Tiara
tidak mengingat apa pun saat perasaannya membuncah hingga ujung-ujungnya
menangis lama sekali—bahkan bersama seseorang yang awalnya sama sekali tidak
dia kenali. Kacamata dan masker miliknya telah dikembalikan. Dia memakainya
lagi meski dua benda itu agak kusam dan kotor berkat guard-guard brengsek tadi.
Sekarang
setelah tangisannya reda, Tiara mendapati dirinya sendirian di dalam sebuah flat room berlantai kayu. Tubuhnya
sendiri melengkung berbentuk bola karena memeluk kedua kakinya yang ditekuk di
atas sofa. Matanya kemudian mengedar memandangi sekelilingnya yang sepi.
Dilihat sekilas, flat room tempatnya
berada sekarang ini terkesan seperti sebuah kamar di hotel. Namun itu tidak
mungkin. Tiara tidak ingat telah meninggalkan gedung perusahaan kosmetik tadi.
Gadis
itu mengeluarkan bros dari dalam saku jaketnya. Untunglah bros itu tidak cacat.
Mungkin dia sendiri salah karena selalu membawa bros itu ke mana-mana, padahal
besar resikonya benda itu hilang di tengah jalan. Guard yang mengambilnya paksa sempat membungkuk sangat rendah untuk
meminta maaf. Kalau saja tidak ingat akan gatal-gatal di wajah dan tubuhnya,
Tiara ingin dia terus membungkuk hingga tulang punggungnya patah. Tanpa
menggubris guard itu Tiara langsung
beranjak pergi dengan langkah setengah berlari. Namun mendadak sehelai coat hitam memayunginya. Tiara yang
masih dalam keadaan menangis pun menurut dibawa orang itu ke bagian dalam
kantor.
Tiara
memandang coat hitam di atas meja
kini. Dia sempat mencium aroma parfum klasik yang samar-samar gadis itu pikir
tidak asing. Creed Green Irish Tweed…
Siapa?
Sebelum
Tiara membatin untuk mengingat-ingat lebih jauh, pintu ruangan itu dibuka. Seorang
wanita memakai setelan kantor yang anggun datang membawa nampan dengan
secangkir teh yang masih mengeluarkan uap. Dia meletakkan cangkir teh di atas
piring porselen kecil itu di depan Tiara kemudian tersenyum menyarankan gadis
itu meminumnya sebelum dingin. Setelah itu, dia pergi meninggalkan Tiara
sendirian lagi.
Hidungnya
menghirup wangi aroma teh. Dari jarak yang begitu dekat, dia bisa melihat
wajahnya yang tertutup kacamata hitam dan masker dari permukaan cokelat yang
tidak terlalu pekat.
Ini
memang bukan kali pertama gadis itu menanggung malu sampai-sampai ke mana-mana
dia harus selalu memakai topeng. Tapi keadaan dulu dan sekarang berbeda.
Semakin lama waktu yang berlalu, tidak bisa kalau dia mengabaikan begitu saja
pendapat orang lain mengenai dirinya. Tiara tidak boleh memiliki cacat apa
pun—khususnya hal yang bisa dilihat orang lain dengan mudah.
Secangkir
teh itu langsung mengingatkannya dengan seseorang. Entahlah dengan yang
lain—mungkin mereka akan menertawainya atau memandangnya dengan sorot prihatin,
tapi manekin itu bisa dipastikan hanya diam di sana lalu menjelma menjadi
pendengar yang baik.
Menghela
napas, Tiara lalu mengambil cangkir teh itu dan menyesap isinya sebagian.
Brosnya telah kembali padanya, jadi untuk sekarang lebih baik dia membuat
perasaannya lega. Urusan yang lain lebih baik dipikirkan nanti. Tiara ingin
dunianya tenang—setidaknya untuk beberapa saat saja.
Pintu
ruangan itu dibuka lagi. Kali ini masuk seorang laki-laki yang memakai sweater putih yang kerahnya menutupi
leher. Di luar sedang hujan deras dan pantaslah dia memakai pakaian yang
membuat tubuhnya hangat. Laki-laki itu mendekat kemudian duduk di sofa depan
Tiara. Punggungnya agak condong ke depan lalu tangannya saling melipat.
Pandangan mereka bertemu.
“Kau
tetap ceroboh seperti biasa, Krisan.”
Tiara
mengerjap. Bukan hanya laki-laki itu bicara dalam bahasa ibunya, melainkan juga
karena dia memanggil Tiara dengan nama yang sangat jarang orang lain sebut
untuk memanggil namanya.
“Kita
saling kenal?” tanya Tiara mengernyit.
Laki-laki
itu memiringkan wajah menatap Tiara, kemudian tersenyum sinis. Tidak
memedulikan gadis itu, dia mengeluarkan ponsel dari saku kemudian tenggelam
dalam kesibukan yang Tiara tidak mengerti.
Dia
begitu… bersih. Itulah kesan pertama Tiara saat memperhatikan baik-baik
laki-laki di depannya kini. Kulitnya berwarna krim lembut tanpa menghilangkan
rona yang segar di wajahnya. Sepasang alisnya cukup tebal di atas kelopak mata monolid yang bergerak-gerak seirama
dengan arah pandangannya. Rambut laki-laki itu agak panjang, dengan belahan di
sisi kiri—sisi kanan untuknya. Namun selain itu, Tiara sendiri merasakan hal
yang familiar darinya meskipun tidak tahu apa itu.
“Omong-omong…
terimakasih sudah menolongku,” ucap Tiara kaku.
Laki-laki
itu mengangkat wajahnya. “Aku mencoba menolong mereka juga sebenarnya,” katanya
lalu menyilangkan tangan. “Kalau itu kau, aku percaya jika mereka tidak segera
melepaskanmu akan ada bencana besar di perusahaan ini.”
Kening
Tiara lagi-lagi berkerut. “Kau kenal aku?”
“Siapa
yang tidak tahu Chrisantee?”
“Tentu
saja mereka tahu,” balas Tiara melihat mimik menyebalkan lawan bicaranya. “Tapi
lain ceritanya dengan keadaanku seperti ini.”
“Di
mana manajermu?”
“Di
rumah sakit.”
“Kau
menghajarnya?”
Tiara
tertawa hambar. Baik orang itu maupun semua karyawan di sana sepertinya telah
termakan rumor yang beredar. Dia sendiri sepertinya tidak perlu menanggapi
fitnah konyol seperti itu. Tapi yang jelas Tiara kesal. Bullying seperti ini sungguh tidak ada habisnya bahkan ketika dia
menunjukkan segala sesuatu yang benar.
“Kalau
kau sudah selesai dengan tehmu, pulanglah,” kata laki-laki itu. “Salah satu
dari tim keamanan akan mengawalmu ke tempat parkir. Jangan khawatir dengan
kejadian seperti tadi.”
Mata
Tiara menyipit. Orang itu kembali sibuk dengan ponselnya. Saat Tiara bangkit
berdiri untuk pergi, dia bergeming. Tiara lalu mengenyahkan pikiran aneh yang
menyelimuti benaknya kemudian melangkah keluar ruangan. Tepat ketika dia
melewati ambang pintu, seorang pria yang sepertinya dimaksudkan untuk
mengawalnya ke tempat parkir, menunduk sekilas selanjutnya mengisyaratkan gadis
itu untuk mengikutinya. Tiara menurut. Namun sebelum mereka akan masuk ke lift,
Tiara tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Orang
itu tadi siapa? Apa dia manajer di sini?”
“Namanya
August Revin. Beliau CKO di sini.”
“August…
Revin..?” Sekelebat ingatan mendadak melintas begitu saja dalam benak Tiara,
seperti kilat. “Revin..? Evin… Vin? VIN?!” Tiara berseru heboh hingga pria tadi
membelalakkan mata kaget.
Berbalik
badan, gadis itu langsung berlari cepat untuk kembali ke flat room tempat laki-laki itu berada. Pintu dibuka keras. Tiara
yang terengah-engah melihat Vin—laki-laki yang pertama kali dia kenali lima
tahun yang lalu, sekarang ada di depannya memasang ekspresi terkejut dan heran.
Sebelum Vin sempat bertanya menegurnya, Tiara lebih dulu berlari menghampiri
laki-laki itu dan tanpa ragu memeluknya seerat yang dia bisa.
***
Gladys
tidak bisa tenang meski tubuhnya masih menggigil. Dia berulang kali memencet
tombol ponselnya lalu menempelkannya ke telinga—begitu terus berulang-ulang
tanpa henti. Nomor yang dia tuju tidak aktif. Apakah gadis itu sengaja? Bagaimana
soal kontraknya dengan perusahaan kosmetik hari ini? Apa Tiara sudah datang ke
sana dan menandatangani persetujuan?
Karena
hampir satu jam dia tidak bisa menghubungi Tiara, benak Gladys lalu dipenuhi
pikiran-pikiran negatif. Bagaimana kalau gadis itu memanfaatkan ketidakhadiran
dirinya untuk kabur? Bagaimana kalau dia kalap makan makanan berat selama
Gladys tidak ada? Bagaimana kalau ada seorang anti fans yang menyulut
kemarahannya sehingga Tiara membuat orang itu babak belur? Bagaimana kalau…
“Miss, bisa tolong dimatikan saja
ponselnya? Sebaiknya Miss istirahat
total, begitu kata dokter..,” nasihat perawat di dekat sana.
Gladys
tersenyum meringis dan dia menurut. Meski begitu dia hanya mematikan bunyi
ponselnya saja, bukan mematikannya. Gantinya dia menyembunyikan ponsel itu di
bawah bantal. Dia rasa kalau Tiara menghubunginya, getaran sekecil apa pun akan
segera disadari Gladys mengingat wanita itu benar-benar tidak bisa tenang
sekarang.
Demi Tuhan, Chrisantee…,
dia membatin. Gladys dalam keadaan sakitpun, gadis itu masih berusaha
mencekiknya?
***
Sementara
Gladys merasa diteror dengan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, Tiara kini
tengah duduk di kursi tamu, menghadap ke meja kerja Vin. Meskipun laki-laki itu
tidak mengacuhkannya, Tiara tidak bosan memperhatikannya. Sikap Vin yang dingin
justru membuat senyum Tiara mengembang sempurna—meski tentu saja dia masih
memakai kacamata hitam dan masker. Padahal kalau ruam-ruam alerginya tidak ada,
Tiara membayangkan dirinya akan nampak imut sekali memandangi laki-laki itu
dengan ditopang kedua tangannya.
“Kau
mau terus di sini sampai kapan?” tanya Vin tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar
laptop.
Setelah
masuk tiba-tiba lalu memeluk Vin erat-erat, Tiara menolak untuk segera enyah
dari sana. Pria yang tadi akan mengawalnya pun kebingungan. Menyadari kalau
gadis itu akhirnya mengingat dirinya, Vin pun menggerakkan tangannya pada pria
itu, mengisyaratkan padanya untuk pergi. Laki-laki itu juga butuh waktu
beberapa saat untuk melepaskan pelukan Tiara—dia juga tidak mau kalau tubuh
gadis itu lengket dengan tubuhnya. Vin sempat menyuruhnya pulang, tapi Tiara
bersikap seolah dia tidak mendengar apa-apa. Berani bertaruh, gadis itu mungkin
sudah lupa total dengan kejadian memalukan tadi yang melibatkan guard-guard perusahaan tempat Vin
bekerja. Itu hal bagus sebenarnya, mengingat baik gadis itu maupun
saudari-saudarinya adalah tipe pendendam—meskipun ada kalanya mereka tidak
membalas, mereka akan selalu mengingat kesalahan orang lain.
“Apa
mungkin…” Gadis itu berujar mengabaikan tanya Vin. “Saat kau menolongku tadi,
kau sebelumnya langsung ingat padaku?”
“Tidak,”
jawab Vin pendek.
“Lantas
kenapa?”
Laki-laki
itu menghela napas panjang sebelum menatap Tiara. “Mereka tidak dilatih untuk
mengenali barang-barang bermerk atau barang murahan. Karena tingkahmu
mencurigakan, mereka berbuat begitu tanpa berpikir panjang. Sedangkan aku
langsung tahu jaket dan boots yang
kau kenakan bukan barang murah, jadi aku bisa menebak kalau kau setidaknya tamu
VIP atau orang yang sedang punya kepentingan di sana. Aku menolongmu untuk
mencegah perusahaan dituntut pasal penganiayaan dan pencemaran nama baik.”
“Jadi
awalnya kau tidak tahu kalau itu aku?”
Vin
terdiam cukup lama. Dia menimbang-nimbang dalam hati apakah harus berkata terus
terang pada Tiara. Awalnya Vin memang tidak mengenali gadis itu, hanya saja
ketika kemudian dia mencium aroma marshmallow
yang kental dari tubuhnya, Vin tidak bisa menahan diri untuk memeluk gadis itu—tambahan,
karena dia juga tahu Tiara akan menangis kencang detik itu juga.
“Will you stop staring me like that?”
gerutu Vin merasa seperti tengah diperhatikan penguntit.
***
Seorang
gadis memakai blus tanpa lengan dan juga potongan rok pendek berjalan di lantai
kantor tempat Vin berada. Hak sepatunya mengetuk-ngetuk jelas hingga menarik
perhatian karyawan di sana. Jalannya anggun dan lembut. Sebelum mengetuk pintu
ruangan Vin, dia lebih dulu mendatangi sekretarisnya, bertanya apakah Vin ada
di sana atau tidak. Gadis itupun tersenyum ketika dipersilakan masuk.
Vin
menoleh saat menyadari satu orang lagi masuk ke ruangannya, begitu juga dengan
Tiara.
“Hai,
Rev. Kau tidak mengangkat teleponku tadi. Jadi aku ke sini,” kata gadis itu.
Rev katanya? Tiara
mengernyit tidak suka. Kenapa kesannya panggilan itu akrab sekali. Siapa dia?
“Bukannya
aku pernah bilang supaya jangan datang ke kantorku saat jam kerja?” kata Vin
datar. Tiara kembali menyukai kalimat dingin laki-laki itu, terlebih mengetahui
kalimat itu ditujukan ke gadis tadi.
“Jangan
ketus begitu. Ibumu yang menyuruhku datang ke sini. Dia yakin kau melewatkan
makan siangmu lagi.” Pandangan gadis itu kemudian beralih pada Tiara. “Kau
kedatangan tamu.” Dia mengulurkan tangan. “Hi,
my name is Tiffany.”
“Ah,
ini…” Vin yang akan memperkenalkannya terpotong oleh gerak Tiara yang bangkit
berdiri dari kursinya.
“Aku
Krisan.”
Mereka
pun bersalaman. Fany sendiri agak aneh melihat penampilan tertutup gadis itu—maksudnya
dia benar-benar tertutup. Dia lalu
beralih memandang Vin.
“Bagaimana
kalau kita makan siang bersama?”
“Ide
bagus.” Tiara menanggapi. “Aku boleh ikut kan?”
***
Tingkah
Fany sungguh manis—jelas bukan soal penampilannya, Tiara sendiri yakin dirinya
jauh lebih baik dari gadis itu. Badan Tiara juga sedikit lebih tinggi darinya. Apa
boleh buat, Tiara juga seorang gadis. Karenanya dia sangat tahu persis kalau
saat ini Fany kurang menyukai keberadaannya sekarang ini. Saat meminta untuk
ikut, ekspresi Fany menunjukkan kalau dia tidak senang, tapi di depan Vin dia
mau tidak mau harus mengizinkan Tiara bergabung. Siapa dan apa modus gadis itu
mendekati Vin sedang diselidiki Tiara.
Mereka
bertiga makan siang bersama di sebuah restoran tidak jauh dari gedung kantor
Vin. Ketika makanan mereka datang, Vin dan Fany langsung memegang sendok dan
garpu, bersiap untuk menyantapnya, sementara Tiara mematung. Bagaimana gadis
itu bisa makan dengan wajar kalau maskernya tidak boleh sampai dilepas?
“Kenapa?”
Fany bertanya karena Tiara tidak kunjung melahap makan siangnya.
“Ti-tidak
apa-apa,” balas Tiara gugup.
“Kenapa
tidak kau lepas dulu kacamata dan maskermu? Aku lihat kau akan kesulitan
memakannya.”
Tiara
terdiam sebal meski tahu yang dikatakan Fany benar. Vin sendiri melirik padanya
namun dia juga diam menyembunyikan senyuman yang pelan-pelan tersungging di
sudut bibir.
Seorang
tamu mengambil remote televisi yang
dipajang di sana untuk mengganti channel.
Saluran lalu berubah dengan acara di mana lagu-lagu dalam video klip yang
sedang populer diputar. Kebetulan saat itu lagu video klip yang diputar
berjudul Dew yang dinyanyikan Tiara. Tampak
dalam video itu rambut Tiara yang ikal panjang meliuk diterpa angin dalam
sebuah ladang berumput cokelat terang. Atas kepalanya berhias mahkota macam-macam
bunga. Dia lalu berlari senang diikuti seseorang yang sedang merekam sosoknya
yang terlihat sangat bahagia.
“Ah,
Chrisantee.” Fany menyebut namanya, membuat Tiara mengangkat wajah. Pandangan gadis
itu mengarah ke layar televisi. “Aku pernah sekali bertemu dengannya ketika di
stasiun televisi milik pamanku.”
“Oh
ya?” Tiara menanggapi. Setahunya dia tidak pernah bertemu Fany. Mungkin mereka
hanya berpapasan sekilas hingga Tiara tidak begitu mengingat wajahnya.
Fany
mengangguk. “Dia cantik seperti boneka. Tapi sama sekali tidak berkesan. Aku tidak
heran rumor yang bilang kalau dia operasi plastik.”
Tiara
tertegun. Jadi rupanya bukan hanya segelintir orang yang mempercayai rumor
konyol semacam itu. Tentu saja Tiara tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan
orang-orang itu padanya. Alasan kenapa orang-orang itu berpikir demikian..
mungkin karena sejauh ini Tiara sangat senang bereksperimen dengan dandanannya.
“Yang
aneh adalah tidak adanya latar belakang apa pun soal dirinya di internet,”
tambah Fany yang makin membuat Tiara membisu. “Aku tidak tahu apakah kalian
pernah menontonnya sewaktu di talkshow
beberapa hari yang lalu. Dia mengabaikan pembawa acara ketika bertanya mengenai
orang tua atau saudara yang dia punya. Mungkin kabar kalau dia yatim piatu itu
benar.”
Tiara
meletakkan sendok dan garpunya ke piring diikuti pandangan heran Fany. Vin
menoleh padanya, alih-alih menghibur gadis itu, dia hanya menghela napas
panjang.
“Tetaplah
di sini sebentar. Aku antar kau pulang,” kata laki-laki itu. Dia menoleh pada
Fany. “Aku akan membayarnya dulu. Maaf karena kami selesai duluan.”
Sebelum
Fany melontarkan pertanyaan, Vin lebih dulu beranjak dari sana menuju meja
kasir. Selanjutnya tanpa meminta persetujuan Fany, Vin memakai lagi coat-nya lalu menarik lengan Tiara dan pergi
dari sana.
Fany
tersenyum sekilas karena frustasi. Apa dia Chrisantee? Dia menebak asal-asalan.
Kenapa begitu over reacting mendengar
rumor artis itu darinya? Apa mungkin karena di poin-poin yang dia katakan
seputar Chrisantee, salah satunya menyinggung Tiara? Dia diam saja saat Fany
memberitahunya soal operasi plastik Chrisantee, sebaliknya ketika Fany
menyinggung soal yatim piatu. Apa Tiara yatim piatu?
Fany
menggeleng. Kalau benar gadis itu punya low
profile yang sebegitu buruknya, dia harus memberitahu hal itu pada ibu
Revin. Jangan sampai Fany kalah oleh gadis yang bahkan malu dengan wajahnya
sendiri.
Sementara
itu Tiara yang ada dalam mobil bersama Vin menjadi murung. Dia tidak menyangka
kalau satu hari saja dia lewati tanpa Gladys akan membuatnya sangat kesepian.
0 komentar:
Posting Komentar