Pelan-pelan saat membuka mata,
Forsythia disambut cahaya yang redup, bersumber dari api kecil di atas piring
perunggu berisi minyak. Kepalanya masih pusing, meski tidak sehebat tadi. Dia
membayangkan kejadian yang dialaminya sepanjang hari ini hanyalah mimpi karena
sekarang tubuhnya merasa hangat dan nyaman. Tubuhnya tertutup selimut dan
kepalanya bersandar pada bantal yang empuk. Semua pakaian yang dia kenakan pun
beraroma matahari. Forsythia mengira dirinya ada di rumah, namun yang dia lihat
sekarang adalah kebalikannya.
Bertanya-tanya dalam hati, gadis itu
lalu menegakkan punggung sambil pandangannya berkeliling.
Forsythia tidak yakin ruangan itu
pantas disebut sebagai kamar. Karena ada kasur lipat tempat dia berbaring kini,
katakanlah dia memang berada di sebuah kamar. Dinding yang membentuk kamar itu
terbuat dari kayu yang punya lubang di beberapa bagian. Daun jendelanya sendiri
agak bengkok dan terlihat sedikit bergoyang saat diterpa angin.
Rumah siapa itu masih menjadi misteri.
Seingatnya, Forsythia tadi pingsan di tengah jalan. Seseorang jelas membawanya
ke sini—mungkin rumahnya.
Gadis itu lalu melihat tangannya
sendiri, mendapati tubuhnya terbalut baju tidur putih yang lusuh. Saat
menyibakkan selimut, pergelangan kakinya yang luka telah dibebat sehelai kain.
Forsythia juga mengecek dahinya yang terluka, ternyata mendapat perlakuan yang
sama.
Untunglah dia bertemu orang yang baik,
batinnya. Hanya saja dia penasaran pada satu hal: yang mengganti bajunya
seorang laki-laki atau perempuan?
Forsythia kaget saat tiba-tiba pintu
kayu yang tua di sana dibuka dari luar, menimbulkan bunyi berderit yang
menyeramkan. Sontak gadis itu menoleh ke samping dengan mata melebar. Dia
melihat seorang pria berwajah keriput melongokkan kepala ke dalam lalu
tersenyum sumringah ketika melihat Forsythia.
“Akhirnya kau bangun…,” kata kakek itu
yang masuk membawakan segelas teh yang masih mengepul.
Forsythia sedikit gugup kala orang itu
mendekat. Dia melihat kakek itu menaruh gelas teh di depannya dan duduk
bersila.
“Aku dan istriku membawamu ke rumah
kami,” ucap kakek itu dengan bibirnya yang kering. “Makan malam sudah lewat,
tapi… istriku membuat sup kentang untuk kau makan.. tapi sekarang.. minumlah
itu dulu..”
Forsythia ragu-ragu mengangguk. Dia
menuruti saran kakek itu dengan menyesap teh yang dia bawa. Rasanya manis dan
begitu menghangatkan.
“Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya…
apa kau perantau?”
“Saya.. datang dari Castamore,” jawab
Forsythia.
“Jauh sekali!” komentar si Kakek.
“Memangnya kau akan ke mana?”
“Mengunjungi makam ibu saya.”
“Oh… begitu ya?” si Kakek mengangguk.
“Apa kau kecelakaan waktu di perjalanan? Istriku mengomel.. katanya tidak
seharusnya seorang gadis punya luka dekat wajahnya.” Lalu dia tertawa.
Seulas senyum tersungging di bibir
Forsythia. Tampaknya kakek itu sedang berusaha menghiburnya.
“Terimakasih,” ucap gadis itu. “Karena
telah merawat saya di rumah kakek..”
Si Kakek mengangguk-angguk.
“Ke mana tujuanmu?” tanyanya. “Kalau
bisa, aku akan mengantarmu ke sana..”
Forsythia terdiam. Mengingat pembunuh
bayaran yang dikirim untuk melenyapkannya, tidak mungkin kalau komplotan itu
tidak mengawasi kediamannya di Brisera. Terlalu berbahaya jika Forsythia
memaksakan diri ke sana. Mungkin juga jika dia memutuskan untuk kembali,
pembunuh-pembunuh itu akan mencegatnya.
“Saya.. tidak tahu harus ke mana..”
***
Orion berusaha untuk memusatkan pikiran
pada buku yang sedang dia baca namun berkali-kali gagal. Padahal sekelilingnya
sedang sangat tenang—seperti yang Orion inginkan tiap laki-laki itu sedang
belajar. Tidak ada sedikitpun bunyi yang akan mengganggunya. Hanya saja batin
Orion tidak bisa tenang.
Laki-laki itu akhirnya menyerah
kemudian meletakkan bukunya lagi ke atas meja. Punggungnya bersandar pasrah di
atas kursi, mengarahkan pandangan Orion ke langit-langit ruangannya yang luas.
Pertemuannya dengan seorang gadis
berambut hitam legam membuat hatinya terusik. Memang wajahnya kotor dan
pakaiannya kumal, namun gadis itu punya caranya sendiri untuk membuat sosoknya
begitu cantik—khususnya dalam ingatan Orion. Siapakah dia? Siapa namanya? Sudah
tidak terhitung berapa kali Orion merutuki diri sendiri karena lupa menanyakan
nama gadis itu saat mereka akhirnya berpisah.
Masih berkutat dengan perdebatannya
sendiri, Orion tidak menyadari seseorang masuk ke ruangannya. Dia seorang
wanita yang cantik meski telah berumur.
“Penat setelah membaca buku?” tanya
Permaisuri Brisera, membuat sang Pangeran terhenyak dari lamunannya.
Orion yang salah tingkah buru-buru
beranjak dari tempat duduknya lalu menunduk sekilas—memberi salam pada ibunya.
“Kau seperti ayahmu.” Permaisuri
tertawa kecil. “Kadang terlalu larut dengan apa yang dia pikirkan sampai-sampai
tidak menyadari orang-orang di sekelilingnya.”
Orion menanggapi hanya dengan seulas
senyum yang hambar.
“Kau tidak lupa kan mengenai pesta lusa
besok?” Permaisuri mengerling.
“Bagaimana aku bisa lupa kalau Ibunda
selalu menyinggungnya tiap kita sarapan dan makan malam bersama?” Orion memutar
bola mata—sebal.
“Cerdas sekali, Anak Muda. Asal kau
tahu, meskipun itu pesta untuk merayakan ulang tahunku, sebenarnya pesta ini
diadakan untuk kau manfaatkan sebaik-baiknya.”
Orion mengangkat kedua tangannya. “Aku
takkan mendebatmu lagi, Ibunda. Tidak peduli beribu-ribu kali aku mengatakan
padamu kalau aku belum membutuhkan permaisuri, Ibunda tidak pernah menyerah, ya
kan?”
“Tentu saja. Tapi ingatlah, Ibundamu
ini tidak melakukannya semata-mata karena politik, tapi sungguh… kau
membutuhkan sosok wanita untuk merubah kebiasaan jelekmu yang arogan.”
“Ya-ya,” balas Orion sembari
mengangguk-angguk berpura-pura pasrah. “Jadi kalian sudah menemukan gadis yang
mirip sepertimu, Ibunda?”
Permaisuri mengerutkan kening. “Tidak
ada satupun gadis yang akan menyamaiku, kau tahu? Lebih baik kau tentukan
kriteriamu sendiri.”
“Lihat-lihat. Bahkan Ibunda pun
mendoakanku untuk tidak memiliki istri seumur hidupku.”
“Apa?”
“Aku hanya akan menikahi gadis yang
mirip dengan Ibunda—itu sudah kesepakatan kita. Ibunda bilang tidak akan ada
gadis yang menyamai Ibunda, jadi dengan kata lain Ibunda tidak ingin memberikan
putra satu-satumu ini pada seorang gadis, ya kan?”
Permaisuri melongo, tapi sesaat
kemudian dia tertawa.
“Jangan mengalihkan topik, Putraku,”
katanya. “Asal kau tahu saja, aku telah mengundang salah Menteri Castamore
kemari. Dia akan datang bersama putrinya. Aku sudah membayar informan untuk
mencari tahu karakter gadis itu, dan dia adalah gadis bangsawan yang terpelajar
dan juga rendah hati. Kau harus datang ke tempatku kalau ingin melihat lukisan
wajahnya.”
“Tidak, terimakasih,” ucap Orion cepat.
Sedetik kemudian, dia teringat sesuatu yang amat penting. “Omong-omong, Ibunda.
Apa undangan untuk datang ke pesta lusa terbatas?”
***
Forsythia melihat kakek penolongnya
sedang mengaduk-aduk tanah pekarangan untuk ditanami herbal. Gadis itu lalu
memakai sandal kayu kemudian membantu pekerjaannya. Saat itulah matanya
berbinar memandang hamparan bunga-bunga peony mekar dengan masih bermandikan
embun pagi. Forsythia ingin sekali merangkai bunga-bunga itu ke dalam sebuah
vas yang cantik, seperti yang biasa dia lakukan kalau di Castamore—hobinya,
karena bunga-bungaan yang indah jarang sekali tumbuh di Castamore. Sekarang
begitu Forsythia melihat sendiri bunga-bunga itu masih melekat pada
daun-daunnya, gadis itu mengurungkan niat untuk memetik.
“Cantik ya?” komentar si Kakek yang
tahu ke mana arah pandangan Forsythia.
“Ya..” Forsythia mengangguk. “Kakek dan
nenek pasti merawat mereka dengan sepenuh hati.”
“Kami merawatnya seperti putri kami
sendiri. Kau juga bisa melihat ada krisan, anggrek, mawar, dan lili di samping
kanan dan kiri gubuk. Mereka juga tidak kalah cantiknya.”
Forsythia tersenyum sembari tangannya
terus mengaduk-aduk tanah.
“Forsythia juga amat cantik meski
mahkotanya tidak begitu mencolok seperti peony,” kata si Kakek, membuat
Forsythia mengangkat wajah—memandangnya. Orang itu tahu nama gadis yang dia
tolong karena dia bertanya dan Forsythia menjawab. “Kau mungkin pernah
melihatnya sewaktu di pasar.. banyak orang menjual hiasan rambut yang indah,”
ujar si Kakek dengan sorot mata menerawang. “Kami dulu punya seorang putri.
Sebelum meninggal karena sakit, mungkin dia seumuran denganmu..”
Cerita si Kakek membuat Forsythia
tertegun. Jadi itulah mengapa mereka hanya tinggal berdua di dalam gubuk—karena
putri mereka satu-satunya telah meninggal.
“Dia pasti secantik bunga-bunga yang
telah kakek rawat,” tanggap Forsythia.
Si Kakek mengangguk membenarkan lalu
meneruskan ceritanya. “Dia gadis yang elok rupa maupun karakternya.. Dulu aku
seorang pedagang yang berkecukupan, namun ketika segelintir bangsawan
memonopoli hasil dagang kami, keluarga ini jatuh miskin.. bersamaan dengan itu
dia jatuh sakit..
“Anak yang malang.. dia sakit dan orang
tuanya jatuh miskin saat dirinya berulang tahun.. Aku dan istriku lalu
mengumpulkan sedikit uang yang kami punya untuk membelikan dia hadiah. Kami
pergi ke pasar dan ingin sekali membeli hiasan rambut yang indah untuknya. Tusuk
rambut yang berbentuk peony, krisan, mawar, dan bunga-bunga yang berkelopak
lebih indah sangat mahal.. uang kami tidak cukup. Tapi akhirnya kami membeli
hiasan rambut forsythia yang sederhana..
“Dia tampak senang sekali menerimanya..
anak itu bahkan selalu menggenggam hiasan rambut itu kala dia tidur.. tubuhnya
menjadi sangat kurus sampai akhirnya dia meninggal..”
Akhirnya karena tidak sanggup
menahannya, air mata Forsythia mengalir. Si Kakek menoleh pada gadis itu lalu
tersenyum. Tangannya yang rapuh kemudian terangkat menyeka pipi Forsythia yang
basah.
“Itu sudah lama sekali, Nak. Kami sudah
merelakannya pergi.. setidaknya dia pergi dalam dan bahagia,” katanya bijak.
“Tentu saja dia bahagia,” balas
Forsythia. “Dia pasti sangat bahagia memiliki orang tua yang begitu sayang
padanya.”
Mereka saling tersenyum satu sama lain
ketika tiba-tiba istri kakek itu datang tergesa-gesa sepulangnya dari pasar. Baik
Forsythia dan sang Kakek menoleh.
“Ini berita besar! Berita besar!”
serunya antusias.
“Ada apa?” tanya si Kakek.
“Istana dibuka untuk semua golongan
rakyat besok malam!”
“Apa? Jadi.. bukan hanya bangsawan saja
yang boleh hadir?”
Si Nenek mengangguk.
“Astaga.. pestanya pasti meriah sekali
ya?” kata si Kakek.
“Tentu saja!” balas istrinya. Mendadak
pandangannya beralih pada Forsythia yang mematung mendengarkan tidak jauh dari
pasangan itu. “Pergilah ke sana, Nak. Gadis-gadis seusiamu di pasar berebutan
untuk membeli gaun pesta. Mereka semua sangat berharap bisa bertemu sang
Pangeran secara langsung!”
Forsythia tersenyum kaku. Gadis itu
kurang menyukai pesta yang diadakan gemerlap—terlebih di Castamore. Wanita
bangsawan seringkali memamerkan perhiasan mereka yang berkilauan sedangkan para
prianya memamerkan baju yang terbuat dari bulu atau kulit hewan hasil buruan
mereka. Topik mereka pun memuakkan sehingga Forsythia tidak pernah tahan berada
berlama-lama di sana. Karena jarang datang ke pesta-pesta seperti itulah, wajah
Forsythia seringkali tidak dikenali. Meski begitu namanya dikenal hangat di
berbagai kalangan berkat rumor-rumor yang beredar.
“Kalianlah yang seharusnya ke sana,”
tolak Forsythia halus.
“Kau bicara apa? Tentu saja kau yang
harus pergi. Tidak mungkin orang tua seperti kami memakai baju yang indah untuk
pesta.” Si Nenek tertawa. Wanita tua itu lalu bergegas menarik Forsythia ke
dalam gubuk, tepatnya ke kamar pasangan petani. Dia mengeluarkan sebuah kotak
besar dari kolong tempat tidurnya, membuka gembok, selanjutnya membuka kotak
itu.
Forsythia mengerjap melihat sehelai
gaun putih yang indah meski sederhana, terlipat rapi di sana. Bukan hanya itu,
sepasang sepatu berwarna putih juga diletakkan di samping gaun tadi.
“Bagus kan? Ini gaun pernikahanku
dulu,” kata nenek itu.
“Ah ya… tapi… bagaimana mungkin saya..
memakai gaun pernikahan ke pesta?” respon Forsythia ragu.
“Kita tinggal membuatnya jadi gaun
pesta biasa hingga orang tidak akan menyangka kalau ini sebenarnya gaun
pernikahan. Kita bisa menyematkan beberapa bunga yang indah.”
“Tapi.. tetap saja ini gaun
pernikahanmu..”
“Dengar, Nak,” kata si Nenek menarik
Forsythia untuk duduk di atas ranjang di sebelahnya. Tangannya yang keriput
kemudian menggenggam tangan gadis itu. “Aku menyimpannya dengan baik selama
bertahun-tahun.. berharap suatu saat, putriku akan mengenakannya di hari dia
menikah..”
Forsythia tertegun. Kata-kata si Nenek
membuat hatinya mencelos.
“Putriku memang sudah tiada. Tapi aku
ingin sekali gaun ini dikenakan lagi untuk yang kedua kalinya oleh gadis yang
pantas memakainya.” Dia tersenyum. “Kau.”
Mereka saling berpandangan penuh arti.
“Meskipun kau tidak mengatakannya, aku
tahu kau telah melalui hal yang sulit ketika akhirnya sampai ke sini.
Bersenang-senanglah walau hanya sebentar.. wajahmu jauh lebih cantik ketika kau
tersenyum,” katanya lagi. “Jadi maukah kau pergi?”
Forsythia akhirnya tersenyum lalu
menjawab, “Aku yakin nenek akan terus memaksa walaupun aku berkata tidak.”
***
Suara orkestra yang lembut terdengar di
seluruh sudut istana. Kereta-kereta kuda berdatangan mengantarkan pemiliknya ke
pesta yang diadakan Permaisuri. Mulai dari para bangsawan, hingga rakyat biasa
hadir.
Irene—putri dari Menteri Sumber Daya
Castamore pun datang memenuhi undangan Permaisuri—dengan maksud menjodohkannya
dengan Orion. Gadis itu berjalan beriringan dengan tangan yang mengapit lengan
sang Ayah untuk memberi salam pada Raja dan Permaisuri Brisera yang duduk pada
kursi tahta, sedangkan Orion sendiri juga duduk tidak jauh dari mereka. Begitu Irene
menghampiri Orion untuk memberi salam, laki-laki itu pun berdiri dan menunduk
sekilas. Mereka berdua jelas sadar dengan pandangan Permaisuri dan Menteri
Castamore yang memperhatikan mereka dengan seksama.
“Selamat datang di Brisera, Lady,” ucap Orion lalu mencium tangan Irene.
“Kuharap anda menikmati waktu selama berada di sini.”
“Suatu kehormatan bagi saya untuk
bertemu dengan Pangeran,” balas Irene yang berlaku anggun.
Orion tersenyum sekilas. Perhatiannya
lalu beralih lagi ke arah gerbang masuk istananya. Laki-laki itu sedang
menunggu seseorang nampak di sana. Karena dia gadis biasa, dia harusnya datang
mengingat Orion sudah meminta pada Permaisuri untuk tidak membatasi undangan
yang hadir.
“Kau jelas menunggu seseorang,” ujar
Permaisuri tanpa menoleh pada Orion. “Apa dia seorang gadis seperti tebakanku?”
“Ibunda akan mengetahuinya nanti,”
jawab Orion enggan sekaligus gelisah.
Namun nyatanya sang Pangeran tidak
perlu menunggu lama. Seorang gadis ada di antara tamu-tamu yang berdatangan
melewati pintu utama. Rambut hitam legamnya yang dibiarkan tergerai membuat
gadis itu begitu istimewa dibanding gadis-gadis lain. Dia mengenakan gaun putih
yang mengembang indah dengan dihiasi bunga-bunga yang berwarna lembut. Tidak
ada perhiasan logam yang berkilau dari gadis itu, kecuali satu hiasan rambut
kecil yang tersemat di bagian rambut atas telinga kirinya.
Senyum Orion tersungging lalu tanpa
menunggu apa pun lagi, dia berjalan meninggalkan Raja dan Permaisuri untuk
menghampiri gadis itu.
***
Sebelum masuk ke pekarangan istana,
Forsythia teringat akan seorang laki-laki bangsawan yang pernah membantunya
sewaktu tersesat di padang bunga Brisera. Gadis itu bisa membayangkan wajahnya
berkali-kali lipat lebih tampan sewaktu Forsythia memutarnya lagi dalam
ingatan. Dia lalu bertanya-tanya apakah mereka akan bertemu nantinya mengingat
jumlah tamu yang hadir begitu banyak. Forsythia melihat gadis-gadis
sepantarannya datang mengenakan gaun-gaun yang begitu indah dan mewah, serta
tidak lupa berhias dengan kilauan permata. Rupanya hal itu cukup membuat
Forsythia sedikit merasa rendah diri.
Forsythia yang gugup lalu menenangkan batinnya
dengan menyentuh hiasan rambut forsythia di rambutnya. Benda itu memang
sederhana seperti kata sang Kakek, namun ketika pasangan itu memuji
kecantikannya dengan hiasan rambut yang tersemat, Forsythia perlahan bisa
mengatur irama napasnya yang tidak karuan.
Beberapa langkah memasuki istana,
Forsythia merasakan atmosfer aneh di sekelilingnya. Para tamu yang ada di dalam
berdiri menepi seolah sengaja memberinya jalan. Forsythia memandang mereka
dengan tatapan bertanya ketika akhirnya dia melihat seseorang yang ada di ujung
jalannya kini: seorang laki-laki tampan dengan wajah yang tidak asing lagi.
Keduanya sama-sama berjalan menghampiri
satu sama lain. Masing-masing tidak bisa menyembunyikan kegembiraan yang
menjalar.
“Akhirnya kita bertemu lagi,” kata
Orion.
Forsythia tersenyum. “Senang berada di
sini,” ucapnya.
Orion menunduk. Tangan kanannya
menangkup di dada kiri lalu badannya sedikit membungkuk—posisi seorang pria
yang memberi salam sopan pada seorang wanita. Bersamaan dengan itu, musik
orkestra terhenti. Pemain musiknya bisa menebak kalau Pangeran akan mengajak
sang Gadis berdansa, jadi mereka bersiap untuk memainkan lagu yang lain.
Forsythia menerima salamnya dengan
sedikit menekuk kaki sehingga badannya lebih rendah.
“Suatu kehormatan bagiku jika Nona
bersedia menemaniku berdansa,” kata Orion.
“Dengan senang hati.” Forsythia
mengangguk.
Orion lalu mencium tangan Forsythia. Kedua
tangan mereka menggenggam satu sama lain dalam keadaan tidak penuh terlentang. Badan
mereka pun bergerak seirama lagu yang dimainkan. Beberapa detik kemudian Orion
meletakkan tangan kanannya di pinggang Forsythia sedang tangan yang lain tetap
menggenggam tangan gadis itu. Tatap mereka tidak kunjung terlepas sampai bagian
pertama lagu berakhir. Tamu-tamu yang lain pun lalu berjalan ke tengah ball untuk ikut berdansa.
***
“Bagaimana kabarmu setelah terakhir
kita bertemu?” tanya Orion yang berjalan beriringan dengan Forsythia di halaman
samping istana yang membentuk tanaman-tanamannya menjadi labirin.
“Saya tinggal dengan pasangan suami
istri petani yang sangat baik,” jawab Forsythia. “Mereka bahkan meminjamkan
saya gaun pernikahan ini untuk datang ke pesta.”
“Gaun pernikahan?”
Forsythia mengangguk. “Kami juga
menghiasinya dengan bunga sehingga tidak tampak demikian kan?”
Orion tersenyum. Brisera adalah negeri
bunga. Laki-laki itu benar-benar tidak tahu kenapa wanita-wanita di negerinya
selalu meributkan permata yang hendak mereka pakai, padahal ada hamparan bunga
yang melimpah dekat mereka. Meski mencolok dengan warna-warna yang indah, bunga
pun merupakan simbol kesederhanaan seorang wanita negerinya.
Orion kembali memandang gadis di sisinya
lalu melihat hiasan berbentuk forsythia tersemat di rambut hitam legamnya. Hiasan
bunga itu tidak hanya mempercantik pemiliknya, namun sekaligus memberi kesan
ketidakinginnannya untuk tampil mencolok.
“Hiasan rambut yang indah,” puji Orion.
“Sewaktu masih kecil dulu, aku pernah memberi hadiah hiasan rambut berbentuk
forsythia pada ibundaku.”
“Manis sekali.” Forsythia tersenyum.
Mereka berdua sama-sama tertawa kecil
lalu saling bersitatap. Baik Orion maupun Forsythia tertegun mendapati sinar
mata yang indah dalam diri masing-masing. Pangeran kemudian memberanikan diri
untuk mendekatkan wajahnya—perlahan-lahan, supaya apabila Forsythia menghindar,
Orion akan langsung tahu lalu menarik diri. Nyatanya gadis itu tetap bergeming,
bahkan menutup matanya. Tidak butuh waktu lama, Orion pun mengecup manis bibir
Forsythia. Singkat, namun begitu dalam.
“Pangeran?”
Mendadak perhatian mereka teralihkan
oleh suara Permaisuri yang memanggil putranya. Orion dan Forsythia sama-sama
menoleh.
“Kau di sana rupanya,” kata Permaisuri.
Tidak jauh di belakangnya, berdiri seorang gadis yang bergaun biru mewah—Irene.
“Siapa Nona ini? Mengapa tidak dikenalkan padaku?”
Wajah Permaisuri begitu ramah, hanya
saja Forsythia tidak sempat membalas keramahan itu. Perhatiannya justru terarah
pada Irene yang jelas-jelas akan mengenalinya jika melihat wajahnya kalau
Forsythia mendekat.
Tidak boleh! Gadis itu tidak boleh
sampai tahu kalau Forsythia ada di Brisera!
“Maaf, saya harus pulang!” kata
Forsythia kemudian berlari pergi.
Irene dan Permaisuri tentu saja
terkejut, apalagi Orion yang baru saja akan memperkenalkannya pada ibundanya.
“Tunggu! Nona!! Tunggu sebentar!” seru
Orion yang langsung berlari mengejar. “Aku belum tahu namamu!”
Forsythia mempercepat larinya hingga
Orion terpaksa harus melakukan hal yang sama. Tiba-tiba saja ranting sebatang
pohon tidak sengaja menjambak rambut Forsythia. Akibatnya jepit rambutnya yang
berharga terjatuh. Forsythia hendak memungutnya kembali tapi sosok Orion
semakin dekat hingga dia memutuskan untuk meneruskan lari. Merasa tidak akan
lepas dari Pangeran, Forsythia pun bersembunyi di balik dinding tanaman
hibiscus.
Orion pun kehilangan sosok gadis itu
seketika. Pandangannya berkeliling, namun dia tidak menemukan jejak Forsythia. Kecewa,
laki-laki itu pun berbalik untuk kembali pada Permaisuri, tapi mendadak dia
menemukan benda yang berkilauan di atas rumput yang dirinya pijak.
Sebuah hiasan rambut forsythia
tertinggal di sana.
0 komentar:
Posting Komentar