When Marshmallow Meet Coffee (3/3)

Kamis, 06 Agustus 2015




“Di mana rumahmu?” tanya Vin akhirnya setelah hening panjang yang mereka lewati di dalam mobil yang sedang melaju.

Tiara duduk di sebelahnya, terus menghadap ke samping kiri sambil melamun. Dia mendengar Vin tapi enggan menjawab. Hatinya memang tidak nyaman gara-gara Fany, namun bukan berarti dia akan termenung sendirian untuk sementara—kebiasaannya jika hal seperti ini terjadi. Biar bagaimana pun Vin sekarang ada di dekatnya, bahkan jelas-jelas sedang memperhatikan Tiara. Gadis itu tidak mau jauh dari laki-laki itu. Dia ingin ditemani, hanya saja bukan dengan obrolan meskipun tujuannya untuk menghiburnya.

“Jangan harap aku akan menggendongmu hanya karena kau tertidur di mobilku,” ujar Vin asal-asalan setelah lama pertanyaannya tidak ditanggapi.

Senyum Tiara langsung tersungging meski sekilas. Dia menoleh pada Vin lalu menyilangkan tangan.

“Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik sehingga mau-mau saja memberitahu di mana tempatku tinggal,” katanya. “Aku memang kenal kau. Tapi itu bukan jaminan kau tidak akan membocorkan hal yang jadi rahasia ini. Hampir setiap hari aku diburu seperti mangsa, kau tahu? Siapa yang tahu kalau dalam waktu lima tahun kau berubah menjadi orang yang licik?”

Vin mengerutkan kening.

“Daripada basa-basi seperti itu, lebih baik kau bilang apa maumu. Apa kuturunkan saja kau di hotel?” Vin membalasnya.

Tiara mengerjap. “Apa? Kau tega membiarkan aku sendirian?!”

Vin mengerem. Mobil itu berhenti di pinggir jalan yang amat lengang sekaligus di depan sebuah gedung yang menjulang angkuh menyambut mereka. Tidak disangka sepertinya laki-laki itu serius. Tiara melihatnya melepas sabuk pengaman lalu keluar dari mobil. Tiara yang panik otomatis melakukan hal yang sama untuk mencegahnya masuk ke gedung tadi yang sepertinya benar-benar sebuah hotel.

“Tunggu! Tunggu sebentar!” seru Tiara berlari menyusul Vin yang melangkah menuju gedung. Tangannya langsung menarik lengan Vin, membuat gerak laki-laki itu terhenti. Tubuh Tiara tepat di depannya menjadi penghalang. Tidak hanya itu, gadis itu pun merentangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk melarang Vin masuk. “Aku tidak mau tinggal di hotel! Aku tidak mau sendirian! Gladys tidak ada! Kalaupun aku pulang, aku akan sendirian!”

Pandangan Vin mengarah pada mata Tiara meskipun sepasang indera penglihat itu tersembunyi di balik kacamata hitam. Vin memang tidak bisa melihat air mukanya secara nyata, namun kalimat yang dilontarkan gadis itu telah cukup memberitahunya. Ekspresi memohon dan penuh harap. Ketika memikirkannya, Vin merasa sedikit aneh. Seorang publik figur yang seringkali dia temui selalu berlagak seperti aktor biarpun dalam kehidupan nyata mereka. Vin tahu Tiara sendiri tidak berbeda. Tapi mengapa dia merasa lebih mudah membaca perasaan gadis itu saat memakai topengnya sekarang?

Lengan Tiara lagi-lagi diserang gatal. Tangan gadis itu gemetaran bimbang, ragu apakah dia harus menggaruk atau tetap pada posisinya mencegah Vin memasukkannya ke hotel. Laki-laki itu bergeming. Tiara benar-benar tidak tahu apa yang sedang ada dalam pikirannya.

Untunglah saat Tiara hampir memutuskan menurunkan tangannya untuk menggaruk, Vin lebih dulu meraih pergelangan tangan gadis itu lalu menariknya. Arah langkah mereka bukan ke mobil, melainkan tetap menuju gedung.

“Lepaskan aku!” seru Tiara mencoba menyentakkan tangannya namun sia-sia. Gantinya tiap gadis itu mencoba melepaskan diri, Vin akan lebih mengeratkan genggamannya.

“Selamat datang, Mr. Revin. Tumben pulang cepat.” Seorang pria yang sepertinya bekerja di gedung itu menyapanya ramah biarpun wajah Vin sedingin es.

Tiara berhenti meronta. Alisnya bertaut. Kenapa karyawan itu mengenal Vin? Apakah…?

Mereka selanjutnya masuk ke dalam lift. Bahkan biarpun hanya mereka berdua di sana, Vin tetap tidak melepaskan tangan Tiara seolah-olah meskipun ada celah semut sedikit saja di dinding, Tiara bisa-bisa melesat kabur. Pintu lift lalu membuka di lantai tiga puluh dua.

Lipatan di dahi Tiara makin bertambah. Dia pun memaksa otaknya berpikir cepat saat Vin menyeretnya melewati deretan pintu apartemen. Kalau Vin tidak perlu repot-repot check in, juga mengingat ada karyawan di sana yang mengenalinya, berarti laki-laki itu tinggal di sana?

Tiara masih mempertanyakan tebakannya sendiri ketika kemudian langkah Vin berhenti di pintu kamar nomor 288. Laki-laki itu lalu membuka pintu itu dengan menekan tombol password-nya. Dia masuk diikuti Tiara. Begitu pintunya ditutup lagi, Vin melepaskan tangannya.

“Kau.. tinggal di sini?” tanya gadis itu sambil mengusap tangan yang tadi digenggam Vin. Ragu-ragu dia menggaruk lengannya sendiri saat sosok Vin menghilang di balik tembok—mungkin ke kamar atau dapur.

Tiara pelan-pelan melangkah lebih ke dalam. Spontan dia terkesiap melihat sesosok orang mencurigakan memakai jaket kusut, kacamata hitam, dan masker. Sedetik kemudian, dia pun merutuki sendiri karena bisa-bisanya kaget dengan pantulan dirinya sendiri di cermin.
Tentu saja, pikirnya lesu. Bagaimana orang lain bisa mengenalinya dengan penampilan seperti itu?

Tiara memperhatikan sekelilingnya, mendapati ruang yang begitu rapi dan bersih. Mungkin setitik debupun tidak akan dia temukan di sana. Tiara bisa melihat cerminan karakter Vin di apartemen itu. Ketika didengarnya suara laci yang dibuka-tutup, gadis itu kemudian duduk di sofa. Setelahnya dia mendengar bunyi air yang mengucur dari kran.

Vin datang tidak lama kemudian membawa baskom dan handuk kecil. Lengan bajunya telah disingsingkan. Dia duduk dekat Tiara, menghadap gadis itu.

“Lepas maskermu. Kacamatamu juga,” perintah Vin.

Tiara refleks menangkupkan tangan ke wajah lalu menggeleng cepat.

“Kau pikir aku membawamu ke sini untuk bermain-main?” kata Vin dengan raut wajah tegas. Kalau saja Tiara tidak memakai kacamatanya, mungkin dia akan otomatis menciut.

“Aku..” Tiara menggigit bibir. “Aku tidak mau terlihat jelek di depanmu!”

“Aku sudah melihatnya tadi. Apa bedanya dengan aku melihatnya lagi sekarang?” Laki-laki itu tidak memedulikan keengganan Tiara. Dia mencopot masker juga kacamata Tiara dengan cepat lalu membuangnya jauh-jauh tanpa gadis itu sempat mengelak.

Tiara menunduk, membayangkan Vin akan bergidik melihat ruam-ruam di wajahnya. Nyatanya Vin dengan tenang merendam handuk kecil tadi ke dalam baskom lalu memerasnya. Selanjutnya handuk yang dilipat itu dia arahkan ke wajah Tiara.

“Lihat ke sini,” perintah laki-laki itu datar.
 
Tiara ragu-ragu mengangkat wajahnya. Pandangan mereka bertemu.

Vin menyeka ruam di wajah Tiara lembut. Handuk yang basah itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya. Rasanya menyenangkan sekali. Apalagi aroma harum apel samar-samar tercium. Berkat inisiatif Vin kali itu, Tiara bisa memandang wajahnya sepuas yang dia mau. Setelah melihatnya dari balik lensa kacamata hitamnya sepanjang hari tadi, Tiara akhirnya bisa menelusuri bagian demi bagian wajahnya.

Rambut laki-laki itu sedikit panjang. Mungkin karena diterpa angin sewaktu di luar tadi, rambutnya agak berantakan sekarang. Sisi depannya acak-acakan di dahi, menutupi sebagian pandangan laki-laki itu. Iris matanya gelap, terkesan sunyi dan tersembunyi namun entah kenapa menenangkan. Tiara ingin sekali menyentuh wajah itu biar sedetik saja. Ah tidak.. sepertinya dia juga ingin sekali saja mencium wajah itu.

“Apa kau tidak sengaja makan nanas?” Vin bertanya.

Tiara mengerjap. “Kau ingat aku alergi nanas?” Dia balik bertanya. Namun rasa senang itu hanya berlangsung dua detik ketika dia mengingat sesuatu. “Ah… mereka juga alergi nanas…”

Benar, batinnya. Tidak mungkin Vin hanya ingat soal Tiara. Biar bagaimana pun laki-laki itu mengenal semua kembar. Tidak mungkin dia tidak tahu. Tiara hanya kecewa karena sepertinya untuk Vin, tidak ada hal yang membuat dirinya lebih istimewa dibanding yang lain.

“Aku tiba-tiba dikerubuti semut..,” kata gadis itu pelan.

Vin diam. Laki-laki itu kembali merendam handuk tadi ke dalam baskom.

“Buka jaketmu. Aku yakin ruamnya lebih banyak di tangan.”

Tiara kembali bungkam karena bimbang. Tapi saat tatapannya dan Vin bertemu, dia tidak punya pilihan selain menurut. Vin pun dengan sabar menyeka ruam di tangannya.

***

Kelopak mata Tiara perlahan membuka dan mendapati sekelilingnya hanya diterangi cahaya lampu yang redup. Sejak kapan dia tertidur? Gadis itu menegakkan punggung setelah berbaring tiga jam di atas sofa. Sebagian tubuhnya tertutup selimut. Ketika Tiara mengedarkan pandangan ke sekeliling, sosok Vin tidak nampak di mana pun.

Apa laki-laki itu pergi?

Vin sempat membuatkannya olahan mie organik dan gadis itupun menghabiskannya tanpa sisa. Sesaat setelahnya, Tiara tertidur karena kenyang. Baiklah, itu terdengar memalukan.
Tiara mengambil ponselnya lalu menekan beberapa tombol sambil berulang kali melihat selembar kartu nama yang juga dia pegang. Vin tentu tidak tahu kalau Tiara telah mencuri selembar kartu namanya sewaktu berada di kantor tadi. Panggilannya langsung diangkat.

“Ini aku,” kata Tiara. “Kau di mana?”

“Di kantor. Aku lembur jadi jangan menggangguku. Akan lebih baik kalau kau tidur lebih cepat, sementara aku harus berangkat pagi-pagi besok.”

Sambungan diputus sebelum Tiara sempat membalasnya.

“Ah… apa-apaan…,” gumam gadis itu. “Jadi dia akan pulang atau tidak?”

Menghela napas, Tiara melemparkan ponselnya ke sofa. Dia memperhatikan sekelilingnya lagi dan tanpa sadar melangkah masuk ke dapur. Batinnya bertanya-tanya apakah ada serbuk cokelat yang bisa dia seduh di sana. Tiara ragu mengingat Vin yang dulu dia kenal tidak begitu menyukai rasa manis. Satu-satunya bahan makanan yang manis di sana hanya gula. Itupun—Tiara yakin—Vin pasti tidak pernah menambahkannya ke minumannya, terutama kopi. Laki-laki itu suka sekali dengan kopi.

Tiara mendadak teringat akan sesuatu yang ada di saku celananya. Sebungkus marshmallow berbentuk hati. Dia tersenyum sekilas lalu menyeduh kopi.

***

“Halo? Gladys?”

“Halo, Diana,” sapa Gladys di lorong rumah sakit. Dia tidak bisa tidur. Wanita itu menyadari suaranya begitu kering hingga terdengar begitu menyedihkan.

“Kau terdengar menyedihkan,” komentar Diana persis dengan pendapat Gladys.

“Begitulah.” Gladys tidak menyangkal. “Aku ingin tanya sesuatu.”

“Tentu saja. Apa?”

“Apa hari ini Chrisantee datang ke kantormu?”

Diana—teman Gladys adalah karyawan di perusahaan kosmetik yang akan mengontrak Chrisantee menjadi model iklannya.

“Aku tidak melihatnya,” jawab Diana jujur.

“Oh ya?”

“Ya. Kalaupun ada Chrisantee, aku akan tahu. Kalau dia datang, pasti seisi kantor akan heboh. Memang tadi ada kejadian heboh, tapi bukan karena Chrisantee. Ada kenalan CKO kami yang dikira pencuri oleh tim keamanan di sini. Kalau saja dia—CKO kami itu tidak datang, pasti perusahaan kami bakal kena tuntutan.”

“Ya, baiklah…,” tanggap Gladys sekedarnya. Sedikitpun dia tidak tertarik pada cerita Diana. “Maaf karena meneleponmu malam-malam. Mm…”

Gladys menutup ponselnya. Wanita itu menghela napas panjang sebal. Dia membatin, sepulangnya dia dari rumah sakit nanti, Chrisantee akan diberinya pelajaran karena tidak menandatangani iklan kontrak yang telah susah payah Gladys dapatkan.

***

Tiara iseng-iseng masuk ke kamar Vin. Memencet saklar lampu, ruangan yang awalnya gelap gulita itu menjadi terang benderang. Senyum gadis itu mengembang lebar. Dia lalu menghirup dalam-dalam aroma yang menenangkan di sana. Ranjangnya terlihat jauh lebih nyaman dari milik Tiara, membuat dia ingin sekali melompat ke sana lalu tidur dan terlelap di mimpi yang indah.

Pandangan Tiara tidak sengaja terarah ke sebuah lukisan yang dipasang di dinding. Dia mengamati sejenak lukisan yang menggambarkan deretan rumah-rumah bergaya klasik bernuansa cokelat yang suram. Lukisan yang biasa saja, batin Tiara. Belakang kepalanya mendadak terasa gatal hingga gadis itu menggaruknya. Tapi ketika menurunkan tangan itulah, dia tidak sengaja menyenggol bingkai lukisan itu hingga bergoyang miring. Tiara kaget dan spontan bergerak refleks untuk mencegahnya supaya tidak jatuh. Sedetik kemudian dia menyadari ada sesuatu di balik lukisan itu.

Penasaran Tiara menurunkan lukisan tadi lalu menaruhnya ke atas ranjang. Matanya melebar mendapati sebuah brankas rahasia juga ada di sana. Kira-kira apa isinya?

Gadis itu mengulum bibir sebelum memutuskan untuk membukanya. Kuncian brankas itu bukan dengan tombol, melainkan kode dalam besi lingkaran yang diputar. Tiara pun memanfaatkan latihannya membuka brankas jenis itu—yang mana dia dapatkan baru-baru ini saat membintangi sebuah film aksi.

Kunciannya tidak begitu rumit. Dengan mudah gadis itu membukanya. Tiara mengerjap melihat hanya ada dua amplop cokelat besar di sana. Dia mengambil salah satu yang berada di atas  kemudian mengeluarkan isinya; hanya berupa dokumen-dokumen bertuliskan data yang tidak Tiara mengerti. Dia meletakkan amplop itu, setelahnya mengambil amplop yang lain. Amplop yang kedua rupanya lebih berat dari amplop yang pertama. Tiara mengeluarkan isinya, melihat apa yang nampak di sana, dan seketika dia membeku.

Amplop kedua penuh dengan foto-foto. Sebagian dari mereka merupakan foto-foto lama. Beberapa tergambar lima kembar yang tersenyum berjajar ke arah kamera, namun jumlahnya tidak seberapa dengan foto salah satu dari kembar itu. Tiara tertegun melihat sosok seorang gadis kecil yang tersenyum lebar sambil menahan mahkota bunga di kepalanya supaya tidak jatuh diterpa angin.

Gadis kecil itu bukan Tiara, meskipun wajahnya tentu saja mirip. Berbeda dengan rambut Tiara yang cokelat terang dan ikal, rambut gadis itu hitam dan lembut dibelai angin.

Tiara beralih ke foto-foto lainnya, namun hampir seluruhnya menggambarkan sosok yang sama. Hanya saja orang dalam foto itu berubah dari waktu ke waktu. Lima tahun yang lalu, gadis kecil dalam foto tadi begitu bercahaya dalam siraman matahari senja. Namun keterangan tanggal di balik lembar foto berikutnya kira-kira setahun kemudian, cahaya dalam senyuman itu sirna. Sang Gadis kecil tampak selalu diam. Foto-foto yang lain pun diambil dalam waktu-waktu setelahnya. Rambut hitam kelamnya berubah menjadi cokelat terang. Seperti yang Tiara duga, tidak ada sedikitpun raut riang di sana. Semua foto itu diambil tanpa sepengetahuan sang Gadis.

Pandangan Tiara menyorot kosong. Dia melihat kembali foto gadis itu, yang paling lama. Foto ketika gadis kecil itu mampu menunjukkan deretan gigi-giginya untuk tersenyum ceria.

Memang itulah saat-saat paling indah, Tiara mengakui. Gadis itu dicintai semua orang. Namun saat itu pulalah, Tiara membencinya.

***

Vin merasa lelah dan mengantuk. Selama berada di lift dan sepanjang menyusuri lorong untuk ke apartemennya, laki-laki itu terus-terusan memijat bagian pelipis. Saat dia membuka pintu dan masuk, suasananya sama persis dengan sewaktu dia meninggalkannya. Vin pun melihat Tiara sedang tidur di atas sofa dibalut selimut. Laki-laki itu tidak menyadari ketika dirinya berjalan tanpa suara membuka pintu kamarnya, Tiara menegakkan punggung lalu menoleh.

“Kau baru pulang,” kata gadis itu.

Vin mengerjap lalu membalikkan badan.

“Kau belum tidur,” balasnya.

“Aku tidak bisa tidur.”

“Ambillah buku di rak sana,” saran Vin menunjuk ke rak buku di pojok ruang tengah dekat dengan tirai jendela yang masih terikat.

“Aku ingin tanya sesuatu..,” kata Tiara pelan, membuat Vin urung masuk ke kamarnya. Saat dilihatnya Vin mengerutkan kening, Tiara menambahkan, “Sebentar saja.. setelah ini aku akan pulang.. aku tinggal minta seseorang menjemputku.”

Vin menghela napas panjang. Dia lalu berjalan mendekat pada Tiara lalu duduk di sofa seberang Tiara duduk. Laki-laki itu menyilangkan tangan juga kakinya.

“Apa?” tanya Vin menyadari raut aneh di wajah Tiara.

“Kau… menyukai seseorang?”

Dahi Vin mengernyit. “Aku tidak punya waktu membahas hal seperti ini. Lebih baik..”

“Apa dia cantik?” potong Tiara bertanya. Nadanya pelan namun menuntut. Vin hendak membalasnya, tapi sebelum dia bisa melakukannya, Tiara lebih dulu menyambung. “Lebih dari aku?”

Kali ini Vin terdiam. Memang yang diucapkan gadis itu adalah kalimat tanya. Meskipun begitu, perlahan-lahan Vin menyadari kalau apa yang diinginkan Tiara bukanlah jawaban. Nadanya lebih terdengar seperti… kekecewaan. Sekilas, Vin bertanya-tanya menebak apa yang diketahui Tiara sampai dia bersikap seperti itu. Apakah..

Vin melirik ke arah pintu kamarnya. Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

“Kenapa bukan aku?” bisik Tiara sembari menunduk. Dia menutup mata beberapa saat sebelum kembali menatap Vin. Berat, gadis itu pun memberikan pertanyaan sesungguhnya. “Kau menguntitnya?”

Dia tahu, batin Vin. Sepertinya memang kesalahan besar membawa gadis itu ke apartemennya. Kotak pandora itupun terbuka.

I’m one of her puppets,” jawab Vin menjelaskan semuanya. “And for… another reason.

Alasan lain yang tidak ingin Tiara dengar. Foto dengan senyuman lebar si Gadis kecil tadi telah menjelaskan segalanya. Tidak ada hubungan biasa yang bisa menjelaskan tersimpannya foto seterang tadi oleh orang seperti Vin. Bukan relasi dalang dan boneka. Jelas tidak.

“Anak kecil itu sudah tidak ada!” Tiara tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Sampai kapan kau mencari orang yang sudah hilang?! Dia tidak akan kembali seperti dulu! Aku kenal dia! Dia bukan orang yang kau cari!!”

“Memang.” Vin membenarkan. “But I’ll find her only in that person..”

Nanar, Tiara mati-matian berusaha menahan air matanya supaya tidak jatuh. Dia tidak menyukai suasana seperti ini. Beberapa saat yang lalu dia ingin tinggal di sana, namun tidak lagi sekarang. Saat ini yang diinginkannya adalah cepat-cepat pergi.

“Waktu itu.. Lima tahun yang lalu.” Dia bicara lagi. “Apa bedanya dia denganku—kami?”

Vin tersenyum tawar.

“Tidak ada,” jawabnya.

Then, why..?”

Jeda. Vin butuh waktu beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu.

Wound healed, scar left,” jawab Vin. Melihat ekspresi Tiara yang tampak tidak mengerti, Vin pun menyembunyikan arti yang lebih dalam lewat senyum samar. “Aku tidak bisa memberitahumu.”

Tiara menatap Vin lagi. Kali ini lebih lekat, penuh dengan rasa harap.

“Kalau aku…,” ucapnya. “Nantinya kalau aku.. akan lebih cantik, bijak, dan kuat dari dia.. apakah kau akan menyukainya?”

Vin tersenyum. Hatinya membatin mulai menyukai gadis di depannya kini.

“Mungkin saja.” Dia menjawab.

Perlahan rasa lega menjalar ke sekujur tubuh Tiara. Gadis itu kemudian tersenyum meskipun air matanya terlanjur tumpah. Setelahnya tanpa berkata apa pun lagi, dia pergi dengan hanya diantar pandangan menerawang Vin.

Laki-laki itu masih duduk di ruang tengah dan tidak beranjak sampai fajar datang. Setelah melirik ke arah jam dinding, dia lalu beralih ke dapur. Vin tertegun kala melihat satu mug yang tertutup rapat berada berdampingan dengan termos kecil. Vin membaca sticky note yang Tiara letakkan di sana.

Buka mugnya, tapi jangan lihat isinya!! Tuang kopinya ke dalam! Jangan lihat isi mugnya! Tunggu sampai kau tuang kopinya!

Vin mengerutkan kening. Meski begitu diturutinya perintah dalam note itu. Ketika kopi panas itu dituang ke dalam mug. Marshmallow yang ada di dalam mugpun terangkat ke atas.

Vin tersenyum. Dia tidak yakin Tiara lupa kalau dirinya tidak terlalu suka makanan ataupun minuman yang manis.

Hanya saja Vin harus akui, rasa kopinya di pagi itu tidaklah buruk.

0 komentar: