Seorang anak mengangkat tangannya
tinggi-tinggi diikuti pandangan teman-teman seusianya. Mereka makhluk kecil
menggemaskan yang memakai seragam biru-putih. Melisma menoleh pada anak yang
punya satu pertanyaan begitu dongeng diakhiri dengan kalimat “Selama-lamanya”.
“Bagaimana soal kakek nenek yang baik
hati? Niko juga punya kakek nenek,” kata anak itu.
Melisma tersenyum. Sungguh, sejak awal
dia jatuh cinta pada anak yang tampak paling antusias mendengarkan dongengnya
itu. Badannya memang paling kecil di antara teman-temannya yang lain, namun
sepasang matanyalah yang paling berbinar.
“Ah, kakek dan nenek yang menolong
Forsythia?” tanggap Melisma menepuk tangan sekali. “Aku hampir saja lupa! Kapan
terakhir kali aku menyebut mereka?”
“Di kebun bunga!!” seru beberapa anak
sekaligus.
Melisma mengangguk-angguk membenarkan,
bersikap kalau jawaban mereka sangat membantunya.
“Kalau begitu, mari kita tambahkan
sedikit momen soal mereka.”
***
Pasangan
petani miskin menjalani hari-hari mereka seperti sebelumnya, hanya saja mereka
lebih sering tampak murung. Sudah seminggu terlewat sejak Forsythia
meninggalkan gubuk itu untuk pergi ke istana setelah turun dari bukit membawa
bunga liar yang dia petik. Mereka tahu Brisera bersukacita karena Pangeran yang
rakyat cintai telah menikah, meski begitu si Kakek dan nenek tidak terlalu
bersemangat mendengarnya. Mereka hanya tahu sang Pangeran menikah dengan putri
kerajaan tetangga—Castamore. Itu berarti, Forsythia yang sejauh ini mereka
sayangi seperti anak sendiri tidak bisa memenangkan hati Pangeran. Mereka
tambah bersedih karena seiring dengan hari-hari yang berlalu, Forsythia tidak
kunjung kembali.
Kalian
mungkin bertanya-tanya apakah mungkin setelah menjadi Permaisuri Pangeran
sekaligus calon Ratu di negerinya, gadis yang amat cantik itu telah lupa dengan
sang Penolong? Oh, tidak. Sungguh tidak.
Forsythia
disibukkan dengan berbagai perayaan—baik di Brisera maupun Castamore. Sebagian
pesta wajib dia datangi untuk memperlihatkan tanggung jawabnya dalam acara
formal, meski tentu saja Forsythia enggan menghadiri pesta seperti itu. Dia
tidak melupakan kakek dan nenek penolongnya sedikitpun, bahkan bertanya-tanya
terus dalam hati, kapan dirinya akan menyempatkan berkunjung ke gubuk di
tengah-tengah kebun bunga yang indah itu.
Sang
Pangeran—Orion menyadari perubahan ekspresi Permaisurinya yang berulang-ulang
mendesah lesu. Lembut, dia kemudian berkata pada Forsythia, “Semua hadiah yang
kuberikan tampaknya belum juga menghadiahkan senyum pada Ratuku.”
Forsythia
lalu membalas, “Kalau begitu saya boleh meminta satu lagi hadiah kecil?”
Sang
Pangeran mengabulkannya—sebuah permohonan yang amat sederhana.
Keesokan
harinya, saat pasangan petani yang dirindukan Forsythia sedang menyiangi
tanaman bunga mereka, segerombolan orang datang, berbaris memanjang di jalan
setapak yang sempit. Gerombolan itu mengelilingi sebuah kereta kuda yang megah.
Terpaku
dengan kereta kuda itu, mereka justru didatangi oleh seorang laki-laki yang
menaiki kuda yang tampak paling gagah dibanding kuda-kuda yang lain. Si Kakek
dan Nenek lalu menoleh padanya, bingung mengenali sosok rupawan itu. Salah satu
pengawal menyerukan sebutan “Pangeran” ketika laki-laki tersebut turun dari
kudanya. Pasangan petani terkejut bukan lain lalu bersujud memberi hormat.
“Bunga-bunga
yang kalian rawat memang jauh lebih indah dari bunga-bunga lain,” kata Orion.
“Berdirilah. Angkat wajah kalian.”
Si
Kakek dan nenek menurut. Mereka melihat wajah Pangeran menghadap mereka dan
tersenyum ramah.
“Apa
yang membawa tuanku kemari? Apakah… tuanku ingin meminta bunga di kebun kami?”
tanya si Kakek mengingat Pangeran negerinya baru saja menikah. Mungkin saja
laki-laki itu ingin memberikan bunga untuk permaisurinya.
“Tentu
aku ingin,” jawab Orion. “Tapi Permaisuriku melarangku mengambil bunga dari
kebun kalian. Dia juga lebih suka pergi ke atas bukit, memandang hamparan bunga
liar.”
Pasangan
petani itupun saling berpandangan bingung.
Forsythia
masih ada dalam kereta kudanya. Matanya berkaca-kaca dan tangannya
meremas-remas gaun. Menenangkan diri, sang Putripun keluar dari keretanya,
dibantu oleh salah seorang pengawal. Sekeluarnya dia dari sana, pasangan petani
tadipun menoleh dan mereka tercengang mendapati Forsythia berdiri tidak jauh
dari mereka. Dia memakai gaun mengembang sutra yang indah dan sebuah tiara
sederhana di rambut yang ditata bergelung. Forsythia perlahan-lahan mendekat
pada mereka dengan air mata yang nyaris jatuh.
“Kakek..
nenek…,” panggilnya sedikit bergetar.
“Astaga…
oh, astaga…” Pasangan petani itupun langsung menyongsongkan ke dalam pelukan.
Orion
memperhatikan mereka lalu menyunggingkan senyum, begitupun dengan para dayang
serta pengawal yang mengantar mereka.
Beberapa
saat kemudian, ketika akhirnya pelukan ketiga orang itu terlepas, Forsythia
melepaskan kalungnya yang berbandul hiasan berbentuk forsythia. Dia kemudian
memasangkan kalung itu pada sang Nenek yang bingung. Si Kakek menyipitkan mata
lalu mengenali bandul kalung itu sebagai hiasan rambut milik mendiang putrinya.
“Sudah
waktunya saya mengembalikannya,” kata Forsythia. “Tanpa putri kakek dan nenek..
mungkin saya tidak akan seperti ini.”
Sang
Putri dan Pangeran lalu meminta pasangan petani tersebut untuk tinggal bersama
di istana, tapi baik kakek dan nenek itu menolak. Mereka minta supaya tidak
dipisahkan dari bunga-bunga yang telah mereka rawat bertahun-tahun semenjak putri
mereka tiada. Forsythia lalu dengan berat hati mengurungkan niatnya untuk
membawa mereka ke istana. Sebagai gantinya, meski kemudian dirinya menjadi
seorang ibu bagi negeri, Forsythia selalu menyempatkan diri mengunjungi
pasangan petani itu.
Lambat
laun setelahnya, bunga-bunga forsythiapun mekar mengelilingi tempat tinggal
pasangan petani.
Kisah
ini pun menjadi legenda yang indah saat semua orang menceritakan sebuah negeri
bunga.. jauh di masa lalu.
***
“Di mana kamu dapat kisah Forsythia
itu?” tanya Alan yang melangkah sambil menggenggam tangan Melisma.
“Aku sebenarnya akan bercerita
Cinderella. Tapi itu terlalu mainstream,
bahkan untuk anak-anak. Aku yakin ada satu anak yang mendengar kisahnya ratusan
kali—dongeng sebelum mereka tidur,” jawab Melisma. “Lalu aku mengubah namanya
menjadi Forsythia. Karena banyak hal dalam kisah Cinderella yang konyol, aku
pun mengubah banyak hal, lalu menambahkan sepasang orang tua yang baik hati di
sana.”
Karena
aku tidak merasa pernah memilikinya,
batin Melisma.
“Kau harus sering-sering ber-story telling seperti tadi supaya tidak
dicap galak,” gurau Alan. “Jujur, aku seperti melihat guruku sendiri sewaktu SD,
saat melihatmu bercerita.”
“Aku pun merasa kau sama
menggemaskannya dengan anak-anak itu.”
Mereka sama-sama tertawa kecil. Tidak berapa
lama keduanya meninggalkan gedung Sekolah Dasar. Melisma melihat
semak-semak forsythia menghias di sisi pinggir. Sekarang setelah mengisahkan
negeri bunga tadi, untuk sekian kalinya, dia merasa bersyukur dengan nama
Forsythia—bunga yang bercahaya seperti kunang-kunang.
0 komentar:
Posting Komentar