When Marshmallow Meet Coffee (2/3)

Sabtu, 01 Agustus 2015




Tiara tidak mengingat apa pun saat perasaannya membuncah hingga ujung-ujungnya menangis lama sekali—bahkan bersama seseorang yang awalnya sama sekali tidak dia kenali. Kacamata dan masker miliknya telah dikembalikan. Dia memakainya lagi meski dua benda itu agak kusam dan kotor berkat guard-guard brengsek tadi.

Sekarang setelah tangisannya reda, Tiara mendapati dirinya sendirian di dalam sebuah flat room berlantai kayu. Tubuhnya sendiri melengkung berbentuk bola karena memeluk kedua kakinya yang ditekuk di atas sofa. Matanya kemudian mengedar memandangi sekelilingnya yang sepi. Dilihat sekilas, flat room tempatnya berada sekarang ini terkesan seperti sebuah kamar di hotel. Namun itu tidak mungkin. Tiara tidak ingat telah meninggalkan gedung perusahaan kosmetik tadi.

Gadis itu mengeluarkan bros dari dalam saku jaketnya. Untunglah bros itu tidak cacat. Mungkin dia sendiri salah karena selalu membawa bros itu ke mana-mana, padahal besar resikonya benda itu hilang di tengah jalan. Guard yang mengambilnya paksa sempat membungkuk sangat rendah untuk meminta maaf. Kalau saja tidak ingat akan gatal-gatal di wajah dan tubuhnya, Tiara ingin dia terus membungkuk hingga tulang punggungnya patah. Tanpa menggubris guard itu Tiara langsung beranjak pergi dengan langkah setengah berlari. Namun mendadak sehelai coat hitam memayunginya. Tiara yang masih dalam keadaan menangis pun menurut dibawa orang itu ke bagian dalam kantor.

Tiara memandang coat hitam di atas meja kini. Dia sempat mencium aroma parfum klasik yang samar-samar gadis itu pikir tidak asing. Creed Green Irish Tweed

Siapa?

Sebelum Tiara membatin untuk mengingat-ingat lebih jauh, pintu ruangan itu dibuka. Seorang wanita memakai setelan kantor yang anggun datang membawa nampan dengan secangkir teh yang masih mengeluarkan uap. Dia meletakkan cangkir teh di atas piring porselen kecil itu di depan Tiara kemudian tersenyum menyarankan gadis itu meminumnya sebelum dingin. Setelah itu, dia pergi meninggalkan Tiara sendirian lagi.

Hidungnya menghirup wangi aroma teh. Dari jarak yang begitu dekat, dia bisa melihat wajahnya yang tertutup kacamata hitam dan masker dari permukaan cokelat yang tidak terlalu pekat.

Ini memang bukan kali pertama gadis itu menanggung malu sampai-sampai ke mana-mana dia harus selalu memakai topeng. Tapi keadaan dulu dan sekarang berbeda. Semakin lama waktu yang berlalu, tidak bisa kalau dia mengabaikan begitu saja pendapat orang lain mengenai dirinya. Tiara tidak boleh memiliki cacat apa pun—khususnya hal yang bisa dilihat orang lain dengan mudah.

Secangkir teh itu langsung mengingatkannya dengan seseorang. Entahlah dengan yang lain—mungkin mereka akan menertawainya atau memandangnya dengan sorot prihatin, tapi manekin itu bisa dipastikan hanya diam di sana lalu menjelma menjadi pendengar yang baik.

Menghela napas, Tiara lalu mengambil cangkir teh itu dan menyesap isinya sebagian. Brosnya telah kembali padanya, jadi untuk sekarang lebih baik dia membuat perasaannya lega. Urusan yang lain lebih baik dipikirkan nanti. Tiara ingin dunianya tenang—setidaknya untuk beberapa saat saja.

Pintu ruangan itu dibuka lagi. Kali ini masuk seorang laki-laki yang memakai sweater putih yang kerahnya menutupi leher. Di luar sedang hujan deras dan pantaslah dia memakai pakaian yang membuat tubuhnya hangat. Laki-laki itu mendekat kemudian duduk di sofa depan Tiara. Punggungnya agak condong ke depan lalu tangannya saling melipat. Pandangan mereka bertemu.

“Kau tetap ceroboh seperti biasa, Krisan.”

Tiara mengerjap. Bukan hanya laki-laki itu bicara dalam bahasa ibunya, melainkan juga karena dia memanggil Tiara dengan nama yang sangat jarang orang lain sebut untuk memanggil namanya.

“Kita saling kenal?” tanya Tiara mengernyit.

Laki-laki itu memiringkan wajah menatap Tiara, kemudian tersenyum sinis. Tidak memedulikan gadis itu, dia mengeluarkan ponsel dari saku kemudian tenggelam dalam kesibukan yang Tiara tidak mengerti.

Dia begitu… bersih. Itulah kesan pertama Tiara saat memperhatikan baik-baik laki-laki di depannya kini. Kulitnya berwarna krim lembut tanpa menghilangkan rona yang segar di wajahnya. Sepasang alisnya cukup tebal di atas kelopak mata monolid yang bergerak-gerak seirama dengan arah pandangannya. Rambut laki-laki itu agak panjang, dengan belahan di sisi kiri—sisi kanan untuknya. Namun selain itu, Tiara sendiri merasakan hal yang familiar darinya meskipun tidak tahu apa itu.

“Omong-omong… terimakasih sudah menolongku,” ucap Tiara kaku.

Laki-laki itu mengangkat wajahnya. “Aku mencoba menolong mereka juga sebenarnya,” katanya lalu menyilangkan tangan. “Kalau itu kau, aku percaya jika mereka tidak segera melepaskanmu akan ada bencana besar di perusahaan ini.”

Kening Tiara lagi-lagi berkerut. “Kau kenal aku?”

“Siapa yang tidak tahu Chrisantee?”

“Tentu saja mereka tahu,” balas Tiara melihat mimik menyebalkan lawan bicaranya. “Tapi lain ceritanya dengan keadaanku seperti ini.”

“Di mana manajermu?”

“Di rumah sakit.”

“Kau menghajarnya?”

Tiara tertawa hambar. Baik orang itu maupun semua karyawan di sana sepertinya telah termakan rumor yang beredar. Dia sendiri sepertinya tidak perlu menanggapi fitnah konyol seperti itu. Tapi yang jelas Tiara kesal. Bullying seperti ini sungguh tidak ada habisnya bahkan ketika dia menunjukkan segala sesuatu yang benar.

“Kalau kau sudah selesai dengan tehmu, pulanglah,” kata laki-laki itu. “Salah satu dari tim keamanan akan mengawalmu ke tempat parkir. Jangan khawatir dengan kejadian seperti tadi.”

Mata Tiara menyipit. Orang itu kembali sibuk dengan ponselnya. Saat Tiara bangkit berdiri untuk pergi, dia bergeming. Tiara lalu mengenyahkan pikiran aneh yang menyelimuti benaknya kemudian melangkah keluar ruangan. Tepat ketika dia melewati ambang pintu, seorang pria yang sepertinya dimaksudkan untuk mengawalnya ke tempat parkir, menunduk sekilas selanjutnya mengisyaratkan gadis itu untuk mengikutinya. Tiara menurut. Namun sebelum mereka akan masuk ke lift, Tiara tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

“Orang itu tadi siapa? Apa dia manajer di sini?”

“Namanya August Revin. Beliau CKO di sini.”

“August… Revin..?” Sekelebat ingatan mendadak melintas begitu saja dalam benak Tiara, seperti kilat. “Revin..? Evin… Vin? VIN?!” Tiara berseru heboh hingga pria tadi membelalakkan mata kaget.

Berbalik badan, gadis itu langsung berlari cepat untuk kembali ke flat room tempat laki-laki itu berada. Pintu dibuka keras. Tiara yang terengah-engah melihat Vin—laki-laki yang pertama kali dia kenali lima tahun yang lalu, sekarang ada di depannya memasang ekspresi terkejut dan heran. Sebelum Vin sempat bertanya menegurnya, Tiara lebih dulu berlari menghampiri laki-laki itu dan tanpa ragu memeluknya seerat yang dia bisa.

***

Gladys tidak bisa tenang meski tubuhnya masih menggigil. Dia berulang kali memencet tombol ponselnya lalu menempelkannya ke telinga—begitu terus berulang-ulang tanpa henti. Nomor yang dia tuju tidak aktif. Apakah gadis itu sengaja? Bagaimana soal kontraknya dengan perusahaan kosmetik hari ini? Apa Tiara sudah datang ke sana dan menandatangani persetujuan?

Karena hampir satu jam dia tidak bisa menghubungi Tiara, benak Gladys lalu dipenuhi pikiran-pikiran negatif. Bagaimana kalau gadis itu memanfaatkan ketidakhadiran dirinya untuk kabur? Bagaimana kalau dia kalap makan makanan berat selama Gladys tidak ada? Bagaimana kalau ada seorang anti fans yang menyulut kemarahannya sehingga Tiara membuat orang itu babak belur? Bagaimana kalau…

Miss, bisa tolong dimatikan saja ponselnya? Sebaiknya Miss istirahat total, begitu kata dokter..,” nasihat perawat di dekat sana.

Gladys tersenyum meringis dan dia menurut. Meski begitu dia hanya mematikan bunyi ponselnya saja, bukan mematikannya. Gantinya dia menyembunyikan ponsel itu di bawah bantal. Dia rasa kalau Tiara menghubunginya, getaran sekecil apa pun akan segera disadari Gladys mengingat wanita itu benar-benar tidak bisa tenang sekarang.

Demi Tuhan, Chrisantee…, dia membatin. Gladys dalam keadaan sakitpun, gadis itu masih berusaha mencekiknya?

***

Sementara Gladys merasa diteror dengan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, Tiara kini tengah duduk di kursi tamu, menghadap ke meja kerja Vin. Meskipun laki-laki itu tidak mengacuhkannya, Tiara tidak bosan memperhatikannya. Sikap Vin yang dingin justru membuat senyum Tiara mengembang sempurna—meski tentu saja dia masih memakai kacamata hitam dan masker. Padahal kalau ruam-ruam alerginya tidak ada, Tiara membayangkan dirinya akan nampak imut sekali memandangi laki-laki itu dengan ditopang kedua tangannya.

“Kau mau terus di sini sampai kapan?” tanya Vin tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop.

Setelah masuk tiba-tiba lalu memeluk Vin erat-erat, Tiara menolak untuk segera enyah dari sana. Pria yang tadi akan mengawalnya pun kebingungan. Menyadari kalau gadis itu akhirnya mengingat dirinya, Vin pun menggerakkan tangannya pada pria itu, mengisyaratkan padanya untuk pergi. Laki-laki itu juga butuh waktu beberapa saat untuk melepaskan pelukan Tiara—dia juga tidak mau kalau tubuh gadis itu lengket dengan tubuhnya. Vin sempat menyuruhnya pulang, tapi Tiara bersikap seolah dia tidak mendengar apa-apa. Berani bertaruh, gadis itu mungkin sudah lupa total dengan kejadian memalukan tadi yang melibatkan guard-guard perusahaan tempat Vin bekerja. Itu hal bagus sebenarnya, mengingat baik gadis itu maupun saudari-saudarinya adalah tipe pendendam—meskipun ada kalanya mereka tidak membalas, mereka akan selalu mengingat kesalahan orang lain.

“Apa mungkin…” Gadis itu berujar mengabaikan tanya Vin. “Saat kau menolongku tadi, kau sebelumnya langsung ingat padaku?”

“Tidak,” jawab Vin pendek.

“Lantas kenapa?”

Laki-laki itu menghela napas panjang sebelum menatap Tiara. “Mereka tidak dilatih untuk mengenali barang-barang bermerk atau barang murahan. Karena tingkahmu mencurigakan, mereka berbuat begitu tanpa berpikir panjang. Sedangkan aku langsung tahu jaket dan boots yang kau kenakan bukan barang murah, jadi aku bisa menebak kalau kau setidaknya tamu VIP atau orang yang sedang punya kepentingan di sana. Aku menolongmu untuk mencegah perusahaan dituntut pasal penganiayaan dan pencemaran nama baik.”

“Jadi awalnya kau tidak tahu kalau itu aku?”

Vin terdiam cukup lama. Dia menimbang-nimbang dalam hati apakah harus berkata terus terang pada Tiara. Awalnya Vin memang tidak mengenali gadis itu, hanya saja ketika kemudian dia mencium aroma marshmallow yang kental dari tubuhnya, Vin tidak bisa menahan diri untuk memeluk gadis itu—tambahan, karena dia juga tahu Tiara akan menangis kencang detik itu juga.

Will you stop staring me like that?” gerutu Vin merasa seperti tengah diperhatikan penguntit.

***

Seorang gadis memakai blus tanpa lengan dan juga potongan rok pendek berjalan di lantai kantor tempat Vin berada. Hak sepatunya mengetuk-ngetuk jelas hingga menarik perhatian karyawan di sana. Jalannya anggun dan lembut. Sebelum mengetuk pintu ruangan Vin, dia lebih dulu mendatangi sekretarisnya, bertanya apakah Vin ada di sana atau tidak. Gadis itupun tersenyum ketika dipersilakan masuk.

Vin menoleh saat menyadari satu orang lagi masuk ke ruangannya, begitu juga dengan Tiara.

“Hai, Rev. Kau tidak mengangkat teleponku tadi. Jadi aku ke sini,” kata gadis itu.

Rev katanya? Tiara mengernyit tidak suka. Kenapa kesannya panggilan itu akrab sekali. Siapa dia?

“Bukannya aku pernah bilang supaya jangan datang ke kantorku saat jam kerja?” kata Vin datar. Tiara kembali menyukai kalimat dingin laki-laki itu, terlebih mengetahui kalimat itu ditujukan ke gadis tadi.

“Jangan ketus begitu. Ibumu yang menyuruhku datang ke sini. Dia yakin kau melewatkan makan siangmu lagi.” Pandangan gadis itu kemudian beralih pada Tiara. “Kau kedatangan tamu.” Dia mengulurkan tangan. “Hi, my name is Tiffany.”

“Ah, ini…” Vin yang akan memperkenalkannya terpotong oleh gerak Tiara yang bangkit berdiri dari kursinya.

“Aku Krisan.”

Mereka pun bersalaman. Fany sendiri agak aneh melihat penampilan tertutup gadis itu—maksudnya dia benar-benar tertutup. Dia lalu beralih memandang Vin.

“Bagaimana kalau kita makan siang bersama?”

“Ide bagus.” Tiara menanggapi. “Aku boleh ikut kan?”
 
***

Tingkah Fany sungguh manis—jelas bukan soal penampilannya, Tiara sendiri yakin dirinya jauh lebih baik dari gadis itu. Badan Tiara juga sedikit lebih tinggi darinya. Apa boleh buat, Tiara juga seorang gadis. Karenanya dia sangat tahu persis kalau saat ini Fany kurang menyukai keberadaannya sekarang ini. Saat meminta untuk ikut, ekspresi Fany menunjukkan kalau dia tidak senang, tapi di depan Vin dia mau tidak mau harus mengizinkan Tiara bergabung. Siapa dan apa modus gadis itu mendekati Vin sedang diselidiki Tiara.

Mereka bertiga makan siang bersama di sebuah restoran tidak jauh dari gedung kantor Vin. Ketika makanan mereka datang, Vin dan Fany langsung memegang sendok dan garpu, bersiap untuk menyantapnya, sementara Tiara mematung. Bagaimana gadis itu bisa makan dengan wajar kalau maskernya tidak boleh sampai dilepas?

“Kenapa?” Fany bertanya karena Tiara tidak kunjung melahap makan siangnya.

“Ti-tidak apa-apa,” balas Tiara gugup.

“Kenapa tidak kau lepas dulu kacamata dan maskermu? Aku lihat kau akan kesulitan memakannya.”

Tiara terdiam sebal meski tahu yang dikatakan Fany benar. Vin sendiri melirik padanya namun dia juga diam menyembunyikan senyuman yang pelan-pelan tersungging di sudut bibir.

Seorang tamu mengambil remote televisi yang dipajang di sana untuk mengganti channel. Saluran lalu berubah dengan acara di mana lagu-lagu dalam video klip yang sedang populer diputar. Kebetulan saat itu lagu video klip yang diputar berjudul Dew yang dinyanyikan Tiara. Tampak dalam video itu rambut Tiara yang ikal panjang meliuk diterpa angin dalam sebuah ladang berumput cokelat terang. Atas kepalanya berhias mahkota macam-macam bunga. Dia lalu berlari senang diikuti seseorang yang sedang merekam sosoknya yang terlihat sangat bahagia.

“Ah, Chrisantee.” Fany menyebut namanya, membuat Tiara mengangkat wajah. Pandangan gadis itu mengarah ke layar televisi. “Aku pernah sekali bertemu dengannya ketika di stasiun televisi milik pamanku.”

“Oh ya?” Tiara menanggapi. Setahunya dia tidak pernah bertemu Fany. Mungkin mereka hanya berpapasan sekilas hingga Tiara tidak begitu mengingat wajahnya.

Fany mengangguk. “Dia cantik seperti boneka. Tapi sama sekali tidak berkesan. Aku tidak heran rumor yang bilang kalau dia operasi plastik.”

Tiara tertegun. Jadi rupanya bukan hanya segelintir orang yang mempercayai rumor konyol semacam itu. Tentu saja Tiara tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan orang-orang itu padanya. Alasan kenapa orang-orang itu berpikir demikian.. mungkin karena sejauh ini Tiara sangat senang bereksperimen dengan dandanannya.

“Yang aneh adalah tidak adanya latar belakang apa pun soal dirinya di internet,” tambah Fany yang makin membuat Tiara membisu. “Aku tidak tahu apakah kalian pernah menontonnya sewaktu di talkshow beberapa hari yang lalu. Dia mengabaikan pembawa acara ketika bertanya mengenai orang tua atau saudara yang dia punya. Mungkin kabar kalau dia yatim piatu itu benar.”

Tiara meletakkan sendok dan garpunya ke piring diikuti pandangan heran Fany. Vin menoleh padanya, alih-alih menghibur gadis itu, dia hanya menghela napas panjang.

“Tetaplah di sini sebentar. Aku antar kau pulang,” kata laki-laki itu. Dia menoleh pada Fany. “Aku akan membayarnya dulu. Maaf karena kami selesai duluan.”

Sebelum Fany melontarkan pertanyaan, Vin lebih dulu beranjak dari sana menuju meja kasir. Selanjutnya tanpa meminta persetujuan Fany, Vin memakai lagi coat-nya lalu menarik lengan Tiara dan pergi dari sana.

Fany tersenyum sekilas karena frustasi. Apa dia Chrisantee? Dia menebak asal-asalan. Kenapa begitu over reacting mendengar rumor artis itu darinya? Apa mungkin karena di poin-poin yang dia katakan seputar Chrisantee, salah satunya menyinggung Tiara? Dia diam saja saat Fany memberitahunya soal operasi plastik Chrisantee, sebaliknya ketika Fany menyinggung soal yatim piatu. Apa Tiara yatim piatu?

Fany menggeleng. Kalau benar gadis itu punya low profile yang sebegitu buruknya, dia harus memberitahu hal itu pada ibu Revin. Jangan sampai Fany kalah oleh gadis yang bahkan malu dengan wajahnya sendiri.

Sementara itu Tiara yang ada dalam mobil bersama Vin menjadi murung. Dia tidak menyangka kalau satu hari saja dia lewati tanpa Gladys akan membuatnya sangat kesepian.

0 komentar: