“Di
mana rumahmu?” tanya Vin akhirnya setelah hening panjang yang mereka lewati di
dalam mobil yang sedang melaju.
Tiara
duduk di sebelahnya, terus menghadap ke samping kiri sambil melamun. Dia
mendengar Vin tapi enggan menjawab. Hatinya memang tidak nyaman gara-gara Fany,
namun bukan berarti dia akan termenung sendirian untuk sementara—kebiasaannya
jika hal seperti ini terjadi. Biar bagaimana pun Vin sekarang ada di dekatnya,
bahkan jelas-jelas sedang memperhatikan Tiara. Gadis itu tidak mau jauh dari
laki-laki itu. Dia ingin ditemani, hanya saja bukan dengan obrolan meskipun
tujuannya untuk menghiburnya.
“Jangan
harap aku akan menggendongmu hanya karena kau tertidur di mobilku,” ujar Vin
asal-asalan setelah lama pertanyaannya tidak ditanggapi.
Senyum
Tiara langsung tersungging meski sekilas. Dia menoleh pada Vin lalu
menyilangkan tangan.
“Aku
sedang tidak dalam suasana hati yang baik sehingga mau-mau saja memberitahu di
mana tempatku tinggal,” katanya. “Aku memang kenal kau. Tapi itu bukan jaminan
kau tidak akan membocorkan hal yang jadi rahasia ini. Hampir setiap hari aku
diburu seperti mangsa, kau tahu? Siapa yang tahu kalau dalam waktu lima tahun
kau berubah menjadi orang yang licik?”
Vin
mengerutkan kening.
“Daripada
basa-basi seperti itu, lebih baik kau bilang apa maumu. Apa kuturunkan saja kau
di hotel?” Vin membalasnya.
Tiara
mengerjap. “Apa? Kau tega membiarkan aku sendirian?!”
Vin
mengerem. Mobil itu berhenti di pinggir jalan yang amat lengang sekaligus di
depan sebuah gedung yang menjulang angkuh menyambut mereka. Tidak disangka
sepertinya laki-laki itu serius. Tiara melihatnya melepas sabuk pengaman lalu
keluar dari mobil. Tiara yang panik otomatis melakukan hal yang sama untuk mencegahnya
masuk ke gedung tadi yang sepertinya benar-benar sebuah hotel.
“Tunggu!
Tunggu sebentar!” seru Tiara berlari menyusul Vin yang melangkah menuju gedung.
Tangannya langsung menarik lengan Vin, membuat gerak laki-laki itu terhenti.
Tubuh Tiara tepat di depannya menjadi penghalang. Tidak hanya itu, gadis itu
pun merentangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk melarang Vin masuk. “Aku
tidak mau tinggal di hotel! Aku tidak mau sendirian! Gladys tidak ada! Kalaupun
aku pulang, aku akan sendirian!”
Pandangan
Vin mengarah pada mata Tiara meskipun sepasang indera penglihat itu tersembunyi
di balik kacamata hitam. Vin memang tidak bisa melihat air mukanya secara
nyata, namun kalimat yang dilontarkan gadis itu telah cukup memberitahunya.
Ekspresi memohon dan penuh harap. Ketika memikirkannya, Vin merasa sedikit
aneh. Seorang publik figur yang seringkali dia temui selalu berlagak seperti
aktor biarpun dalam kehidupan nyata mereka. Vin tahu Tiara sendiri tidak
berbeda. Tapi mengapa dia merasa lebih mudah membaca perasaan gadis itu saat
memakai topengnya sekarang?
Lengan
Tiara lagi-lagi diserang gatal. Tangan gadis itu gemetaran bimbang, ragu apakah
dia harus menggaruk atau tetap pada posisinya mencegah Vin memasukkannya ke
hotel. Laki-laki itu bergeming. Tiara benar-benar tidak tahu apa yang sedang
ada dalam pikirannya.
Untunglah
saat Tiara hampir memutuskan menurunkan tangannya untuk menggaruk, Vin lebih
dulu meraih pergelangan tangan gadis itu lalu menariknya. Arah langkah mereka
bukan ke mobil, melainkan tetap menuju gedung.
“Lepaskan
aku!” seru Tiara mencoba menyentakkan tangannya namun sia-sia. Gantinya tiap
gadis itu mencoba melepaskan diri, Vin akan lebih mengeratkan genggamannya.
“Selamat
datang, Mr. Revin. Tumben pulang cepat.” Seorang pria yang sepertinya bekerja
di gedung itu menyapanya ramah biarpun wajah Vin sedingin es.
Tiara
berhenti meronta. Alisnya bertaut. Kenapa karyawan itu mengenal Vin? Apakah…?
Mereka
selanjutnya masuk ke dalam lift. Bahkan biarpun hanya mereka berdua di sana,
Vin tetap tidak melepaskan tangan Tiara seolah-olah meskipun ada celah semut
sedikit saja di dinding, Tiara bisa-bisa melesat kabur. Pintu lift lalu membuka
di lantai tiga puluh dua.
Lipatan
di dahi Tiara makin bertambah. Dia pun memaksa otaknya berpikir cepat saat Vin
menyeretnya melewati deretan pintu apartemen. Kalau Vin tidak perlu repot-repot
check in, juga mengingat ada karyawan
di sana yang mengenalinya, berarti laki-laki itu tinggal di sana?
Tiara
masih mempertanyakan tebakannya sendiri ketika kemudian langkah Vin berhenti di
pintu kamar nomor 288. Laki-laki itu lalu membuka pintu itu dengan menekan
tombol password-nya. Dia masuk
diikuti Tiara. Begitu pintunya ditutup lagi, Vin melepaskan tangannya.
“Kau..
tinggal di sini?” tanya gadis itu sambil mengusap tangan yang tadi digenggam
Vin. Ragu-ragu dia menggaruk lengannya sendiri saat sosok Vin menghilang di
balik tembok—mungkin ke kamar atau dapur.
Tiara
pelan-pelan melangkah lebih ke dalam. Spontan dia terkesiap melihat sesosok
orang mencurigakan memakai jaket kusut, kacamata hitam, dan masker. Sedetik
kemudian, dia pun merutuki sendiri karena bisa-bisanya kaget dengan pantulan
dirinya sendiri di cermin.
Tentu
saja, pikirnya lesu. Bagaimana orang lain bisa mengenalinya dengan penampilan
seperti itu?
Tiara
memperhatikan sekelilingnya, mendapati ruang yang begitu rapi dan bersih.
Mungkin setitik debupun tidak akan dia temukan di sana. Tiara bisa melihat
cerminan karakter Vin di apartemen itu. Ketika didengarnya suara laci yang
dibuka-tutup, gadis itu kemudian duduk di sofa. Setelahnya dia mendengar bunyi
air yang mengucur dari kran.
Vin
datang tidak lama kemudian membawa baskom dan handuk kecil. Lengan bajunya
telah disingsingkan. Dia duduk dekat Tiara, menghadap gadis itu.
“Lepas
maskermu. Kacamatamu juga,” perintah Vin.
Tiara
refleks menangkupkan tangan ke wajah lalu menggeleng cepat.
“Kau
pikir aku membawamu ke sini untuk bermain-main?” kata Vin dengan raut wajah
tegas. Kalau saja Tiara tidak memakai kacamatanya, mungkin dia akan otomatis
menciut.
“Aku..”
Tiara menggigit bibir. “Aku tidak mau terlihat jelek di depanmu!”
“Aku
sudah melihatnya tadi. Apa bedanya dengan aku melihatnya lagi sekarang?”
Laki-laki itu tidak memedulikan keengganan Tiara. Dia mencopot masker juga
kacamata Tiara dengan cepat lalu membuangnya jauh-jauh tanpa gadis itu sempat
mengelak.
Tiara
menunduk, membayangkan Vin akan bergidik melihat ruam-ruam di wajahnya.
Nyatanya Vin dengan tenang merendam handuk kecil tadi ke dalam baskom lalu
memerasnya. Selanjutnya handuk yang dilipat itu dia arahkan ke wajah Tiara.
“Lihat
ke sini,” perintah laki-laki itu datar.
Tiara
ragu-ragu mengangkat wajahnya. Pandangan mereka bertemu.
Vin
menyeka ruam di wajah Tiara lembut. Handuk yang basah itu terasa hangat dan
nyaman di kulitnya. Rasanya menyenangkan sekali. Apalagi aroma harum apel
samar-samar tercium. Berkat inisiatif Vin kali itu, Tiara bisa memandang
wajahnya sepuas yang dia mau. Setelah melihatnya dari balik lensa kacamata
hitamnya sepanjang hari tadi, Tiara akhirnya bisa menelusuri bagian demi bagian
wajahnya.
Rambut
laki-laki itu sedikit panjang. Mungkin karena diterpa angin sewaktu di luar
tadi, rambutnya agak berantakan sekarang. Sisi depannya acak-acakan di dahi,
menutupi sebagian pandangan laki-laki itu. Iris matanya gelap, terkesan sunyi
dan tersembunyi namun entah kenapa menenangkan. Tiara ingin sekali menyentuh
wajah itu biar sedetik saja. Ah tidak.. sepertinya dia juga ingin sekali saja
mencium wajah itu.
“Apa
kau tidak sengaja makan nanas?” Vin bertanya.
Tiara
mengerjap. “Kau ingat aku alergi nanas?” Dia balik bertanya. Namun rasa senang
itu hanya berlangsung dua detik ketika dia mengingat sesuatu. “Ah… mereka juga
alergi nanas…”
Benar,
batinnya. Tidak mungkin Vin hanya ingat soal Tiara. Biar bagaimana pun
laki-laki itu mengenal semua kembar. Tidak mungkin dia tidak tahu. Tiara hanya
kecewa karena sepertinya untuk Vin, tidak ada hal yang membuat dirinya lebih
istimewa dibanding yang lain.
“Aku
tiba-tiba dikerubuti semut..,” kata gadis itu pelan.
Vin
diam. Laki-laki itu kembali merendam handuk tadi ke dalam baskom.
“Buka
jaketmu. Aku yakin ruamnya lebih banyak di tangan.”
Tiara
kembali bungkam karena bimbang. Tapi saat tatapannya dan Vin bertemu, dia tidak
punya pilihan selain menurut. Vin pun dengan sabar menyeka ruam di tangannya.
***
Kelopak
mata Tiara perlahan membuka dan mendapati sekelilingnya hanya diterangi cahaya
lampu yang redup. Sejak kapan dia tertidur? Gadis itu menegakkan punggung
setelah berbaring tiga jam di atas sofa. Sebagian tubuhnya tertutup selimut.
Ketika Tiara mengedarkan pandangan ke sekeliling, sosok Vin tidak nampak di
mana pun.
Apa
laki-laki itu pergi?
Vin
sempat membuatkannya olahan mie organik dan gadis itupun menghabiskannya tanpa
sisa. Sesaat setelahnya, Tiara tertidur karena kenyang. Baiklah, itu terdengar
memalukan.
Tiara
mengambil ponselnya lalu menekan beberapa tombol sambil berulang kali melihat
selembar kartu nama yang juga dia pegang. Vin tentu tidak tahu kalau Tiara
telah mencuri selembar kartu namanya sewaktu berada di kantor tadi.
Panggilannya langsung diangkat.
“Ini
aku,” kata Tiara. “Kau di mana?”
“Di
kantor. Aku lembur jadi jangan menggangguku. Akan lebih baik kalau kau tidur
lebih cepat, sementara aku harus berangkat pagi-pagi besok.”
Sambungan
diputus sebelum Tiara sempat membalasnya.
“Ah…
apa-apaan…,” gumam gadis itu. “Jadi dia akan pulang atau tidak?”
Menghela
napas, Tiara melemparkan ponselnya ke sofa. Dia memperhatikan sekelilingnya
lagi dan tanpa sadar melangkah masuk ke dapur. Batinnya bertanya-tanya apakah
ada serbuk cokelat yang bisa dia seduh di sana. Tiara ragu mengingat Vin yang
dulu dia kenal tidak begitu menyukai rasa manis. Satu-satunya bahan makanan
yang manis di sana hanya gula. Itupun—Tiara yakin—Vin pasti tidak pernah
menambahkannya ke minumannya, terutama kopi. Laki-laki itu suka sekali dengan
kopi.
Tiara
mendadak teringat akan sesuatu yang ada di saku celananya. Sebungkus marshmallow berbentuk hati. Dia tersenyum
sekilas lalu menyeduh kopi.
***
“Halo?
Gladys?”
“Halo,
Diana,” sapa Gladys di lorong rumah sakit. Dia tidak bisa tidur. Wanita itu
menyadari suaranya begitu kering hingga terdengar begitu menyedihkan.
“Kau
terdengar menyedihkan,” komentar Diana persis dengan pendapat Gladys.
“Begitulah.”
Gladys tidak menyangkal. “Aku ingin tanya sesuatu.”
“Tentu
saja. Apa?”
“Apa
hari ini Chrisantee datang ke kantormu?”
Diana—teman
Gladys adalah karyawan di perusahaan kosmetik yang akan mengontrak Chrisantee
menjadi model iklannya.
“Aku
tidak melihatnya,” jawab Diana jujur.
“Oh
ya?”
“Ya.
Kalaupun ada Chrisantee, aku akan tahu. Kalau dia datang, pasti seisi kantor
akan heboh. Memang tadi ada kejadian heboh, tapi bukan karena Chrisantee. Ada kenalan
CKO kami yang dikira pencuri oleh tim keamanan di sini. Kalau saja dia—CKO kami
itu tidak datang, pasti perusahaan kami bakal kena tuntutan.”
“Ya,
baiklah…,” tanggap Gladys sekedarnya. Sedikitpun dia tidak tertarik pada cerita
Diana. “Maaf karena meneleponmu malam-malam. Mm…”
Gladys
menutup ponselnya. Wanita itu menghela napas panjang sebal. Dia membatin,
sepulangnya dia dari rumah sakit nanti, Chrisantee akan diberinya pelajaran
karena tidak menandatangani iklan kontrak yang telah susah payah Gladys
dapatkan.
***
Tiara
iseng-iseng masuk ke kamar Vin. Memencet saklar lampu, ruangan yang awalnya
gelap gulita itu menjadi terang benderang. Senyum gadis itu mengembang lebar. Dia
lalu menghirup dalam-dalam aroma yang menenangkan di sana. Ranjangnya terlihat
jauh lebih nyaman dari milik Tiara, membuat dia ingin sekali melompat ke sana
lalu tidur dan terlelap di mimpi yang indah.
Pandangan
Tiara tidak sengaja terarah ke sebuah lukisan yang dipasang di dinding. Dia mengamati
sejenak lukisan yang menggambarkan deretan rumah-rumah bergaya klasik bernuansa
cokelat yang suram. Lukisan yang biasa saja, batin Tiara. Belakang kepalanya
mendadak terasa gatal hingga gadis itu menggaruknya. Tapi ketika menurunkan
tangan itulah, dia tidak sengaja menyenggol bingkai lukisan itu hingga
bergoyang miring. Tiara kaget dan spontan bergerak refleks untuk mencegahnya
supaya tidak jatuh. Sedetik kemudian dia menyadari ada sesuatu di balik lukisan
itu.
Penasaran
Tiara menurunkan lukisan tadi lalu menaruhnya ke atas ranjang. Matanya melebar
mendapati sebuah brankas rahasia juga ada di sana. Kira-kira apa isinya?
Gadis
itu mengulum bibir sebelum memutuskan untuk membukanya. Kuncian brankas itu
bukan dengan tombol, melainkan kode dalam besi lingkaran yang diputar. Tiara pun
memanfaatkan latihannya membuka brankas jenis itu—yang mana dia dapatkan
baru-baru ini saat membintangi sebuah film aksi.
Kunciannya
tidak begitu rumit. Dengan mudah gadis itu membukanya. Tiara mengerjap melihat
hanya ada dua amplop cokelat besar di sana. Dia mengambil salah satu yang
berada di atas kemudian mengeluarkan
isinya; hanya berupa dokumen-dokumen bertuliskan data yang tidak Tiara
mengerti. Dia meletakkan amplop itu, setelahnya mengambil amplop yang lain. Amplop
yang kedua rupanya lebih berat dari amplop yang pertama. Tiara mengeluarkan
isinya, melihat apa yang nampak di sana, dan seketika dia membeku.
Amplop
kedua penuh dengan foto-foto. Sebagian dari mereka merupakan foto-foto lama. Beberapa
tergambar lima kembar yang tersenyum berjajar ke arah kamera, namun jumlahnya
tidak seberapa dengan foto salah satu dari kembar itu. Tiara tertegun melihat
sosok seorang gadis kecil yang tersenyum lebar sambil menahan mahkota bunga di
kepalanya supaya tidak jatuh diterpa angin.
Gadis
kecil itu bukan Tiara, meskipun wajahnya tentu saja mirip. Berbeda dengan
rambut Tiara yang cokelat terang dan ikal, rambut gadis itu hitam dan lembut
dibelai angin.
Tiara
beralih ke foto-foto lainnya, namun hampir seluruhnya menggambarkan sosok yang
sama. Hanya saja orang dalam foto itu berubah dari waktu ke waktu. Lima tahun
yang lalu, gadis kecil dalam foto tadi begitu bercahaya dalam siraman matahari
senja. Namun keterangan tanggal di balik lembar foto berikutnya kira-kira
setahun kemudian, cahaya dalam senyuman itu sirna. Sang Gadis kecil tampak
selalu diam. Foto-foto yang lain pun diambil dalam waktu-waktu setelahnya. Rambut
hitam kelamnya berubah menjadi cokelat terang. Seperti yang Tiara duga, tidak
ada sedikitpun raut riang di sana. Semua foto itu diambil tanpa sepengetahuan sang
Gadis.
Pandangan
Tiara menyorot kosong. Dia melihat kembali foto gadis itu, yang paling lama. Foto
ketika gadis kecil itu mampu menunjukkan deretan gigi-giginya untuk tersenyum
ceria.
Memang
itulah saat-saat paling indah, Tiara mengakui. Gadis itu dicintai semua orang. Namun
saat itu pulalah, Tiara membencinya.
***
Vin
merasa lelah dan mengantuk. Selama berada di lift dan sepanjang menyusuri
lorong untuk ke apartemennya, laki-laki itu terus-terusan memijat bagian
pelipis. Saat dia membuka pintu dan masuk, suasananya sama persis dengan
sewaktu dia meninggalkannya. Vin pun melihat Tiara sedang tidur di atas sofa
dibalut selimut. Laki-laki itu tidak menyadari ketika dirinya berjalan tanpa
suara membuka pintu kamarnya, Tiara menegakkan punggung lalu menoleh.
“Kau
baru pulang,” kata gadis itu.
Vin
mengerjap lalu membalikkan badan.
“Kau
belum tidur,” balasnya.
“Aku
tidak bisa tidur.”
“Ambillah
buku di rak sana,” saran Vin menunjuk ke rak buku di pojok ruang tengah dekat
dengan tirai jendela yang masih terikat.
“Aku
ingin tanya sesuatu..,” kata Tiara pelan, membuat Vin urung masuk ke kamarnya. Saat
dilihatnya Vin mengerutkan kening, Tiara menambahkan, “Sebentar saja.. setelah
ini aku akan pulang.. aku tinggal minta seseorang menjemputku.”
Vin
menghela napas panjang. Dia lalu berjalan mendekat pada Tiara lalu duduk di
sofa seberang Tiara duduk. Laki-laki itu menyilangkan tangan juga kakinya.
“Apa?”
tanya Vin menyadari raut aneh di wajah Tiara.
“Kau…
menyukai seseorang?”
Dahi
Vin mengernyit. “Aku tidak punya waktu membahas hal seperti ini. Lebih baik..”
“Apa
dia cantik?” potong Tiara bertanya. Nadanya pelan namun menuntut. Vin hendak
membalasnya, tapi sebelum dia bisa melakukannya, Tiara lebih dulu menyambung. “Lebih
dari aku?”
Kali
ini Vin terdiam. Memang yang diucapkan gadis itu adalah kalimat tanya. Meskipun
begitu, perlahan-lahan Vin menyadari kalau apa yang diinginkan Tiara bukanlah
jawaban. Nadanya lebih terdengar seperti… kekecewaan. Sekilas, Vin
bertanya-tanya menebak apa yang diketahui Tiara sampai dia bersikap seperti
itu. Apakah..
Vin
melirik ke arah pintu kamarnya. Mendadak jantungnya berdegup dua kali lebih
cepat.
“Kenapa
bukan aku?” bisik Tiara sembari menunduk. Dia menutup mata beberapa saat
sebelum kembali menatap Vin. Berat, gadis itu pun memberikan pertanyaan
sesungguhnya. “Kau menguntitnya?”
Dia
tahu, batin Vin. Sepertinya memang kesalahan besar membawa gadis itu ke
apartemennya. Kotak pandora itupun terbuka.
“I’m one of her puppets,” jawab Vin
menjelaskan semuanya. “And for… another
reason.”
Alasan
lain yang tidak ingin Tiara dengar. Foto dengan senyuman lebar si Gadis kecil
tadi telah menjelaskan segalanya. Tidak ada hubungan biasa yang bisa
menjelaskan tersimpannya foto seterang tadi oleh orang seperti Vin. Bukan
relasi dalang dan boneka. Jelas tidak.
“Anak
kecil itu sudah tidak ada!” Tiara tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Sampai
kapan kau mencari orang yang sudah hilang?! Dia tidak akan kembali seperti
dulu! Aku kenal dia! Dia bukan orang yang kau cari!!”
“Memang.”
Vin membenarkan. “But I’ll find her only
in that person..”
Nanar,
Tiara mati-matian berusaha menahan air matanya supaya tidak jatuh. Dia tidak
menyukai suasana seperti ini. Beberapa saat yang lalu dia ingin tinggal di
sana, namun tidak lagi sekarang. Saat ini yang diinginkannya adalah cepat-cepat
pergi.
“Waktu
itu.. Lima tahun yang lalu.” Dia bicara lagi. “Apa bedanya dia denganku—kami?”
Vin
tersenyum tawar.
“Tidak
ada,” jawabnya.
“Then, why..?”
Jeda.
Vin butuh waktu beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu.
“Wound healed, scar left,” jawab Vin. Melihat
ekspresi Tiara yang tampak tidak mengerti, Vin pun menyembunyikan arti yang
lebih dalam lewat senyum samar. “Aku tidak bisa memberitahumu.”
Tiara
menatap Vin lagi. Kali ini lebih lekat, penuh dengan rasa harap.
“Kalau
aku…,” ucapnya. “Nantinya kalau aku.. akan lebih cantik, bijak, dan kuat dari
dia.. apakah kau akan menyukainya?”
Vin
tersenyum. Hatinya membatin mulai menyukai gadis di depannya kini.
“Mungkin
saja.” Dia menjawab.
Perlahan
rasa lega menjalar ke sekujur tubuh Tiara. Gadis itu kemudian tersenyum
meskipun air matanya terlanjur tumpah. Setelahnya tanpa berkata apa pun lagi,
dia pergi dengan hanya diantar pandangan menerawang Vin.
Laki-laki
itu masih duduk di ruang tengah dan tidak beranjak sampai fajar datang. Setelah
melirik ke arah jam dinding, dia lalu beralih ke dapur. Vin tertegun kala
melihat satu mug yang tertutup rapat berada berdampingan dengan termos kecil. Vin
membaca sticky note yang Tiara
letakkan di sana.
Buka mugnya,
tapi jangan lihat isinya!! Tuang kopinya ke dalam! Jangan lihat isi mugnya! Tunggu
sampai kau tuang kopinya!
Vin mengerutkan kening. Meski begitu diturutinya
perintah dalam note itu. Ketika kopi
panas itu dituang ke dalam mug. Marshmallow
yang ada di dalam mugpun terangkat ke atas.
Vin tersenyum. Dia tidak yakin Tiara lupa kalau
dirinya tidak terlalu suka makanan ataupun minuman yang manis.
Hanya saja Vin harus akui, rasa kopinya di pagi
itu tidaklah buruk.
0 komentar:
Posting Komentar