In the Land of Flower (Epilog)

Rabu, 19 Agustus 2015



Seorang anak mengangkat tangannya tinggi-tinggi diikuti pandangan teman-teman seusianya. Mereka makhluk kecil menggemaskan yang memakai seragam biru-putih. Melisma menoleh pada anak yang punya satu pertanyaan begitu dongeng diakhiri dengan kalimat “Selama-lamanya”.

“Bagaimana soal kakek nenek yang baik hati? Niko juga punya kakek nenek,” kata anak itu.

Melisma tersenyum. Sungguh, sejak awal dia jatuh cinta pada anak yang tampak paling antusias mendengarkan dongengnya itu. Badannya memang paling kecil di antara teman-temannya yang lain, namun sepasang matanyalah yang paling berbinar.

“Ah, kakek dan nenek yang menolong Forsythia?” tanggap Melisma menepuk tangan sekali. “Aku hampir saja lupa! Kapan terakhir kali aku menyebut mereka?”

“Di kebun bunga!!” seru beberapa anak sekaligus.

Melisma mengangguk-angguk membenarkan, bersikap kalau jawaban mereka sangat membantunya.

“Kalau begitu, mari kita tambahkan sedikit momen soal mereka.”

***

Pasangan petani miskin menjalani hari-hari mereka seperti sebelumnya, hanya saja mereka lebih sering tampak murung. Sudah seminggu terlewat sejak Forsythia meninggalkan gubuk itu untuk pergi ke istana setelah turun dari bukit membawa bunga liar yang dia petik. Mereka tahu Brisera bersukacita karena Pangeran yang rakyat cintai telah menikah, meski begitu si Kakek dan nenek tidak terlalu bersemangat mendengarnya. Mereka hanya tahu sang Pangeran menikah dengan putri kerajaan tetangga—Castamore. Itu berarti, Forsythia yang sejauh ini mereka sayangi seperti anak sendiri tidak bisa memenangkan hati Pangeran. Mereka tambah bersedih karena seiring dengan hari-hari yang berlalu, Forsythia tidak kunjung kembali.

Kalian mungkin bertanya-tanya apakah mungkin setelah menjadi Permaisuri Pangeran sekaligus calon Ratu di negerinya, gadis yang amat cantik itu telah lupa dengan sang Penolong? Oh, tidak. Sungguh tidak.

Forsythia disibukkan dengan berbagai perayaan—baik di Brisera maupun Castamore. Sebagian pesta wajib dia datangi untuk memperlihatkan tanggung jawabnya dalam acara formal, meski tentu saja Forsythia enggan menghadiri pesta seperti itu. Dia tidak melupakan kakek dan nenek penolongnya sedikitpun, bahkan bertanya-tanya terus dalam hati, kapan dirinya akan menyempatkan berkunjung ke gubuk di tengah-tengah kebun bunga yang indah itu.

Sang Pangeran—Orion menyadari perubahan ekspresi Permaisurinya yang berulang-ulang mendesah lesu. Lembut, dia kemudian berkata pada Forsythia, “Semua hadiah yang kuberikan tampaknya belum juga menghadiahkan senyum pada Ratuku.”

Forsythia lalu membalas, “Kalau begitu saya boleh meminta satu lagi hadiah kecil?”

Sang Pangeran mengabulkannya—sebuah permohonan yang amat sederhana.

Keesokan harinya, saat pasangan petani yang dirindukan Forsythia sedang menyiangi tanaman bunga mereka, segerombolan orang datang, berbaris memanjang di jalan setapak yang sempit. Gerombolan itu mengelilingi sebuah kereta kuda yang megah.

Terpaku dengan kereta kuda itu, mereka justru didatangi oleh seorang laki-laki yang menaiki kuda yang tampak paling gagah dibanding kuda-kuda yang lain. Si Kakek dan Nenek lalu menoleh padanya, bingung mengenali sosok rupawan itu. Salah satu pengawal menyerukan sebutan “Pangeran” ketika laki-laki tersebut turun dari kudanya. Pasangan petani terkejut bukan lain lalu bersujud memberi hormat.

“Bunga-bunga yang kalian rawat memang jauh lebih indah dari bunga-bunga lain,” kata Orion. “Berdirilah. Angkat wajah kalian.”

Si Kakek dan nenek menurut. Mereka melihat wajah Pangeran menghadap mereka dan tersenyum ramah.

“Apa yang membawa tuanku kemari? Apakah… tuanku ingin meminta bunga di kebun kami?” tanya si Kakek mengingat Pangeran negerinya baru saja menikah. Mungkin saja laki-laki itu ingin memberikan bunga untuk permaisurinya.

“Tentu aku ingin,” jawab Orion. “Tapi Permaisuriku melarangku mengambil bunga dari kebun kalian. Dia juga lebih suka pergi ke atas bukit, memandang hamparan bunga liar.”
Pasangan petani itupun saling berpandangan bingung.

Forsythia masih ada dalam kereta kudanya. Matanya berkaca-kaca dan tangannya meremas-remas gaun. Menenangkan diri, sang Putripun keluar dari keretanya, dibantu oleh salah seorang pengawal. Sekeluarnya dia dari sana, pasangan petani tadipun menoleh dan mereka tercengang mendapati Forsythia berdiri tidak jauh dari mereka. Dia memakai gaun mengembang sutra yang indah dan sebuah tiara sederhana di rambut yang ditata bergelung. Forsythia perlahan-lahan mendekat pada mereka dengan air mata yang nyaris jatuh.

“Kakek.. nenek…,” panggilnya sedikit bergetar.

“Astaga… oh, astaga…” Pasangan petani itupun langsung menyongsongkan ke dalam pelukan.

Orion memperhatikan mereka lalu menyunggingkan senyum, begitupun dengan para dayang serta pengawal yang mengantar mereka.

Beberapa saat kemudian, ketika akhirnya pelukan ketiga orang itu terlepas, Forsythia melepaskan kalungnya yang berbandul hiasan berbentuk forsythia. Dia kemudian memasangkan kalung itu pada sang Nenek yang bingung. Si Kakek menyipitkan mata lalu mengenali bandul kalung itu sebagai hiasan rambut milik mendiang putrinya.

“Sudah waktunya saya mengembalikannya,” kata Forsythia. “Tanpa putri kakek dan nenek.. mungkin saya tidak akan seperti ini.”

Sang Putri dan Pangeran lalu meminta pasangan petani tersebut untuk tinggal bersama di istana, tapi baik kakek dan nenek itu menolak. Mereka minta supaya tidak dipisahkan dari bunga-bunga yang telah mereka rawat bertahun-tahun semenjak putri mereka tiada. Forsythia lalu dengan berat hati mengurungkan niatnya untuk membawa mereka ke istana. Sebagai gantinya, meski kemudian dirinya menjadi seorang ibu bagi negeri, Forsythia selalu menyempatkan diri mengunjungi pasangan petani itu.

Lambat laun setelahnya, bunga-bunga forsythiapun mekar mengelilingi tempat tinggal pasangan petani.

Kisah ini pun menjadi legenda yang indah saat semua orang menceritakan sebuah negeri bunga.. jauh di masa lalu.

***

“Di mana kamu dapat kisah Forsythia itu?” tanya Alan yang melangkah sambil menggenggam tangan Melisma.

“Aku sebenarnya akan bercerita Cinderella. Tapi itu terlalu mainstream, bahkan untuk anak-anak. Aku yakin ada satu anak yang mendengar kisahnya ratusan kali—dongeng sebelum mereka tidur,” jawab Melisma. “Lalu aku mengubah namanya menjadi Forsythia. Karena banyak hal dalam kisah Cinderella yang konyol, aku pun mengubah banyak hal, lalu menambahkan sepasang orang tua yang baik hati di sana.”

Karena aku tidak merasa pernah memilikinya, batin Melisma.

“Kau harus sering-sering ber-story telling seperti tadi supaya tidak dicap galak,” gurau Alan. “Jujur, aku seperti melihat guruku sendiri sewaktu SD, saat melihatmu bercerita.”

“Aku pun merasa kau sama menggemaskannya dengan anak-anak itu.”

Mereka sama-sama tertawa kecil. Tidak berapa lama keduanya meninggalkan gedung Sekolah Dasar. Melisma melihat semak-semak forsythia menghias di sisi pinggir. Sekarang setelah mengisahkan negeri bunga tadi, untuk sekian kalinya, dia merasa bersyukur dengan nama Forsythia—bunga yang bercahaya seperti kunang-kunang.

0 komentar: