan ingin sekali membeli hiasan rambut yang indah untuknya. Tusuk rambut yang berbentuk peony, krisan, mawar, dan bunga-bunga yang berkelopak lebih indah sangat mahal.. uang kami tidak cukup. Tapi akhirnya kami membeli hiasan rambut forsythia yang sederhana..

“Dia tampak senang sekali menerimanya.. anak itu bahkan selalu menggenggam hiasan rambut itu kala dia tidur.. tubuhnya menjadi sangat kurus sampai akhirnya dia meninggal..”
Akhirnya karena tidak sanggup menahannya, air mata Forsythia mengalir. Si Kakek menoleh pada gadis itu lalu tersenyum. Tangannya yang rapuh kemudian terangkat menyeka pipi Forsythia yang basah.

“Itu sudah lama sekali, Nak. Kami sudah merelakannya pergi.. setidaknya dia pergi dalam dan bahagia,” katanya bijak.

“Tentu saja dia bahagia,” balas Forsythia. “Dia pasti sangat bahagia memiliki orang tua yang begitu sayang padanya.”

Mereka saling tersenyum satu sama lain ketika tiba-tiba istri kakek itu datang tergesa-gesa sepulangnya dari pasar. Baik Forsythia dan sang Kakek menoleh.

“Ini berita besar! Berita besar!” serunya antusias.

“Ada apa?” tanya si Kakek.

“Istana dibuka untuk semua golongan rakyat besok malam!”

“Apa? Jadi.. bukan hanya bangsawan saja yang boleh hadir?”

Si Nenek mengangguk.

“Astaga.. pestanya pasti meriah sekali ya?” kata si Kakek.

“Tentu saja!” balas istrinya. Mendadak pandangannya beralih pada Forsythia yang mematung mendengarkan tidak jauh dari pasangan itu. “Pergilah ke sana, Nak. Gadis-gadis seusiamu di pasar berebutan untuk membeli gaun pesta. Mereka semua sangat berharap bisa bertemu sang Pangeran secara langsung!”

Forsythia tersenyum kaku. Gadis itu kurang menyukai pesta yang diadakan gemerlap—terlebih di Castamore. Wanita bangsawan seringkali memamerkan perhiasan mereka yang berkilauan sedangkan para prianya memamerkan baju yang terbuat dari bulu atau kulit hewan hasil buruan mereka. Topik mereka pun memuakkan sehingga Forsythia tidak pernah tahan berada berlama-lama di sana. Karena jarang datang ke pesta-pesta seperti itulah, wajah Forsythia seringkali tidak dikenali. Meski begitu namanya dikenal hangat di berbagai kalangan berkat rumor-rumor yang beredar.

“Kalianlah yang seharusnya ke sana,” tolak Forsythia halus.

“Kau bicara apa? Tentu saja kau yang harus pergi. Tidak mungkin orang tua seperti kami memakai baju yang indah untuk pesta.” Si Nenek tertawa. Wanita tua itu lalu bergegas menarik Forsythia ke dalam gubuk, tepatnya ke kamar pasangan petani. Dia mengeluarkan sebuah kotak besar dari kolong tempat tidurnya, membuka gembok, selanjutnya membuka kotak itu.

Forsythia mengerjap melihat sehelai gaun putih yang indah meski sederhana, terlipat rapi di sana. Bukan hanya itu, sepasang sepatu berwarna putih juga diletakkan di samping gaun tadi.

“Bagus kan? Ini gaun pernikahanku dulu,” kata nenek itu.

“Ah ya… tapi… bagaimana mungkin saya.. memakai gaun pernikahan ke pesta?” respon Forsythia ragu.

“Kita tinggal membuatnya jadi gaun pesta biasa hingga orang tidak akan menyangka kalau ini sebenarnya gaun pernikahan. Kita bisa menyematkan beberapa bunga yang indah.”

“Tapi.. tetap saja ini gaun pernikahanmu..”

“Dengar, Nak,” kata si Nenek menarik Forsythia untuk duduk di atas ranjang di sebelahnya. Tangannya yang keriput kemudian menggenggam tangan gadis itu. “Aku menyimpannya dengan baik selama bertahun-tahun.. berharap suatu saat, putriku akan mengenakannya di hari dia menikah..”

Forsythia tertegun. Kata-kata si Nenek membuat hatinya mencelos.

“Putriku memang sudah tiada. Tapi aku ingin sekali gaun ini dikenakan lagi untuk yang kedua kalinya oleh gadis yang pantas memakainya.” Dia tersenyum. “Kau.”

Mereka saling berpandangan penuh arti.

“Meskipun kau tidak mengatakannya, aku tahu kau telah melalui hal yang sulit ketika akhirnya sampai ke sini. Bersenang-senanglah walau hanya sebentar.. wajahmu jauh lebih cantik ketika kau tersenyum,” katanya lagi. “Jadi maukah kau pergi?”

Forsythia akhirnya tersenyum lalu menjawab, “Aku yakin nenek akan terus memaksa walaupun aku berkata tidak.”

***

Suara orkestra yang lembut terdengar di seluruh sudut istana. Kereta-kereta kuda berdatangan mengantarkan pemiliknya ke pesta yang diadakan Permaisuri. Mulai dari para bangsawan, hingga rakyat biasa hadir.

Irene—putri dari Menteri Sumber Daya Castamore pun datang memenuhi undangan Permaisuri—dengan maksud menjodohkannya dengan Orion. Gadis itu berjalan beriringan dengan tangan yang mengapit lengan sang Ayah untuk memberi salam pada Raja dan Permaisuri Brisera yang duduk pada kursi tahta, sedangkan Orion sendiri juga duduk tidak jauh dari mereka. Begitu Irene menghampiri Orion untuk memberi salam, laki-laki itu pun berdiri dan menunduk sekilas. Mereka berdua jelas sadar dengan pandangan Permaisuri dan Menteri Castamore yang memperhatikan mereka dengan seksama.

“Selamat datang di Brisera, Lady,” ucap Orion lalu mencium tangan Irene. “Kuharap anda menikmati waktu selama berada di sini.”

“Suatu kehormatan bagi saya untuk bertemu dengan Pangeran,” balas Irene yang berlaku anggun.

Orion tersenyum sekilas. Perhatiannya lalu beralih lagi ke arah gerbang masuk istananya. Laki-laki itu sedang menunggu seseorang nampak di sana. Karena dia gadis biasa, dia harusnya datang mengingat Orion sudah meminta pada Permaisuri untuk tidak membatasi undangan yang hadir.

“Kau jelas menunggu seseorang,” ujar Permaisuri tanpa menoleh pada Orion. “Apa dia seorang gadis seperti tebakanku?”

“Ibunda akan mengetahuinya nanti,” jawab Orion enggan sekaligus gelisah.

Namun nyatanya sang Pangeran tidak perlu menunggu lama. Seorang gadis ada di antara tamu-tamu yang berdatangan melewati pintu utama. Rambut hitam legamnya yang dibiarkan tergerai membuat gadis itu begitu istimewa dibanding gadis-gadis lain. Dia mengenakan gaun putih yang mengembang indah dengan dihiasi bunga-bunga yang berwarna lembut. Tidak ada perhiasan logam yang berkilau dari gadis itu, kecuali satu hiasan rambut kecil yang tersemat di bagian rambut atas telinga kirinya.

Senyum Orion tersungging lalu tanpa menunggu apa pun lagi, dia berjalan meninggalkan Raja dan Permaisuri untuk menghampiri gadis itu.

***

Sebelum masuk ke pekarangan istana, Forsythia teringat akan seorang laki-laki bangsawan yang pernah membantunya sewaktu tersesat di padang bunga Brisera. Gadis itu bisa membayangkan wajahnya berkali-kali lipat lebih tampan sewaktu Forsythia memutarnya lagi dalam ingatan. Dia lalu bertanya-tanya apakah mereka akan bertemu nantinya mengingat jumlah tamu yang hadir begitu banyak. Forsythia melihat gadis-gadis sepantarannya datang mengenakan gaun-gaun yang begitu indah dan mewah, serta tidak lupa berhias dengan kilauan permata. Rupanya hal itu cukup membuat Forsythia sedikit merasa rendah diri.

Forsythia yang gugup lalu menenangkan batinnya dengan menyentuh hiasan rambut forsythia di rambutnya. Benda itu memang sederhana seperti kata sang Kakek, namun ketika pasangan itu memuji kecantikannya dengan hiasan rambut yang tersemat, Forsythia perlahan bisa mengatur irama napasnya yang tidak karuan.

Beberapa langkah memasuki istana, Forsythia merasakan atmosfer aneh di sekelilingnya. Para tamu yang ada di dalam berdiri menepi seolah sengaja memberinya jalan. Forsythia memandang mereka dengan tatapan bertanya ketika akhirnya dia melihat seseorang yang ada di ujung jalannya kini: seorang laki-laki tampan dengan wajah yang tidak asing lagi.

Keduanya sama-sama berjalan menghampiri satu sama lain. Masing-masing tidak bisa menyembunyikan kegembiraan yang menjalar.

“Akhirnya kita bertemu lagi,” kata Orion.

Forsythia tersenyum. “Senang berada di sini,” ucapnya.

Orion menunduk. Tangan kanannya menangkup di dada kiri lalu badannya sedikit membungkuk—posisi seorang pria yang memberi salam sopan pada seorang wanita. Bersamaan dengan itu, musik orkestra terhenti. Pemain musiknya bisa menebak kalau Pangeran akan mengajak sang Gadis berdansa, jadi mereka bersiap untuk memainkan lagu yang lain.

Forsythia menerima salamnya dengan sedikit menekuk kaki sehingga badannya lebih rendah.

“Suatu kehormatan bagiku jika Nona bersedia menemaniku berdansa,” kata Orion.

“Dengan senang hati.” Forsythia mengangguk.

Orion lalu mencium tangan Forsythia. Kedua tangan mereka menggenggam satu sama lain dalam keadaan tidak penuh terlentang. Badan mereka pun bergerak seirama lagu yang dimainkan. Beberapa detik kemudian Orion meletakkan tangan kanannya di pinggang Forsythia sedang tangan yang lain tetap menggenggam tangan gadis itu. Tatap mereka tidak kunjung terlepas sampai bagian pertama lagu berakhir. Tamu-tamu yang lain pun lalu berjalan ke tengah ball untuk ikut berdansa.

***

“Bagaimana kabarmu setelah terakhir kita bertemu?” tanya Orion yang berjalan beriringan dengan Forsythia di halaman samping istana yang membentuk tanaman-tanamannya menjadi labirin.

“Saya tinggal dengan pasangan suami istri petani yang sangat baik,” jawab Forsythia. “Mereka bahkan meminjamkan saya gaun pernikahan ini untuk datang ke pesta.”

“Gaun pernikahan?”

Forsythia mengangguk. “Kami juga menghiasinya dengan bunga sehingga tidak tampak demikian kan?”

Orion tersenyum. Brisera adalah negeri bunga. Laki-laki itu benar-benar tidak tahu kenapa wanita-wanita di negerinya selalu meributkan permata yang hendak mereka pakai, padahal ada hamparan bunga yang melimpah dekat mereka. Meski mencolok dengan warna-warna yang indah, bunga pun merupakan simbol kesederhanaan seorang wanita negerinya.

Orion kembali memandang gadis di sisinya lalu melihat hiasan berbentuk forsythia tersemat di rambut hitam legamnya. Hiasan bunga itu tidak hanya mempercantik pemiliknya, namun sekaligus memberi kesan ketidakinginnannya untuk tampil mencolok.

“Hiasan rambut yang indah,” puji Orion. “Sewaktu masih kecil dulu, aku pernah memberi hadiah hiasan rambut berbentuk forsythia pada ibundaku.”

“Manis sekali.” Forsythia tersenyum.

Mereka berdua sama-sama tertawa kecil lalu saling bersitatap. Baik Orion maupun Forsythia tertegun mendapati sinar mata yang indah dalam diri masing-masing. Pangeran kemudian memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya—perlahan-lahan, supaya apabila Forsythia menghindar, Orion akan langsung tahu lalu menarik diri. Nyatanya gadis itu tetap bergeming, bahkan menutup matanya. Tidak butuh waktu lama, Orion pun mengecup manis bibir Forsythia. Singkat, namun begitu dalam.

“Pangeran?”

Mendadak perhatian mereka teralihkan oleh suara Permaisuri yang memanggil putranya. Orion dan Forsythia sama-sama menoleh.

“Kau di sana rupanya,” kata Permaisuri. Tidak jauh di belakangnya, berdiri seorang gadis yang bergaun biru mewah—Irene. “Siapa Nona ini? Mengapa tidak dikenalkan padaku?”

Wajah Permaisuri begitu ramah, hanya saja Forsythia tidak sempat membalas keramahan itu. Perhatiannya justru terarah pada Irene yang jelas-jelas akan mengenalinya jika melihat wajahnya kalau Forsythia mendekat.

Tidak boleh! Gadis itu tidak boleh sampai tahu kalau Forsythia ada di Brisera!

“Maaf, saya harus pulang!” kata Forsythia kemudian berlari pergi.

Irene dan Permaisuri tentu saja terkejut, apalagi Orion yang baru saja akan memperkenalkannya pada ibundanya.

“Tunggu! Nona!! Tunggu sebentar!” seru Orion yang langsung berlari mengejar. “Aku belum tahu namamu!”

Forsythia mempercepat larinya hingga Orion terpaksa harus melakukan hal yang sama. Tiba-tiba saja ranting sebatang pohon tidak sengaja menjambak rambut Forsythia. Akibatnya jepit rambutnya yang berharga terjatuh. Forsythia hendak memungutnya kembali tapi sosok Orion semakin dekat hingga dia memutuskan untuk meneruskan lari. Merasa tidak akan lepas dari Pangeran, Forsythia pun bersembunyi di balik dinding tanaman hibiscus.

Orion pun kehilangan sosok gadis itu seketika. Pandangannya berkeliling, namun dia tidak menemukan jejak Forsythia. Kecewa, laki-laki itu pun berbalik untuk kembali pada Permaisuri, tapi mendadak dia menemukan benda yang berkilauan di atas rumput yang dirinya pijak.

Sebuah hiasan rambut forsythia tertinggal di sana.


0 komentar: